June 24, 2013

Sadar Diri akan (Sejarah) Kelampungan

Oleh Karina Lin


Lampung Post, 29 Mei 2013 lalu memuat opini Mengkaji Lampung secara Komprehensif, ditulis Parjiono. Jujur, tulisan tersebut membuat kening saya berkerut antara tanda bingung dan tidak setuju. Mengapa?

Parjiono dalam awal paragrafnya menulis demikian; membaca opini Andry Saputra (Lampost, 11/5/2013) berjudul Horison Lampung untuk Kaum Muda, sebelumnya opini Darojat Gustian Syafaat (Lampost, 24/4/2013) yang berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan dan Hardi Hamzah (Lampost, 5/5/2013) berjudul Obsesi Punahnya Lampung?, tampaknya ketiga penulis tersebut belum secara komprehensif mengulas buku Udo Z. Karzi.


Saya bukan bermaksud membela ketiga penulis sebelumnya itu, tetapi rasanya tidak adil bila ketiga penulis tersebut dinilai tidak komprehensif terkait tulisan-tulisan mereka dalam rangka membahas isi buku Feodalisme Modern karya Udo Z. Karzi (Udo). Saya tidak memiliki buku Udo. Namun, saya pernah dikirimkan draft buku tersebut untuk dimintakan kritik dan saran dan draft tersebut telah saya baca.

Isi buku tersebut memang cespleng, terdiri dari beberapa bagian yang masih terbagi lagi ke dalam bab-bab. Walau di antara bab-bab tersebut menjalin satu kesatuan yang berinti pada kelampungan, saya kira akan menjadi suatu bahasan yang amat sangat panjang apabila hendak dikritisi atau dibahas secara sangat komprehensif.

Jadi, dalam pandangan saya, penelaahan yang telah dilakukan oleh ketiga penulis sebelumnya sudah merupakan penelaahan yang komprehensif. Masing-masing dari ketiga penulis itu punya cara pandang yang berbeda-beda dan justru di situlah letak nilai plus-nya. Karena dengan cara pandang yang berbeda-beda yang jika selanjutnya digabungkan, akan menjadi saling melengkapi.

Saya sendiri dalam tulisan ini meminati hal yang sama dengan Parjiono. Fokus kepada bab Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung dan Dicari: Rektor Bervisi Budaya.

Berharap pada Unila?

Saya hanya mengherankan bagaimana mungkin Unila menjadi terbaik dan mengglobal tetapi melupakan diri sendiri (identitas diri)? Kebudayaan Lampung! Bukankah sebagai pusat kebudayaan, Unila (kependekan dari Universitas Lampung) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan tentang Lampung dan kelampungan,” demikian tulis Udo dalam sebuah paragraf dalam judul Dicari: Rektor Bervisi Budaya!

Saya sengaja mengutip paragraf ini karena saya memiliki pengalaman dan perasaan yang sama dengan sang penulis buku. Jauh sebelum Udo menuliskan hal ini (Unila sebagai pusat kebudayaan Lampung dan perlunya Unila memiliki Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra atau fakultas filsafat), sebenarnya ide ini telah pernah diajukan. Ini saya ketahui sewaktu saya berbincang-bincang dengan seorang dosen saya yang mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah Unila sekira empat atau lima tahun lalu.

Kala itu, saya sharing dengannya mengenai pendirian Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra di Unila, sehingga dalam program studi, Ilmu Sejarah terpisah dari FKIP. Ilmu sejarah berdiri sebagai ilmu sejarah murni di Unila. Begitu pun dengan program studi budaya Lampung. Lantas dosen saya yang berlatar belakang bidang keilmuan antropologi ini mengatakan bahwa ide tersebut sudah pernah disampaikan kepada rektor yang dulu (tahun berapa saya lupa, yang jelas bukan di masa Rektor Muhajir Utomo).

Sayangnya pihak rektor tidak menanggapi. Sayangnya lagi, rektor yang sekarang tidak belajar dari pengalaman rektor yang dulu. Kalau demikian, artinya janganlah kita berharap lagi bahwa Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra atau Fakultas Filsafat akan ada di Unila. Terlebih menyematkan label kepada Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung!

Tolak ukurnya sederhana. Sekali penolakan dan sekali pengulangan penolakan telah cukup membuktikan bila Unila sebagai universitas kebanggaan masyarakat Lampung tidak pantas menjadi Pusat Kebudayaan Lampung.

Mencari Alternatif Lain
Kalau demikian, jelaslah bahwa ini perlu dan memerlukan mencari alternatif lain. Sebuah institusi yang dapat dijadikan pijakan sebagai Pusat Kebudayaan Lampung. Dalam buku Feodalisme Modern, Udo menyebutkan beberapa lembaga yang bergelut di bidang kebudayaan Lampung. Seperti MPAL (dulu bernama LMAL), DKL, dan lain-lain.

Namun, lembaga-lembaga tersebut sampai saat ini belum menampakkan usaha nyata. Tak salah bila keberadaan lembaga-lembaga tersebut hanyalah sebagai seremonial dan status belaka. Dalam kaitannya dengan ini, saya memiliki alternatif lain. Menurut saya adalah Museum Lampung dan Badan Kearsipan Daerah Lampung bisa dijadikan alternatif tersebut.

Keberadaan Museum Lampung selama ini memang baru sebatas kolektor dan benda arkeolgi, kesejarahan dan budaya. Peran itu bisa ditingkatkan dan seharusnya lebih mudah karena institusi ini lingkupnya lebih kecil daripada universitas.

Sedangkan badan Kearsipan Daerah pun serupa. Saat ini keberadaan institusi yang satu ini digabung dengan Perpustakaan Daerah Lampung. Saya yakin pasti banyak di antara kita yang tidak mengetahui jika Lampung memiliki Badan Kearsipan Daerah. Maklum memang, karena kiprah instirusi yang satu ini pun sangat minim dan bahkan nihil.

Mengutip anri.go.id, disebutkan visi dan misi dari sebuah institusi kearsipan yakni bervisi menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa. Sementara visinya dijabarkan dalam lima poin yang intinya ialah memberdayakan asrsip seoptimal mungkin sebagai tulang punggung manajemen pemerintahan dan pembangunan; sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa dalam kerangka NKRI dan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.

Seandainya institusi ini aktif, pastilah akan menjadi suatu sumbangsih yang berharga. Karena sumber-sumber sejarah dan budaya kebanyakan ditelusui dari arsip-arsip.

Kesadaran Kedaerahan

Setelah dirunut, nyata sebenarnya Lampung memiliki institusi yang cukup untuk menggali kesejarahan dan kebudayaan mereka. Persoalan paling utama ialah minimnya kesadaran dan peminatan akan hal ini. Saya menduga mengapa kesadaran dan peminatan ini minim lantaran penilaian “tiada” kemanfaatan yang didapat.

Padahal, bila kesejarahan Lampung sungguh-sungguh digali, manfaat yang didapat tak hanya berdampak pada perkembangan budaya dan kekokohan identitas saja, tetapi juga berdampak pada yang lain. Salah satunya (yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita) ialah sejarah (keberadaan) etnis lain yang ada di Lampung (ingat, Lampung dijuluki sebagai Indonesia mini). Sehingga pada saat terjadi konflik atau hal-hal lain yang bernuansa etnisitas, melalui penelusuran sejarah (dan budaya) bisa ditemukan solusi yang baik dan Provinsi Lampung pun bisa terus berkembang dengan pondasi yang mantap. n

Karina Lin, alumnus Prodi Sejarah FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Juni 2013

No comments:

Post a Comment