April 7, 2013

[Fokus] Kita Butuh Ruang Informal

RUANG terbuka (public space) dibutuhkan warga kota bukan saja untuk melakukan aktivitas fisik, seperti olahraga. Tapi ruang yang dapat dipakai untuk berinteraksi dengan sesama teman atau kerabat. “Bila di kantor, ruang yang dipakai sangat formal, sehingga butuh ruang informal yang lebih bebas untuk sekedar ngobrol dan kumpul bersama,” kata Hartoyo, sosiolog Universitas Lampung.

Dia menilai, ruang terbuka yang dipakai untuk ruang publik bisa dibuat lebih hijau dengan tambahan satwa. Tempat seperti itu akan menjadi hiburan tersendiri yang mudah diakses. Misalnya di dalam bangunan atau gedung, dibuat ada ruang hijau, yang bisa dijadikan tempat istirahat.
“Dalam pembangunan gedung, harus memperhatikan aspek sosial dengan membuat ruang informal. Ini bisa menjadi hiburan dan tempat istirahat sejenak,” katanya.


Ketiadaan ruang publik membuat warga tidak memiliki tempat untuk meredakan ketegangan dan dampak psikis setelah seminggu penuh bekerja. Ruang terbuka bisa menjadi tempat melampiaskan untuk mengurangi tingkat setres yang tinggi.

Hartoyo menyebut, public space bisa menghilangkan sumbu pendek antara sesama warga. Adanya sumbu pendek ini yang menyebabkan orang mudah tersinggung yang dampaknya bisa memancing kekerasan atau kerusuhan.

Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengungkapkan, ruang terbuka atau ruang sosial yang ada di Bandar Lampung belum terlalu memadai. Pemkot Bandar Lampung memang sudah melakukan upaya untuk membuat ruang publik. Namun, masih jauh dari cukup. Misalnya belum ada ruang bermain untuk anak atau untuk orang tua dan remaja berkumpul bersama.

Ruang publik bisa menjadi tempat untuk saling beradaptasi, mengembangkan kesenian dan kebudayaan, serta meningkatkan kreativitas.

Dia menyarankan agar taman atau ruang terbuka yang dibuat Pemkot bisa dimanfaatkan oleh warganya. Tidak hanya ruang publik yang terbatas yang tidak bisa dipakai atau diisi dengan kegiatan masyarakat.

Kurangnya fasilitas ruang publik, menurutnya, akan membuat orang untuk menciptakan sendiri ruang yanga ada. Seperti di Bundaran Adipura yang menjadi tempat berkumpul dan nongkrong anak muda. Ruang publik yang diciptakan sendiri oleh kelompok tertentu bisa merugikan atau mengganggu kelompok yang lain. Misalnta ruang terbuka yang justru menimbulkan kemacetan lalu lintas. “Inilah dampak terbatasnya ruang publik dan Pemkot tidak menyediakan ruang terbuka baru yang bisa dimanfaatkan,” kata dia.

Dia menambahkan, ruang publik juga memiliki dampat negatif, misalnya ada yang dipakai oleh anak muda untuk pacaran. Atau, ruang publik yang kemudian dicoret-coret  sehingga terlihat kotor. Ini menjadi peran bersama pemerintah dan masyarakat untuk menjaga ruang yang sudah ada. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 April 2013

No comments:

Post a Comment