December 7, 2013

Ahmad Syafei Pujangga Lambar

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


Ahmad Syafei (foto: Novan Saliwa)
DALAM Festival Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11), Udo Z. Karzi membawakan materi bertema Jejak Literasi Liwa. Sejauh yang terbetik dalam berita bertajuk Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literer yang dimuat harian ini (25/11), Udo mengusut tradisi literer di Lampung Barat yang sudah dimulai sejak abad ke-8.

Selain itu, Udo menyebut sejumlah penulis, baik yang berasal dari Lampung Barat umumnya dan Liwa khususnya maupun penulis lain yang menulis tentang Lampung Barat semisal Sutan Takdir Alisjahbana lewat novelnya Layar Terkembang (1936) dan J. Patullo yang menulis laporan perjalanan ke Danau Ranau pada 1820.


Para penulis asal Lambar yang disebut Udo, antara lain Haji Sulaiman Rasyid bin Lasa, Rais Latif, M. Harya Ramdhoni, Arief Mahya, Sazli Rais, Lincoln Arsyad, Imron Nasri, Z.A. Mathikha Dewa, Udo Z. Karzi, dan Fitri Yani.

Begitupun pada epigram Liwa-Krui dalam rubrik Nuansa di harian ini (25/11), Udo hanya mengutip jejak literer tentang betapa eksotiknya jalan yang menghubungkan Liwa dan Krui yang termaktub pada halaman 41 novel Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana.

Dari senarai nama yang disebutkan tadi, ada satu nama yang justru tidak disebutkan Udo, yaitu Ahmad Syafei. Hemat saya, beliau pantas dicatat sebagai pujangga Lampung Barat. Beliau pernah menjadi Pesirah Belunguh Kenali pada zaman Belanda sewaktu terjadi gempa besar di Liwa pada 1933.

Peristiwa bencana alam ini kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi Lampung wayak bertitel Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) sepanjang 137 bait yang ditulisnya 32 tahun kemudian dan sebagian daripadanya pernah disiarkan Lampung Post pada 1986. Syafei pernah pula bertugas sebagai tentara pada masa kemerdekaan.

Selanjutnya, menjadi pegawai negeri sipil yang bertugas di Kotabumi dan Metro. Nama lengkapnya Ahmad Syafei gelar Sutan Ratu Pekulun. Beliau wafat pada 1981 dan dikebumikan di Kenali, tanah kelahirannya.

Karya sastranya yang lain berupa wayak sepanjang 65 bait, hahiwang, dan mengoleksi 51 pepatah Lampung. Bakat lainnya adalah pandai membuat nyanyian Lampung Belalau bergaya populer, paling tidak telah menciptakan sebanyak 33 nyanyian. Hobinya yang lain adalah fotografi, antara lain pernah memotret Gunung Bata di Suwoh sebelum gunung tersebut meletus dan karenanya memiliki nilai historis dan dokumental.

Kukuk Kedok 1933

Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) adalah syair panjang dalam bahasa Lampung berdialek A. Syair terdiri atas 137 bait ini isinya mengisahkan pengalamannya semasa gempa yang melanda kampung halamannya, Kenali, Lampung Barat, pada 25 Juni 1933. Inilah gempa pertama yang meluluhlantakkan Lampung Barat, yang kemudian terulang kembali pada 16 Februari 1994.

Syair yang tersusun atas empat baris pada tiap baitnya dan bersajak a-b-a-b ini tidak ditulis segera setelah peristiwa gempa itu terjadi, melainkan sekitar 32 tahun setelah peristiwa mengerikan itu berlangsung. Persisnya pada 3 April 1965 dan diketik ulang pada 1970-an, seperti dituturkan putra tertuanya M. Yusuf Effendie.

Tidak jelas apakah titimangsa 3 April itu mengisyaratkan syair sepanjang itu diubah hanya dalam tempo satu malam, atau mengisyaratkan tanggal diselesaikannya penulisan syair itu.

Yang jelas saat itu Ahmad Syafei bertugas pada Pemerintah Daerah Tingkat II Lampung Tengah di Metro. Syair ini ditemukan oleh putra tertuanya, M. Yusuf Effendi, 61 tahun, ketika membuka-buka arsip peninggalan orang tuanya selama dua hari pada Maret 1994.

M. Yusuf Effendie, yang berdomisili di Jalan Imam Bonjol No. 173 Bandar Lampung, itu tergerak untuk membuka-buka arsip itu disebabkan gempa bumi di tempat yang sama kembali terjadi pada 16 Februari 1994.

Ahmad Syafei rupanya menaruh perhatian besar terhadap peristiwa yang amat membekas dalam hidupnya itu?seperti dituturkan putra tertuanya?karena, selain merekamnya dalam bentuk karya sastra, dia pun mengabadikannya dalam wujud sejumlah potret.

Bahkan, sebagai seorang pesirah, dia pun turun langsung menolong para korban gempa sehingga mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda ketika itu.

Kuku Kedok 1933 ditulis karena dorongan rasa rindunya akan kampung halaman. Dalam bait 1?13 yang berfungsi semacam pengantar, dituturkan inspirasi untuk menulis syair itu muncul ketika cuaca di Metro sangat gerah. Saat itu, sekitar pukul 21.00, ia duduk-duduk di bawah pohon ceri di halaman rumahnya.

Pada malam nan sunyi itu, sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari arah depan rumahnya dan tiga becak melintas. Dari momen-momen puitis serupa itulah terbetik kerinduan Ahmad Syafei akan kampung halamannya.

Demikianlah, demi melepaskan kerinduannya, dia tuliskan kenangan tentang kampung halamannya yang hancur terlanda gempa bumi, dan itu sekaligus berarti kesaksiannya atas peristiwa gempa besar 1933 itu. Sebuah kesaksian puitis!

Berikut kami kutip enam bait dari wayak sepanjang 137 bait itu beserta terjemahannya. Bait 13: Ngelebonkon jak lom dada/rasa susah nih hati/nyak nulis cerita/satemon nihan terjadi (Demi menghilangkan dari dada/rasa susah di hati/kutulis ini cerita/benar ini terjadi). Bait 15: Di tahun 33 di bulan Juni/kira-kira pukul lima/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Di tahun 33 pada bulan Juni/kira-kira pukul lima pagi/tiada disangka-sangka/bergoyang seluruh bumi). Bait 16: Selagi manusia pedom/luluk sunyi ni/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Senyampang manusia tidur/sedemikian sunyinya/tiada disangka-sangka/berguncang seluruh bumi).

Bait 17: Ya Allah ya Robanna/kukuk kedok kirani/minjak radu ticuba/tebanting di unggak resi (Ya Allah ya Rabbi/gempa kuat kiranya/mencoba bangkit dari tidur/terbanting ke tikar tapi). Bait 18: Dunia rasa gamba/rasa diungggak sekoci/ngaliwat Tanjung Cina/lebih gawoh hunjak ni (Dunia sepantun gamang/serasa di atas sampan/yang mengarungi Tanjung China/dan gempa lebih dahsyat lagi). Bait 19: Nyak rangka niat beranda/melegoh haga mati/mak mudah nyak sangka/gegoh lapah di ruwi (Diri merangkak berniat ke beranda/perlahan seolah mau mati/tak semudah yang kusangka/bak jalan di atas duri).

Nyanyian

Dari 33 nyanyian yang diubahnya dalam bahasa Lampung berdialek A, salah satunya bertutur tentang kerinduan akan kampung halamannya, yaitu Kenali, yang dijadikan judul lagu yang diciptakannya di Kotabumi, 21 September 1973. Berikut kami kutip lirik lagu itu beserta terjemahannya.

Kenali senangun mak keliru/di isan pekonku/rang ni hulun tuhaku/kenali? lajuan kak jak baru/pekon mebalak telu/hinno Kenali ku//hawa segar mengison/kebun kopi melamon/muli-muli buhilok/ngebatok hati lahok/merisok nyak kundur mengan/kak Kenali dilom ingo?an (Kenali memang tidak keliru/di sana kampung halamanku/tempat orang tuaku/Kenali terusan jalan baru/kampung besar tiga/itu Kenaliku//hawa segar nan dingin/kebun kopi yang banyak/gadis-gadis telanjang/membuat hati hancur/kerap hilang selera makanku/saat Kenali dalam ingatan).

Selain menulis puisi dan menggubah lagu, beliau juga pandai menggambar sketsa seperti terlihat pada halaman-halaman manuskripnya.

Demikianlah, Ahmad Syafei tak pelak adalah sosok seniman berbakat rangkap. Beliau adalah sastrawan, pengubah lagu, pelukis sketsa, sekaligus fotografer. Dengan kapasitas kesenimanan sedemikian ini, kiranya pantas dicatat dan beroleh tempat sebagai pujangga dari Lampung Barat.

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
    
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 Desember 2013

No comments:

Post a Comment