September 14, 2008

Kesenian (di Lampung) Mau ke Mana?

-- Iskandar G.B.*

Idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus. Jika tidak segera diwujudkan atau diperjuangkan, semua hanya jadi wacana. Bagaimana di Lampung?

ADA tesis tentang kondisi "global" dari Samuel P. Hutington: Dunia sekarang tidak lagi ditentukan oleh model politik maupun ekonomi tapi oleh kultur. Artinya nilai-nilai seni dan budaya menjadi dominan.

Jadi sekarang kita berhadapan dengan kondisi "perang" kultur atau imajinasi-imajinasi dan tanda-tanda. Benarkah demikian, lalu bagaimana posisi Lampung dalam konteks seni dan budaya?

Sejak beberapa minggu yang lalu saya mengikuti perkembangan wacana yang berkembang di Lampung Post. Isinya beberapa adalah keluh kesah, sumpah serapah, dan beberapa di antaranya adalah petuah, bagaimana menjalani dan menghasilkan seni yang "baik". Sebab itu, saya mengucapkan terima kasih karena bisa belajar tentang hal-hal yang mestinya kami perhatikan ketika berkesenian. Dan saya mohon maaf jika pada kesempatan terbatas ini justru saya ingin menyumbang sedikit rasa khawatir dan beberapa kegundahan yang mungkin sepele dan tak perlu dalam konteks perkembangan kesenian di Lampung.

Saya bingung, apa yang harus saya lakukan setelah membaca esai-esai itu. Saya juga bingung memahami sesungguhnya apa yang ingin disampaikan penulisnya. Misalnya idealisme berkesenian, contoh konkretnya seperti apa sehingga bisa dijadikan teladan bagi kami generasi muda. Kenapa cuma tari yang diserang, bukankah teater, musik, juga mungkin seni rupa juga bisa dipertanyakan idealismenya. Bahkan dewan kesenian di Lampung tentu juga bisa disangsikan idealismenya seperti apa.

Jika idealisme jelas, sikap kita terhadap apa pun akan jelas dan lebih mudah menentukan sikap, mau kerja sama dengan pemerintah atau tidak, mau menerima job atau tidak.

Gagasan tentang idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus, keren, tetapi saya kembali menyangsikan soal keberlanjutan statemen-statemen yang telanjur meluncur deras di Lampung Post berminggu-minggu. Dengan kata lain tak kunjung menemukan bentuk konkretnya dalam rangka memperbaiki situasi berkesenian di Lampung yang katanya tak ideal itu.

Tentu jika tak segera diwujudkan atau diperjuangkan wacana itu akan menguap dan hilang begitu saja, bahkan sebelum mampu dicerna pembacanya, yang kebetulan agak lambat memahami karena keterbatasan bacaan dan pengalaman.

Kami terkejut, tercengang, dan akhirnya duduk dengan pikiran tak menentu. Sungguh betapa pun saya juga mungkin teman-teman yang lain tak mengerti betul bagaimana menjalani proses berkesenian kami dengan "benar". Lantas jika berkaca dari karya-karya yang kami hasilkan, saya juga tak kunjung menemukan ideologi yang kami anut seperti apa rupanya. Kami bahkan menyangsikan apakah kami memiliki ideologi atau ideologi kami adalah tanpa ideologi. Entahlah.

Di sektor lain, jika kami bersastra kami seperti dianjurkan menghasilkan karya-karya yang agak spiritualis. Ini benar. Tetapi memaksakan agar setiap karya itu agak spiritualis kan susah juga, karena mungkin pengalaman kami yang belum sampai ke sana. Apalagi persepsi tentang spiritualitas setiap orang berbeda.

Meskipun begitu saya bersepakat dengan pemikiran Bang Isbedy tentang pentingnya spiritualitas karya seni sehingga sebuah karya tidak kehilangan daya magis-metaforiknya, lantas jatuh sekadar aktivisme yang kelewat harafiah belaka.

Singkatnya, permasalahan seni di Lampunng terletak pada narsismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekadar rangkaian sensasi, hilangnya sisi "keindahan" dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.

Setiap seniman mesti tetap menaruh perhatian pada aspek keindahan dan kekuatan metaforik sebuah karya. Bahwa keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekadar keindahan kompositoris atau bentuk visual, tetapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan efektif dalam membuka kesadaran.

Mungkin ini masih ada hubungan dengan esai Bang Asarpin yang isinya banyak menyampaikan kepiawaian Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi sebagai alternatif bagi seniman Lampung menghasilkan karya canggih. Selancar bahasa versi Andrea Hirata yang dibilang mampu mengawinkan dunia sains dan sastra dalam novel-novelnya. Tentu ini agak melebar dari topik sebelumnya jika oleh Lampung Post sengaja dibuat berseri dan memiliki keterkaitan antara satu esai ke esai selanjutnya.

Menurut saya realitas, pengalaman, persolan-persoalan yang saya hadapi berbeda dengan Andrea Hirata. Benar bahwa ia canggih, keren tetapi mungkin tidak tepat untuk karya-karya yang saya hasilkan misalnya. Nanti malah snobis.

Tentu bukan hal yang mustahil muncul kata hidrogen, sulfur, gulma, neptunus, zodiac, dan lain-lain dalam puisi, cerpen atau novel jika ada yang mampu membuatnya, akan tetapi kalau tidak kontekstual kan hanya banal saja. Bukankah karya yang baik, yang mungkin otentik, adalah karya yang dihasilkan benar-benar merupakan serapan sang seniman atau sastrawan atas relita, bukan sekadar wisata bahasa.

***

Mungkin kami, atau lebih tepatnya saya adalah generasi gelembung-gelembung sabun yang takut kehilangan tradisi juga takut menampak realitas yang disesaki ikon-ikon globalisasi. Sebuah istilah dari kawan saya yang penyair itu, kami seperti berdiri di sebuah persimpangan yang hibuk, dengan segala lintasan peristiwa, informasi dan dan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan serentak. Kami berjarak dengan tradisi dan budaya luar. Jadilah kami generasi skizoprenia.

Ah, ya, sayang saya lupa menanyakan sibuknya seperti apa, persimpangan itu lokusnya di mana, sehingga bisa saya jadikan bahan kajian atau sedikit perenungan di sela-sela dering handphone dan iklan televisi yang tiada henti.

Pada titik tertentu saya lelah menatap konsep-konsep ideal yang kemudian diabaikan itu. Konsep-konsep laiknya mimpi-mimpi sebab esoknya saya sering menjumpai konsep-konsep ideal (mimpi-mimpi) itu begitu murung dan lesu karena ditinggalkan penggagasnya.

Akhirnya kami tertunduk lesu dan bingung karena tak ada teladan yang bisa kami jadikan sandaran, tidak ada rambu-rambu yang bisa memberikan arah yang terang bagi perjalanan kami. Kami melangkah tanpa pegangan, terus-menerus bingung mencari bentuk tradisi yang katanya bagian dari diri kami; dan memilih idealisme yang hendak kami perjuangkan seperti apa, sementara di kampus-kampus sulit menemukan orang yang memiliki kejelasan ideologi, apatah lagi di mal-mal.

Soal budaya instan yang katanya marak menggejala generasi muda sekarang pasti ada sebabnya. Mungkin salah satu sebabnya adalah orang-orang tua atau sekolah-sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana menghasilkan karya yang tidak instan atau malah orang-orang tua atau senior belomba-lomba mengintanisasi karya-karyanya juga. Sebab betapa pun instan sebuah karya tetap membutuhkan usaha dan kerja keras, membutuhkan jerih payah meski tidak terlalu berdarah, dan sesungguhnya jika ada yang berkarya tidak instan ga perlu terganggu toh jika ada karya instan efeknya juga instan, sebentar ada kemudian menghilang begitu saja.

Saya rasa di sinilah peran para anggota Dewan Kesenian, seniman senior, budayawan duduk satu meja memikirkan arah kesenian di Lampung mau ke mana? Akan tetapi jika Dewan Kesenian sendiri tidak mimiliki program dan orientasi jelas, idealismenya diragukan. Kalau sampai tidak mengetahui apa yang hendak diperjuangkan, lebih rumit masalahnya.

Kabarnya selain Dewan Kesenian Lampung, ada juga Dewan Kesenian Metro, DK Tanggamus, DK Lampung Utara, DK Lampung Timur, Way Kanan, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang, dan semuanyalah. Jika semua anggota dewan dikumpulkan, berdiskusi secara serius mencari jalan keluar agar kesenian di Lampung lebih berkembang, saya rasa akan ketemu juga akar persoalannya, apa solusinya, bagaimana agar karya-karya kesenian di Lampung lebih berkualitas di kemudian hari. Lebih keren di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tidak ada lagi plagiat dan seniman-seniman karbitan di ranah Lampung.

Hingga detik ini saya rasa belum pernah seluruh anggota Dewan Kesenian di Lampung duduk satu meja membincangkan nasib kesenian. Tentu sebagai anggota dewan terhormat punya kapasitas mengembalikan seni pada hakikatnya. Memberikan rambu-rambu agar pelaku seni itu menghasilkan karya bukan karena pesanan, bagaimana belajar kesenian secara sistematis atau lebih rasional, bagaimana menghasilkan karya yang otentik.

Maksudnya langkah konkret dari keluh kesah berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun lalu tentang nasib kesenian di Lampung itu mana? Sehingga saya juga pelaku kesenian yang masih muda ini mendapat contoh yang baik, kemudian mendapat arah yang jelas dalam menjalani proses berkesenian di masa mendatang, bisa memperkaiki sikap dan karya kami dikemudian hari bukan sekadar mencaci maki. ***

* Iskandar G.B., Aktor, pemerhati budaya pop

Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2008

No comments:

Post a Comment