April 21, 2013

[Fokus] Meraba Denyut Buah Lokal

ERA global, buahan-buahan lokal sempat terpental. Namun, tengoklah pedagang buah pikulan di beberapa sudut Kota Bandar Lampung. Ia seolah menjadi benteng terakhir reputasi buah lokal.

Jalanan Wolter Monginsidi, Telukbetung, mendadak macet, Rabu (17-4) sore. Arus lalu lintas padat merayap karena beberapa kendaraan roda empat berhenti di pinggir jalan. Bunyi klakson bersautan seakan memaksa kendaran bergerak.


Beberapa pengendara mobil turun dan mendekati penjual buah yang berdagang di atas trotoar. Setidaknya ada tujuh pedagang yang menjual pisang dan pepaya. Meskipun jauh dari kesan nyaman dan berdebu, tidak menghalangi pembeli untuk menghampiri buah yang dipajang.

Para pembeli kebanyakan adalah pekerja pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Tampak laki-laki pegawai Pemkot Bandar Lampung dan kejaksaan menawar buah. Mereka tidak ragu menawar harga yang dirasa cukup mahal. ?Dua puluh ribu saja ya. Kan sudah langganan,? kata seorang pegawai Pemkot yang mengenakan batik.

?Paling ramai memang sore hari saat pegawai baru pulang kerja. Posisi jalan ini memang strategis, jalur yang dipakai pegawai pulang. Apalagi di dekat sini banyak kantor pemda,? kata Khairul sambil menunggu dagangannya.

Hampir semua pedagang buah di Jalan Wolter Monginsidi bersaudara. Khairul berjualan bersama adiknya. Mereka berdua berdagang buah meneruskan usaha orang tuanya. Ayah Khairul kini sudah pensiun berjualan pisang karena usia.

Ia menceritakan ayahnya berdagang buah di Jalan Wolter Monginsidi, dekat Rumah Sakit Bumi Waras, jauh sebelum dia lahir. Kini anaknya yang meneruskan usaha orang tua yang sudah dirintis lebih dari 30 tahun. ?Umur ayah sudah tua. Dia lebih banyak di rumah mengatur buah yang datang dari luar kota. Kalau harus berjualan di pinggir jalan sudah tidak kuat,? kata pria 26 tahun ini.

Bukan hanya Khairul, masih ada Teguh Aryanto dan juga beberapa pedagang lain. Namun, hampir semua dari mereka masih bersaudara. ?Ini sudah seperti usaha keluarga,? kata Teguh, pria 29 tahun yang pernah bekerja di hotel berbintang dan berpindah-pindah.

Trotoar, Gerai Buah Lokal

Mencermati trotoar di bilangan Jalan Wolter Monginsidi, beberapa trotoar di bilangan Pahoman, dan juga Way Halim, memang menjadi alternatif mencari buah. Buah-buah lokal, seperti pisang, manggis, alpukat, dan pepaya selalu tersedia di sini.

Corak dan warna yang menggiurkan memang menjadi daya tarik buah lokal di tangan pedagang yang mengemas gerai dengan salang pikulan ini. Sebab, mereka sangat selektif memilih buah yang akan dipajang dan dijual. Perlakuannya juga istimewa. Meskipun harganya juga sedikit lebih baik ketimbang membeli di pasar tradisional.

?Buah-buah yang kami jual di sini pilihan. Selain masak sempurna, kami juga pilih yang ukurannya besar dan warnanya menarik. Buahnya juga kami amankan jangan sampai bonyok atau kotor. Makanya, orang mau beli agak lebih mahal,? kata dia.

Khairul mengatakan dalam sehari omzet jualannya Rp500 ribu?Rp1 juta. Jika ramai, penjualan pun bisa mencapai Rp2 juta. Menurutnya, berjualan buah hampir tidak pernah sepi pembeli. Banyak saja yang mencari buah untuk konsumsi sehari-hari.

Teguh juga mengaku mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup setelah memutuskan untung menjual buah lokal bersama saudara-saudaranya. Awalnya Teguh adalah pekerja tidak tetap, kadang menjadi buruh. "Jualan buah lebih untung daripada jadi kuli. Tidak terlalu capek, tapi penghasilannya lebih besar," kata dia.

Penghasilan yang didapatkan Teguh bisa mencapai Rp1 juta. Bahkan tidak jarang bisa mencapai Rp1,8 juta. Penghasilan yang besar itu makin membuat Teguh menekuni bisnis buah lokal.

Ternyata buah lokal manis rasa dan untungnya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

No comments:

Post a Comment