December 14, 2013

Bahasa Daerah dan UU Kebahasaan

 Oleh Imron Nasri

UNDANG-UNDANG No. 24 Tahun 2009 memuat tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Undang-undang yang terdiri dari sembilan bab dan 72 pasal ini memang tidak khusus mengatur tentang bahasa, terutama bahasa daerah. Bab yang mengatur tentang bahasa adalah Bab III yang berjudul UU Kebahasaan terdiri atas 21 pasal yang mengatur tentang bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia. Sebagaimana yang tercantum pula dalam Pasal 36 UUD 1945 bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

Menurut UU Kebahasaan ini, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan, dokumen resmi negara, pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan dalam atau di luar negeri, bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan, nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah, penulisan karya ilmiah, dan publikasi karya ilmiah di Indonesia.


Bahasa Indonesia juga wajib digunakan untuk nama geografi di Indonesia, nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, dan informasi melalui media massa.

Pertanyaannya, bagaimana dengan bahasa daerah? Dalam UU Kebahasaan ini, bahasa daerah hanya dapat digunakan atau dapat disertakan. Pertama, bahasa daerah dapat digunakan dalam penulisan dan publikasi untuk tujuan atau bidang kajian khusus (Pasal 35 Ayat 2). Kedua, bahasa daerah (juga bahasa asing) dapat disertakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum (Pasal 38 Ayat 2). Ketiga, bahasa daerah (juga bahasa asing) dapat digunakan dalam informasi melalui media massa yang mempunyai tujuan atasu sasaran khusus (Pasal 39 Ayat 2).

Meskipun tidak mengatur langsung bahasa daerah, UU Kebahasaan memberikan ruang hidup bagi bahasa-bahasa daerah. Pasal 42 Ayat (1) mewajibkan pemerintah daerah untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Sementara Ayat (2) menggariskan bahwa pengembangan, pembinaan, dan perlindungan itu dilakukan bertahap, sistematis, dan berkelanjutan pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.

Dengan demikian, nasib bahasa dan sastra daerah bergantung pada kebijakan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Nasibnya juga ditentukan kebijakan lembaga kebahasaan, yaitu Pusat Bahasa beserta Balai Bahasa atau Kantor Bahasa yang saat ini sudah berdiri di hampir semua ibu kota provinsi.

Bagaimana dengan bahasa Lampung? Sebenarnya sudah ada Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung. Dalam Bab IV Bagian Kedua Pasal 7 secara tegas dikatakan bahasa dan aksara Lampung sebagai unsur kekayaan budaya wajib dikembangkan. Sementara dalam Pasal 8 (ada tujuh poin, tidak semua saya kutip) lebih tegas lagi dikatakan pelestarian bahasa dan atau aksara Lampung dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut.

(a) Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintahan daerah, dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah. (b) Penggunaan bahasa dan aksara Lampung pada dan atau sebagaimana bangunan/gedung, nama jalan/penunjuk jalan, iklan, nama kompleks permukiman, perkantoran, perdagangan, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial dan sejenisnya, kecuali untuk merek dagang, nama perusahaan, lembaga asing dan tempat ibadah. (c) Sosialisasi, pemberdayaan, dan pemanfaatan media massa daerah, baik cetak maupun eletronik, maupun media lain untuk membuat rubrik/siaran yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung. (d) Penyediaan bahan-bahan pengajaran untuk sekolah dan luar sekolah serta bahan-bahan bacaan untuk perpustakaan dan penyediaan fasilitas bagi kelompok-kelompok studi bahasa dan aksara Lampung. (e) Pengenalan dan pengajaran bahasa dan aksara Lampung mulai jenjang kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang diberlakukan di daerah, kondisi, dan keperluan. (f) Keharusan penggunaan bahasa Lampung sebagai (1) bahasa komunikasi sehari-hari baik di lingkungan keluarga atau pergaulan dan masyarakat maupun di kantor-kantor atau sekolah-sekolah pada hari-hari tertentu sesuai dialek bahasa daerah masing-masing; (2) bahasa pembuka dalam penyampaian sambutan, baik oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, maupun pejabat pada acara-acara tertentu (yaitu ungkapan tabik pun).

Persoalannya, sudah sejauh mana peraturan daerah yang telah berusia lima tahun itu dilaksanakan. Bagaimanapun juga, nasib bahasa dan satra daerah tergantung dan berada di tangan masyarakatnya sendiri, termasuk lembaga pendidikan, pers, penerbitan, dan penyiaran.

Imron Nasri, Peminat masalah-masalah sosial, politik, dan keagamaan, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Desember 2013 

No comments:

Post a Comment