January 27, 2013

[Fokus] Tapis Lampung Kehilangan Panggung

KAIN tradisional Lampung sudah sangat dikenal di mancanegara. Bahkan, ada beberapa orang yang secara khusus mengoleksi kain tapis dan kain tenun lain asal Lampung.

Roslina Daan berkunjung ke Jepang untuk memamerkan kain tapis Lampung, November 2012 lalu. Pameran yang digelar selama satu minggu itu berlangsung atas kerja sama Museum Tekstil Indonesia dan Himpunan Perajin Tapis Lampung. Tokyo dan Kyoto, dua kota besar yang dipilih untuk memamerkan tapis dan kain tradisional Lampung yang lain.


Roslina yang menjadi Ketua Himpunan Perajin sangat terkejut saat menemukan ada orang Jepang yang mengoleksi hingga lebih dari 100 kain tapis. Bahkan, banyak motif kain yang tidak lagi ditemukan di Lampung, sebagai asal kain tenun ini.

Kolektor itu merupakan guru besar di salah satu universitas di Jepang. Namanya Profesor Tosu. Pada usianya yang lebih dari 70 tahun, dia menyimpan dan merawat koleksi tapis itu dengan baik.

Tosu menyaksikan tapis yang dibawa Roslina. Pria itu tertarik membeli tapis yang dibawa Roslina. Namun, Roslina menolak dan tidak mau menjual tapisnya. ?Saya katakan kalau mau tukar koleksi, boleh. Tapi kalau beli, saya menolak. Saya juga tertarik dengan koleksi tapisnya,? kata perempuan 54 tahun itu.

Namun, Tosu menolak jika koleksinya ditukar. Dia mengaku akan membeli koleksi Roslina dengan harga berapa pun.

Koleksi Tapis Lengkap

Orang asing yang mengoleksi di tapis ternyata bukan hanya di Jepang. Di Amerika pun ada kolektor yang menyimpan hingga 100 kain tapis kuno asal Lampung. Koleksi tapis yang berada di Amerika itu kemudian mendorong seorang penulis asal Negeri Paman Sam, Mary Louise Totton, untuk melakukan penelitian dan menulis buku soal tapis.

Mary kemudian melakukan penelitian dengan datang ke Lampung. Dia mewawancarai desainer Lampung, Raswan, untuk menggali soal keanekaragaman tapis di Lampung.

Dari hasil penelitian di Lampung itu, Mary mampu menyelesaikan buku berjudul Wearing Wealth And Styling Identity Tapis From Lampung, South Sumatera, Indonesia.

Dalam buku berbahasa Inggris itu, setidaknya ada 50 jenis kain tapis yang dijelaskan dengan perinci berikut fotonya. Tapis yang ada dalam buku tersebut kebanyakan adalah kain yang dikoleksi oleh kolektor di Amerika. ?Penulis asal Amerika itu diminta oleh kolektor tapis untuk membuat tulisan dan buku soal kain tradisional Lampung,? kata Raswan.

Menurut Raswan, banyak buku-buku asing dalam bahasa Inggris yang memuat ulasan soal tapis. Dunia internasional sudah mengakui bahwa tapis adalah kain tradisional Lampung. ?Bukan hanya mengakui, mereka pun banyak mengoleksi tapis antik dan kuno yang dahulu dibuat pada zaman nenek moyang orang Lampung,? kata dia.

Raswa menceritakan orang asing masuk Lampung dan mencari koleksi-koleksi kain di daerah Lampung Barat tahun 1980-an. Kain-kain yang oleh masyarakat tidak dinilai penting dijual, padahal itu merupakan kain langka peninggalakan nenek moyang orang Lampung. ?Harga jual yang tinggi membuat orang lokal pun tertarik menyerahkan kain tapis kuno yang dimiliki,? kata dia.

Roslina dan Raswan mengakui bahwa koleksi tapis orang asing jauh lebih lengkap dibandingkan koleksi yang ada di Lampung. Banyak motif kain tua yang saat ini tidak ditemukan lagi di Lampung.

Nilai kain tapis kuno yang dimiliki orang asing sudah tinggi dan sulit jika dibeli kembali dan dibawa ke Lampung. Roslina pun pernah menanyakan kepada Prof. Tosu tentang nasib kain tapis koleksinya jika kelak dia meninggal. ?Guru besar itu mengatakan bahwa umurnya masih lama dan belum memikirkan soal akan dikemanakan koleksinya. Keberadaan kain tapis kuno di Jepang justru lebih terawat dan tetap bisa dilihat dan dinikmati. Berbeda kondisinya jika mungkin tetap disimpan di Lampung,? kata dia mengutip Tosu.

Museum Tapis Lampung

Guna melestarikan dan menyimpan berbagai koleksi kain tapis, sudah seharusnya ada musem khusus untuk kain tradisional Lampung. Seperti misalnya Musem Batik yang sudah lebih dahulu ada. Raswan menilai sudah saat Lampung memikirkan soal keberadaan museum tapis.

Di museum itu nantinya banyak menyimpan semua koleksi tapis kuno dengan berbagai motif. Pengunjung bisa melihat perkembangan jenis tapis dari jaman nenek moyang hingga ke era modern.

Selain itu, bisa ditampilkan juga ada cara membuat tapis. ?Museum tapis bisa menjadi objek wisata yang menarik di mana orang lokal dan asing bisa melihat dan langsung belajar membuat tapis,? katanya.

Peran pemerintah dan orang-orang yang peduli pada keberadaan budaya lokal sangat dibutuhkan dalam mewujudkan pembangunan museum tapis. ?Tapis Lampung bisa mencapai 200-an jenis dengan nama yang berbeda. Namun, yang kini masih ada mungkin tinggal 50-an jenis saja. Sebagian besar sudah tidak ditemukan lagi di Lampung, tapi sudah menyebar di berbagai negara,? katanya.

Beli Tapis di Solo

Keterasingan kain tradisional Lampung bukan hanya tapis. Ada lagi satu jenis kain tradisional yang kini tidak buat di Lampung. Justru dibuat di daerah Jawa Tengah, Solo.

Desainer Lampung, Aan Ibrahim, mengatakan kain tradisional tenun kapal sudah tidak dibuat di Lampung. Justru industri di Solo yang masih terus membuat dan memproduksi. Hal ini karena tidak ada lagi perajin di Lampung yang bisa membuat kain kapal. ?Saya pun kalau butuh kain ini harus beli dulu dari Solo,? kata Aan.

Kain kapal adalah jenis kain yang dipakai untuk aksesori di rumah. Sebagai simbol ada bagi pemilik rumah. Biasanya dalam pesta-pesta ada kain kapal di pasang yang menyimbolkan kebahagian.

Lampung kehilangan identitas kain tradisionalnya. Kini koleksi kain kuno yang tidak ternilai lebih lengkap di negara lain dibandingkan di Lampung.(PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013     

1 comment:

  1. Halo admin :)
    Saya tertarik dengan tulisan ini sebagai acuan referensi dalam penugasan proyek saya. Kebetulan saya ingin merancang desain interior Museum Tapis Lampung. Saat ini saya sedang kuliah di Solo. Jika berkenan saya ingin mengetahui di mana letak industri di Solo yang membuat kain tenun kapal tersebut. Untuk informasinya saya ucapkan terima kasih. :)

    ReplyDelete