June 16, 2013

Memperhitungkan Pasar Budaya

Oleh Syaiful Irba Tanpaka


Semakin keringnya Negeri Penyair dari kajian budaya mengundang kekangenan para seniman untuk berkenduri menderes tetesan kejernihan khazanah budaya Lampung. Sebulan sekali, mereka berembuk demi bernasnya setiap tapak seni di Lampung.

REMBUK Seniman-pertama-yang diselenggarakan Lampung Post sekitar sebulan lalu terus menumbuhkan "kegalauan" terhadap pengembangan potensi seni budaya Lampung yang sesungguhnya demikian kaya dan beragam. Berbagai pandangan seniman, budayawan, praktisi pers, politisi, mahasiswa, dll. peserta yang hadir waktu itu menunjukkan sikap kepedulian dan tanggung jawab besar sebagai pelaku kebudayaan Lampung. Sasarannya adalah bagaimana kebudayaan Lampung dapat berkembang secara kondusif serta diapresiasi oleh masyarakat luas, baik nasional maupun international.


Saya pikir, pilar-pilar untuk pengembangan ke arah itu telah berfungsi cukup baik. Seniman melakukan kerja kreatifnya secara bersungguh-sungguh. Hal ini ditandai dengan pencapaian kreativitas seniman yang mampu menembus hingga skala nasional dan internasional. Instansi dan institusi terkait seni budaya juga telah berperan aktif dalam melaksanakan pembinaan dan fasilitasi terhadap seniman dan kelompok kesenian di daerah ini. Meskipun beberapa kalangan berpendapat harus lebih ditingkatkan geregetnya. Begitu pun dari pihak pemerintah daerah, baik dari bidang suprastruktur maupun infrastruktur menunjukkan perhatiannya. Terbitnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung maupun pembangunan Gedung Kesenian yang berlokasi di PKOR Way Halim membuktikan hal itu.

Semestinya ketika pilar-pilar pengembangan seni budaya itu telah berperan menunaikan fungsinya, maka peningkatan citra kebudayaan Lampung dapat tercapai secara baik. Namun, yang terjadi pada realitasnya justru berbanding terbalik. Kebudayaan Lampung masih berkutat dari risau yang satu ke risau yang lain. Dan ini menjadi persoalan laten sejak berpuluh tahun lalu.

Sekian itu, saya berpandangan bahwa ada pilar keempat yang belum dikelola dengan baik, yaitu pemasaran (marketing) dalam konteks ini saya lebih suka menyebutkan pasar budaya (cultur market). Artinya, bagaimana karya-karya seni budaya itu mampu secara terus-menerus menggedor masyarakat sehingga secara berkala pula terjadi transaksi spiritual antara nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya seni budaya dan masyarakatnya.

Selain di hotel-hotel dan tempat-tempat wisata lainnya, pasar budaya dapat dibangun di antaranya dengan cara, pertama: adanya seniman atau lembaga yang secara khusus menyediakan ruang untuk pendidikan atau pelatihan terhadap satu instrumen kesenian yang ditekuninya. Ambil contoh; Saung Ujo di Jawa Barat yang menyediakan fasilitas rekreasi dan edukasi bagi orang seorang, kelompok atau pelancong yang ingin mengetahui, menikmati dan mempelajari mengenai kesenian angklung. Di Lampung dengan didirikan Cetik Akademi, misalnya. Akan hal ini sejak beberapa tahun yang lalu saya telah memberikan pandangan terhadap Syafril Yamin (Lil) yang dikenal sebagai Rajo Cetik untuk mengelola pasar budaya serupa ini.

Lil tidak hanya memproduksi cetik atau gamolan pkhing, tetapi sekaligus membuka kursus dan bahkan menciptakan cetik yang memiliki solmisasi internasional dengan tujuh tangga nada sehingga cetik secara spesifik yang memiliki laras enam nada (tanpa nada fa) terjaga keasliannya. Di sisi lain yang memiliki tujuh nada dapat mengiringi berbagai lagu sebagai suspen bagi masyarakat yang mengapresiasinya.

Kedua, Gedung Kesenian. Bagi para seniman budayawan, gedung kesenian dapat dijadikan sebagai ruang sosialisasi bagi karya-karya yang telah diciptakan. Baik itu karya seni budaya yang berbentuk pertunjukan, penayangan maupun pameran. Dalam hal ini para seniman membutuhkan revolusi harapan-yang dikatakan Erich Fromm-sebagai akar untuk menghidupi aktualisasi dan potensi diri. Ranah di mana impian-impian kita ditaburkan. Titik di mana tujuan-tujuan kreatif kita dipancangkan. Dan menyadari bahwa kita tidaklah sendiri. Lantaran karya-karya kreatif yang kita ciptakan bukanlah untuk kita telan sendiri.

Ruang Kontemplasi

Bagi masyarakat, gedung kesenian dapat dijadikan sebagai ruang kontemplasi yang representatif untuk mengapresiasi karya-karya seni budaya dalam membangun dan mengembangkan karakter atau jati diri bangsa. Sebuah tempat untuk melakukan wisata spiritual dan rekreasi imajinal. Dengan demikian, masyarakat tidak melulu dijejalkan dengan karya-karya seni budaya "klangenan" yang membangun gaya hidup hedonistik dan sekuler. Tetapi juga diimbangi karya-karya seni budaya warisan bangsa yang luhur dengan nilai-nilai moral yang baik.

Akan halnya Gedung Kesenian Lampung secara kronologis dapat saya sampaikan bahwa lebih dari sepuluh tahun seniman budayawan menagih utang budaya pemerintah daerah yang berjanji mendirikan Gedung Kesenian yang diucapkan Poedjono Pranyoto (saat menjabat Gubernur Lampung) dalam sambutannya pada pelantikan pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 1993?1996 pada tanggal 17 September 1993, baru terwujud desain gambarnya tahun 2005 setelah Sjachroedin Z.P. menjadi Gubernur Lampung.

Lalu pembangunan fisiknya dimulai tahun 2008 dan berlanjut secara multiyears. Maka sehubungan dengan membangun pilar keempat pengembangan seni budaya Lampung, saya kira, kita semua berharap penyelesaian dan peresmian Gedung Kesenian Lampung juga dilakukan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. sebagai tanda mata budaya yang dapat terus mempertahankan citra positif seni budaya Lampung ke depan. Sebagaimana dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mewujudkan impian para seniman dan budayawan dengan menggagas dan meresmikan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki.

Syaiful Irba Tanpaka, Penghayat seni budaya Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Juni 2013

No comments:

Post a Comment