November 8, 2009

Mengangkat Harkat Kebudayaan

Kesalahpahaman yang berlarut-larut terhadap kebudayaan membuat kita keliru menempatkan kebudayaan pada posisi yang benar. Sampai saat ini, misalnya, kita tidak memiliki strategi kebudayaan atau politik kebudayaan untuk memuliakan kebudayaan, termasuk kesenian di dalamnya.



BILIK JUMPA SENIMAN-MAHASISWA. Suasana diskusi Polemik Klaim Seni-Budaya Indonesia oleh Malaysia yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, Rabu (4-11) malam. Tampil sebagai pembicara dari kanan ke kiri: sastrawan Udo Z. Karzi, Ketua Program Pendidikan Seni Tari FKIP Unila Dwiyana Habsary, dan dosen Fakultas Hukum Unila Lindati Dwiatin dengan moderator Didi Arsandi. (LAMPUNG POST/M. REZA)

KETIDAKMENGERTIAN tentang kebudayaan membuat nasib kebudayaan di negeri ini menjadi tidak lebih dari "sesuatu" yang bisa dinilai dengan materi belaka. Desakan dari para seniman dan budayawan agar pemerintah mulai memedulikan kebudayaan secara lebih serius seperti tidak bergema.

Pandangan-pandangan seperti ini mengemuka dalam Diskusi Polemik Klaim Seni-Budaya Indonesia oleh Malaysia pada acara Bilik Jumpa Seniman- Mahasiswa (Bijusa) yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM-BS) Universitas Lampung (Unila) di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Rabu (4-11).

Tak kurang 50 orang duduk santai beralas karpet biru memenuhi ruang 8 x 8 meter malam itu. Mereka serius menyimak penyampaian materi yang disampaikan dosen hukum Keperdataan Fakultas Hukum Unila Lindati Dwiatin, Ketua Program Studi Pendidikan Seni Tari FKIP Unila Dwiyana Habsary, dan jurnalis-sastrawan Udo Z. Karzi.

Diskusi yang dibuka dengan tari kipas oleh penari-penari UKMBS serta pembacaan puisi oleh penyair Fitriyani dan Edy Samudra Kertagama, berlangsung santai.

Menurut Udo Z. Karzi, selama ini kebudayaan telah disempitartikan sebagai kesenian atau adat-istiadat. "Dengan anggapan seperti itu keberadaan kebudayaan menjadi dikerdilkan. Kebudayaan menjadi tak lebih dari benda-benda yang kalau tidak terasa langsung manfaatnya, langsung dilupakan," ujarnya.

Pemaknaan seperti ini hanya menempatkan kebudayaan sebatas pada bentuk fisik dari kebudayaan tersebut seperti tari, lagu-lagu tradisional, benda purbakala, dan sebagainya. Dia mengajak peserta agar tidak terjebak dalam pemikiran yang usang tentang kebudayaan. "Saya mengajak berpikir tentang kebudayaan secara komprehensif," kata Udo Z. Karzi.

Akibat kesalahpamahaman akan arti kebudayaan itu sendiri oleh bangsa Indonesia membuat bangsa ini lupa dan acuh dengan kebudayaan aslinya. "Kebudayaan sudah terlalu lama tidak dianggap lagi di negeri ini," kata dia.

Menurut Udo Z. Karzi, ketidakpedulian warga negara Indonesia terhadap kebudayaannya sendirilah yang membuat seluruh bangsa ini tergopoh-gopoh melakukan pendataan kesenian asli Indonesia. "Lalu Departemen Pariwisata dan Kebudayaan menganjurkan agar semua daerah mematenkan kebudayaan lokalnya. Tapi, benarkah sesederhana itu?"

Berkaitan dengan klaim Malaysia terhadap beberapa seni tradisional Indonesia beberapa waktu lalu, Udo berpendapat bahwa tindakan untuk mematenkan seni/budaya tersebut adalah tidak tepat. "Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya," kata dia.

Menurut Udo, kekeliruan dalam menanggapi sepak terjang Malaysia yang mengklaim beberapa seni Indonesia dengan mematenkan seni dan budaya Indonesia, justru akan menjadi bumerang bagi keberadaan seni/budaya itu sendiri.

Hak cipta, kata dia, ada batas waktu berlakunya. Ketika habis masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan dapat diklaim siapa saja. "Kondisi ini jelas berbahaya bagi keberadaan seni-budaya itu," kata penerima Hadiah Sastra Rancage 2008 ini.

Bangsa Indonesia, ujarnya, sudah terlalu lama salah paham dengan apa yang disebut "kebudayaan" tersebut. "Pemerintah terutama, masih menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang harus dijual. Nasionalisme baru terbangun saat budaya diklaim negara lain," kata Udo.

Seorang peserta diskusi yang mengatakan bahwa kenapa bangsa ini tidak berpikir positif saja terhadap klaim Malaysia karena negeri tetangga itu lebih menghargai kesenian Indonesia, serta beranggapan bahwa klaim itu adalah salah satu usaha untuk menyelamatkan budaya dan seni Indonesia.

Menganggapi ini, Udo mengatakan bangsa ini adalah bangsa yang miskin sehingga menjadi rendah diri dan sangat susah untuk berpikir positif seperti itu. "Kita ini bangsa yang miskin karena tidak menghargai budaya sendiri. Kita harus merasa malu," kata dia.

Senada dengan itu, Dwiyana Habsary lebih menyoriti perilaku bangsa ini sebagai pemilik kekayaan seni dan budaya. "Yang utama itu dari diri kita sendiri. Bagaimana caranya menumbuhkan kecintaan terhadap budaya kita sendiri. Tidak perlu ambil pusing dengan klaim-klaim yang terjadi. Toh, yang mengerti itu (budaya dan tradisi, red) kita sendiri," kata dosen FKIP yang studi S-2-nya mengambil konsentrasi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa tersebut.

Dwiyana Habsary memaparkan bahwa seharusnya permasalahan klaim seni dan budaya saat ini dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini. "Menjadi bangsa yang kaya bukan berarti lupa akan kewajiban untuk menjaga kekayaan tersebut," kata Dwiyana dalam makalahnya.

Ia menuturkan kita harus mengingat kembali mengapa seni bisa dikatakan sebagai penyangga budaya, yakni seni mencerminkan nilai-nilai kebudayaan, seni juga dapat menjadi semacam dokumentasi tentang sejarah suatu bangsa, dan seni dapat memberikan pengaruh tentang bagaimana suatu bangsa mengatur "dunianya".

Permasalahannya, menurut Dwiyana, mampukah kita sebagai pemilik seni tersebut menjabarkan atau mengimplementasikan ketiga poin di atas berdasarkan seni yang ada. "Sudah cukupkah usaha kita sebagai pemilik kekayaan ini untuk menjaganya?" kata dia.

Dari sisi hukum, Lindati Dwiatin menegaskan kita tidak perlu khawatir akan klaim karena kebudayaan tradisional itu hak ciptanya berada di tangan negara. "Pasal 10 dan 11 UUHC (Undang-Undang Hak Cipta) memberikan perlindungan terhadap hak cipta atas suatu ciptaan yang penciptanya tidak diketahui. Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya," kata dosen mata kuliah Hak Kekayaan Intelektual FH Unila tersebut.

Lindati mengatakan pada Pasal 10 Ayat (1) UUHC negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan budaya nasional. Sedangkan pada Ayat (2) menyebutkan bahwa negara memegang hak cipta atas floklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti, cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

Menurut Lindati, tidak mudah untuk membuat brand image itu. Reog, ia menyontohkan, meskipun diklaim sebagai milik Malaysia, pengertian yang sudah tertanam di setiap kepala orang yang mengetahui reog, reog itu berasal dan asli dari Indonesia. "Kita hendaknya lebih menghargai apa yang sudah ada. Ini jadi pekerjaan rumah untuk bangsa Indonesia, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat," kata dia.

Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru yang hadir dalam diskusi mengatakan bangsa ini adalah bangsa yang penuh paradoks. "Di satu sisi, ketika ada pengklaiman atas seni budaya, kita seperti kebakaran jenggot. Sedangkan di sisi lain, kita seperti tidak peduli dengan budaya asli kita," kata dia.

Penyair Budi Hutasuhut berpendapat ada baiknya bangsa ini berpikir positif dalam soal klaim budaya. "Mungkin saja dengan klaim tersebut, Malaysia ingin melestarikan seni dan budaya Indonesia yang hampir punah karena selama ini sepertinya orang Indonesia sendiri acuh tak acuh dengan kebudayaannya sendiri."

Ia juga mengkritisi bahwa selama ini seni dan budaya terlalu bergantung pada pemerintah. "Jika pemerintahnya begini, maka kesenian dan kebudayannya pun cenderung mengikuti pola pemerintahnya itu," kata dia.

Namun, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Muhammad Muis menilai klaim Malaysia atas seni budaya Indonesia tersebut adalah masalah yang sangat serius. Hal tersebut adalah bukti Malaysia sudah tidak lagi menghargai Indonesia.

"Dulu kita kerap disebut sebagai 'saudara tua' oleh mereka (Malaysia, red). Tapi, sepertinya sebutan itu kini sudah tidak berlaku lagi dengan tindakan mereka itu," ujarnya.

Jadi? n TRI PURNA JAYA/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 November 2009

No comments:

Post a Comment