January 27, 2013

[Fokus] Memelihara Tradisi lewat Perajin

LAMPUNG memiliki kekayaan kain yang luar biasa. Namun, perlahan-lahan kekayaan itu makin tergerus oleh waktu, para perajin kain mulai berkurang.


Para orang tua yang memiliki kemampuan menenun dan menapis banyak yang sudah meninggal, tapi generasi berikutnya sedikit yang mau belajar.

Perancang busana asal Lampung, Raswan, memperkirakan tinggal sedikit orang Lampung yang bisa membuat kain tenun dengan alat tradisional gendong. Mungkin, kondisinya sudah pada tua dan tidak lagi mampu menyusun benang dengan alat kuno itu untuk menghasilkan kain tenun.


Dia mengaku memiliki kenalan seorang yang masih bisa memakai alat tenun gendong. ?Banyak orang pemerintahan, termasuk media, yang bertanya di mana keberadaan orang tua yang masih bisa mengoperasionalkan gendong. Tapi, tidak pernah saya kasih tahu. Buat apa kalau hanya untuk dipublikasikan tanpa ada perubahan yang bisa dilakukan. Yang saya inginkan adalah ada perbaikan untuk kesejahteran para penenun gendong dan kemudian banyak yang mau belajar kepadanya,? ujar Raswan.

Saat ini Raswan pun memiliki puluhan perajin yang mahir menenun dan membuat tapis, tapi dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Para perajin ini diberi keterampilan untuk terus memproduksi kain tradisional Lampung. Kain tenun yang dihasilkan dengan ATBM jauh lebih murah dibandingkan alat tradisional gendong.

Ketua Himpunan Perajin Tapis Lampung Roslina Daan juga memiliki sebanyak 100 perajin. Mereka menyebar di Bandar Lampung dan Pringsewu. Para perajin ini membuat semua pesanan yang diminta Roslina.

?Walaupun terkadang hasilnya tidak tepat waktu dan motifnya berbeda sedikit dengan pesanan, tetap saya bayar. Biasanya saya bayar dahulu sebelum pesanan selesai. Intinya supaya mereka tetap menenun dan membuat kain. Jangan sampai kemampuan mereka tidak dimanfaatkan dengan baik,? kata dia.

Menurut Roslina, para perajin memang sudah punya kemampuan dalam menenun dan membuat tapis. ?Saya hanya memberikan arahan untuk membuat motif tertentu saja,? kata perempuan yang bekerja sebagai PNS di DKI Jakarta ini.

Menurutnya, jumlah perajin yang menenun dan menapis masih cukup banyak. Namun, kualitas kain yang dihasilkan berbeda dengan apa yang dahulu pernah dibuat para orang-orang tua sebelumnya. Nenek moyang orang Lampung dahulu sangat piawai membuat tenun dan tapis. Hasilnya sangat halus dan bahkan bagian belakang kain sangat rapi, tidak terlihat benang-benangnya.

Penenun dan pembuat tapis bukan hanya orang Lampung saja. Beberapa wanita dari suku lain pun punya kemampuan dalam membuat tapis. Mereka, suku lain, yang sudah tinggal lama merasa memiliki rasa dan kepedulian terhadap kelestarian tapis.

Tapis memiliki karisma dan membuat pemakainya terlihat lebih cantik. Menurut Roslina, kain tapis dibuat penuh perasaan dan dengan hati. Ketika para wanita membuat tapis, mereka sambil bercanda, kadang bernyanyi, atau kadang bisa bersedih hati. ?Tapis dibuat dalam waktu lama sehingga banyak perasaan bercampur pada saat si pembuat menyusun benangnya,? kata perempuan 54 tahun ini.

Desainer Lampung, Aan Ibrahim, juga memiliki kelompok perajin sendiri. Setidaknya ada 150-an perajin yang dia bina. Kebanyakan mereka adalah anak putus sekolah dan ibu rumah tangga yang memang memerlukan tambahan uang penghasilan. Beberapa perajinnya ada di Lampung Barat dan Tulangbawang.

Aan bersama Dinas Sosial mengajarkan keterampilan menenun dan menyulam, khusunya sulam usus kepada orang yang mau belajar, kebanyakan wanita. Mereka yang mau belajar diambil dari berbagai kabupaten. Setelah mahir dan bisa, dikembalikan ke daerah masing-masing untuk membuka usaha sendiri.

Namun, tidak semua perajin di Lampung memiliki kemampuan dalam membuat kain tenun tradisional yang lain. Misalnya, kain kapal, kain maduaro. Para perajin dua jenis kain ini sudah langka dan tidak ditemukan lagi. Bahkan, kain kapal tidak lagi diproduksi di Lampung, tapi oleh para perajin solo.

Aan menilai pemerintah daerah harus prihatin dengan kondisi para perajin. Kain kapal yang merupakan khas Lampung, tapi tidak dibuat lagi di Bumi Rua Jurai. ?Harusnya para perajin diberi keahlian untuk membuat jenis-jenis kain tradisional yang sudah hampir punah supaya keberadaan kain tetap bisa dilestarikan,? katanya. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013     

No comments:

Post a Comment