January 20, 2013

Membaca 'Masa Lalu' dari Cerita Tak Pernah Basi*

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.

SEJATINYA cerpen-cerpen Maspril Aries ini ditulisnya semasa ia masih mahasiswa dan setelah lulus dari Universitas Lampung. Karena itu, saya seperti membaca “masa lalu” sang cerpenis, namun cerita-ceritanya dalam kitab ini tidak (akan) pernah basi.

Saya bersyukur menjadi “orang pertama” membaca kembali cerpen-cerpen Maspril Aries yang kini menetap di Palembang. Walaupun dulu saat masih di Universitas Lampung dan menjadi jurnalis di Lampung Post banyak cerpennya telah saya baca, baik yang dimuat koran kampus TEKNOKRA, Minggu Merdeka, maupun Singgalang (Padang), serta Lampung Post.


Tatkala disodorkan 22 cerpennya yang akan dibukukan untuk diberi semacam catatan, saya menyambut dengan riang. Pasalnya, “si anak hilang” telah kembali ke “rumah kata-kata” bernama fiksi. Setidaknya, dengan diluncurkan kumpulan cerpen ini, Maspril kembali terpanggil untuk mengasah pena--menajamkan imajinasi--melahirkan cerita-cerita terbarunya.

Ke 22 cerita pendek (cerpen) Maspril Aries ini ditulis dari tahun 1985 hingga 2012. Untuk tahun 2012 saya dapati dua cerpen yakni “Cinta Merdeka” dimuat Sumatera Ekspres, 11 November 2012, dan “Bunga di Bilik Jantungku” (Berita Pagi, 26 Februari 2012)—dua media lokal Sumatera Selatan.

Sejak kepindahan cerpenis ini ke Palembang, saya kurang mengikuti langkahnya sebagai penulis cerpen. Itu sebabnya saya seakan tak percaya juga tatkala menemukan dua cerpennya bertitimangsa 2012 itu.

Rupanya Maspril yang juga fasih sebagai pengamat film dan pernah menduduki jabatan di Komite Film Dewan Kesenian Lampung ini, tak sepenuhnya meninggalkan dunia prosa yang sememangnya pijakan pertama yang membesarkannya.

**

DUNIA prosa, dunia kata-kata, memang tak bisa ditinggalkan sepenuhnya oleh mereka yang pernah terlibat di dalamnya. Dunia kata-kata, ibarat candu akan terus mengendus ke mana pun kita pergi.

Banyak contoh para sastrawan yang sempat lari dari dunia kata-kata, pada akhirnya kembali ke habitatnya—tentu saja dengan segala “revitalisasi”-nya seperti dikatakan Maspril kepada saya.[1] Misalnya Handri TM, Veven SP Wardhana, Adek Alwi, Aspar Paturusi, Kurniawan Joenaedhy, dan banyak lagi yang sempat “menghilang” lalu kembali datang.

Umumnya tidak beda kehadiran mereka setelah “bertapa” karena karya sastra adalah buah dari inspirasi, renungan, dan pergulatan sangat panjang dan sublim. Karena itu, saya tetap meyakini cerpen-cerpen Maspril Aries yang hadir kemudian (2012) setelah karya “terakhir” di tahun 1991 tetap menjadi khas dari cerpenis ini.

Bukan gampang menikmati karya sastra, sebab dalam membaca dibutuhkan ketenangan, respons, inspirasi, dan kenyamanan waktu yang disediakan. Apalagi harus “menelan” 22 cerita pendek dalam rentang titimangsa 1986-2012.

Tetapi saya dapat mengambil garis merah dari cerpen-cerpen Maspril Aries di dalam kitab ini. Cerita-cerita “masa lalu” dari sebuah dunia yang tak jauh dari pengarangnya, yakni kampus: perjuangan, idealisme, semangat kebersamaan, kesetiaan, dan seterusnya.

Apakah hanya itu dunia dalam prosa? Tentu saja banyak tema yang bisa didekati dan dijadikan sebuah cerita. Kompleksitas kehidupan ini, setidaknya, juga terekam dalam 22 cerpen Maspril Aries ini.

Saya pun membaca cerpen “Bayang Masa lalu” yang dimuat harian Singgalang (Padang, 13 April 1986). Cerpen ini bercerita dengan latar belakang seorang mahasiswa perantauan. Karena harus melanjutkan kuliah di kota lain yakni Bandarlampung, sehingga banyak “masa lalu” yang tentu saja ribuan kenangan pastilah ditinggalkan.

Termasuk sang kekasih. Inilah kisah percintaan anak muda, namun di tangan Maspril tak sekadar berbau remaja ala-pengarang di majalah-majalah remaja umumnya. Cerpen ini kuat dari segi cerita, unsur renungan pun termaktub di dalamnya.

Aldin, sang tokoh dalam cerita ini, mendapati telegram dari kampung. Ternyata mengabarkan bahwa Ima, kekasihnya, telah meninggal dunia. Berita ini benar-benar mengejutkan: hati siapa yang tak duka mendapati kabar bahwa kekasihnya sudah tiada?

Lalu, seperti kebanyakan cerita-cerita (dan film) yang ada, falshback pun tak mampu dihindarkan pengarang cerita ini. Dia harus kembali ke masa lalu (hanya) untuk menjelaskan siapa yang meninggal dunia dan apa hubungan dengan tokoh utama dalam cerita ini.

Ima Purnamawati, nama gadis kekasih Aldin. Diceritakan bagaimana kali pertama pertemanan terjadi yang diawali dengan keributan kecil soal pinjam-meminjam alat tulis di kelas. Dari sana berlanjut menjalin percintaan ala-anak SMA.

Selepas SMA keduanya berpisah. Aldin melanjutkan kuliah ke kota lain yaitu di FISIP Universitas Lampung, sementara Ima diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di kota Padang. Jarak yang benar-benar jauh, dan terlalu sulit menjadwalkan pertemuan kecuali di musim libur smester ataupun surat-menyurat yang dikirim melalui jasa PT Pos Indonesia.

Kalau saja, cerita ini ditulis di tahun 2012, mungkin akan aneh jadinya. Pasalnya dunia teknologi sudah begitu merata hingga ke pelosok desa. Globalisasi telah mengantar apa yang terjadi di belahan dunia Eropa dapat diterima pada waktu yang sama di bilik privasi sekalipun.

Lalu, apakah cerita ini menjadi basi dihadirkan pada saat teknologi telepon genggam bagaikan menu utama bagi manusia abad kini? Tentu saja tak ada prosa yang lalu basi, karena dibaca setelah beberapa tahun kemudian.

Ada nilai-nilai yang selalu relevan dan aktual di dalam karya sastra, yakni pesan dan renungan yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Pesan-pesan atau perenungan itu selalu aktual, dan tak pernah basi sebab ia senantiasa relevan dalam kurun waktu mana pun.

Hanya saja, kita tidak diberi tahu oleh pengarang ihwal penyakit yang diderita Ima sehingga menyebabkan ia meninggal dunia. Ketidakadanya informasi ini membuat cerpen ini kurang detil, atau setidaknya, pengarang masih perlu data lebih banyak lagi untuk membangun alur agar kisah memiliki gugah.

Cerpen lain yang berbicara dunia kampus, adalah “Bunga di Antara Kesetiaan” (SKM Teknokra, 1 -15 Pebruari 1989—media kampus Universitas Lampung).

Dunia kafetaria, taman kampus, dan sebagainya direkam dalam cerpen yang ditulis bersama rekannya: Hersubeno Arief ini. Satu cerpen lagi juga ditulis bersama rekan sekampusnya ini.

Cerpen “Bunga di Antara Kesetiaan” ini mengisahkan tokoh aku (menggunakan kata “saya”) tiba-tiba berganti hobi: dari petualang cinta lalu menjadi penyuka bunga. Tentu saja perubahan itu mendapat cibiran dari rekan-rekannya. Namun, tokoh saya sudah bertekad, tak hirau apa yang dikatakan orang. Tidak peduli apapun orang akan mencaci.

Demikian kata si tokoh saya:

Pada hari ini saya merasa jadi manusia baru. Saya sama sekali tidak berniat membuat petualangan baru. Saya hanya menanti dengan kepastian, seperti pengail, bahwa umpan yang tanpa sengaja saya lemparkan akan menangkap seekor ikan. Sebagai manusia baru, bagi teman-teman kehadiran saya dan sikap-sikapnya dirasakan asing.

“Sedang apa kamu?” tanya mereka.
“Sedang menanti,” jawab Saya.
“Menanti apa?”
“Menanti kesetian.”

Semangat pertemanan semasa SMA menjadi ciri bagi penulis cerpen di tahun 1985-an. Tak terkecuali bagi Marpril Aries ini. Dari 22 cerpen dalam bukunya ini, didominasi oleh tema pertemanan, perjuangan, cita-cita, ataupun harapan.

Misalnya sebuah pertemenan (persahabatan) yang sempat terputus, karena masing-masing melanjutkan kuliah di lain kota. Kendatipun saling kabar dan cerita tetap berlangsung liwat surat pos.

Bisa dibayangkan pada saat telepon genggam belum ada dan telepon rumah masih menjadi barang mahal, surat menyurat dengan jasa PT Pos sangat dramatik.

Itulah yang dikisahkan Maspril dalam cerpen “Dalam Kedamaian Hati” (SKM Teknokra, 1-15 Mei 1988), yaitu persahabatan antara Gerry (tokoh aku) dan teman wanitanya bernama Henni.

Hubungan keduanya tak lebih hanya pertemanan, meski diam-diam Gerry kerap memuji Henni yang manja, manis, cantik, dan lucu. Lepas SMA, Gerry melanjutkan kuliah di FISIP Unila sementara Henni meneruskan bakatnya menjadi mahasiswi interior di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Sebelum berpisah Gerry berjanji akan mendahului mengirim surat, nyatanya Henni lebih dulu. Surat tiga halaman kertas warna-warni yang diterima Gerry, bagai ia membaca sebuah cerita pendek.

Dalam surat itu, Henni menceritakan bagaimana pertama kali hak sepatunya menginjak tanah Betawi, lalu antre saat mendaftar sebagai mahasiwi baru, dan banyak hal lainnya.

Henni lebih sering melayangkan surat, Gerry hanya menyimpan surat-surat itu tanpa sekalipun dibalas. Dia ingin melupakan teman wanitanya itu, tapi diam-diam pula ia tak bisa menghapus kemanjaan dan kelucuan Henni.

Sampailah pada surat yang baru diterima Gerry, temannya mengabarkan akan datang dan mengajaknya bertemu:

Gerry tanggal 10 nanti aku sudah mulai libur dan aku tahu tanggal itu kamu masih kuliah. Aku mohon pada tanggal 10 itu kamu tunggu aku di kampus. Aku akan pulang naik bus dan aku turun di terminal Rajabasa, dari situ aku akan terus ke kampus Unila jumpa kamu. Ingat Gerry, kamu harus menunggu aku. Tidak ada alas an untuk menolak lagi.
                Aku yang kangen, aku yang rindu.
                Henni.

Tak ada satu pun kalimat cinta dalam cerpen ini, selain di penutup Maspeil Aries menulis begini:

Aku akan menunggu mu tanggal 10 nanti. Aku tak mampu mendustai hati ku sendiri. Aku sudah rindu pada kemanjaanmu dan sikap mu yang lucu, aku rindu senyum manis mu, akan ku ucapkan selamat datang dan akan aku katakan sesuatu yang sudah lama tersimpan dalam hati ku. Aku harus mengatakannya agar gejolak kecamuk di batin ku terdiam, agar debar-debar jantung ku selama ini yang selalu menghantui ku terungkap maknanya. Supaya kedamaian hati yang dulu milik ku kembali menjadi milik ku.
(…..)
Aku ingin kehadiranmu dapat menentramkan sejuta kecamuk dalam diri. Aku ingin kedamaian hati kembali menjadi milik kita. Bukan hanya sekedar kisah masa lalu yang malu-malu dan bukan pula kedamaian hati yang semu, hanya dalam mimpi. Aku akan menunggumu di kampus Unila.



MASPRIL Aries juga tak abai menulis ihwal kepahlawanan dan nilai kemerdekaan seperti dalam cerpennya berjudul “Cinta Merdeka” (Sumatera Ekspres, 11 November 2012) dan “Fragmen Perjuangan” – kedua cerpen ini berlatar saat perang antara Indonesia dan penjajah Belanda.

Selebihnya, cerpen-cerpen dalam kitab cerpen ini berdasar dunia kampus—mahasiswa—dengan berbagai dinamikanya: idealisme, cinta, cita-cita, semangat berjuang, dan tak melupakan pemanisnya seperti ke kafe dan lain-lain.

Maspril menulis dengan cara bertutur, dialog antar-tokoh, bahkan ada pula yang bernarasi (narator), atau pada cerpen lainnya terkesan bercakap sendiri (monolog).

Dunia yang bagi cerpenisnya (dan kita?) sekarang, merupakan “dunia masa lalu” yang indah dan sulit dilupakan, ujar dalam satu lirik lagu. Dan siapa pun, rasanya ingin kembali menikmati masa-masa itu. Meski jarak usia tak akan mungkin berpulang.

**

DI tengah-tengah era BlackBerry seperti sekarang ini,[2] sesuatu yang realis seperti menjadi asing. Tengoklah cerpen-cerpen yang seliweran di media maenstream semacam Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, maupun Suara Merdeka, hampir rata-rata telah mendobrak kemapanan bercerita yang sudah ada.

Bagaimana Avianti Armand dalam cerpennya “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” (Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, 2009) menggabungkan antara narasi pengarang dengan tokoh dalam cerita, tanpa terasa oleh pembaca.

Cerpen “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” merupakan unggulan dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompa tahun 2009, karena cerpen ini dianggap “mendobrak” kemapanan cerpen-cerpen yang ada.

Hal sama dengan cerpen lain dari cerpenis lain yang dimuat dalam kumpulan yang sama.[3]

Lead pembuka saja telah menggugah pembaca:

Langit jadi merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Pucuk-pucuk sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan…. dan seterusnya.
(“Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian”)

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan—kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakkan capung, menjinjing cawan mungil keemasan… dan seterusnya.
(“Pemetik Air Mata”)

Sementara cerpen-cerpen Maspril Aries dalam kumpulannya ini cenderung realis. Alur cerita berjalan secara linear. Sesekali ia lakukan plashback sebagaimana umumnya cerpen-cerpen di Tanah Air.

Sampai pada cerpen “Bunga di Bilik Jantungku” (tebrit di Berita Pagi, 26 Februari 2012) yang berkisah tentang pertemuan ulang (de javu) di saat keduanya telah dewasa.

Cerpen ini, lagi-lagi mengandalkan flashback, ketika keduanya masih kecil. Tatkala keduanya menjadi teman bermain. Tetapi, diam-diam tokoh aku bernama Doddy merasa ingin mencintai Nadia, nama gadis cilik itu.

Perasaan itu gayung bersambut. Nadia juga selalu menunggu Doddy yang kuliah di luar kota. Ibarat bunga, Nadia menanti ada tangan yang memetik bunga itu lalu disimpan di jantung sang pemetik.

Suatu kesempatan, Doddy diminta pulang oleh orang tuanya. Mamanya sudah sangat rindu karena lama tak berpisah, dan menginginkan Doddy melanjutkan kuliah di kota kelahirannya saja.

Ternyata harapan sang mama disambut riang. Doddy juga sudah lama meninggalkan mama dan kampung kelahiran, dan segala kenangan semasa kecil. Dia ingin sekali bertemu Nadia, yang diyakini telah tumbuh sebagai gadis cantik.

Benar. Nadia memang makin cantik. Tidak itu saja, cinta yang lama dipendamnya bagai bunga yang tak pernah layu tumbuh di jantungnya. Bahkan mengharap ada yang memetik, yakni pemilik bunga itu.

Demikian dialog kedua pasang kekasih ini:

“Sekarang kamu dengar, apakah Aku terlambat? Apa bila dua belas musim bunga itu mekar dan bertahan dengan sendiri tanpa Aku sirami Aku pupuk? Apakah juga Aku bersalah disaat sedang mekar aku memetiknya? Kalau bersalah saat ini juga Aku akan menebusnya.”

….

“Terima kasih Dod, pertanyaan dan jawaban seperti itu yang lama aku tunggu. Bunga itu terlalu setia menunggu di setiap musim berganti. Pemetiknya tentu tidak bersalah karena di hatinya sudah berjanji akan memetiknya nanti.”

Dada ku lapang, bilik jantung ku terang, hati ku riang. Ku raih ujung jemari Nadia, tangannya terasa bergetar.

“Masih boleh ku kecup pipi mu seperti dulu lagi?” tanya ku bodoh.
Tak ada jawaban, Nadia tertunduk diam.

“Dod,” panggilnya kemudian, “Sekarang kuncilah bunga mu di dalam bilik jantung mu dengan erat, sirami ia setiap sore, agar segar selalu, tak layu.”

Kepala Nadia bergayut di pundak ku. Ku biarkan jantung di dada ku bernyanyi riang menjaga bunga yang dititip di biliknya.   

**

KE 22 cerita pendek karya Maspril Aries ini masih gurih dinikmati, meski—kecuali 2 cerpen yang ditulisnya tahun 2012—sudah lama berselang baik latar, waktu, dan ihwal penceritaannya.

Di sinilah “kebenaran” ujaran, hidup ini singkat sementara kesenian itu panjang. Sastra tak terhapus oleh tahun berbilang. Ia dihidupkan oleh pembacaan yang terus menerus.

Sehimpun cerpen Maspril Aries dalam kitab cerpen ini, sepantasnya mendapat apresiasi. Dengan terbitnya buku kumpulan cerpen dari Maspril Aries ini, bertambah satu sumbangsih bagi perpustakaan sastra di Indonesia.

Pengarang bisa saja mati, namun karya-karyanya akan abadi. Bagi Maspril, kepengarangan tak (ada) mati. Terbukti hingga 2012, ia masih menelurkan dua cerpen.

Boleh jadi, setelah ini akan mengalir cerpen-cerpen lainnya dari dia. Inilah sbeuah katarsis untuk menuju revitalisasi bersastra.

Dan yakinlah, dari 22 cerpen yang terhimpun dalam kitab cerpen Maspril Aries ini ada yang bisa mengekal di hati, menjadi inspiring untuk membangun dunia daya-guna. *

Lampung, 1-2 Januari 2013


----------
[1] Kata revitalisasi ini saya pinjam dari ucapan Maspril Aries saat ia berniat menerbitkan kumpulan cerpen, dan saya goda “kembali ke habitat ya” lalu dia jawab: tepatnya revitalisasi.

[2] Istilah ini saya kutip dari pengantar cerpen-cerpen Kompas pilihan tahun 2009 Budiarto Danujaya—kritikus sastra, dengan pemenangnya (cerpen unggulan) yakni “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” karya Avianti Armand terbitan Kompas. Tradisi ini terus berlangsung tiap tahun dengan mengundang para cerpenis yang terpilih dalam buku tiap tahunnya.

[3] Cerpen “Pemetik Air Mata” karya Agus Noor, dalam kumpulan yang sama.

* Versi ringkas dimuat di Lampung Post, Minggu, 20 Januari 2013

No comments:

Post a Comment