Oleh Indira Rezkisari
MESKI gunung anak Krakatau sering batuk-batuk, kawasan Pulau Krakatau masih aman untuk dikunjungi.
Krakatau. 125 tahun lalu letusannya menewaskan lebih dari 36 ribu jiwa, menyebabkan gelombang tsunami setinggi 40 meter, dan merusak serta menghilangkan 165 desa di sekitarnya. Kini, misteri yang sama masih tetap menyelubungi gunung vulkanik yang masih sangat aktif itu. Setiap hari aktivitas vulkanik menambah ketinggian Gunung Anak Krakatau rata-rata satu centimeter.
Namun, kenyataan itu tidak menggetarkan niat saya menginjakkan kaki ke gunung tersebut. Meski terus tumbuh, sekarang tinggi Anak Krakatau baru sekitar 300 meter, masih jauh dari ketinggian ketika ia meletus pada bulan Agustus 1883, yaitu sekitar 2.000 meter. Setidaknya Anak Krakatau memerlukan waktu 400 tahun lagi untuk memorakporandakan sekitarnya.
Kekhawatiran saya justru lebih pada kenyataan bahwa untuk mencapai gunung itu harus menyeberang laut.
"Bisa berenang, Mbak?" tanya pegawai Krakatoa Nirwana Resort, milik grup Bakrie, tempat saya akan menginap.
Dia tersenyum. "Tidak apa. Nanti pakai pelampung, kok," katanya lagi.
Setelah menginap di resor nyaman berbintang empat yang secara resmi baru akan dibuka Desember nanti saya pun bersiap menuju Krakatau. Ada Festival Krakatau di sana. Festival yang diadakan atas nama peringatan meletusnya Krakatau.
Berpelampung oranye, saya duduk di sisi kiri kapal. Sembari mengucap basmillah saya pun melaut. Mengarungi muara Teluk Lampung dari Kalianda, tempat Krakatoa Nirwana Resort berada, menuju Selat Sunda. Melajulah kami dalam heningnya lautan. Ketika tempat saya menginap dan bangunan di sekelilingnya perlahan tampak mengecil lalu menghilang, hanya ada lautan di sekeliling saya.
Pemandu perjalanan kami, Agung Widodo, seorang peneliti terumbu karang dan ikan dari jurusan biologi Universitas Lampung, mulai bercerita. "Paling aman ke Krakatau itu sebenarnya kalau berangkat dari Lampung," ujarnya. "Selama ini rute populer menuju Krakatau adalah melalui Anyer."
Perjalanan dari Lampung atau dari Kalianda, menurutnya, relatif lebih aman karena adanya pulau-pulau kecil yang menghalangi ombak besar. "Kalau capai bisa mampir dulu di Pulau Sebesi," ucap dia.
Selain Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Rakata. Kecuali Pulau Sebesi, pulau lainnya tidak berpenghuni. Berisi hanya pohon kelapa dan pepohonan lainnya.
Setelah melaut selama dua setengah jam, kapal yang saya tumpangi merapat di Krakatau. Berhubung tidak ada dermaga di sana, satu per satu penumpang kapal harus melinting celana dan bersiap-siap menceburkan diri ke air. Bunyi rebana pun bertabuh. Tari-tarian ala laga pencak silat menyambut kedatangan kami.
Ternyata kami sudah terlambat. Festival yang diawali dengan ruwat laut sudah selesai tiga jam silam. Yang tersisa hanya penduduk Pulau Sebesi dan rebananya. Serta bentangan spanduk kuning bertuliskan Selamat Datang di Festival Gunung Krakatau. Begitu saja. Tanpa hiasan lain yang mewarnai pulau ini. Bahkan para penduduk sebenarnya sudah letih menunggu rombongan dari Jakarta yang tak kunjung tiba.
Tak heran mereka segera bergegas pulang usai menabuhkan lagu bagi rombongan duta besar dari Jakarta yang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal feri. Kapal besar itu tentu tidak bisa merapat sedekat kapal kecil yang saya naiki. Jadilah saya dan beberapa orang lainnya menjadi tamu satu-satunya hari itu.
Kedatangan saya tidak dibarengi dengan perjalanan di seputar pulau. M Ikbal, polisi hutan yang menjadi komandan pos, hanya memperbolehkan tur sejauh enam patokan atau 600 meter dari bibir pantai. "Supaya kalau ada letupan mendadak semua bisa langsung keluar pulau," ujarnya.
Hari itu sang gunung memang sedang batuk. Asap hitam dari mulut gunung menyelimuti langit. Belum sampai 300 meter Dodo lalu mengajak seluruh penumpang kembali ke kapal. "Kita mau lihat dari selatan," ujarnya.
Tak sampai setengah jam saya menginjak Krakatau. Harapan melihat kekayaan flora dan faunanya juga tidak kesampaian. Kekecewaan saya sedikit terhapus ketika melihat gumpalan awan hitam keluar dari mulut Anak Krakatau. Bayangan, jika sang gunung itu sudah setinggi 2.000 meter dan awan meletus?
Jangan Lupa Lapor
Kunjungan ke Gunung Krakatau harus disertai izin dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kondisi sang gunung yang kerap tidak stabil membuat wisata di sekeliling Krakatau tidak bisa dilakukan tanpa pengawasan berwenang.
Petugas BKSDA akan mengeluarkan izin masuk seandainya laporan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memungkinkan pengunjung datang ke sana. Dodo, yang kerap menginap di Krakatau demi keperluan penelitiannya, menambahkan, setelah izin keluar seorang petugas BKSDA lalu ditugaskan untuk mendampingi pemohon izin. Ini diperlukan demi keselamatan wisatawan di gunung yang masih aktif itu.
Sesampainya di Krakatau, masih ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah keharusan membawa kembali sampah yang dibawa. Di pintu masuk pulau memang tersedia tempat sampah, tetapi jangan harap ada petugas sampah yang akan mengangkut sampahnya. Jadi, pilah pilih barang bawaan Anda sebelum mengunjungi Krakatau. Jangan sampai tanda mata yang ditinggalkan adalah seonggok sampah yang membuat cagar alam yang tersohor di dunia ini justru kelihatan buruk.
Karena itu sebelum menyambangi Krakatau ada baiknya menghubungi kantor BKSDA di (0271) 703882 untuk mengurus izin kunjungan. Atau langsung mendatangi petugas di Jalan ZA Pagar Alam 1 B, Bandar Lampung.
Rute Dari Kalianda
Mau bertandang ke Krakatau? Dodo memberikan sejumlah rute alternatif yang bisa dipilih. Cara pertama yang paling mudah adalah dengan menjadi tamu di Krakatao Nirwana Resort. Penginapan ini menyediakan paket kunjungan dengan minimal jumlah peserta.
Atau, bisa mencarter kapal dari Pelabuhan Canti langsung ke Krakatau. Kira-kira memerlukan tiga jam untuk mencapai tempat tujuan. Cara lainnya, kata Dodo, adalah melalui Pelabuhan Canti dan menumpang kapal nelayan atau kapal penduduk yang hendak menuju Pulau Sebesi. Waktu tempuhnya dua jam. "Tarifnya murah. Rp 15 ribu per orang," jelasnya.
Setibanya di Pulau Sebesi Anda bisa menyewa kapal milik penduduk setempat untuk mengantarkan sampai Pulau Anak Krakatau. Rata-rata kapal kayu tersebut berkapasitas maksimal 40 orang. "Tarifnya bervariasi mulai dari Rp 800 ribu sampai Rp 1,2 juta," kata Dodo.
Lumba-lumba di Kiluan
Wisata alam di Lampung Selatan tidak hanya jalan-jalan ke Krakatau. Wisata lumba-lumba pun ada. Tempatnya di Teluk Kiluan. Menurut Dodo, teluk Kiluan bisa dicapai dengan motor selama satu setengah hingga dua jam perjalanan dari Bandar Lampung. Sedangkan pengendara mobil dapat mencapainya dalam waktu dua setengah jam.
Untuk melihat kawanan lumba-lumba Anda masih harus menyewa kapal kecil berkapasitas maksimal tiga orang. ''Kalau kapalnya besar lumba-lumba nggak mau nongol,'' jelas Dodo. "Kapal besar menimbulkan trauma bagi lumba-lumba."
Para pemburu di kapal besar memanfaatkan lumba-lumba yang senang mengikuti kapal atau perahu. Momen tersebut dimanfaatkan pemburu untuk menusukkan tombak ke tubuh lumba-lumba. Mamalia ini lantas dipotong dan diumpankan pada buruan utama mereka, ikan hiu. Hiu yang terpancing daging lumba-lumba kemudian dibunuh dan diambil siripnya untuk dijual.
Jukung atau kapal kecil bisa disewa seharga Rp 200 hingga 250 ribu. Biaya sewa dipastikan Dodo dikenakan sampai puas. Maksudnya sampai penyewa puas melihat lumba-lumba. ''Pokoknya sampai dapat melihat lumba-lumba,'' katanya.
Dari bibir Teluk Kiluan kapal kecil itu tidak mengembara terlalu jauh. Setidaknya hanya perlu lima hingga enam mil dari pantai. ''Tetapi harus bangun pagi kalau mau lihat mereka,'' sambungnya. Lumba-lumba Kiluan memang cuma muncul di pagi hari, sejak pukul 06.00 hingga 10.00 WIB.
Ada dua jenis lumba-lumba di perairan Kiluan, spesies pertama adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus). Lumba-lumba ini memiliki badan yang lebih besar dari spesies lainnya di sini. Ia juga lebih pemalu. Spesies kedua adalah lumba-lumba paruh panjang atau Stenella longirostris. Kendati tubuhnya lebih kecil namun ia lebih senang mempertontonkan dirinya dengan melompat-lompat di atas air laut.
Sumber: Republika, Minggu, 28 September 2008
No comments:
Post a Comment