September 2, 2008

Masjid Tertua Lampung Rusak Terkena Letusan Krakatau

-- Triono Subagyo

SIANG itu, petugas pemukul bedug di Masjid Jami` Al Anwar bersiap memukul kentungan, yang bunyinya dipakai penanda masuknya waktu shalat.

Jarum jam menunjukkan pukul 11.57 WIB, atau tiga menit lagi waktu shalat zhuhur dimulai. Sang petugas itu telah siap dengan pemukul kentungan, dan matanya tidak lepas dari jam dinding yang berada di salah satu sudut ruangan masjid tersebut.

Begitu pukul 12.00, ia pun membunyikan kentongan beberapa kali sebelum memukul bedug yang terbuat dari kulit sapi yang dibentangkan pada kayu gelondongan besar berongga.

Selang beberapa waktu, jemaah berdatangan, baik pengurus masjid, warga sekitar, maupun sebagian orang yang melintas berhenti sejenak mengurusi duniawi, untuk menunaikan kewajibannya menghadap Sang Khalik.

Di dalam masjid berukuran sekitar 30 x 35 meter, berdiri di atas tanah wakaf seluas 6.000 meter, yang mampu menampung lebih dari 2.000 orang itu, jemaah melakukan aktivitas yang intinya berpasrah ke Illahi.

Masjid Jami` Al Anwar, begitu nama masjid itu. Masjid itu merupakan salah satu yang tertua di Lampung, yakni dibangun tahun 1888 dan dipugar tahun 1962.

Menurut pengurus masjid H.M. Achmadi Malik, bangunan awal masjid itu merupakan masjid kecil atau mushala, yang dibangun tahun 1839 Masehi.

Ia yang berasal dari Madura-Jawa Timur dan masuk ke Lampung tahun 1962 itu, mengatakan, surau tersebut pembangunannya dimotori seorang ulama keturunan Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan, bernama Muhammad Saleh bin Karaeng.

Rombongan Muhammad Saleh diperkirakan orang Bugis pertama yang bermigrasi ke Lampung. Keturunan mereka kini terus berkembang dan umumnya mendiami wilayah teluk atau pesisir.

Surau tersebut, lanjut dia, menjadi pusat peribadatan dan pembinaan agama Islam bagi nelayan, pedagang, serta masyarakat setempat.

Ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, surau itu pun rusak parah, seperti banyak bangunan di Lampung ketika itu.

Kemudian tahun 1888, tokoh Bugis lainnya, Daeng Sawijaya, mengajak sejumlah saudagar dari Banten, Bugis, Palembang, dan tokoh Lampung membangun kembali dan menjadikan bekas mushala itu sebagai masjid. Bangunan baru itu pun dinamai Masjid Jami` Al Anwar.

"Saya sempat melihat pemugaran tahun 1962 dan terus berkembang hingga kini. Namun, ciri khas yakni tiang penyangga sebanyak enam buah, dan masing-masing setinggi delapan meter masih tetap utuh," kata Achmadi Malik.

Dia menjelaskan, enam tiang yang dibangun tanpa semen tersebut sebagai bentuk simbol rukun Islam yang berjumlah enam.

Bedug dan meriam

Menurut HM Achmadi Malik, masjid tersebut masih menggunakan bedug untuk memanggil orang shalat, tiada lain untuk mempertahankan ciri.

Di dalam masjid tersebut ada dua bedug dengan ukuran berbeda. Bedug pertama lebih besar, dengan kondisi bentangan kulitnya sudah sobek dan tidak digunakan lagi, kecuali pada malam takbiran untuk meramaikan suasana.

Sedangkan bedug yang kini masih bagus berdiameter sekitar satu meter, dan siapa pun boleh memukulnya jika waktu salat telah tiba.

"Bedug ini tidak akan ditinggalkan dan siapa pun boleh memukulnya sepanjang untuk syiar Islam," katanya.

Ia menjelaskan, syiar tersebut yakni ketika hendak masuk waktu salat serta malam takbiran baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Sementara itu, di luar ada dua meriam peninggalan Portugis yang dipajang di halaman.

"Kita sengaja memajangnya untuk mengingatkan kepada siapa pun dan generasi mendatang tentang sejarah bahwa masjid ini memang dibangun pada era penjajahan," kata dia.

Namun ia tidak bisa menjelaskan siapa orang yang merancang model bangunan tersebut karena tidak ada catatan yang bercerita soal itu. Boleh jadi, katanya, bentuk masjd dirancang bersama-sama ketika pembangunan sedang berlangsung.

Guna memakmurkan masjid, pengurus mengagendakan majelis taklim selama empat kali dalam sepekan, kemudian kegiatan pengenalan Bahasa Arab dua kali dalam sepekan dan diberikan secara gratis kepada siapa pun yang ingin mempelajarinya.

Sedangkan setiap Ramadhan, kegiatan keagamaan pun ditingkatkan seperti tadarusan dan diskusi-diskusi seputar keagamaan.

Seperti hari pertama puasa, usai Salat Zuhur, sebagian jemaah berdiskusi membentuk kelompok, serta lainnya membaca Al Quran atau beristirahat sambil merebahkan diri.

Sumber: Antara, Selasa, 2 September 2008

No comments:

Post a Comment