June 10, 2013

Lampung Pisau Tajam dalam Sarung

Oleh M. Benyamin E. Djauhar


MUTIARA yang tersebar dari rangkaian kata-kata yang berubah menjadi kalimat sedemikian dinamis ketika para pembaca Opini menanggapi buku Udo Z. Karzi berjudul Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (terbitan Indepth Publishing, Mei 2013). Tanggapan-tanggapan tersebut tentu saja menyenangkan kita sebagai masyarakat Lampung. Tanggapan-tanggapan yang ada menunjukkan bahwa betapa respeknya para pembaca terhadap usaha-usaha membangun masyarakat di ujung Pulau Sumatera ini.

Fenomena itu tentu saja menarik. Kehausan terhadap pembangunan Lampung dalam arti yang sebenarnya derapnya semakin kencang, terlebih lagi ekslarasi ini datangnya dari generasi muda. Penulis katakan menarik karena polemik ini hadir di tengah tahun politik, tahun tempat tradisi, kebudayaan, dan masyarakat semata-mata menjadi komoditas politik.


Eksploitasi dan kooptasi telah menjadi normal bagi para elite politik, hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan kita sebgai masyarakat yang peduli terhadap tumbuh kembangnya tradisi dan budaya Lampung, karena dengan eksploitasi dan kooptasi tersebut, runtuhlah nilai-nilai sakral dari para pemuka adat. Sebab itu, wajar bila buku yang berkehendak mengembangkan dan membangun Lampung diramaikan.

Di satu sisi ini menunjukkan fenomena kepedulian, di sisi lain ingin memberi tahu kepada khalayak sekalian bahwa kita sedang berada pada jurang kehancuran yang tidak bertepi. Artinya, kita segera punah di tengah politik lokal, feodalisme, dan di tengah majunya provinsi lain.

Struktural berarti respons birokrat dan fungsional berarti respons para pemikir dan pelaku seni, bagaimana mereka membesarkan Lampung. Dengan adanya buku Udo yang banyak mengundang polemik itu, saya menganggap Udo Z. Karzi telah mengayunkan "pedang emas kesejarahan dan kebudayaan", yang pada gilirannya kelak kibasan pedang emas tersebut dapat menusuk hati nurani kita, sehingga bersikap serius memahami hakikat keberadaan Lampung dengan berbagai kompleksitasnya.

Dengan demikian, apakah kita akan membiarkan kibasan "pedang emas" itu ke sana-ke mari dan menikam hakikat empati kita, lalu kita tidak peduli? Apa yang ditulis di harian ini oleh Darojat Gustian Syafaat, Hardi Hamzah, Andry Saputra, Novan Saliwa, dan Parjiono bukan sekadar teguran halus dan antisipasi, sebagaimana yang singgung di muka tulisan ini, tetapi rekan-rekan sekalian itu mencambuk kita ke arah yang berorientasi, baik bagi kehidupan masyarakat sebagai komunitas yang masih membanggakan nilai-nilai sakral di tengah nilai-nilai profane para elite politik, kampus, dan enterprenure yang masih minim sekali kepeduliannya.

'Pedang Emas'

Bagi saya tentang buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan karya Udo Z. Karzi tersebut selain sebagai "pedang emas", ia juga mentransformasikan perbandingan-perbandingan strategi agar kita memahami ke arah mana "pedang emas" itu akan menikam-nikam hakikat ke-Lampungan kita.

Dengan menggunakan catatan kaki yang banyak, Udo Z. karzi bukan saja mempertegas komparasi sebagai penajam pisau analisisnya, melainkan tampaknya ia akan mengaktualisasikan keberadaan Lampung pada proporsi yang terhormat, meskipun kadang-kadang footnote yang ada sedikit mengganggu narasinya buku ini. Namun, polemik yang berkepanjangan dan memang sepatutnya demikian juga lahir dari banyaknya buku yang dibaca Udo sebagai pembanding dan standar baku untuk menajamkan pisau analisis.

Itulah sebabnya Feodalisme Modern ini dapat ditinjau, diasumsikan, dikaji, dan dianalisis dari sudut pandang berbagai aspek. Yang saya maksud Lampung bagai "pisau tajam dalam sarung" juga antara lain kurangnya apresiasi komunitas tertentu untuk menggunakan pisau itu sebagai alat analisis, misalnya saja dari aspek mitologi kesejarahan, Lampung juga punya dewa-dewa, seperti 'Dewa Duguk', 'Dewa Taon', dan lain-lain yang komposisinya hampir sama dengan mitologi pewayangan atau dewa-dewa dalam Hindu.

Ini tentu saja kita tidak harus mereduksi spirit agamais (Islam) yang juga termuat dalam agem-agem lima pasal yang kita kenal, seperti fiil pesenggiri, nengah nyapur, nemui nyimah, bejuluk beadok, dan sakai sambaian, bahkan bisa ditambah satu lagi ngejuk ngakuk.
Analisis sementara bahwa buku Udo Z. Karzi itu merangsang lahirnya istilah "Lampung bagaikan pisau tajam dalam sarung" hanyalah sedikit dari analisis yang telah dirambah oleh teman-teman sebelumnya. Tentu masih banyak asumsi lain tentang pokok bahasan yang bisa ditinjau dari buku ini karena bagi saya yang terpenting bukan sekadar membaca buku ini, melainkan lebih jauh lagi, apakah kibasan pedang emas yang akan menusuk empati kita telah mampu melahirkan empati baru bagi Lampung secara universal sehingga Lampung tidak sekadar pisau tajam yang dalam sarung.

M. Benyamin E. Djauhar
, Pekerja sosial, peminat masalah budaya

Sumber: Lampung Post, Senin, 10 Juni 2013

No comments:

Post a Comment