April 14, 2013

[Buku] Pemilukada dalam Pusaran Konflik

Data buku
Pemilukada: Demokrasi dan Otonomi Daerah
Wendy Melfa
BE Press, Lampung, 2013
xvi + 253 hlm.
PEMILUKADA pada praktiknya memiliki dua dasar undang-undang (UU) yang berbeda, yaitu UU Pemerintahan Daerah dan UU Penyelenggaraan Pemilu. Penerapan kedua UU ini kerap menimbulkan konflik, seperti pada 2011 lalu untuk kasus konflik pemilukada di Provinsi Lampung yaitu di Kabupaten Mesuji.

Konflik tersebut disebabkan ketidaksinkronan kedua UU tersebut. UU Pemerintahan Daerah menyatakan penetapan pencalonan menjadi kewenangan partai politik. Sementara UU Penyelenggaraan Pemilu mengatakan penetapan pencalonan merupakan kewenangan penyelenggara pemilu.


Jika kita kupas lebih jauh, terdapat lima sumber potensial yang dapat memicu konflik dalam pemilukada. Pertama, mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, black campaign antarpasangan calon. Ketiga, premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pemilukada. Kelima, perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pemilukada.

Gagasan Wendy Melfa bahwa peraturan perundang-undangan memang menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai acuan dan regulasi penyelenggara pemilu (KPU) dalam melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan pemilukada.

Hal tersebut disadari karena sebagai salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat, pemilukada menuntut penyelenggaraan yang independen, kredibel, akuntabel, dan profesional bisa menjadi mustahil jika secara substansial masih terdapat tumpang-tindih penafsiran terhadap UU sebagai dasar pelaksanaannya.

Dimulai dengan merunut tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung, sebagai wujud demokrasi untuk memperbaiki kualitas kedaulatan rakyat di daerah, yang semakin marak berkembang pascareformasi di Indonesia tahun 1998 dan selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: ?Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar?. Namun, selain landasan konstitusional tersebut, terdapat undang-undang organik yang dijadikan sebagai landasan praktis dan operasional pelaksanaan pengisian jabatan kepala daerah.

Alhasil, pemilukada merupakan wewenang daerah berdasarkan desentralisasi sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah dan (tetap) harus mengacu pada ketentuan undang-undang sebagai landasan yang berlaku secara nasional. Sebab, undang-undang sebagai hukum positif mencerminkan prinsip demokratis dan merupakan wujud dari kedaulatan rakyat.

Hanya saja, wujud pemilukada secara substansial masih terdapat beberapa hal yang sepatutnya untuk diperbaiki berkaitan dengan adanya pengaturan yang tidak konsisten (inkonsistensi) antara konstitusi dan undang-undang organiknya, juga dalam kerangka mendorong terbangunnya pemerintahan daerah yang lebih efisien dan efektif.

Konsep pengaturan hukum yang ideal tentang pemilukada dalam perspektif otonomi daerah berdasarkan proses desentralisasi yang berorientasi pada prinsip kedaulatan rakyat ke depan sedikitnya meliputi beberapa aspek. Pertama, lingkup pengaturan model pemilukada selaras dan tidak melampaui norma yang tertuang dalam UUD NKRI 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Hal ini berkaitan dengan frasa ?dipilih secara demokratis? dan hadirnya posisi wakil kepala daerah.

Kedua, adanya keterpaduan penyelenggaraan pemilukada sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum untuk pengisian jabatan eksekutif. Keterpaduan penyelenggaraan ini senantiasa bertumpu pada asas negara hukum, asas demokrasi, dan asas daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas).

Ketiga, adanya keterbukaan untuk membuka peluang daerah sebagai daerah otonom dengan hak inisiatif daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya dengan mempertimbangkan kebutuhan, karakteristik, dan kemampuan daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah.

Meskipun substansi prinsip otonomi daerah dan kedaulatan rakyat terlihat lebih maju dibandingkan dengan pengaturan undang-undang tentang pemerintahan daerah pada era sebelumnya, dalam beberapa hal pengaturan yang kaitannya dengan pengisian jabatan kepala daerah perlu mendapatkan perbaikan kearah pengaturan hukum yang lebih ideal.

Telaah dan pemikiran dalam buku ini menjadi penting manakala wujud pemilukada (telah) tidak konsisten antara konstitusi dan undang-undang organiknya, sehingga ide dan gagasan yang tertuang dalam buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum tatanegara dan otonomi daerah dalam kaitannya dengan pemilukada di Indonesia.

Galih Priadi S.S., Peneliti pada Cakra Institute

Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 April 2013

No comments:

Post a Comment