April 24, 2013

Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan

Oleh Darojat Gustian Syafaat


BUKU Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan yang ditulis Udo Z. Karzi (diterbitkan Indepth Publishing, April 2013) menjadi suatu sumbangan pemikiran yang patut dikaji secara mendalam lagi, terutama oleh masyarakat Lampung sendiri.

Buku ini tampaknya memang interpretasi yang muram tentang Lampung dan kelampungan. Di dalamnya Udo Z. Karzi menggambarkan secara dramatis ulun Lampung yang bersikukuh untuk disebut sebagai “kesatuan (masyarakat) yang sekiranya (akan) sadar-diri mengenai keberasal-usalannya”. Namun, terus menerus mengalami kekisruhan akibat munculnya guncangan-guncangan yang mengakibatkan mandeknya penyegaran pemikiran yang murni  demi kemajuan ulun Lampung itu sendiri.


Kajian yang dilakukan Udo Z. Karzi dalam buku ini bisa dikatakan  “manuskrip embrio” yang tetap hidup sampai kapan pun dalam permasalahan Lampung dan Kelampungan. Perenungan Udo Z Karzi patut kita telaah sampai ke dasarnya. Sebab, Udo berbicara Lampung dan kelampungan berdasarkan penjelasan secara pararel historis-diakronis yang pada intinya mengambarkan proses kemerosotan peran adat, akademisi, dan masyarakat Lampung dalam memajukan kebudayaan, sastra dan literasi Lampung.

Memang mengenai kebudayaan dan sastra Lampung menarik untuk dilihat sebagai sebuah dinamika sosio-historis yang kompleks, dan ini disadari sendiri oleh Udo Z Karzi dan juga mungkin termasuk orang Lampung sendiri.

Perhatian Udo Z Karzi terhadap Kebudayaan Lampung tampak tidak hanya dimaksudkan sekedar untuk penggambaran deskriptif, tetapi lebih dari itu juga diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran historis betapa kebudayaan Lampung yang mahakompleks. Sebagai sastrawan ia memahami Lampung dan Kelampungan sangat potensial untuk menelusuri keberasal-usulan sebagai Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi etnik sendiri, sebagaimana etnik-etnik yang lainnya.

Sebenarnya, untuk menyegarkan kembali kesadaran historis Lampung dan Kelampungan yang bersifat “Pribumi” mengenai ulun Lampung tentunya akan mengilhami gerakan yang lebih membumi di Lampung. Bukankah instrumen untuk melacak keberasal-usulan ulun Lampung sudah ada atau paling tidak bertebaran di berbagai tempat di Lampung?

Mungkinkah kitab Kuntara Raja Niti, yang merupakan sebuah kitab yang dimiliki salah satu adat orang Lampung, hendaknya dijadikan fundamen awal untuk menyusuri historis Lampung secara utuh. Bahkan Udo Z Karzi mengatakan sebagaimana disebut Almarhum Prof Hilman Hadikusuma masih ada tiga kitab lagi yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.

Upaya ini bukan saja penting dari segi penulisan historiografi Lampung dalam konteks sejarah orang Lampung, tapi juga bahwa manfaatnya sungguh akan bersifat strategis dan fundamental bagi revitalisasi Lampung dan kelampungan di masa depan.

Tentu saja sejarah Lampung yang konon dinisbatkan kepada kerajaan Sekala Brak mempunyai legitimasinya sendiri untuk dipertimbangkan sebagai acuan revitalisasi Lampung dan Kelampungan untuk menentukan validitas sesuai dengan khazanah historis Lampung sendiri.

Dengan memberikan interpretasi awal semacam ini, kita akan lebih cermat memahami buah pemikiran Udo Z Karzi terutama yang berkenaan dengan topik-topik mengenai Lampung dan Kelampungan. Sejauh memahami tulisan-tulisan dalam buku di atas, selanyaknya kita mendapat kesan bahwa topik-topik semacam inilah yang menjadi fokus ulun Lampung untuk merumuskan kembali dengan menatanya lebih konkret tentang budaya dan sastra Lampung dengan harapan berkembang di masa mendatang.

Menyegarkan Sastra Lampung

Adalah menarik untuk kita cermati bahwa sastra tradisi merupakan bentuk wujud nyata dari keberadaan sebuah komunitas atau etnik. Untuk itu, setidaknya sastra tradisi dapat pula dilihat secara kultural sebagai tradisi transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya.

Memang tak bisa dimungkiri dan ini harus kita sadari bahwa sastra tradisi seiring perkembangan zaman lambat laun akan tergerus oleh budaya-budaya lain dengan mengikuti modernisasi. Apa yang diagungkan sastra tradisi tak akan berkembang menjadi cita ideal yang dijadikan pijakan etis dan estetis oleh masyarakat itu manakala tidak dibarengi dengan menata kembali kesadaran untuk menyelamatkan sastra tradisi dari kepunahan.

Dalam konteks ini, bisakah kita menyegarkan “kelayuan” sastra tradisi menjadikan lentera untuk menumbuhkembangkan sebuah kesustraan. Hemat penulis, sastra tradisi berfungsi ganda yang dapat pula menciptakan kemajuan dan kemunduran bagi dirinya. Di satu sisi sastra tradisi memelihara nilai-nilai lama yang dibakukan sebagai barometer normatif yang harus terus menerus dipegang oleh masyarakat sampai kapan pun.

Di sisi lain, untuk melanggengkan sebuah tradisi agar tetap lestari, sastra tradisi berfungsi – sedapat mungkin – memadukan nilai-nilai baru yang berkembang sesuai zaman sehingga menjadi tolak ukur yang baru pula bagi kehidupan masyarakat.

Namun sangat disayangkan pada kenyataannya  bila mengorbankan nilai-nilai lama untuk “dibenturkan” dengan nilai-nilai baru akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang muncul dari sebab benturan tadi dapat mengakibatkan krisis identitas dan nilai yang merusak kredibilitas sastra tradisi itu sendiri.

Di Lampung bukan hal baru dari “dua kutub” ini yang sampai sekarang masih bersitegang.  Padahal kekayaan sastra tradisi Lampung sangat berlimpah, tinggal bagaimana kita mengemasnya.  Untuk itu, perlu ada revolusi  dalam memadukan dua kekuatan ini.

Untuk menjembati hal ini, perlu adanya ruang dialog secara intens untuk meluruskan persepsi yang berbeda dalam merumuskan Lampung dan Kelampungan menjadi satu versi terutama di bidang sastra Lampung. Setidaknya dalam proses ini menunjuk pada dua hal: proses mempertahankan tradisi kesusastraan yang lama di satu sisi, dan proses akulturasi sastra tradisi lama ke dalam pola baru dengan kemasan yang kontemporer.

Mengingat bahwa baik sastra lisan dan tulisan memliki cita rasa yang tinggi. Permasalahannya tidak banyak yang paham dengan sastra lisan tetapi tidak pandai secara tulis. Begitu pun sebaliknya, sedikit yang bisa menulis sastra dalam bentuk tulisan, tetapi tersedat-sedat dalam pengucapan.

Untuk itu perlu adanya ikhtiar untuk memiliki satu konsepsi  yang bisa dijadikan pegangan dalam mempertahankan kesusastraan Lampung dalam masalah di atas dari bahaya keruntuhan menjadi lambang kejayaan Sastra Lampung.

Tentu saja harus ada pernyataan sikap dari ulun Lampung untuk memajukan kesusastraan mereka. Sebab jika bukan mereka siapa lagi. Apakah hanya mengandalkan sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dan sebutan lainnya.

Dengan demikian, saya kira hanya satu untuk memajukan kesusastraan Lampung dengan mentransformasikan cita-cita luhur tersebut dengan gerakan sosial. Artinya, semua elemen yang menganggap dirinya ulun Lampung mulai menyadari dirinya betapa pentingnya membangun Lampung dan Kelampungan mulai saat ini, di mulai dari sekarang tentunya sesuai peran dan fungsinya masing-masing.

Orang tua mengajarkan anak-anaknya, pemangku adat berusaha sekuat tenaga melestarikan tradisi yang ada, para akademisi mengatur alur konsepsi Kelampungan ke arah yang lebih maksimal, dan para sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dll, mengawal kesusastraan, kebudayaan, kesenian di Lampung menjadi lebih hidup lagi.

Gerakan sosial yang sangat sederhana ini, tentu tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Pasti ada titik lemah yang terlihat sangat jelas. Persoalannya sekarang adalah apakah ada kemauan untuk itu atau adakah alternatif lainnya? Jika memang demikian mari kita segarkan kembali pemikiran untuk mewujudkan Lampung dan Kelampungan ke arah yang lebih baik lagi. Tabik. n

Darojat Gustian Syafaat, Pengamat Sosial Keagamaan


Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 April 2013

No comments:

Post a Comment