April 21, 2013

[Fokus] Berharap pada Kurir Buah

JALAN aspal di daerah Batuputu, Bandar Lampung, lengang, Rabu pekan lalu. Pada hari kerja, jalur di daerah perbukitan ini memang tidak seramai di pusat kota. Saat orang pulang kerja sore hari, lima pengendara sepeda motor justru baru memulai harinya. Mereka adalah pengantar dan pemburu buah lokal.

Pada bagian belakang sepeda motor, ada dua keranjang yang berisi penuh buah, pepaya dan pisang. Semua buah yang dibawa masih mentah. Sepeda motor yang dikendarai terlihat kotor, menjadi bukti kerja keras mereka mengantar dan berbubur buah.


Seorang di antara lima pengendara itu adalah Eko Iswantoro. Pria 35 tahun itu membeli hasil panen buah di kebun di sekitar Batuputu untuk kemudian dibawa dan dijual kepada pedagang di Jalan Wolter Monginsidi. Sore itu, dia membawa belasan tandan pisang dan puluhan pepaya.

Relasi antara Eko dan pedagang buah sudah berlangsung satu tahun. Hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Eko mencari dan berburu buah untuk kemudian dipasok ke pedagang-pedagang trotoar kota itu.

Eko tidak hanya mencari buah di daerah Batuputu dan Kemiling. Dia pun berburu hingga ke daerah Hanura, Pesawaran, jika tidak mendapatkan buah di Bandar Lampung. Buah yang dijual ke pedagang bisa mencapai Rp400 ribu.

Para pengantar buah mentah ini membeli dari pemilik kebun. Bahkan mereka sendirilah yang memanennya langsung di pohon. Ada perbedaan harga buah mentah jika dipanen sendiri atau jika diambilkan oleh pemilik kebun. ?Jika saya yang ambil sendiri di kebun lebih murah Rp500,? kata Eko.

Biasanya pemburu buah ini sudah punya langganan tetap dengan pemilik kebun. Bahkan, ada yang sudah kontrak dengan pemilik kebun dalam jangka waktu tertentu. Misalnya dalam satu tahun kontrak dengan pemilik kebun sehingga penadah bisa leluasa memanen. Pemilik kebun pun tidak boleh menjualnya ke orang lain.

Sigit, pemilik kebun pepaya di Batuputu, mengaku mengantarkan sendiri buah ke pedagang. Awalnya, dia hanya menunggu penadah buah yang datang ke kebunnya untuk memborong pepaya yang siap panen. Namun, sudah setahun terakhir dia memilih untuk menjualnya langsung ke pedagang.

Pria 32 tahun itu merawat sendiri kebunnya supaya hasil panen pepaya bangkok pun melimpah. Sekali panen bisa mencapai ratusan pepaya yang siap dijual. Dengan mengendarai sepeda motor, dia turun dari daerah perbukitan untuk menjual buah ke pedagang.

Eko bisa mendapatkan keuntungan bersih antara Rp70 ribu dan Rp100 ribu dalam sekali mengantarkan buah ke pedagang. Jika tidak habis di pedagang lain, dia bisa menjual ke orang lain yang siap menampung. Sekali Eko ?turun gunung?, buah yang dibawanya ludes diborong pedagang.

Dari hasil mengantar buah ini, dia bisa membeli satu sepeda motor yang kini menjadi tunggangannya. Sebelumnya, Eko bekerja di bengkel dan pernah menjadi teknisi listrik. Namun, kedua pekerjaan sebelumnya tidak ada hasil yang bisa didapatkan.

Justru dengan berburu dan mengantar buah lokal inilah, dia mendapatkan penghasilan lebih dengan waktu kerja yang relatif lebih singkat.

?Kerja pasang listrik hanya menang gengsi saja, tapi penghasilan sedikit. Lebih enak jual buah seperti ini, hasilnya lebih terasa,? katanya meyakinkan.

Kini Eko dan beberapa pemburu buah lokal lain menggantungkan hidupnya dari mengantarkan pisang dan pepaya mentah ke pedagang. Beberapa pedagang buah pun tinggal menghubungi Eko jika butuh pasokan buah.

Mugi Fitrianto, penjual buah di Jalan Juanda, juga menjadi pengantar untuk pembeli yang memesan secara online. Dia menjual alpukat lewat jejaring media sosial internet. Pelanggannya pun banyak yang memesan, mulai dari rumah tangga hingga penjual jus.

Lewat media online, Mugi berhasil menjual ratusan buah dalam sehari. ?Kalau alpukat harus sudah ada langganan tetap. Mereka semua pesan di online, dan langsung diantar. Kalau enggak punya langganan bisa rugi karena buah enggak habis,? kata dia. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

No comments:

Post a Comment