November 29, 2009

Fragmen Sepi Manusia

SUNYI dan gelap, hanya cahaya samar yang menjadi penerang.Serumpun bunga dalam pot yang tergantung di ketinggian menambah rasa sepi dan cekam. Itulah fragmen kehidupan yang disuguhkan oleh Teater Berkat Yakin asal Lampung lewat lakon Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu.

TEATER LAMPUNG WU WEI. Sejumlah seniman teater melakukan tearitikal pada pertunjukan teater berjudul Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu di Galeri Salihara, Jakarta.

Pementasan yang dilangsungkan di Komunitas Teater Salihara, Jalan Salihara,Pasar Minggu, Jakarta Selatan tersebut dimainkan hampir dua jam. Diawali suasana gelap dan sunyi. Satu demi satu aktor teater memasuki panggung sambil membawa koper, tas juga ransel yang disandang di punggung.Kesibukan orang lalu lalang yang resah menunggu kapal terlihat jelas. Sebuah tiang penunjuk arah, juga menjelaskan bahwa orang-orang dengan koper, tas, dan ransel tersebut tengah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke suatu tujuan.

“Mana kapalnya, mana kapalnya?” tanya mereka dari atas panggung sambil sibuk berjalan hilir mudik sambil tetap menjinjing barang bawaan mereka yang berat. Sesekali 12 orang calon penumpang kapal itu melihat ke kejauhan sambil berharap ada sebuah kapal yang datang dan akan mengantarkan mereka pergi dan juga pulang ke tempat yang dituju. “Kenapa kita tidak dipanggilpanggil untuk naik kapal. Benar bukan nama kapal kita Purnama Dibelah Tiga,” tanya mereka yang masih bingung menunggu kapal. Suasana panggung yang semula ramai oleh calon penumpang kapal,berganti dengan kesunyian.

Muncul seorang laki-laki dengan sebuah koper, bertopi rotan dan mengapitpengerassuara.Disisilain seorang perempuan menyapu lantai dengan perlahan.Tidak lama dengan iringan musik berupa detakdetak berirama teratur, datang seorang calon penumpang yang duduk di tiang papan penunjuk arah dan melamun. Tidak lama berselang, datang pula seorang laki-laki membawa sebuah kertas.Kertas itu ternyata sebuah peta yang menunjukkan jalan pulang.Dialog dua penunggu kapal terjadi dalam kesunyian yang pekat.

“Apa yang kau tunggu,” katanya. Dalam dialognya dengan sesama calon penumpang kapal, lakilaki itu bercerita tentang kerinduannya pada sebuah rumah. Di rumah itu terdapat sebuah sumur,tempat dia dan ayahnya menimba air. “Pernah suatu waktu tali timba sumur itu hampir putus, aku berniat menggantinya dengan yang baru. Namun, ayah menolaknya. Katanya, jangan sekali-kali kau ganti tali sumurku, cukup diikat dengan kawat maka dia akan kuat lagi,” katanya bercerita tentang kerinduannya pada rumah. Kerinduan yang sama juga diceritakan oleh lelaki lain.Kerinduan pada seorang teman pada masa lalu.

“Aku rindu bertemu seorang teman yang dulu pernah samasama melihat cakrawala,” ujarnya dalam dialog yang sunyi. Tiba-tiba terdengar merdu suara harmonika diiringi dengan suara musik country. Properti di panggung kembali berubah. Suasana yang semula sepi,mulai ramai dengan botol-botol infus yang bergelantungan dari ranting-ranting pohon. Orang-orang yang tersambung dengan infus yang mengalirkan cairan berwarna merah hadir di atas panggung.Walaupun tengah sakit bahkan sekarat, orang-orang itu bercerita tentang kerinduan pada sebuah kampung yang berasal dari kenangan.

“Kampung kubangun engkau dari sungai di pinggir jalan,dari secarik kain ibu dan sehektar tanah peninggalan Opung. Kampung kubangun kau dari sisa nasi basi kemarin. Kampung kucari kau walau cuma lewat igau,” katanya meneriakkan kerinduan yang terpendam. Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu yang disutradarai oleh Ari Pahala Hutabarat itu merupakan pentas yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menggali tema tentang pulang, pergi,rumah,ibu,dan apa saja yang sering dihubungkan dengan tempat asal juga tujuan.

“Dalam teater ini kami berusaha untuk menghadirkan keheningan yang ada pada beberapa situasi kritis ketika identitas asal,tujuan dan keinginan untuk berbahagia dipertanyakan kembali,” kata Sutradara Teater Berkat Yakin,Ari Pahala Hutabarat. Pentas yang juga menghadirkan sosok perempuan bertopeng tradisional tersebut dilanjutkan dengan konflik di antara sepasang kekasih. Kisah sedih pasangan itu bermula ketika si perempuan berusaha keras hendak merantau.

Sambil membawa koper perempuan itu duduk di sebelah kekasihnya yang terikat selang infus. “Kenapa kau mau pergi? Mau ke mana? Kapan kau mau pergi? apa bekalmu? Apa ada ongkos?” tanya si laki-laki sambil menggenggam tangan kekasihnya. Bujukan si lelaki agar kekasihnya tidak pergi, tidak diacuhkan oleh si perempuan.Silau kota besar telah membuatnya bertekat dan nekat untuk mengubah nasib di perantauan.“Aku lelah menunggu di pintu nasib.Bagaimana ada yang akan membukakan pintu, jika aku mengetuknya dari dalam.

Maaf,” katanya sambil memeluk kekasihnya ketika berpamitan. Fragmen kehidupan dengan kisah berbeda hadir di panggung. Kali ini fragmen bercerita tentang kegundahan seorang laki-laki yang meragukan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. “Dari rahimmu ibu,tersesat waktu,engkau sembilu, tertancap di kalbu,”katanya sambil terus bercerita tentang wanita, laki-laki perantau itu mengatakan bahwa surga tidak terletak di kaki ibu. “Surga menurutku terletak 77 cm dari kakimu kekasihku. Maaf ibu, karena aku meragukan kalau surga terletak di bawah kakimu,” katanya menyesali apa yang dirasakannya.

Sebuah pintu berukuran besar muncul di panggung. Namun, dengan pintu yang terkunci rapat.Kerinduan akan rumah tergambar dengan kehadiran seorang laki-laki yang berusaha membuka pintu.Namun, tidak bisa. “Berilah aku kesempatan untuk pulang, tapi kenapa rumah tetap lepas dari jangkar, dan tak kunjung kutemukan rumah yang dulu kudiami,”keluhnya. Pentas fragmen ini ditutup dengan berkumpulnya para calon penumpang kapal yang masih menunggu kedatangan kapal.

Ketika perpecahan di antara mereka mulai mencuat karena kesulitan memutuskan untuk terus menunggu atau tidak. Untunglah, ketika pertentangan itu semakin meruncing dari kejauhan muncullah siluet kapal yang membuat wajah mereka berseri-seri. Karena kapal itu diyakini akan membawa mereka ke tujuan,entah pergi atau pulang. (bernadette lilia nova)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 29 November 2009

No comments:

Post a Comment