September 21, 2008

Apresiasi: Kesenian Pasca-Pilgub, GK 16 Tahun Kemudian

-- Isbedy Stiawan ZS*

Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.

------------

SUDAH keliwat capai Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lain: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).

Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung--saat itu Poedjono Pranyoto--pada pengukuhan pengurus DKL tahun 1993 tidak juga terealisasi sekaligus menjadi "utang budaya" Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka "keran" pada bantuan rutin APBD.

Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE-1 ditinggalkan Poedjono. Sempat beberapa tahun DKL tak memperoleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik elite di Lampung mengimbas ke DKL.

Kala itu, sejumlah "orang penting DKL" ikut bermain dalam kancah perpolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada ketua umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di pilgub.

Persoalan "utang budaya" Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov "sekadarnya" mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah seni budaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?

Politik pascapilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabranie yang terpilih sebagai gubernur ibarat "prahara" dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: Kemudian kita tahu Sjahroedin berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Awal kepemimpinan Sjahroedin, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada seni budaya Lampung akan berjarak--walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariat di Wisma Atlet milik KONI Lampung dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).

Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung "bersuara kencang" menolak sekretariat DKL hengkang dari Wisma Atlet di Pahoman.

Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjachroedin mengeluarkan statement yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan mengusir DKL dari Pahoman; karena gedung itu milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni.

"Kalaupun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan," ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di kompleks PKOR/LKDL Way Halim.

Dari sini, saya dengan sangat hati-hati "membaca" visi-misi Sjachroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia seni budaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana budaya ke Cirebon dan Banten. Dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa "janji" membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.

Sayang seribu sayang, harapan dan impian para seniman memiliki gedung kesenian terhalang pemilihan langsung Gubernur yang dilaksanakan 3 September lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan kalau Sjachroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye memenangkan Pilgub 2008.

Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang, yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang representatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjachroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi--ketua umum DKL--baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.

Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran seni rupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.

***

Impinan Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat--bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjang penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan "pelunasan utang budaya" yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan seni budaya di daerah ini.

Adalah (di tangan) Sjachroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm.) Zainal Abidin Pagaralam itu telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang "menyulap kebun binatang" di Cikini, Jakarta, menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban seni budaya di Tanah Air.

Pembangunan GK di PKOR Way Halim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan seni budaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruilslag GOR Saburai jangan digulirkan lagi.

Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: Pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.

Saya tetap yakin, seniman (budayawan) tak perlu cemas pada "tirani" politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat.

Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor, maka seni yang menyucikan; bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra menggerakkan arus dari dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat terjalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik--kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.

Berpijak pada hasil quick count, dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual KPU Lampung, Sjachroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009--2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko. Tidak berlebihan--apalagi muluk-muluk--sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjachroedin membangun dan mengembangkan seni budaya di daerah sudah terasa.

Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!

Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan seni budaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi seni budaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak telanjur Subdin Kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi seni budaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.

* Isbedy Stiawan ZS, seniman

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008

No comments:

Post a Comment