January 25, 2013

Kemanusiaan Jurnalis dan Derita Warga Moromoro

Oleh Gatot Arifianto

PENYELESAIAN persoalan kemanusiaan tidak perlu pagar administratif, suku, agama, ras dan golongan. Persoalan kemanusiaan lebih memerlukan keikhlasan dan kesediaan berbagi sebagai solusi.

Siapa pun yang mau, maka akan mampu melakukan. Walau itu jurnalis, sebuah profesi yang bagi sejumlah pihak masih dipandang sebelah mata juga 'menakutkan' karena seringkali diidentikkan sebagai pencari kasus.


"Hasil penjualan buku 'Kami Bukan Superman' karya Ridwan Hardiansyah akan didedikasikan pada berbagai usaha masyarakat Moromoro, Kabupaten Mesuji, Lampung, dalam mengembangkan layanan pendidikan dan kesehatan," ujar Managing Director Indepth Publishing, Tri Purna Jaya.

Buku yang ditulis Ridwan, kata Tri melanjutkan, berisi kisah-kisah perjuangan masyarakat di daerah Moromoro yang bisa dicapai sekitar 6-7 jam dari Kota Bandarlampung, dalam mengatasi berbagai kesulitan kesehatan akibat pengabaian hak-hak warganegara selama belasan tahun.

"Kita akan menemukan kisah-kisah humanis dan semangat masyarakat Moromoro," ujar Tri lagi.

Pada 17 Agustus 2007, Made Hermawati, salah seorang warga Moromoro, dikisahkan Ridwan beraktivitas seperti hari-hari biasa sebagai seorang ibu rumah tangga.

Namun sekitar pukul 17.00 WIB, Hermawati merasa badannya lemas, tidak dapat bergerak dan hanya bisa terduduk di salah satu sudut di ruang utama rumahnya.

Selanjutnya, darah segar mulai mengalir dari alat kelamin dan menyusuri kedua kakinya.

Dibantu tetangganya, Made Satre, Hermawati yang mengalami pendarahan, dan suaminya, Made Suwirte, buruh lepas penderes karet di PT Silva Inhutani Lampung berpenghasilan Rp 300 ribu/bulan itu mencari tenaga medis dengan mengendarai sebuah sepeda motor melintasi malam dingin.

Namun mantri yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggal Made Suwirte dan mereka tuju tidak berada di rumah ketika mereka datangi. Begitu pula Puskesmas di wilayah Penawar, juga tutup ketika mereka sambangi.

"Kami Bukan Superman ialah pilihan judul yang simpel dan pilihan sendiri yang terlintas begitu saja. Alasannya, setiap manusia bisa sakit, tidak ada manusia yang super, suatu saat pasti mengalami sakit," kata Ridwan menjelaskan.

Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS) Syahrul Sidin, membenarkan jika pelayanan dasar kesehatan bagi anak-anak di Moromoro belum terpenuhi secara layak.

Selama belasan tahun, kata Syahrul menjelaskan, ratusan anak-anak dan balita di Moromoro tidak pernah mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.

Karena itu, kata Ridwan menambahkan, peran pemerintah berkaitan dengan persoalan kesehatan warga Moromoro jelas sangat dibutuhkan sekali.

"Saya berharap ada 'win-win solution' dari konflik agraria yang terjadi, karena kondisi masyarakat yang tanpa jaminan kesehatan di sana, merupakan salah satu imbas dari konflik," katanya pula.
  
Sekumpulan Rakyat Hebat

Ridwan Hardiansyah lahir di Jakarta pada 12 Desember 1984. Setelah menyelesaikan pendidikan formal selama 12 tahun di Tangerang, ia kemudian hijrah ke Bandarlampung.

Di Kota Tapis Berseri tersebut,  putra pertama papa Haironi dan mama Eti Rohaeti itu melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung sejak September 2003 hingga Desember 2008.

Selepas kuliah, Ridwan masih melanjutkan persinggahan di Bandarlampung dan bekerja sebagai jurnalis di SKH Tribun Lampung sejak Maret 2009 sampai dengan saat ini.

Dalam berorganisasi, Ridwan tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung.

"Buku tersebut bercerita mengenai kondisi kesehatan masyarakat Moromoro di Register 45 Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung," kata Ridwan.

Sejumlah media, demikian Ridwan menambahkan, memang sudah menuliskan mengenai kesehatan warga Moromoro, tetapi hanya kasus per kasus.

"Buku yang saya tulis tersebut berusaha menceritakan secara holistik terkait kondisi kesehatan warga Moromoro karena motivasi menulisnya untuk menceritakan realisasi sebenarnya terkait kondisi kesehatan warga Moromoro," ujar pengagum wartawan dan aktivis kebangkitan nasional asal Hindia-Belanda, Marco Kartodikromo itu pula.

Indepth Publishing yang merupakan unit usaha AJI Bandarlampung mencetak "Kami Bukan Superman" sebanyak 500 eksemplar dan dijual Rp50.000/buku.

Perihal hasil penjualan buku akan disumbangkan untuk mengembangkan layanan pendidikan dan kesehatan di daerah tersebut, Ridwan membenarkan dan menyatakan hal itu untuk membantu masyarakat.

"Setidaknya bisa membantu masyarakat yang sedang berusaha mandiri menyiapkan fasilitas kesehatan. Itu ikhlas, belum ada niat menjadi calon legislatif," ujar Ridwan sembari bercanda.

Tetapi, kata Ridwan menegaskan, apa yang dilakukannya tidak tepat jika diistilahkan sebagai berkorban.

"Pertama, saya sudah tinggal di Lampung hampir 10 tahun. Kedua, keberadaan masyarakat seharusnya tidak terbatasi garis administratif letak daerah, jadi tempat kelahiran saya sebenarnya tidak berhubungan dengan apapun, termasuk kenapa saya mau berbagi untuk mereka melalui penjualan buku itu," ucapnya.

Kandidat doktor Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia Harya Ramdhoni yang juga penulis novel "Perempuan Penunggang Harimau" menyatakan, buku karya Ridwan itu mempertemukan dirinya dengan sekumpulan rakyat yang hebat dan individu-individu yang tabah lagi setia dalam mempertahankan hak-hak mereka sebagai warganegara.

"Orang-orang yang ditepikan oleh negara dan aparaturnya justru tak henti berjuang hanya demi sepiring nasi," kata dia lagi.

Uraian dalam buku yang ditulis Ridwan tersebut, ujar dia pula, menerbitkan rasa bangga sekaligus rasa pedih, betapa kelas pekerja dan kaum tani Indonesia masih sanggup bertahan hidup dengan kepala tegak walau terseok-seok menghadapi keangkuhan penguasa.

Pembuat film dokumenter dan penulis Buku Jurnalisme Investigasi Dandhy D Laksono dalam komentar peneguhnya mengatakan buku Ridwan itu tidak hendak mendedah lanskap politik agraria.

"Buku itu mengajak kita semua berpikir, betapa pengingkaran hak atas tanah yang dibalut legalitas hukum, telah menimbulkan implikasi-implikasi kemanusiaan yang memilukan. Pelayanan hak dasar manusia yang seharusnya dipenuhi negara, dijadikan senjata pemusnah untuk mengusir manusia dari tanah sengketa," kata Dandhy pula.

Dan Ridwan, penggemar Guns n Roses, Pas Band, juga Rif dengan kemanusiaannya itu membuktikan jurnalis bukan pengemis, bukan pula fakir miskin yang harus diberi amplop.

Penyuka kata inspirasi "untuk mencapai tangga teratas dimulai dengan anak tangga pertama" itu, seakan ingin berseru dengan mikrofon: kenyataan tidak bisa dibungkam dengan nominal!

Pengabaian hak-hak konstitusional di negeri yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara mustahil rampung dengan menutup mata. Kemanusiaan kiranya lebih dibutuhkan untuk mengurai derita warga negaranya yang diabaikan hak-hak konstitusionalnya.

Sumber: Antara, Jumat, 25 Januari 2013

No comments:

Post a Comment