December 1, 2013

[Fokus] Pantai-Pantai dalam Cengkeraman

Oleh Meza Swastika        
    
PERAHU ketinting yang dicarter Budi Marta Utama melaju ke tengah laut dari Pantai Ringgung, Pesawaran. Fotografer profesional itu menunggu air surut untuk melancung sampannya. Itu dilakukan karena ia tertarik cerita ada pulau pasir di kawasan Teluk Lampung itu yang muncul saat laut sat.

"Saya dapat fotonya. Cuma, yang buat saya jengkel, di situ sudah ada plang yang mengklaim bahwa pulau itu milik pribadi," kata dia pekan lalu.


Padahal, pasir timbul di perairan Pantai Ringgung itu adalah fenomena alam yang terjadi karena air laut sedang surut. Ia menganggap gumuk pasir itu sangat estetik untuk objek foto.

"Cuma pasir timbul saja langsung dijadikan duit, dipasang plang, dan siapa pun yang ke sana harus bayar. Kalau seperti ini, bagaimana pariwisata bisa maju," kata dia dengan nada kesal.

Pasir timbul yang diklaim milik pribadi itu hanyalah contoh kecil. Faktanya, di Lampung banyak objek wisata pantai dimiliki oleh orang per orang untuk dieksploitasi menjadi objek wisata tanpa memperhatikan keberlangsungan ekosistem pantai, termasuk memberdayakan masyarakat sekitar.

Herza Yulianto dari Mitra Bentala menyebutkan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung mengatur perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Luasnya, minimal 100 meter sepanjang pantai dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Keppres itu diperkuat UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sempadan pantai ini berfungsi sebagai pengatur iklim, sumber plasma nutfah, dan benteng wilayah daratan dari pengaruh negatif dinamika laut. Karena itu, Herza mendesak agar pengelolaan pantai secara perorangan harus dievaluasi.

"Laut itu open access, artinya adalah milik publik, jadi tidak boleh dan tidak seharusnya dipagari atau dibangun tembok yang tinggi. Laut termasuk di dalamnya pantai adalah milik publik," ujar Herza.

Ia menyebut pengelolaan pantai sebagai objek wisata banyak yang tak mengindahkan ekosistem. Bahkan, ada kawasan hutan mangrove yang direklamasi menjadi pantai. "Semua kawasan pantai yang dimiliki secara pribadi kondisi lingkungannya rusak parah, para pemilik hanya mencari keuntungan dari pantai itu, tapi tidak memperhatikan lingkungannya.?

Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Yaman Aziz mengaku bingung dengan model pengelolaan objek wisata di Lampung. Di Bali, kata dia, tak ada objek wisata pantai yang dipungut retribusi. Pungutan hanya dibebankan kepada wisatawan saat mereka memanfaatkan fasilitas.

"Kalau di Lampung, mau ke pantai bayar tiket masuk, di dalam pantai untuk bisa santai di pondok harus membayar sewa pondok, ini sama saja dengan pemerasan, tidak akan ada wisatawan yang betah dan akan kembali lagi ke Lampung kalau model pengelolaannya seperti ini," kata Yaman.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung yang memegang regulasi seperti diam saja. Mereka bahkan tak tahu jumlah objek wisata yang dikelola secara pribadi di Lampung. Kabid Destinasi dan Objek dan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Ulida menyebut pemerintah dalam hal ini hanya melakukan pembinaan.

Namun, menurut Yaman Aziz, pengelolaan objek wisata yang terkesan mengeruk uang wisatawan ini adalah akibat kelemahan Dinas Pariwisata. (M1)
    
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013

No comments:

Post a Comment