December 15, 2013

Kebudayaan Lampung: Udo Z. Karzi, Lalu Siapa?

Oleh Hardi Hamzah


Tidak lelah-lelahnya Udo Z. Karzi dan kawan-kawan mengupas dan mengolah budaya Lampung, meski kerap melewati terjalnya bukit birokrasi, dan acap lesu darah karena “ketiadaan” alat penyangga moral dan material dari otoritas dan struktur kekuasaan resmi, tetapi toh mereka tidak menyerah juga.

Udo Z. Karzi
ARTIKULASI budaya yang ditransformasikan oleh Udo Z. Karzi dalam berbagai tulisannya, kiranya harus dipandang sebagai proses yang tak terjangkau. Lautan perspektif pemikirannya yang mengandung esensi kegelisahan, tampaknya suatu premis yang tidak dapat dinafikan begitu saja.


Banyak variabel kegelisahan yang dilontarkan Udo Z. Karzi dalam konteks bukunya, esai, dan ketika penulis berdialog dengan budayawan muda Lampung ini.

Hipotesis, atau katakanlah asumsi di atas penulis ajukan karena semakin menipisnya minat orang muda terhadap budaya Lampung, baik dalam aspek material maupun kesejarahan kesusasteraan, antropologi, terlebih lagi bentuk penulisan (aksara) yang bervisi kultural tinggi. Kita memang mengenal Iwan Nurdaya-Djafar, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan Z.S., Syaiful Irba Tampaka, Asarpin, dan yang lainnya yang notabene orang-orang muda.

Namun, di tengah kepiawaian mereka masing-masing, yang concerned terhadap budaya Lampung dapat dihitung dengan jari, antara lain Udo Z. Karzi, Christian Heru Cahyo Saputro, dan lain-lain, yang agaknya intensitasnya minus, terutama usaha memproyeksikan budaya Lampung melalui berbagai variabel. 

Apakah penulis tidak tahu dengan karya-karya seniman dimaksud, tetapi setidaknya obsesi praksis untuk memperlihatkan atmosfer budaya Lampung di kalangan generasi muda, sejatinya terlewatkan begitu saja. Ini mungkin penetrasi budaya global yang akulturasinya bukan saja tidak dapat dibendung. Namun, seyogianya diantisipasi, inilah sesungguhnya kepeloporan orang muda merespons budaya Lampung harus semakin menguat, sebagaimana Udo Z. Karzi, Christian Heru Cahyo dkk.

Apa-apa yang dilakoni dan terdeskripsikan dari karya seniman Lampung, lebih berskala makro, titik permainan mereka belum (tidak) berada dalam proses peminatan yang serius terhadap budaya Lampung. Inilah kenyataan yang transformatif bagi kebutuhan akulturasi global, yang dikhawatirkan terhadap para seniman Lampung yang intens terhadap kebudayaan Lampung.

Lalu, pertanyaan sederhananya “Siapa suka budaya Lampung?” manakala transformasi budaya Lampung sebagai proses tidak diproyeksikan orang muda melalui karya-karya kelampungan yang diharapkan diminati banyak orang.

Concerned kita terhadap budaya Lampung dalam konteks proses merupakan titik sejarah baru di tengan kekhawatiran terjadinya disintegrasi. Mengapa demikian, kita dapat belajar dari sejarah Eropa dan Amerika Latin, di mana migrasi telah membawa mereka menjadi bangsa yang akultural, mereka “sumpek” dalam dimensi integrasi, tetapi desintegrasi dalam kultural efek, ini artinya sesungguhnya Eropa dan Amerika Latin, belum pernah mampu merajut budaya mereka di tengah proses akulturasi, pun juga kita tahu kebudayaan Inka, Eskimo, Atlantik Utara, Sergiyck di negara Balkan, dan banyak lagi yang terduksi dan punah.

Dalam spektrum yang lebih serius, di titik ini Udo Z. Karzi, Heru, dan teman-teman penggalak dan peminat budaya Lampung, hendaknya tidak bertitik tolak dari pragmatisme budaya gerak, kini saatnya budaya aksara (tulisan), dan analisis informatika, sebagaimana kerap ditulis oleh Udo Z. Karzi dkk., penulis meyakini akan lebih menorehkan kesejarahan untuk masa depan anak bangsa.

Pastilah kita ingat pujangga di era Sriwijaya, Majapahit, Mataram dan yang lainnya selalu meninggalkan serat dan Mocopat Mocopat yang esensinya mampu menggerakkan Nusantara menjadi besar.

Langkah-langkah raksasa orang muda kita butuhkan untuk menembus arus budaya global melalui orang orang muda yang interest terhadap budaya Lampung. Biarlah birokrasi hanya menjadikannya instrumen, bahkan “merampok” kebudayaan itu sendiri lewat kultur politik, ekonomi dan sosial.

Udo Z. Karzi dkk. sudah memulai, mampukah generasi muda berikutnya akan turut serta memainkan pola strategis bagi pelestarian dan pengembangan kebudayaan Lampung di tangan orang-orang muda? Pertanyaan ini hanya mampu bila concerned terhadap pluralisme, globalisasi, dan proses pembelajaran yang bersifat kognitif moving menjadi proses kreatif di kalangan sastrawan dan budayawan muda.

Konvergensi di atas, rasanya arif bila kita menyunting apa yang dikemukakan oleh Karlina Supelli (2013), yang secara esensial harus pula dilihat nilai hakikinya. Supelli berujar, bahwa bagi banyak masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata pencarian. Hutan terutama adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum, dan tunjuk ajar perilaku. Di atas tikar dan tenun itulah, lanjut Karlina Supelli, terjalin kisah tawa dan air mata suku mereka serta adat kebiasaan.

Kita dapat menilik ukiran di rumah Lamin Masyarakat Dayak Kenyah Datah Bilang Hulu di Kalimantan Timur untuk menemukan kisah migrasi mereka menembus hutan dan meniti tepian sungai. Mereka berjalan selama hampir satu abad sambil mengolah tanah untuk berladang. Kelekatan dengan hutan, tanah, dan sungai juga kita temukan dalam nyanyian panjang Orang Petalangan, Bujang Tan Domang. Atau dalam tuturan Orang Amungme tentang danau sebagai sumsum tulang, tanah sebagai tubuh, dan gunung sebagai kepala.

Dari karya-karya budaya seperti itulah kita mengerti bingkai pengetahuan dan sistem nilai yang melahirkan cara bertindak terhadap alam serta sesama.

Proyeksi dan pemetaan di atas, penulis harapkan muncul dari sastrawan dan budayawan muda Lampung yang tak kalah baiknya dari budayawan nasional, bahkan mancanegara, tentu bila titik berat bidang dan atau pembidangan kebudayaan Lampung ditransformasikan di atas pilar kontekstual, dalam pemahaman tiang pancang budaya Lampung itu sesungguhnya kaya dan oleh karena itu dapat didistribusikan ke dalam pilar sukma para seniman muda yang serius, mengingat budayawan kita yang “tua” seakan terasa exhausted.

Tidak lelah-lelahnya Udo Z. Karzi dan kawan-kawan mengupas dan mengolah budaya Lampung, meski kerap melewati terjalnya bukit birokrasi, dan acap lesu darah karena  “ketiadaan” alat penyangga moral dan material dari otoritas dan struktur kekuasaan resmi, tetapi toh mereka tidak menyerah juga. Terakhir, penulis mendapatkan buku cerpen berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi bersama Elly Dharmawanti yang berjudul Tumi mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak, yang esensinya perlu kita diskusikan ulang. Namun, tertangkap di sini keseriusan Udo untuk menggauli Lampung dari sudut cerita pendek di tengah bertaburnya cerita pendek vulgar, kosmopolitan, liberal, dan western.

Memang sadar ataupun tidak kita saat ini merasakan semacam berjalan di nurani sendiri dan sepi bila mengkaji kebudayaan Lampung, dus terkadang pula melelahkan di tengah kegaduhan penguasa yang cuek, tapi penulis meyakini, sebagaimana Bung Karno mengatakan for fight nation there is no stasion end (bagi bangsa yang berani tidak ada stasiun akhir). Ya, tentu stasiun akhir untuk berjuang. Berjuang apa itu, ya memperjuangkan budaya Lampung, lamon mak ram sapa lagi. n

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation


Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013

No comments:

Post a Comment