Oleh Anshori Djausal
KEBUDAYAAN kerap hanya dimaknai sebatas norma adat istiadat, kesenian, dan tata cara adat lainnya. Dalam perspektif luas, seperti diutarakan Koentjaraningrat, kebudayaan atau etnografis dapat meliputi aspek yang lebih komprehensif seperti sistem teknologi, mata pencaharian, pengetahuan, religi, organisasi sosial, kesenian, sejarah, lingkungan alam, dan sistem bahasa.
Kebudayaan tidaklah statis, tapi dinamis. Kebudayaan yang statis cenderung introver, tak mampu menyesuaikan diri dengan dinamika peradaban. Kebudayaan statis akan berujung pada runtuhnya peradaban suku-bangsa. Sebaliknya, kebudayaan yang dinamis mampu beradaptasi dengan dinamika sosial. Dalam tataran ini, kita mengenal ranah local genius, asimilasi, dan akulturasi.
Eksistensi kebudayaan kita dewasa ini, terutama masyarakat adat Lampung, dihadapkan pada dua tantangan besar. Secara internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya, pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana dan dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Secara eksternal, kita dihadapkan pada serbuan budaya instan, pop, dan budaya global. Koran, radio, internet, dan televisi menjadi media yang bisa masuk ke ruang-ruang privasi kita. Budaya instan dan global itu dengan mudah memengaruhi diri anak-anak kita, baik pada tataran kognitif, afektif, dan lambat laun akan sampai pada level psikomotorik.
Apabila kedua tantangan tersebut dapat kita ubah menjadi peluang, maka kita dapat memajukan kebudayaan. Sebaliknya, apabila gagal menjadikan tantangan tersebut menjadi peluang, bahkan tantangan tersebut bergeser menjadi virus atau ancaman serius, maka siap-siaplah kebudayaan kita akan terdegradasi, tererosi, bahkan menuju jurang kepunahan.
Sejak tahun 90-an, muncul pemikiran dan upaya pelestarian dan pemberdayaan budaya Lampung. Pemerintah dan sekolah membuat kurikulum lokal bagi siswa untuk mempelajari bahasa dan aksara Lampung. Pelaku budaya yang terbatas mencoba melakukan sosialisasi dan pewarisan nilai adat istiadat melalui kegiatan pelatihan, acara di RRI Lampung, TVRI Lampung. Generasi muda yang peduli mulai memasukan lagu Lampung sebagai pilihan wajib, sebagai selingan mementaskan musik rock.
Pemerintah berupaya mengoptimalisasi sarana kebudayaan baik yang ada di Museum Lampung, Taman Budaya Lampung, Way Halim, dan aneka tempat. Pemerintah mencoba mengadopsi arsitektur tradisional Lampung untuk merehabilitasi bangunan perkantoran, bahkan telah mendirikan menara siger. Beberapa pihak mulai mengumpulkan dan menata database kebudayaan Lampung. Kelembagaan adat di level kampung serta marga juga menata diri menatap masa depan.
Perkembangan konservasi kebudayaan di Lampung memang cukup dinamis. Namun, menurut saya, setidaknya ada 6 (enam) aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan konservasi kebudayaan.
Pertama, prinsip learn, care, and used. Prinsip ini merupakan prinsip konservasi yang berlaku universal yang sering diintrodusir oleh lembaga-lembaga konservasi. Ketiga hal itu harus sinergis. Kebudayaan jangan berhenti sebatas sesuatu yang keramat, sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan generasi mendatang. Kebudayaan hendaknya bermuara pada peningkatan nilai budaya dan kualitas kehidupan kita.
Kedua, penguatan kelembagaan dan database. Apabila kelembagaan dan database ini kuat, dia mampu menopang dan mengendalikan beban atau potensi yang ada. Selain itu, yang penting dibenahi adalah penyusunan program kegiatan, dan melatih sumber daya pengelola. Kekeliruan kita selama ini adalah kita baru sebatas penyiapan perangkat keras dan lunak, belum menjangkau secara utuh dan menyeluruh. Kelembagaan budaya dan informasi yang harus dibangun.
Ketiga, kejelasan visi dan misi. Visi dan misi ibarat secercah cahaya di ujung lorong gelap. Tanpa visi dan misi yang jelas, kita dapat "tersesat", jalan di tempat. Visi kebudayaan kita harus terang benderang dilihat semua pihak, visi kita adalah menjadi warga nasional dan global.
Keempat, kesinambungan program. Konservasi kebudayaan haruslah diwujudkan secara nyata ke dalam program kerja secara simultan. Kita perlu saling koordinasi dan kerja sama sinergis. Jangan terjebak untuk saling hadap-menghadapkan, yang malah berujung kepada sikap saling menyalahkan dan menilai diri yang paling baik.
Kelima, kerja sama dan networking. Kerja sama kebudayaan akan bermuara kepada terbentuknya mata rantai kebudayaan baik di level lokal, nasional, regional, dan internasional. Ketika dunia internasional membicarakan topeng, maka mestinya Lampung juga diperhitungkan, karena Lampung memiliki aneka topeng tradisional. Begitu juga mengenai tekstil, arsitektur tradisional, perahu, dan aneka norma budaya lainnya.
Keenam, sebagai tujuan pokok, menjadikan kebudayaan Lampung sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Kebudayaan kita harus mampu untuk ikut membangun kebudayaan dunia. Konservasi kebudayaan idealnya memegang prinsip bahwa konservasi budaya bukan semata mengagung-agungkan masa lalu. Konservasi itu untuk digunakan (used) pada masa kini dan kepentingan masa depan.
Memang ini tidaklah mudah mencapainya, tetapi perlu upaya bertahap dan terus menerus untuk mencapainya. Semua ini membutuhkan proses dan keterlibatan yang sungguh-sunguh, semua pihak.
* Anshori Djausal, Ketua Lampung Heritage Society
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Oktober 2009
October 31, 2009
Budaya: Pemkot Canangkan Cinta Batik Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengurus Ikatan Muli Mekhanai Kota Bandar Lampung (Imkobal) periode 2009--2012 dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh Sekretaris Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi di Gedung PKK Kota, Jumat (30-10). Selain itu, Gerakan Cinta Batik Lampung juga dicanangkan.
Pengurus Imkobal meliputi Ketua Khairul Bakti, Wakil Ketua I Romi Husin, Wakil Ketua II Jimmy Khomeini, dan beberapa mantan muli mekhanai.
Imkobal terdiri dari empat bidang; Bidang Sosial Budaya, Bidang Seni, Budaya, dan Pariwisata, Bidang Mutu dan Pendayagunaan SDM, dan Bidang Administrasi Kelembagaan.
Selain pengukuhan, Sekretaris Kota juga mencanangkan cinta batik Lampung. Pengukuhan Imkobal dihadiri Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bandar Lampung Nurpuri Eddy Sutrisno, Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Asisten III Bidang Administrasi Ishak, beberapa anggota DPRD, dan para camat.
Khairul mengatakan kepengurusan Imkobal sebetulnya sudah ada sejak tahun 1995. Pengurus kembali dibentuk dan disusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Ia mengharapkan kepengurusan baru bisa berjalan. Imkobal, kata Khairul, akan membantu kiprah Pemkot dalam berbagai kegiatan seni, budaya, dan pariwisata.
Menurut Khairul, pencanangan cinta batik Lampung adalah untuk menggugah warga Bandar Lampung Lampung memiliki batik dengan ciri khas tersendiri. Batik Lampung pun bisa dibanggakan.
Sudarno meminta agar Imkobal menyelenggarakan kegiatan yang bisa mendorong pariwisata Bandar Lampung. Selama ini kunjungan wisata belum sebanding dengan potensi wisata di Bandar Lampung.
Menurut Sudarno, rasa cinta Tanah Air bisa ditunjukkan dengan kebanggaan akan produk nasional. Termasuk dalam penggunaan busana batik.
Setelah ada pencanangan cinta batik Lampung, Sudarno mengharapkan pakaian batik bisa menjadi identitas. Batik tidak hanya dipakai pada hari Jumat. Penggunaan batik bisa disesuaikan dengan acara yang ada. Pemakaian batik bisa meningkatkan identitas bangsa. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Oktober 2009
Pengurus Imkobal meliputi Ketua Khairul Bakti, Wakil Ketua I Romi Husin, Wakil Ketua II Jimmy Khomeini, dan beberapa mantan muli mekhanai.
Imkobal terdiri dari empat bidang; Bidang Sosial Budaya, Bidang Seni, Budaya, dan Pariwisata, Bidang Mutu dan Pendayagunaan SDM, dan Bidang Administrasi Kelembagaan.
Selain pengukuhan, Sekretaris Kota juga mencanangkan cinta batik Lampung. Pengukuhan Imkobal dihadiri Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bandar Lampung Nurpuri Eddy Sutrisno, Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Asisten III Bidang Administrasi Ishak, beberapa anggota DPRD, dan para camat.
Khairul mengatakan kepengurusan Imkobal sebetulnya sudah ada sejak tahun 1995. Pengurus kembali dibentuk dan disusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Ia mengharapkan kepengurusan baru bisa berjalan. Imkobal, kata Khairul, akan membantu kiprah Pemkot dalam berbagai kegiatan seni, budaya, dan pariwisata.
Menurut Khairul, pencanangan cinta batik Lampung adalah untuk menggugah warga Bandar Lampung Lampung memiliki batik dengan ciri khas tersendiri. Batik Lampung pun bisa dibanggakan.
Sudarno meminta agar Imkobal menyelenggarakan kegiatan yang bisa mendorong pariwisata Bandar Lampung. Selama ini kunjungan wisata belum sebanding dengan potensi wisata di Bandar Lampung.
Menurut Sudarno, rasa cinta Tanah Air bisa ditunjukkan dengan kebanggaan akan produk nasional. Termasuk dalam penggunaan busana batik.
Setelah ada pencanangan cinta batik Lampung, Sudarno mengharapkan pakaian batik bisa menjadi identitas. Batik tidak hanya dipakai pada hari Jumat. Penggunaan batik bisa disesuaikan dengan acara yang ada. Pemakaian batik bisa meningkatkan identitas bangsa. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Oktober 2009
October 25, 2009
Sumpah Pemuda dan Nasib Bahasa Daerah
Oleh Asarpin*
BAHASA Indonesia bermula dari proyek kebangsaan. Ini setidaknya bisa dilihat sejak Sumpah Pemuda 1928, di mana harapan untuk menjadikan bahasa sebagai agenda nasionalisme di kalangan kaum pergerakan mencapai puncaknya dengan dibacakannya ikrar bersama tentang pentingnya memiliki satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Ungkapan "bahasa menunjukkan bangsa" tampaknya mempertegas hubungan lama antara bangsa dan bahasa. Bahasa Indonesia pada mulanya berjalan seiring dengan derap-langkah pergerakan dan nasionalisme. Hubungan sastra dan politik sejak awal begitu intim dan karib.
Namun bagaimana pun, bahasa Indonesia lebih muda ketimbang proyek politik. Dan politik berkembang dengan cara meninggalkan teman karibnya, yaitu bahasa. Tak heran jika kemudian Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima karena kenyataannya, sastra lahir setelah desain nasionalisme digelar di mana-mana.
Seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang dikenal dengan puisi-puisinya yang paling jauh dari persoalan politik, pernah mengatakan: "Sastra atau sastrawan boleh saja berkoar-koar menolak atau mengelakkan politik sebagai panglima, tetapi sastra nasional Indonesia sah mendapatkan label nasional itu lewat kepanglimaan politik yang muasalnya adalah Sumpah Pemuda."
Bung Karno sempat menolak "nasionalisme kebangsaan" dan mengajukan "nasionalisme masyarakat". Dan Bung Karno tentu saja melihat puisi dan bahasa bermula dari wacana kebangsaan jauh sebelum kemerdekaan politik, karena Bung Karno sendiri beberapa kali merefleksikan dalam bentuk tulisan tentang Sumpah Pemuda sebagai kemerdekaan kultural.
Karena itu, perkembangan puisi dan bahasa Indonesia mau tak mau mengikuti logika dari proyek kebangsaan. Bahasa puisi berjalan kian jauh dan tak jarang meninggalkan bahasa Indonesia. Sementara bahasa Indonesia berkembang menjadi imprealisme bagi berbagai bahasa daerah. Hadir dan tumbuhnya bahasa Indonesia ternyata mampu menghambat perkembangan ratusan bahasa daerah, hingga sebagian besar bahasa daerah yang ada mengalami degredasi yang cukup parah.
Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa penjajah dan berhasil membunuh puluhan bahasa daerah di Papua, dan konon ada sekitar tujuh ratusan bahasa daerah yang kini terancam punah. Bahasa Lampung juga dianggap terancam ditinggalkan penuturnya karena orang Lampung merasa lebih bermartabat dan lebih maju jika menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasanya sendiri.
Sangat wajar jika sejak reformasi 1998 dan otonomi daerah, muncul keinginan di kalangan sastrawan dan peminat bahasa untuk memajukan bahasa daerah sambil melakukan kritik terhadap gerakan berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Penggunaan bahasa daerah mulai digalakkan di mana-mana. Lalu muncul klaim-klaim yang sempit yang mengarah ke persoalan primordialisme.
Afrizal Malna termasuk sastrawan yang mendukung gerakan Sastra Kepulauan dan penggunaan bahasa daerah dalam karya sastra. Namun hemat saya, gejala ini mesti disikapi dengan wajar sebagai hal yang sehat bagi upaya menghargai keragaman budaya, tetapi mesti juga mendapat kritik dan tanggapan yang kritis. Kalau tidak, ia bisa menjadi gerakan yang merongrong keutuhan bahasa Indonesia yang kini agaknya mulai terlihat sebagai "bahasa yang bergairah menjelajah ke dalam alam benda konkrit" serta bahasa "yang memasuki avontur yang penuh arti" (mencuri istilah Goenawan Mohamad).
Bayangkan betapa repotnya kita bercakap-cakap jika masing-masing daerah menggunakan bahasanya. Dan bahasa Indonesia bagaimanapun sudah telanjur digunakan sebagai bahasa komunikasi di lingkungan masyarakat yang memiliki bahasa daerah. Karena itu, bahasa Indonesia tetap penting dipertahankan sebagai bahasa pergaulan bersama. Agar bahasa ini tidak mengoloni bahasa-bahasa daerah yang ada, yang memang sudah terlihat watak imperialnya, maka ruang untuk mengekspresikan dan menyosialisasikan bahasa daerah mesti tetap dibuka secara setara.
Bagaimanapun, konsekuensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus diterima dengan lapang dada sambil tidak lupa mencari alternatif-alternatif yang bisa mendekatkan bahasa Indonesia ke berbagai bahasa daerah. Solusinya bukan dengan memperdakan bahasa daerah agar orang "dipaksa" secara halus untuk menggunakannya padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak tertarik. Dibutuhkan kritik terus-menerus atas pemakaian bahasa Indonesia agar jangan sampai membunuh sumber inspirasinya. Bahasa Indonesia, bagaimanapun, mesti diterima sebagai bahasa nasional berdasarkan kesejarahan.
Bukankah dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928 dulu kebanyakan bahasa dan sastra daerah kita justru tidak melakukan penolakan yang berarti, malah mendukung gagasan revolusioner tersebut? Bahkan menurut Sutardji, dengan adanya Sumpah Pemuda, bahasa dan sastra daerah ikhlas berkorban untuk surut ke belakang sambil mendukung sastra Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai pengucapan untuk yang tingkatnya nasional.
Tentu saja masih ada yang menulis dan membaca karya sastra Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Lampung, dan lain lain. Namun, yang dikemukakan dalam pergaulan sastra nasional tentulah karya karya aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Dan dalam pergaulan internasional, umpamanya dalam Festival Puisi ASEAN atau semacam Poetry International Rotterdam, yang ditampilkan dari Indonesia bukan karya sastra penyair atau sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Bugis, tetapi dalam bahasa Indonesia.
Menurut Sutardji, yang perlu jadi renungan adalah bagaimana menempatkan dalam aspek nasional sastra daerah masa kini, yaitu kreativitas sastra daerah yang dikerjakan para pengarang yang menulis dalam bahasa daerah. Mungkin saja dalam kreativitas daerah muncul bakat-bakat yang hebat.
Tapi, walaupun seandainya karya mereka lebih berbobot dibanding dengan pengarang nasional (pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia), tetap saja tak mendapat perhatian yang berarti. Beda misalnya dengan karya patung Tjokot, meskipun sangat Bali tapi bisa dibanggakan atau diklaim sebagai karya nasional. Begitu pula patung-patung Asmat yang dipamerkan di luar negeri sebagai hasil karya Indonesia. Berbagai tari daerah digelar dalam festival tari antarbangsa dengan label mewakili Indonesia. Tetapi dalam festival sastra internasional belum pernah Indonesia diwakili penyair yang menulis dalam bahasa Jawa atau Sunda misalnya.
Siapa yang mewakili Indonesia, tentu saja sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, bukan yang menulis dalam bahasa daerah. Adanya penghargaan sastra di tingkat nasional atau internasional adalah karya berbahasa Indonesia. Para sastrawan yang menulis karya berbahasa Indonesia masih ada harapan memperoleh penghargaan sebagai karya terbaik nasional atau internasional, tetapi tidak ada harapan bagi mereka untuk memperoleh penghargaan nasional dan internasional dengan menulis karya sastra berbahasa daerah.
Apakah sastra daerah memang sulit untuk bisa ditampilkan dalam kancah nasional atau internasional? Atau, dalam perhatian internasional, apakah sastra daerah hanya sekadar objek studi para sarjana asing? Atau apakah sastra daerah adalah stateless, seperti kata Sutardji, mengingat sulitnya mendapat pengakuan nasional dan tidak bisa mewakili secara nasional untuk suatu event sastra internasional?
* Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Oktober 2009
BAHASA Indonesia bermula dari proyek kebangsaan. Ini setidaknya bisa dilihat sejak Sumpah Pemuda 1928, di mana harapan untuk menjadikan bahasa sebagai agenda nasionalisme di kalangan kaum pergerakan mencapai puncaknya dengan dibacakannya ikrar bersama tentang pentingnya memiliki satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Ungkapan "bahasa menunjukkan bangsa" tampaknya mempertegas hubungan lama antara bangsa dan bahasa. Bahasa Indonesia pada mulanya berjalan seiring dengan derap-langkah pergerakan dan nasionalisme. Hubungan sastra dan politik sejak awal begitu intim dan karib.
Namun bagaimana pun, bahasa Indonesia lebih muda ketimbang proyek politik. Dan politik berkembang dengan cara meninggalkan teman karibnya, yaitu bahasa. Tak heran jika kemudian Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima karena kenyataannya, sastra lahir setelah desain nasionalisme digelar di mana-mana.
Seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang dikenal dengan puisi-puisinya yang paling jauh dari persoalan politik, pernah mengatakan: "Sastra atau sastrawan boleh saja berkoar-koar menolak atau mengelakkan politik sebagai panglima, tetapi sastra nasional Indonesia sah mendapatkan label nasional itu lewat kepanglimaan politik yang muasalnya adalah Sumpah Pemuda."
Bung Karno sempat menolak "nasionalisme kebangsaan" dan mengajukan "nasionalisme masyarakat". Dan Bung Karno tentu saja melihat puisi dan bahasa bermula dari wacana kebangsaan jauh sebelum kemerdekaan politik, karena Bung Karno sendiri beberapa kali merefleksikan dalam bentuk tulisan tentang Sumpah Pemuda sebagai kemerdekaan kultural.
Karena itu, perkembangan puisi dan bahasa Indonesia mau tak mau mengikuti logika dari proyek kebangsaan. Bahasa puisi berjalan kian jauh dan tak jarang meninggalkan bahasa Indonesia. Sementara bahasa Indonesia berkembang menjadi imprealisme bagi berbagai bahasa daerah. Hadir dan tumbuhnya bahasa Indonesia ternyata mampu menghambat perkembangan ratusan bahasa daerah, hingga sebagian besar bahasa daerah yang ada mengalami degredasi yang cukup parah.
Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa penjajah dan berhasil membunuh puluhan bahasa daerah di Papua, dan konon ada sekitar tujuh ratusan bahasa daerah yang kini terancam punah. Bahasa Lampung juga dianggap terancam ditinggalkan penuturnya karena orang Lampung merasa lebih bermartabat dan lebih maju jika menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasanya sendiri.
Sangat wajar jika sejak reformasi 1998 dan otonomi daerah, muncul keinginan di kalangan sastrawan dan peminat bahasa untuk memajukan bahasa daerah sambil melakukan kritik terhadap gerakan berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Penggunaan bahasa daerah mulai digalakkan di mana-mana. Lalu muncul klaim-klaim yang sempit yang mengarah ke persoalan primordialisme.
Afrizal Malna termasuk sastrawan yang mendukung gerakan Sastra Kepulauan dan penggunaan bahasa daerah dalam karya sastra. Namun hemat saya, gejala ini mesti disikapi dengan wajar sebagai hal yang sehat bagi upaya menghargai keragaman budaya, tetapi mesti juga mendapat kritik dan tanggapan yang kritis. Kalau tidak, ia bisa menjadi gerakan yang merongrong keutuhan bahasa Indonesia yang kini agaknya mulai terlihat sebagai "bahasa yang bergairah menjelajah ke dalam alam benda konkrit" serta bahasa "yang memasuki avontur yang penuh arti" (mencuri istilah Goenawan Mohamad).
Bayangkan betapa repotnya kita bercakap-cakap jika masing-masing daerah menggunakan bahasanya. Dan bahasa Indonesia bagaimanapun sudah telanjur digunakan sebagai bahasa komunikasi di lingkungan masyarakat yang memiliki bahasa daerah. Karena itu, bahasa Indonesia tetap penting dipertahankan sebagai bahasa pergaulan bersama. Agar bahasa ini tidak mengoloni bahasa-bahasa daerah yang ada, yang memang sudah terlihat watak imperialnya, maka ruang untuk mengekspresikan dan menyosialisasikan bahasa daerah mesti tetap dibuka secara setara.
Bagaimanapun, konsekuensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus diterima dengan lapang dada sambil tidak lupa mencari alternatif-alternatif yang bisa mendekatkan bahasa Indonesia ke berbagai bahasa daerah. Solusinya bukan dengan memperdakan bahasa daerah agar orang "dipaksa" secara halus untuk menggunakannya padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak tertarik. Dibutuhkan kritik terus-menerus atas pemakaian bahasa Indonesia agar jangan sampai membunuh sumber inspirasinya. Bahasa Indonesia, bagaimanapun, mesti diterima sebagai bahasa nasional berdasarkan kesejarahan.
Bukankah dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928 dulu kebanyakan bahasa dan sastra daerah kita justru tidak melakukan penolakan yang berarti, malah mendukung gagasan revolusioner tersebut? Bahkan menurut Sutardji, dengan adanya Sumpah Pemuda, bahasa dan sastra daerah ikhlas berkorban untuk surut ke belakang sambil mendukung sastra Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai pengucapan untuk yang tingkatnya nasional.
Tentu saja masih ada yang menulis dan membaca karya sastra Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Lampung, dan lain lain. Namun, yang dikemukakan dalam pergaulan sastra nasional tentulah karya karya aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Dan dalam pergaulan internasional, umpamanya dalam Festival Puisi ASEAN atau semacam Poetry International Rotterdam, yang ditampilkan dari Indonesia bukan karya sastra penyair atau sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Bugis, tetapi dalam bahasa Indonesia.
Menurut Sutardji, yang perlu jadi renungan adalah bagaimana menempatkan dalam aspek nasional sastra daerah masa kini, yaitu kreativitas sastra daerah yang dikerjakan para pengarang yang menulis dalam bahasa daerah. Mungkin saja dalam kreativitas daerah muncul bakat-bakat yang hebat.
Tapi, walaupun seandainya karya mereka lebih berbobot dibanding dengan pengarang nasional (pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia), tetap saja tak mendapat perhatian yang berarti. Beda misalnya dengan karya patung Tjokot, meskipun sangat Bali tapi bisa dibanggakan atau diklaim sebagai karya nasional. Begitu pula patung-patung Asmat yang dipamerkan di luar negeri sebagai hasil karya Indonesia. Berbagai tari daerah digelar dalam festival tari antarbangsa dengan label mewakili Indonesia. Tetapi dalam festival sastra internasional belum pernah Indonesia diwakili penyair yang menulis dalam bahasa Jawa atau Sunda misalnya.
Siapa yang mewakili Indonesia, tentu saja sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, bukan yang menulis dalam bahasa daerah. Adanya penghargaan sastra di tingkat nasional atau internasional adalah karya berbahasa Indonesia. Para sastrawan yang menulis karya berbahasa Indonesia masih ada harapan memperoleh penghargaan sebagai karya terbaik nasional atau internasional, tetapi tidak ada harapan bagi mereka untuk memperoleh penghargaan nasional dan internasional dengan menulis karya sastra berbahasa daerah.
Apakah sastra daerah memang sulit untuk bisa ditampilkan dalam kancah nasional atau internasional? Atau, dalam perhatian internasional, apakah sastra daerah hanya sekadar objek studi para sarjana asing? Atau apakah sastra daerah adalah stateless, seperti kata Sutardji, mengingat sulitnya mendapat pengakuan nasional dan tidak bisa mewakili secara nasional untuk suatu event sastra internasional?
* Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Oktober 2009
October 23, 2009
October 18, 2009
Menimbang Wisata Lampung
Esai Christian Heru Cahyo Saputro
TAHUN kunjungan Lampung (Visit Lampung Year) dalam hitungan hari akan berakhir. Namun, gaungnya nyaris tak terdengar. Festival Krakatau, mayor event yang dijadikan andalan pun tak membahana. Hanya terkesan seremonial untuk memanjakan petinggi dan duta besar negeri jiran.
Danau Ranau (LAMPUNG POST/M. REZA)
Memang, masih banyak pekerjaan rumah dan persoalan yang harus dibenahi untuk menggesa perkembangan jagat pariwisata Lampung. Mungkin, yang menjadi salah satu kelemahan jagat pariwisata Lampung hingga saat ini, Lampung tak memiliki branding atau tagline yang unik dan menjual.
Padahal, branding atau tagline ini sangat penting dalam dunia industri tanpa cerobong asap ini untuk membangun pencitraan untuk target marketing. Atau, istilah lainnya menurut Alamsyah, pariwisata Lampung harus memiliki visi yang cerdas (Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009).
Daerah lain berani mengucurkan dana miliaran rupiah untuk mengampanyekan tagline-nya yang sesuai dengan karakter, filosofi, dan tentunya punya nilai jual. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan bangga mengusung tagline wisata yang cukup menarik: Never Ending Asia. Solo dengan The Spirit of Java dan Semarang dengan SPA (Semarang Pesona Asia).
Dulu Komite Pariwisata Lampung pernah mengajak para pewarta untuk mendiskusikan tagline ini. Memang tak secara resmi disepakati untuk bersama-sama menggemakan tagline pariwisata Lampung yaitu Lampung, The Land of Krakatau (Lampung Bumi Krakatau). Namun, program yang pernah dirilis dan digemakan di berbagai media ini tak ada kelanjutannya.
Padahal, tagline ini sangat tepat, berkarakter dan lebih "menjual" ketimbang Lampung, Your Second Home. Apalagi, secara administratif dan geografis, Krakatau sekarang ini milik Lampung. Selain itu, Lampung didukung nama besar Krakatau yang sudah populer di dunia.
Tetapi apa yang terjadi? Lampung justru merilis tagline Lampung, Your Second Home. Atau ternyata, Lampung memang hanya pantas dijadikan rumah kedua. Yang mencerminkan, Lampung hanyalah destinasi alternatif, bukan prioritas. Sungguh malang nian jagat pariwisata Lampung.
'Event' dan Festival
Pada tahun kunjungan wisata Lampung (VLY) 2009, Lampung masih mengandalkan empat event pariwisata yang juga merupakan agenda nasional, yakni Festival Bandar Lampung Begawi, Festival Teluk Stabas, Festival Krakatau, dan Festival Way Kambas.
Sedangkan VLY 2009 ditargetkan dapat menarik dua juta wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang bisa melihat langsung objek wisata maupun peristiwa budaya yang dihelat di Lampung.
Untuk memarakkan VLY 2009, sepanjang tahun dijadwalkan ditaja berbagai major event dan supporting event seperti Festival Megou Pak di Kabupaten Tulang Bawang, Lomba Perahu Naga (Dragon Boat Competition), Petualangan Sungai dan Lahan Basah (Wet Land and River Tour), Festival Radin Jambat, Festival Kuda Lumping, Lomba Lari 10 K, Lomba Layang-layang Hias.
Kemudian, Festival Kota Metro, Festival Kota Bumi Bettah, Cangget Bakha, Manjau Tebing, Begawi Bandar Lampung, International Mask Festival, International Kite Festival, Festival Perahu Hias, Festival Stabas, Surfing Exhibition Track Series, Semarak Danau Ranau, Lomba Panjat Damar.
Selain itu, Pesona Budaya Lampung Selatan, Festival Krakatau, Krakatau Tour, Lampung Expo, Festival Teluk Semaka, Fishing Week, Kebut Gunung Pesagi, Festival Selat Sunda, dan Jet Ski Competition. Sedangkan pada penghujung bulan Desember, sebagai sebagai gong VLY 2009 bakal ditaja Festival Ngumbay Lawok, Festival Way Kambas, Fox Hunting, dan National Offroad.
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pencanangan tahun kunjungan ke Lampung (Visit Lampung Year 2009) tak terasa akan berakhir. Tetapi, target golnya belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Pasalnya, tradisi pariwisata di Lampung memang belum tumbuh dan memasyarakat. Contohnya, meskipun Festival Krakatau sudah memasuki tahun ke-19 penyelenggaraannya, festival yang setiap tahun dihelat dengan tujuan memarakkan kehidupan pariwisata Lampung ini belum banyak dinikmati manfaatnya oleh masyarakat.
Festival ini lebih berkesan sebagai festival "pelat merah" dan sekadar proyek. Peristiwa ini terkesan hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi ketimbang masyarakat Lampung. Festival ini terkesan hanya untuk menyervis para duta besar. Padahal, kalau festival yang digarap membumi dan berbasis masyarakat, hasilnya dapat dinikmati segenap masyarakat Lampung.
Pariwisata di Lampung memang belum menjadi kebutuhan pokok seperti halnya sektor primer lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal, di era otonomi inilah saatnya sektor wisata memberikan kontribusi yang besar bagi kebutuhan primer masyarakat.
Kalau saja Festival Krakatau digarap dengan berbasis masyarakat, akan tumbuh kokoh dan kuat seperti Pesta Kesenian Bali, Festival Kesenian Yogyakarta, Jak Art dan Jember Fashion Carnaval yang sudah mendunia.
Pesimisnya lagi, beberapa tahun terakhir, infrastruktur seperti jalan-jalan dan fasilitas umum di kawasan wisata di Lampung amburadul. Inilah salah satu langkah yang penting untuk diperbaiki. Pasalnya, nanti ketika para wisatawan berkunjung ke Lampung dan kecewa, ini justru bisa menjadi kampanye hitam (black campaign) bagi dunia pariwisata Lampung.
Sinergi 'Stakeholder'
Di samping itu, fund raising dan publikasi yang merupakan elemen penting dalam menggelar festival di Lampung belum tergarap. Andai saja Lampung punya "orang gila" seperti dua bersaudara Helmi Yahya dan Tantowi Yahya yang bisa menarik sponsor untuk menggemparkan Visit Musi Year yang digelar Sumsel tahun lalu.
Penyair Isbedy Setiawan Z.S. dalam sebuah puisinya, Muli, menyindir orang Lampung yang sudah sukses tapi enggan bersusah-payah untuk membesarkan Lampung. Mak ingok jamo tiyuh (lupa kampung halaman).
Banyak hal yang harus dibenahi untuk menumbuhkembangkan industri pariwisata Lampung, mulai dari keamanan dan kenyamanan, akses penerbangan, prasarana pelabuhan laut, hingga transportasi angkutan umum ke objek wisata.
Dunia pariwisata merupakan kerja lintas sektoral. Perlu kerja sama yang sinergis antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada. Pemprov Lampung juga harus menggandeng pihak swasta untuk mendukungnya dengan regulasi dan kepastian hukum yang jelas sehingga orang tak ragu-ragu dalam berinvestasi.
Salah satu langkah solusi yang bisa dikedepankan antara lain hotel-hotel bisa bekerja sama dengan biro perjalanan menjual paket wisata. Selama ini, biro perjalanan yang ada terkesan hanya papan nama dan tak mau jemput bola.
Lalu, menyiapkan tenaga-tenaga di bidang pariwisata yang profesional, menata dan mengemas objek wisata agar lebih menarik, serta publikasi yang gencar dari berbagai lini seperti media cetak, media elektronik, internet, dan website yang terus di-update.
Beberapa catatan dan pekerjaan rumah inilah yang harus digarap kalau ingin menjadikan Lampung destinasi wisata yang "menjual".
* Christian Heru Cahyo Saputro, penghayat perjalanan dan Peneliti Folklor, tinggal di Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Oktober 2009
TAHUN kunjungan Lampung (Visit Lampung Year) dalam hitungan hari akan berakhir. Namun, gaungnya nyaris tak terdengar. Festival Krakatau, mayor event yang dijadikan andalan pun tak membahana. Hanya terkesan seremonial untuk memanjakan petinggi dan duta besar negeri jiran.
Danau Ranau (LAMPUNG POST/M. REZA)
Memang, masih banyak pekerjaan rumah dan persoalan yang harus dibenahi untuk menggesa perkembangan jagat pariwisata Lampung. Mungkin, yang menjadi salah satu kelemahan jagat pariwisata Lampung hingga saat ini, Lampung tak memiliki branding atau tagline yang unik dan menjual.
Padahal, branding atau tagline ini sangat penting dalam dunia industri tanpa cerobong asap ini untuk membangun pencitraan untuk target marketing. Atau, istilah lainnya menurut Alamsyah, pariwisata Lampung harus memiliki visi yang cerdas (Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009).
Daerah lain berani mengucurkan dana miliaran rupiah untuk mengampanyekan tagline-nya yang sesuai dengan karakter, filosofi, dan tentunya punya nilai jual. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan bangga mengusung tagline wisata yang cukup menarik: Never Ending Asia. Solo dengan The Spirit of Java dan Semarang dengan SPA (Semarang Pesona Asia).
Dulu Komite Pariwisata Lampung pernah mengajak para pewarta untuk mendiskusikan tagline ini. Memang tak secara resmi disepakati untuk bersama-sama menggemakan tagline pariwisata Lampung yaitu Lampung, The Land of Krakatau (Lampung Bumi Krakatau). Namun, program yang pernah dirilis dan digemakan di berbagai media ini tak ada kelanjutannya.
Padahal, tagline ini sangat tepat, berkarakter dan lebih "menjual" ketimbang Lampung, Your Second Home. Apalagi, secara administratif dan geografis, Krakatau sekarang ini milik Lampung. Selain itu, Lampung didukung nama besar Krakatau yang sudah populer di dunia.
Tetapi apa yang terjadi? Lampung justru merilis tagline Lampung, Your Second Home. Atau ternyata, Lampung memang hanya pantas dijadikan rumah kedua. Yang mencerminkan, Lampung hanyalah destinasi alternatif, bukan prioritas. Sungguh malang nian jagat pariwisata Lampung.
'Event' dan Festival
Pada tahun kunjungan wisata Lampung (VLY) 2009, Lampung masih mengandalkan empat event pariwisata yang juga merupakan agenda nasional, yakni Festival Bandar Lampung Begawi, Festival Teluk Stabas, Festival Krakatau, dan Festival Way Kambas.
Sedangkan VLY 2009 ditargetkan dapat menarik dua juta wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang bisa melihat langsung objek wisata maupun peristiwa budaya yang dihelat di Lampung.
Untuk memarakkan VLY 2009, sepanjang tahun dijadwalkan ditaja berbagai major event dan supporting event seperti Festival Megou Pak di Kabupaten Tulang Bawang, Lomba Perahu Naga (Dragon Boat Competition), Petualangan Sungai dan Lahan Basah (Wet Land and River Tour), Festival Radin Jambat, Festival Kuda Lumping, Lomba Lari 10 K, Lomba Layang-layang Hias.
Kemudian, Festival Kota Metro, Festival Kota Bumi Bettah, Cangget Bakha, Manjau Tebing, Begawi Bandar Lampung, International Mask Festival, International Kite Festival, Festival Perahu Hias, Festival Stabas, Surfing Exhibition Track Series, Semarak Danau Ranau, Lomba Panjat Damar.
Selain itu, Pesona Budaya Lampung Selatan, Festival Krakatau, Krakatau Tour, Lampung Expo, Festival Teluk Semaka, Fishing Week, Kebut Gunung Pesagi, Festival Selat Sunda, dan Jet Ski Competition. Sedangkan pada penghujung bulan Desember, sebagai sebagai gong VLY 2009 bakal ditaja Festival Ngumbay Lawok, Festival Way Kambas, Fox Hunting, dan National Offroad.
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pencanangan tahun kunjungan ke Lampung (Visit Lampung Year 2009) tak terasa akan berakhir. Tetapi, target golnya belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Pasalnya, tradisi pariwisata di Lampung memang belum tumbuh dan memasyarakat. Contohnya, meskipun Festival Krakatau sudah memasuki tahun ke-19 penyelenggaraannya, festival yang setiap tahun dihelat dengan tujuan memarakkan kehidupan pariwisata Lampung ini belum banyak dinikmati manfaatnya oleh masyarakat.
Festival ini lebih berkesan sebagai festival "pelat merah" dan sekadar proyek. Peristiwa ini terkesan hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi ketimbang masyarakat Lampung. Festival ini terkesan hanya untuk menyervis para duta besar. Padahal, kalau festival yang digarap membumi dan berbasis masyarakat, hasilnya dapat dinikmati segenap masyarakat Lampung.
Pariwisata di Lampung memang belum menjadi kebutuhan pokok seperti halnya sektor primer lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal, di era otonomi inilah saatnya sektor wisata memberikan kontribusi yang besar bagi kebutuhan primer masyarakat.
Kalau saja Festival Krakatau digarap dengan berbasis masyarakat, akan tumbuh kokoh dan kuat seperti Pesta Kesenian Bali, Festival Kesenian Yogyakarta, Jak Art dan Jember Fashion Carnaval yang sudah mendunia.
Pesimisnya lagi, beberapa tahun terakhir, infrastruktur seperti jalan-jalan dan fasilitas umum di kawasan wisata di Lampung amburadul. Inilah salah satu langkah yang penting untuk diperbaiki. Pasalnya, nanti ketika para wisatawan berkunjung ke Lampung dan kecewa, ini justru bisa menjadi kampanye hitam (black campaign) bagi dunia pariwisata Lampung.
Sinergi 'Stakeholder'
Di samping itu, fund raising dan publikasi yang merupakan elemen penting dalam menggelar festival di Lampung belum tergarap. Andai saja Lampung punya "orang gila" seperti dua bersaudara Helmi Yahya dan Tantowi Yahya yang bisa menarik sponsor untuk menggemparkan Visit Musi Year yang digelar Sumsel tahun lalu.
Penyair Isbedy Setiawan Z.S. dalam sebuah puisinya, Muli, menyindir orang Lampung yang sudah sukses tapi enggan bersusah-payah untuk membesarkan Lampung. Mak ingok jamo tiyuh (lupa kampung halaman).
Banyak hal yang harus dibenahi untuk menumbuhkembangkan industri pariwisata Lampung, mulai dari keamanan dan kenyamanan, akses penerbangan, prasarana pelabuhan laut, hingga transportasi angkutan umum ke objek wisata.
Dunia pariwisata merupakan kerja lintas sektoral. Perlu kerja sama yang sinergis antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada. Pemprov Lampung juga harus menggandeng pihak swasta untuk mendukungnya dengan regulasi dan kepastian hukum yang jelas sehingga orang tak ragu-ragu dalam berinvestasi.
Salah satu langkah solusi yang bisa dikedepankan antara lain hotel-hotel bisa bekerja sama dengan biro perjalanan menjual paket wisata. Selama ini, biro perjalanan yang ada terkesan hanya papan nama dan tak mau jemput bola.
Lalu, menyiapkan tenaga-tenaga di bidang pariwisata yang profesional, menata dan mengemas objek wisata agar lebih menarik, serta publikasi yang gencar dari berbagai lini seperti media cetak, media elektronik, internet, dan website yang terus di-update.
Beberapa catatan dan pekerjaan rumah inilah yang harus digarap kalau ingin menjadikan Lampung destinasi wisata yang "menjual".
* Christian Heru Cahyo Saputro, penghayat perjalanan dan Peneliti Folklor, tinggal di Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Oktober 2009
October 17, 2009
'Revisiting' Kelampungan
Oleh Imelda*
REFORMASI membawa udara perubahan di mana-mana. Salah satu tema yang kembali diangkat ialah identitas. Merespons hal ini, elite intelektual-politis Lampung kembali terilhami dengan pertanyaan mendasar mengenai siapa orang Lampung itu sebenarnya? Sebelum sampai pada apa yang menjadi inti kelampungan, akan diberikan ide-ide kelampungan dari latar politis Orde Baru. Baru kemudian kepada konsep kelampungan di era otonomi daerah.
Orde Baru dan Kelampungan
Hilman Hadikusuma adalah seorang elite intelektual Lampung yang merumuskan kelampungan pada era reformasi. Bukunya yang berjudul Masyarakat dan Adat Istiadat Lampung (1990) memuat beberapa kumpulan tulisan yang diakui pernah diangkat dalam seminar-seminar. Ada satu inti penjelasan mengenai kelampungan yang ia paparkan, yaitu piil pesenggiri.
Di dalam inti kelampungan tersebut, beliau memaparkan empat unsur piil pesenggiri, antara lain: (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, dan (4) sakai sambayan. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas apa makna setiap bagian piil pesenggiri tersebut, tetapi saya hanya ingin memfokuskan pada dua hal penting yang diangkat oleh Hadikusuma untuk menjawab persatuan dan kesatuan yang menjadi terma penting di era Orde Baru.
Persatuan ini ditafsirkan sebagai penghilangan feodalisme yang berpremordialisme dengan sepakat dengan pembedaan manusia berdasarkan strata sosial. Untuk menghilangkan itu, Hadikusuma menghadapkannya dengan modernisme yang sifatnya terbuka: one man one vote.
Dalam memasukkan idenya mengenai ini, pemikir Lampung ini melemahkan poin pertama dalam piil pesenggiri dan menguatkan tiga poin terakhir. Baginya, pelaksanaan juluk adek "mengambil gelar" dengan cakak begawei "naik adat" hanya menghambur-hamburkan uang. Upacara adat tersebut, menurut dia, dihilangkan saja dan gelar-gelar adat diganti dengan gelar-gelar kesarjanaan yang lebih cocok untuk menaklukan dunia pada zaman modern ini.
Sementara itu, nemui nyimah, nengah nyapur dan sakai sambayan diangkat sebagai nilai yang baik karena dengan itu orang Lampung menjadi orang yang terbuka dengan pendatang dan bisa berbagi karena suka saling memberi, dengan atau tanpa pamrih. Baginya, nilai-nilai ini sangat mengakomodasi "persatuan dan kesatuan" yang disinyalkan dari Jakarta.
Otda dan Kelampungan
Seiring dengan perubahan politik, terma persatuan dan kesatuan kembali diinterpretasi ulang: bersatu tidak berarti satu. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk kembali menentukan identitas dirinya. Untuk kepentingan identitas Lampung itu, seorang pemikir Lampung kembali memformulasikan kelampungan dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
Puspawidjaja ialah seorang penerus Hadikusuma yang menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006). Serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, sarjana ini juga kembali memikirkan tentang inti kelampungan yang bermuara pada piil pesenggiri.
Meski demikian, pemikiran yang dibuat oleh Puspawidjaja membalik apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya. Ia kembali mengangkat juluk adek sebagai ritual yang penting untuk dilakukan. Baginya hal tersebut tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme untuk menguatkan Kepunyimbangan "kepemimpinan" Adat Lampung. Tentu saja argumen tersebut benar karena dengan juluk adek akan kembali terbentuk stratifikasi sosial yang kembali kepada bentuk masa lalunya karena ada mekanisme pemilihan pemimpin atau raja hingga kepada pemimpin di ranah kerumahtanggaan.
Tiga poin lain juga menjadi tema penting yang dibahas oleh Puspawidjaja. Ini karena, baginya, menjadi Lampung adalah melaksanakan empat poin dalam piil pesenggiri. Namun, ada satu poin yang menjadi perhatian penting di dalam tiga poin terakhir, yaitu mawarei "bersaudara". Untuk hal tersebut, ia menulis satu bab khusus mengenai ritual mawarei, dari makna hingga cara pelaksanaannya.
Kelampungan: Bahasa Minoritias
Mengikuti ide-ide kelampungan dari Orde Baru hingga otonomi daerah seperti mendengarkan cerita mengenai kelompok minoritas. Mengapa demikian?
Pada era Orde Baru, Hadikusuma melihat orang Lampung sebagai kelompok minoritas secara eksplisit. Baginya daerah ini sudah penuh disesaki oleh pendatang-pendatang Jawa yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk asli Lampung. Ia menggambarkan peta Lampung seperti kepala ikan yang terbuka, yang siap memangsa para pendatang dari tanah Jawa.
Kata kunci minoritas ini kemudian diterjemahkan oleh Hadikusuma sebagai kelompok yang bisa menerima siapa saja dengan menghilangkan ritual-ritual yang menguatkan resistensi penduduk asli dengan pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut pendapat saya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk Lampung yang sedikit, tetapi juga posisi politis yang lemah. Pada masa Orde Baru, tentu kita tahu bahwa jabatan gubernur Lampung dan jabatan-jabatan penting yang menentukan, kebanyakan, ditunjuk dari atas dan, faktanya, mayoritas pejabat tersebut adalah orang Jawa. Selain itu, tekanan dari rezim Orba cukup kuat untuk meredam suara-suara dari kelompok minoritas.
Di masa otonomi daerah, sebenarnya suara keminoritasan itu tidak berkurang. Hanya nyalak aum-nya menjadi sedikit keras karena ada peluang bagi orang Lampung untuk berbicara. Namun, pada masa ini, sebagian intelektual lampung, termasuk Puspawidjaja, orang Jawa tidak dilihat sebagai eksistensi oposisi Lampung, tetapi sebagai rekan sederajat. Mengapa demikian? Bagi Puspawidjaja, kehadiran orang Jawa sudah sebagai realitas yang tidak bisa ditampikkan lagi sehingga menghilangkan Jawa, boleh dikatakan penghilangan identitas kelampungan. Hal ini bisa ditelisik dari pemikirannya mengenai mawarei karena melalui ritual ini adalah ia mengusulkan agar melampungkan orang non-Lampung (baca: Jawa) dengan ritual adat sehingga menjadi saudara yang dekat hubungannya.
Bagi saya, penafsiran identitas Lampung pada era otonomi daerah ialah sebuah langkah yang baik. Hal ini karena di saat daerah-daerah lain sibuk meliyankan dirinya dengan pengusiran-pengusiran penduduk pendatang atau melakukan aksi demo untuk membuat provinsi sendiri, sebaliknya, orang Lampung malah merangkul saudara se-Indonesia-nya (baca: Jawa) untuk menjadi mawarei.
Penduduk Lampung asli memang minoritas dan itu sebuah realitas. Akan tetapi, kelapangan hati orang Lampung membuat saya belajar sesuatu, yaitu menjadi minoritas di tengah Indonesia yang beragam ini tidak selalu harus menjadi terpojok. Dominasi minoritas dan mayoritas memang kapan saja bisa menghantui, tetapi, rasanya, di Lampung kontestasi tersebut tidak cukup beriak karena posisi politis yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Lampung dan kerja sama yang baik dari orang Jawa menjadi sinergi yang baik untuk membangun Provinsi Lampung. n
Catatan
1. Revisiting berasal dari kata visit dan re dalam bahasa Inggris, yang mengisyaratkan pengulangan. Pada konteks ini, revisiting dimaknai memikirkan kembali atau memaknai kembali.
2. Kelampungan ialah struktur batin yang memberikan makna sesungguhnya, dalam arti sempurna, mengenai diri sebagai orang Lampung. Struktur batin ini bisa melekat sebagai wacana identitas ataupun perilaku.
* Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Oktober 2009
REFORMASI membawa udara perubahan di mana-mana. Salah satu tema yang kembali diangkat ialah identitas. Merespons hal ini, elite intelektual-politis Lampung kembali terilhami dengan pertanyaan mendasar mengenai siapa orang Lampung itu sebenarnya? Sebelum sampai pada apa yang menjadi inti kelampungan, akan diberikan ide-ide kelampungan dari latar politis Orde Baru. Baru kemudian kepada konsep kelampungan di era otonomi daerah.
Orde Baru dan Kelampungan
Hilman Hadikusuma adalah seorang elite intelektual Lampung yang merumuskan kelampungan pada era reformasi. Bukunya yang berjudul Masyarakat dan Adat Istiadat Lampung (1990) memuat beberapa kumpulan tulisan yang diakui pernah diangkat dalam seminar-seminar. Ada satu inti penjelasan mengenai kelampungan yang ia paparkan, yaitu piil pesenggiri.
Di dalam inti kelampungan tersebut, beliau memaparkan empat unsur piil pesenggiri, antara lain: (1) juluk adek, (2) nemui nyimah, (3) nengah nyappur, dan (4) sakai sambayan. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas apa makna setiap bagian piil pesenggiri tersebut, tetapi saya hanya ingin memfokuskan pada dua hal penting yang diangkat oleh Hadikusuma untuk menjawab persatuan dan kesatuan yang menjadi terma penting di era Orde Baru.
Persatuan ini ditafsirkan sebagai penghilangan feodalisme yang berpremordialisme dengan sepakat dengan pembedaan manusia berdasarkan strata sosial. Untuk menghilangkan itu, Hadikusuma menghadapkannya dengan modernisme yang sifatnya terbuka: one man one vote.
Dalam memasukkan idenya mengenai ini, pemikir Lampung ini melemahkan poin pertama dalam piil pesenggiri dan menguatkan tiga poin terakhir. Baginya, pelaksanaan juluk adek "mengambil gelar" dengan cakak begawei "naik adat" hanya menghambur-hamburkan uang. Upacara adat tersebut, menurut dia, dihilangkan saja dan gelar-gelar adat diganti dengan gelar-gelar kesarjanaan yang lebih cocok untuk menaklukan dunia pada zaman modern ini.
Sementara itu, nemui nyimah, nengah nyapur dan sakai sambayan diangkat sebagai nilai yang baik karena dengan itu orang Lampung menjadi orang yang terbuka dengan pendatang dan bisa berbagi karena suka saling memberi, dengan atau tanpa pamrih. Baginya, nilai-nilai ini sangat mengakomodasi "persatuan dan kesatuan" yang disinyalkan dari Jakarta.
Otda dan Kelampungan
Seiring dengan perubahan politik, terma persatuan dan kesatuan kembali diinterpretasi ulang: bersatu tidak berarti satu. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk kembali menentukan identitas dirinya. Untuk kepentingan identitas Lampung itu, seorang pemikir Lampung kembali memformulasikan kelampungan dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
Puspawidjaja ialah seorang penerus Hadikusuma yang menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006). Serupa tapi tak sama dengan pendahulunya, sarjana ini juga kembali memikirkan tentang inti kelampungan yang bermuara pada piil pesenggiri.
Meski demikian, pemikiran yang dibuat oleh Puspawidjaja membalik apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya. Ia kembali mengangkat juluk adek sebagai ritual yang penting untuk dilakukan. Baginya hal tersebut tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah mekanisme untuk menguatkan Kepunyimbangan "kepemimpinan" Adat Lampung. Tentu saja argumen tersebut benar karena dengan juluk adek akan kembali terbentuk stratifikasi sosial yang kembali kepada bentuk masa lalunya karena ada mekanisme pemilihan pemimpin atau raja hingga kepada pemimpin di ranah kerumahtanggaan.
Tiga poin lain juga menjadi tema penting yang dibahas oleh Puspawidjaja. Ini karena, baginya, menjadi Lampung adalah melaksanakan empat poin dalam piil pesenggiri. Namun, ada satu poin yang menjadi perhatian penting di dalam tiga poin terakhir, yaitu mawarei "bersaudara". Untuk hal tersebut, ia menulis satu bab khusus mengenai ritual mawarei, dari makna hingga cara pelaksanaannya.
Kelampungan: Bahasa Minoritias
Mengikuti ide-ide kelampungan dari Orde Baru hingga otonomi daerah seperti mendengarkan cerita mengenai kelompok minoritas. Mengapa demikian?
Pada era Orde Baru, Hadikusuma melihat orang Lampung sebagai kelompok minoritas secara eksplisit. Baginya daerah ini sudah penuh disesaki oleh pendatang-pendatang Jawa yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk asli Lampung. Ia menggambarkan peta Lampung seperti kepala ikan yang terbuka, yang siap memangsa para pendatang dari tanah Jawa.
Kata kunci minoritas ini kemudian diterjemahkan oleh Hadikusuma sebagai kelompok yang bisa menerima siapa saja dengan menghilangkan ritual-ritual yang menguatkan resistensi penduduk asli dengan pendatang.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut pendapat saya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk Lampung yang sedikit, tetapi juga posisi politis yang lemah. Pada masa Orde Baru, tentu kita tahu bahwa jabatan gubernur Lampung dan jabatan-jabatan penting yang menentukan, kebanyakan, ditunjuk dari atas dan, faktanya, mayoritas pejabat tersebut adalah orang Jawa. Selain itu, tekanan dari rezim Orba cukup kuat untuk meredam suara-suara dari kelompok minoritas.
Di masa otonomi daerah, sebenarnya suara keminoritasan itu tidak berkurang. Hanya nyalak aum-nya menjadi sedikit keras karena ada peluang bagi orang Lampung untuk berbicara. Namun, pada masa ini, sebagian intelektual lampung, termasuk Puspawidjaja, orang Jawa tidak dilihat sebagai eksistensi oposisi Lampung, tetapi sebagai rekan sederajat. Mengapa demikian? Bagi Puspawidjaja, kehadiran orang Jawa sudah sebagai realitas yang tidak bisa ditampikkan lagi sehingga menghilangkan Jawa, boleh dikatakan penghilangan identitas kelampungan. Hal ini bisa ditelisik dari pemikirannya mengenai mawarei karena melalui ritual ini adalah ia mengusulkan agar melampungkan orang non-Lampung (baca: Jawa) dengan ritual adat sehingga menjadi saudara yang dekat hubungannya.
Bagi saya, penafsiran identitas Lampung pada era otonomi daerah ialah sebuah langkah yang baik. Hal ini karena di saat daerah-daerah lain sibuk meliyankan dirinya dengan pengusiran-pengusiran penduduk pendatang atau melakukan aksi demo untuk membuat provinsi sendiri, sebaliknya, orang Lampung malah merangkul saudara se-Indonesia-nya (baca: Jawa) untuk menjadi mawarei.
Penduduk Lampung asli memang minoritas dan itu sebuah realitas. Akan tetapi, kelapangan hati orang Lampung membuat saya belajar sesuatu, yaitu menjadi minoritas di tengah Indonesia yang beragam ini tidak selalu harus menjadi terpojok. Dominasi minoritas dan mayoritas memang kapan saja bisa menghantui, tetapi, rasanya, di Lampung kontestasi tersebut tidak cukup beriak karena posisi politis yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Lampung dan kerja sama yang baik dari orang Jawa menjadi sinergi yang baik untuk membangun Provinsi Lampung. n
Catatan
1. Revisiting berasal dari kata visit dan re dalam bahasa Inggris, yang mengisyaratkan pengulangan. Pada konteks ini, revisiting dimaknai memikirkan kembali atau memaknai kembali.
2. Kelampungan ialah struktur batin yang memberikan makna sesungguhnya, dalam arti sempurna, mengenai diri sebagai orang Lampung. Struktur batin ini bisa melekat sebagai wacana identitas ataupun perilaku.
* Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Oktober 2009
October 15, 2009
Taman Nasional: Pembukaan Jalan di TNBBS Rusak Hutan
Kota Agung, Kompas - Sembilan jalan yang melintasi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS memicu meningkatnya perambahan, illegal logging, pencurian satwa, dan matinya lintasan satwa. Pengelola Balai Besar TNBBS akan mengevaluasi keberadaan jalan-jalan tersebut dan mengusulkan revisi evaluasi kesepakatan pembangunan jalan supaya menjadi jalan yang lebih memerhatikan aspek konservasi.
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNBBS Afrizal, Rabu (14/10), mengatakan, di kawasan TNBBS terdapat sembilan ruas jalan, tiga di antaranya merupakan ruas jalan negara atau jalan nasional, sedangkan enam ruas lainnya merupakan ruas jalan kabupaten dan provinsi.
Tiga ruas jalan yang termasuk jalan nasional adalah Sanggi-Bengkunat sepanjang 11,5 kilometer, Pugung Tampak-Way Manula sepanjang 14 kilometer, dan Liwa-Krui sepanjang 10 kilometer. Dari tiga ruas jalan negara tersebut, hanya satu ruas yang masih terjaga baik, yaitu ruas Sanggi-Bengkunat.
Hutan di kanan dan kiri jalan masih terjaga baik dan alami. Hanya saja, keberadaan ruas tersebut mematikan perlintasan satwa. Sebelum 2006, di ruas Sanggi-Bengkunat terdapat 21 kubangan badak sumatera aktif atau sering dipakai badak untuk berkubang dan sembilan perlintasan gajah sumatera.
Akan tetapi, sejak ruas tersebut membaik kualitasnya pada tahun 2006, dalam tiga tahun terakhir petugas Balai Besar TNBBS tidak lagi menemukan kubangan badak yang aktif atau tidak ada lagi badak yang berkubang. Adapun dari sembilan titik perlintasan gajah, hanya tiga titik yang masih aktif dilintasi.
”Tidak aktifnya kubangan dan perlintasan itu karena semakin padatnya kendaraan yang lewat,” ujar Afrizal.
Untuk ruas jalan lainnya, petugas mendapati banyaknya tindakan perambahan dan illegal logging. Untuk illegal logging saat ini banyak terdapat di hutan lindung. ”Namun, kita tetap perlu waspada jangan sampai illegal logging itu merambah kawasan,” ujar Afrizal.
Catatan Balai Besar TNBBS menunjukkan, kawasan perambahan di TNBBS mencapai 57.000 hektar dari total luas 365.000 hektar. Pengelola TNBBS terus berupaya menekan angka perambahan tersebut.
Afrizal mengatakan, untuk menekan tingginya perambahan dan illegal logging, Balai Besar TNBBS sudah mengusulkan kepada Departemen Kehutanan untuk menambah jumlah polisi hutan. Saat ini dari luas hutan 365.000 hektar, hanya terdapat 62 polisi hutan.
Oleh karena itu, harus ada pembicaraan ulang dengan dinas pekerjaan umum mengenai jalan negara tersebut. Misalnya, perbaikan jalan harus disertai pemasangan rambu-rambu mengenai keberadaan satwa liar di tempat yang tepat.
Nurcholis Fadhli, Project Leader World Wild Fund for Nature Indonesia (WWF) mengatakan, untuk ruas Sanggi-Bengkunat, yang membelah kawasan TNBBS, dalam tiga tahun terakhir seolah memisahkan kawasan hutan di kanan dan kiri jalan sehingga satwa enggan melintas. (hln)
Sumber: Kompas, Kamis, 15 Oktober 2009
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNBBS Afrizal, Rabu (14/10), mengatakan, di kawasan TNBBS terdapat sembilan ruas jalan, tiga di antaranya merupakan ruas jalan negara atau jalan nasional, sedangkan enam ruas lainnya merupakan ruas jalan kabupaten dan provinsi.
Tiga ruas jalan yang termasuk jalan nasional adalah Sanggi-Bengkunat sepanjang 11,5 kilometer, Pugung Tampak-Way Manula sepanjang 14 kilometer, dan Liwa-Krui sepanjang 10 kilometer. Dari tiga ruas jalan negara tersebut, hanya satu ruas yang masih terjaga baik, yaitu ruas Sanggi-Bengkunat.
Hutan di kanan dan kiri jalan masih terjaga baik dan alami. Hanya saja, keberadaan ruas tersebut mematikan perlintasan satwa. Sebelum 2006, di ruas Sanggi-Bengkunat terdapat 21 kubangan badak sumatera aktif atau sering dipakai badak untuk berkubang dan sembilan perlintasan gajah sumatera.
Akan tetapi, sejak ruas tersebut membaik kualitasnya pada tahun 2006, dalam tiga tahun terakhir petugas Balai Besar TNBBS tidak lagi menemukan kubangan badak yang aktif atau tidak ada lagi badak yang berkubang. Adapun dari sembilan titik perlintasan gajah, hanya tiga titik yang masih aktif dilintasi.
”Tidak aktifnya kubangan dan perlintasan itu karena semakin padatnya kendaraan yang lewat,” ujar Afrizal.
Untuk ruas jalan lainnya, petugas mendapati banyaknya tindakan perambahan dan illegal logging. Untuk illegal logging saat ini banyak terdapat di hutan lindung. ”Namun, kita tetap perlu waspada jangan sampai illegal logging itu merambah kawasan,” ujar Afrizal.
Catatan Balai Besar TNBBS menunjukkan, kawasan perambahan di TNBBS mencapai 57.000 hektar dari total luas 365.000 hektar. Pengelola TNBBS terus berupaya menekan angka perambahan tersebut.
Afrizal mengatakan, untuk menekan tingginya perambahan dan illegal logging, Balai Besar TNBBS sudah mengusulkan kepada Departemen Kehutanan untuk menambah jumlah polisi hutan. Saat ini dari luas hutan 365.000 hektar, hanya terdapat 62 polisi hutan.
Oleh karena itu, harus ada pembicaraan ulang dengan dinas pekerjaan umum mengenai jalan negara tersebut. Misalnya, perbaikan jalan harus disertai pemasangan rambu-rambu mengenai keberadaan satwa liar di tempat yang tepat.
Nurcholis Fadhli, Project Leader World Wild Fund for Nature Indonesia (WWF) mengatakan, untuk ruas Sanggi-Bengkunat, yang membelah kawasan TNBBS, dalam tiga tahun terakhir seolah memisahkan kawasan hutan di kanan dan kiri jalan sehingga satwa enggan melintas. (hln)
Sumber: Kompas, Kamis, 15 Oktober 2009
October 14, 2009
Gempa Sumbar: Seniman Lampung Galang Dana
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Seniman Lampung akan melakukan long march untuk menggalang dana bagi korban gempa Sumatera Barat, Rabu (14-10), pukul 14.00. Dalam aksinya, para seniman Lampung ini akan menyuguhkan berbagai atraksi kesenian.
"Aksi seniman itu akan diisi performance art sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu akan melibatkan abang-abang becak," kata Ketua Pokja Solidaritas Seniman Lampung Helmi Azhari didampingi Wakil Ketua SyaifulIrba Tanpaka.
Dalam rilisnya kepada Lampung Post, Helmi mengatakan rute yang akan dilalui yakni Pasar Seni, Toko Buku Gramedia, Tugu Adipura, Patung Pepadun, dan finish di Kantor Gubernur Lampung.
Helmi mengatakan aksi performance art tersebut akan didukung sejumlah seniman di antaranya Sutanto, Joko Irianta, Dewi, Entus, Bambang Sby, Isbedy Stiawan Z.S., Nyoman Arsana, Iswadi Pratama, Iskandar G.B., Arman A.Z., Fitri Yani, Yus, Nano. Panitia juga akan melibatkan komunitas/sanggar seni, seperti Teater Satu, KoBer, UKMBS Unila, dan sanggar tari yang ada di Pasar Seni.
Dalam aksi solidaritas di jalan itu, para seniman akan meminta sumbangan kepada masyarakat. Hasil dari penggalangan tersebut akan dikirimkan kepada seniman Sumbar yang rumah atau galerinya rusak parah/ringan.
"Fokus kami memang untuk membantu para seniman di sana, terutama rumah dan galeri seni yang rusak," kata Helmi, kepala Taman Budaya Lampung.
Sementara itu, Sekretaris Pokja David mengatakan dari data yang diperoleh, sedikitnya 10 rumah dan galeri seni milik seniman Sumbar rusak parah atau ringan. "Target kami adalah membantu merehab. Siapa lagi yang peduli sesama seniman kalau bukan seniman itu," ujarnya.
David menambahkan puncak penggalangan dana akan dilakukan di rumah dinas Gubernur di Mahan Agung, 5 November mendatang. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 14 Oktober 2009
"Aksi seniman itu akan diisi performance art sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu akan melibatkan abang-abang becak," kata Ketua Pokja Solidaritas Seniman Lampung Helmi Azhari didampingi Wakil Ketua SyaifulIrba Tanpaka.
Dalam rilisnya kepada Lampung Post, Helmi mengatakan rute yang akan dilalui yakni Pasar Seni, Toko Buku Gramedia, Tugu Adipura, Patung Pepadun, dan finish di Kantor Gubernur Lampung.
Helmi mengatakan aksi performance art tersebut akan didukung sejumlah seniman di antaranya Sutanto, Joko Irianta, Dewi, Entus, Bambang Sby, Isbedy Stiawan Z.S., Nyoman Arsana, Iswadi Pratama, Iskandar G.B., Arman A.Z., Fitri Yani, Yus, Nano. Panitia juga akan melibatkan komunitas/sanggar seni, seperti Teater Satu, KoBer, UKMBS Unila, dan sanggar tari yang ada di Pasar Seni.
Dalam aksi solidaritas di jalan itu, para seniman akan meminta sumbangan kepada masyarakat. Hasil dari penggalangan tersebut akan dikirimkan kepada seniman Sumbar yang rumah atau galerinya rusak parah/ringan.
"Fokus kami memang untuk membantu para seniman di sana, terutama rumah dan galeri seni yang rusak," kata Helmi, kepala Taman Budaya Lampung.
Sementara itu, Sekretaris Pokja David mengatakan dari data yang diperoleh, sedikitnya 10 rumah dan galeri seni milik seniman Sumbar rusak parah atau ringan. "Target kami adalah membantu merehab. Siapa lagi yang peduli sesama seniman kalau bukan seniman itu," ujarnya.
David menambahkan puncak penggalangan dana akan dilakukan di rumah dinas Gubernur di Mahan Agung, 5 November mendatang. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 14 Oktober 2009
October 13, 2009
Bahasa Indonesia: Dosen Unila Diminta Mengajar di Prancis
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bahasa dan sastra Indonesia ternyata telah menjadi salah satu mata kuliah bahasa asing yang diminati di Prancis. Padahal negeri mode ini memiliki kebangggaan atas keindahan bahasanya.
"Universitas Sup Agro Montpeller, yang merupakan salah satu universitas negeri di bawah Departemen Pertanian Prancis, meminta Unila untuk mengirimkan empat dosen Bahasa Indonesia untuk mengajar selama satu semester di sana," kata Pembantu Rektor IV Unila Satria Bangsawan, Senin (12-10).
Permintaan itu disampaikan melalui kedutaan besar bidang pendidikan Indonesia di Prancis.
"Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan jika bahasa kita juga diminati di sana, dan kita akan mempersiapkan empat dosen dari Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Unila untuk berangkat ke sana," kata Satria saat sosialisasi hasil lawatan tim kerja sama luar negeri Universitas Lampung ke beberapa universitas di Prancis. Sosialisasi digelar di Gedung Rektorat Unila.
Satria mengatakan mata kuliah Bahasa Indonesa telah lama ada di sana, dan mereka telah memiliki staf pengajar sendiri. Namun mereka juga berkeinginan untuk mendatangkan dosen bahasa dari Indonesia.
"Kebetulan sejak dua tahun yang lalu kita telah membangun link kerja sama dengan Montpeller, sebanyak 20 mahasiswa kita telah dibantu dengan pemberian beasiswa secara penuh untuk jurusan S-2 bidang manajemen sumber daya manusia dan perdesaan di fakultas pertanian," kata dia.
Kerja sama intensif di bidang pertanian telah di bangun oleh Unila, Montpeller, dan beberapa universitas di negara Asia lainnya seperti Malaysia dan Thailand melalui program Asia Link.
"Program ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di bidang pertanian yang ada di negara masing. Tampaknya setiap negara kini memiliki persoalan yang sama, minat di bidang pertanian mengalami penurunan tren yang cukup tinggi dibandingkan bidang lainnya," kata Satria.
Tim kerja sama yang diutus Unila ke Perancis adalah Rektor Unila Sugeng P. Harianto, Pembantu Rektor IV Satria Bangsawan, dan penanggung jawab bidang kerja sama luar negeri Unila, Jamalam.
"Kita berada di sana selama sepekan, yakni sejak 26 Sptember hingga 3 Oktober. Saat ini Pak Jamalam sedang berada di Denmark untuk menjajaki kerja sama dengan University of Copenhagen Denmark," kata dia. n MG14/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 Oktober 2009
"Universitas Sup Agro Montpeller, yang merupakan salah satu universitas negeri di bawah Departemen Pertanian Prancis, meminta Unila untuk mengirimkan empat dosen Bahasa Indonesia untuk mengajar selama satu semester di sana," kata Pembantu Rektor IV Unila Satria Bangsawan, Senin (12-10).
Permintaan itu disampaikan melalui kedutaan besar bidang pendidikan Indonesia di Prancis.
"Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan jika bahasa kita juga diminati di sana, dan kita akan mempersiapkan empat dosen dari Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Unila untuk berangkat ke sana," kata Satria saat sosialisasi hasil lawatan tim kerja sama luar negeri Universitas Lampung ke beberapa universitas di Prancis. Sosialisasi digelar di Gedung Rektorat Unila.
Satria mengatakan mata kuliah Bahasa Indonesa telah lama ada di sana, dan mereka telah memiliki staf pengajar sendiri. Namun mereka juga berkeinginan untuk mendatangkan dosen bahasa dari Indonesia.
"Kebetulan sejak dua tahun yang lalu kita telah membangun link kerja sama dengan Montpeller, sebanyak 20 mahasiswa kita telah dibantu dengan pemberian beasiswa secara penuh untuk jurusan S-2 bidang manajemen sumber daya manusia dan perdesaan di fakultas pertanian," kata dia.
Kerja sama intensif di bidang pertanian telah di bangun oleh Unila, Montpeller, dan beberapa universitas di negara Asia lainnya seperti Malaysia dan Thailand melalui program Asia Link.
"Program ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di bidang pertanian yang ada di negara masing. Tampaknya setiap negara kini memiliki persoalan yang sama, minat di bidang pertanian mengalami penurunan tren yang cukup tinggi dibandingkan bidang lainnya," kata Satria.
Tim kerja sama yang diutus Unila ke Perancis adalah Rektor Unila Sugeng P. Harianto, Pembantu Rektor IV Satria Bangsawan, dan penanggung jawab bidang kerja sama luar negeri Unila, Jamalam.
"Kita berada di sana selama sepekan, yakni sejak 26 Sptember hingga 3 Oktober. Saat ini Pak Jamalam sedang berada di Denmark untuk menjajaki kerja sama dengan University of Copenhagen Denmark," kata dia. n MG14/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 Oktober 2009
October 12, 2009
Ribuan Turis Asing Wisata ke Lambar
LIWA (Lampost): Jumlah kunjungan wisata asing di Lampung Barat selama tahun 2009 mencapai 1.081 orang. Angka tersebut khusus bagi turis asing yang datang dari berbagai negara.
Kabid Pariwisata di Dinas Perhubungan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Lampung Barat, Suryati, mendampingi Kepala Dinas Gatot Hudi Utomo, Minggu (11-10), mengatakan jumlah tersebut meningkat bila dibanding dengan tahun lalu.
"Saya tidak ingat angka pastinya. Namun yang jelas, jumlah tersebut meningkat. Bahkan, peningkatan selalu terjadi dalam setiap tahun.
Untuk peningkatan tahun ini terjadi karena ada promosi surfing, di mana para turis asing saling memberi informasi kepada sesama rekannya," kata dia.
Ke-1.081 turis asing tersebut, kata dia, berdasarkan laporan dari sejumlah pengelola hotel yang digunakan, antara lain berasal dari Australia, Amerika, Prancis, Portugal, Jerman, Afrika Selatan, Swedia, dan lain-lain.
Turis asing itu sengaja datang ke Lampung Barat untuk menikmati keindahan alam Lambar serta menikmati selancar di Pantai Karang Ngimbur, Pekon Tanjung Setia, Pesisir Selatan. Selain melakukan aktivitas surfing, turis juga menikmati keindahan pantai di daerah Pesisir Tengah.
Kedatangan turis asing itu umumnya menggunakan jasa travel yang datangnya secara berkelompok.
Menurut Suryati, dilihat dari data yang ada, jumlah kunjungan turis asing ke Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Umumnya, kunjungan turis asing mulai dari April hingga Agustus.
Sementara itu, untuk bulan September ke atas, jumlah kunjungan wisata itu mulai berkurang.
Pihaknya berharap angka kunjungan wisata tersebut ke depan terus meningkat sehingga upaya promosi Lambar menjadi tujuan wisata tidak sia-sia.
Peningkatan jumlah kunjungan wisata tersebut juga tidak lepas dari apa yang telah dilakukan selama ini. Untuk meningkatkan bidang pariwisata ini, kata dia, pihaknya terus melakukan berbagai upaya termasuk promosi dan lain-lain. n ELI/D-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Oktober 2009
Kabid Pariwisata di Dinas Perhubungan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Lampung Barat, Suryati, mendampingi Kepala Dinas Gatot Hudi Utomo, Minggu (11-10), mengatakan jumlah tersebut meningkat bila dibanding dengan tahun lalu.
"Saya tidak ingat angka pastinya. Namun yang jelas, jumlah tersebut meningkat. Bahkan, peningkatan selalu terjadi dalam setiap tahun.
Untuk peningkatan tahun ini terjadi karena ada promosi surfing, di mana para turis asing saling memberi informasi kepada sesama rekannya," kata dia.
Ke-1.081 turis asing tersebut, kata dia, berdasarkan laporan dari sejumlah pengelola hotel yang digunakan, antara lain berasal dari Australia, Amerika, Prancis, Portugal, Jerman, Afrika Selatan, Swedia, dan lain-lain.
Turis asing itu sengaja datang ke Lampung Barat untuk menikmati keindahan alam Lambar serta menikmati selancar di Pantai Karang Ngimbur, Pekon Tanjung Setia, Pesisir Selatan. Selain melakukan aktivitas surfing, turis juga menikmati keindahan pantai di daerah Pesisir Tengah.
Kedatangan turis asing itu umumnya menggunakan jasa travel yang datangnya secara berkelompok.
Menurut Suryati, dilihat dari data yang ada, jumlah kunjungan turis asing ke Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Umumnya, kunjungan turis asing mulai dari April hingga Agustus.
Sementara itu, untuk bulan September ke atas, jumlah kunjungan wisata itu mulai berkurang.
Pihaknya berharap angka kunjungan wisata tersebut ke depan terus meningkat sehingga upaya promosi Lambar menjadi tujuan wisata tidak sia-sia.
Peningkatan jumlah kunjungan wisata tersebut juga tidak lepas dari apa yang telah dilakukan selama ini. Untuk meningkatkan bidang pariwisata ini, kata dia, pihaknya terus melakukan berbagai upaya termasuk promosi dan lain-lain. n ELI/D-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Oktober 2009
October 10, 2009
Budaya Lampung Promosi ke Luar Negeri
Pemprov juga akan Bantu Penerbitan Buku Berbahasa Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung berjanji akan mendukung kesenian dan kebudayaan Lampung. Dukungan tersebut dilakukan dengan membantu penerbitan buku-buku berbahasa Lampung dan promosi budaya ke luar negeri dengan membantu pementasan budaya Lampung di luar negeri.
Buku Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) karya Udo Z. Karzi yang meraih Hadiah Rancage 2008. Perlu kerjasama semua pihak untuk kontinuitas penerbitan buku sastra Lampung untuk mendukung pengembangan kebudayaan Lampung. (BORNEO NEWS/WAETI)
"Pemeritah Provinsi Lampung akan mendukung penerbitan buku dan pementasan budaya Lampung selama itu dilakukan untuk tujuan membangun Lampung," kata Gubernur Lampung Sjachroedin Z. P. di acara Halal bi Halal di Graha Bayangkara, Bandung, Kamis (8-10) malam .
Sjachroedin juga mengimbau kepada para tokoh Lampung untuk tidak sekadar banyak bicara tapi juga harus banyak berbuat. Lampung masih miskin karena tokoh-tokohnya hanya banyak bicara tapi tidak ada yang bisa dibuktikan.
Gubernur juga mengimbau agar piil orang Lampung atau harga diri sebaiknya dibuang jauh jika tidak bisa berbuat untuk Lampung. Tokoh Lampung harus malu jika tidak bisa berbuat apa-apa.
Gubernur mengaku akan mendukung penerbitan buku-buku berbahasa Lampung. Mengenai dana untuk penerbitan buku tidak harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lampung. "Dana bisa berasal dari sponsor."
Sjachroedin mengungkapkan, Pemprov Lampung sudah mengirimkan duta Lampung untuk melakukan pementasan budaya di Malaysia. Dukungan juga dilakukan dengan membantu pembelian alat-alat kesenian mahasiswa Lampung di Jogjakarta.
Buku Bahasa Lampung
Pemerhati budaya Lampung Irfan Anshory mengatakan sudah berkomunikasi dengan Gubernur Lampung dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung tentang dukungan terhadap penerbitan buku-buku berbahasa Lampung.
Kedua pejabat tersebut sudah menyetujui akan membantu penerbitan buku berbahasa Lampung. Penerbitan buku tersebut diharapkan dapat membantu dalam mempromosikan dan mengembangkan budaya Lampung.
Irfan menyesalkan tidak ada satu pun sastrawan Lampung yang berhasil meraih penghargaan Rancage 2009. Padahal penghargaan sejanis pernah di dapat sastrawan Lampung, Udo Z. Karzi, pada tahun 2008. Lepasnya Rancage dari Lampung disebabkan tidak ada buku berbahasa Lampung yang terbit tahun 2008. "Malu kalau Lampung tidak masuk dalam seleksi Rancage 2010," katanya.
Saat ini, kata Irfan, sudah ada dua buku yang siap diterbitkan. Namun, penerbitan buku terkendala oleh dana. Diharapkan kedua buku ini bisa segera terbit dan dpat diikut sertakan dalam penghargaan Rancage. "Panitia Rancage sudah menghubungi saya. Mereka menayakan mengapa tidak ada buku berbahasa Lampunng yamg diikutsertakan," katanya.
Menurut dia, hanya Lampung yang belum mengirimkan buku-buku berbahasa Lampung untuk diikutsertakan dalam penghargaan rancage. Beberapa daerah sudah mengirimkan perwakilan untuk mengikuti seleksi penghargaan Rancage. "Pemenang Rancage 2010 akan diumumkan pada awal tahun," katanya. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Oktober 2009
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung berjanji akan mendukung kesenian dan kebudayaan Lampung. Dukungan tersebut dilakukan dengan membantu penerbitan buku-buku berbahasa Lampung dan promosi budaya ke luar negeri dengan membantu pementasan budaya Lampung di luar negeri.
Buku Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) karya Udo Z. Karzi yang meraih Hadiah Rancage 2008. Perlu kerjasama semua pihak untuk kontinuitas penerbitan buku sastra Lampung untuk mendukung pengembangan kebudayaan Lampung. (BORNEO NEWS/WAETI)
"Pemeritah Provinsi Lampung akan mendukung penerbitan buku dan pementasan budaya Lampung selama itu dilakukan untuk tujuan membangun Lampung," kata Gubernur Lampung Sjachroedin Z. P. di acara Halal bi Halal di Graha Bayangkara, Bandung, Kamis (8-10) malam .
Sjachroedin juga mengimbau kepada para tokoh Lampung untuk tidak sekadar banyak bicara tapi juga harus banyak berbuat. Lampung masih miskin karena tokoh-tokohnya hanya banyak bicara tapi tidak ada yang bisa dibuktikan.
Gubernur juga mengimbau agar piil orang Lampung atau harga diri sebaiknya dibuang jauh jika tidak bisa berbuat untuk Lampung. Tokoh Lampung harus malu jika tidak bisa berbuat apa-apa.
Gubernur mengaku akan mendukung penerbitan buku-buku berbahasa Lampung. Mengenai dana untuk penerbitan buku tidak harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lampung. "Dana bisa berasal dari sponsor."
Sjachroedin mengungkapkan, Pemprov Lampung sudah mengirimkan duta Lampung untuk melakukan pementasan budaya di Malaysia. Dukungan juga dilakukan dengan membantu pembelian alat-alat kesenian mahasiswa Lampung di Jogjakarta.
Buku Bahasa Lampung
Pemerhati budaya Lampung Irfan Anshory mengatakan sudah berkomunikasi dengan Gubernur Lampung dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung tentang dukungan terhadap penerbitan buku-buku berbahasa Lampung.
Kedua pejabat tersebut sudah menyetujui akan membantu penerbitan buku berbahasa Lampung. Penerbitan buku tersebut diharapkan dapat membantu dalam mempromosikan dan mengembangkan budaya Lampung.
Irfan menyesalkan tidak ada satu pun sastrawan Lampung yang berhasil meraih penghargaan Rancage 2009. Padahal penghargaan sejanis pernah di dapat sastrawan Lampung, Udo Z. Karzi, pada tahun 2008. Lepasnya Rancage dari Lampung disebabkan tidak ada buku berbahasa Lampung yang terbit tahun 2008. "Malu kalau Lampung tidak masuk dalam seleksi Rancage 2010," katanya.
Saat ini, kata Irfan, sudah ada dua buku yang siap diterbitkan. Namun, penerbitan buku terkendala oleh dana. Diharapkan kedua buku ini bisa segera terbit dan dpat diikut sertakan dalam penghargaan Rancage. "Panitia Rancage sudah menghubungi saya. Mereka menayakan mengapa tidak ada buku berbahasa Lampunng yamg diikutsertakan," katanya.
Menurut dia, hanya Lampung yang belum mengirimkan buku-buku berbahasa Lampung untuk diikutsertakan dalam penghargaan rancage. Beberapa daerah sudah mengirimkan perwakilan untuk mengikuti seleksi penghargaan Rancage. "Pemenang Rancage 2010 akan diumumkan pada awal tahun," katanya. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Oktober 2009
Menggagas 'Landmark' Way Kanan
Oleh Febrie Hastiyanto*
KEBERADAAN penanda wilayah (landmark; tetenger (jawa)) bagi suatu kota akan menjadikan kota itu lebih mudah diingat publik. Lebih jauh, landmark menjadi cerminan sekaligus spirit kota yang dapat dibaca dalam retorika kebudayaan (lokal).
Beberapa kota--di Indonesia maupun dunia--secara relatif telah memiliki landmark yang dengan segera mengingatkan publik akan kota tersebut. Seperti Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta--di samping Tugu Selamat Datang atau Bundaran Hotel Indonesia (HI), Tugu Muda di Semarang, Tugu Pahlawan di Surabaya, Patung Singa lengkap dengan air mancurnya di Orchard Road Singapura, Menara Petronas di Kuala Lumpur, Patung Liberty di Amerika Serikat maupun kubah keong Sydney Opera di Sidney sebagai misal.
Beberapa landmark ini tidak selalu gigantis, seperti Patung Singa di Singapura, Tugu Muda di Semarang, maupun Tugu Pahlawan di Surabaya, bentuknya hanya kecil. Namun, siapa pun sepakat bahwa tanpa landmark yang sudah demikian branded ini, keberadaan Singapura lebih sulit untuk dikenang oleh persepsi publik tanpa mengingat Patung Singa yang kecil saja itu.
Way Kanan sebagai kabupaten yang sedang membangun retorika citra kota perlu berpikir untuk mendesain sebuah landmark sebagai penanda kotanya. Tak hanya Way Kanan, karena provinsi dan kabupaten/kota di Lampung sendiri belum banyak memiliki landmark. Sebelum membangun menara suar berbentuk siger di Bakauheni, Lampung belum memiliki landmark yang representatif. Tugu Gajah di bundaran Kota Bandar Lampung atau Patung Radin Inten II di Rajabasa sebelumnya memang dianggap sebagai landmark, tapi Menara Suar Siger di Bakauhenilah yang mampu merebut image publik sebagai penanda wilayah Lampung.
Masyarakat Way Kanan dapat mengeksplorasi, misalnya motif tenun tapis khas Way Kanan, bentuk rumah adat (nuwo sesat), atau perilaku bertani masyarakat. Namun landmark tidak melulu harus berbentuk klasik. Landmark pun dapat berbentuk kontemporer, dan hendaknya bersifat fungsional.
Landmark tidak harus berujud tugu atau benda-benda yang memang dirancang sebagai penanda semata. Justru landmark yang dipersepsi publik dari bangunan-bangunan yang memang memiliki kegunaan tertentu--semisal teater di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali; gedung perkantoran seperti World Trade Centre (WTC) New York maupun Menara Petronas; gedung instansi pemerintahan sebagaimana White House di Washington D.C., Gedung MPR/DPR maupun Gedung Bundar Kejagung; atau sebagai monumen seperti Monas--akan memiliki manfaat yang langsung dapat dirasakan publik. Dalam konteks Way Kanan, landmark yang hendak dibangun lebih tepat memiliki fungsi sebagai ruang terpuka (open space) berbentuk teater terbuka (open theatre) bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan.
Potensi Way Kanan
Sebuah landmark selain sebagai sebuah kesatuan-bangun juga harus mencerminkan spirit, potensi, atau lokalitas sebuah kota yang hendak diidealkan sebagai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif. Soal bentuk misalnya, masyarakat Way Kanan perlu berpikir bentuk selain gajah, ikon Lampung yang telah mendunia. Meski berada di wilayah Provinsi Lampung, secara relatif kawanan gajah (liar) tidak banyak membangun ekosistem di wilayah Way Kanan. Dalam catatan yang ada, gajah Lampung banyak hidup di wilayah Lampung Barat, atau Lampung Timur.
Saat ini setidaknya terdapat tiga landmark Way Kanan, yakni patung dan Taman Ryacudu di Blambangan Umpu, tugu berornamen gading di Simpang Empat, serta tugu berbentuk perahu dan taman di Baradatu. Secara relatif, Taman Ryacudu dapat disebut sebagai landmark yang representatif, dilihat dari luasnya, komposisi bentuk, termasuk prasasti yang menjelaskan sosok Ryacudu.
Sedang tugu berbentuk perahu di Baradatu masih perlu diberi beberapa pelengkap karena selain lokasinya yang lebih sempit, juga perlu diberi pengantar (semacam prasasti) sebagaimana Taman Ryacudu. Beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada publik, misalnya, jenis perahu tersebut, apakah salah satu jenis perahu tradisional atau perahu estetik saja. Kemudian replika buah (kelapa sawit atau durian?) di dalam perahu, perlu diberi keterangan tambahan, mengapa komoditas itu yang di-display, bukan lada atau kopi.
Selama ini Way Kanan dikenal luas sebagai penghasil komoditas lada dan kopi. Dihitung dari jumlah produksi, komoditas kopi, misalnya, menyumbang 13.355 ton/tahun (waykanan.go.id: 2006), sedang kelapa sawit hanya menyumbang 8.266 ton/tahun. Kemudian patung laki-laki dan perempuan, sebaiknya digambarkan mengenakan pakaian khas Way Kanan, baik itu pakaian adat atau pakaian sehari-hari masyarakat. Bila dilihat sekilas, tokoh perempuan dalam patung seperti mengenakan kebaya, satu jenis tradisi sandang yang dikenal luas berasal dari Jawa. Bila kebaya ini dimaksudkan sebagai manifestasi akulturasi yang memang berlangsung baik di Way Kanan, kiranya penjelasan dari prasasti tugu dapat menjabarkannya.
Memang sebuah landmark bukan infrastuktur fisik yang dampaknya akan terasa langsung oleh rakyat, seperti jalan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Namun, bila kita hitung dampak-ikutannya (multiflier effect), keberadaan landmark baru terasa kemudian. Di sektor ekonomi, landmark akan menjadi gula-gula ekonomi baru yang mengundang bangkitnya investasi termasuk investasi sektor ekonomi nonformal bila landmark itu sekaligus dijadikan kawasan kunjungan wisatawan.
Secara politik dan kultural, keberadaan landmark akan menyajikan citra (image) kota yang menegaskan keberadaan kota dalam pergaulan antarkota baik di wilayah regional, nasional, maupun global. Sehingga, pembangunan sebuah landmark yang dilakukan secara kritis dan tidak korup tentulah bukan sebuah proyek mercusuar semata.
* Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, bekerja pada Bappeda Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Oktober 2009
KEBERADAAN penanda wilayah (landmark; tetenger (jawa)) bagi suatu kota akan menjadikan kota itu lebih mudah diingat publik. Lebih jauh, landmark menjadi cerminan sekaligus spirit kota yang dapat dibaca dalam retorika kebudayaan (lokal).
Beberapa kota--di Indonesia maupun dunia--secara relatif telah memiliki landmark yang dengan segera mengingatkan publik akan kota tersebut. Seperti Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta--di samping Tugu Selamat Datang atau Bundaran Hotel Indonesia (HI), Tugu Muda di Semarang, Tugu Pahlawan di Surabaya, Patung Singa lengkap dengan air mancurnya di Orchard Road Singapura, Menara Petronas di Kuala Lumpur, Patung Liberty di Amerika Serikat maupun kubah keong Sydney Opera di Sidney sebagai misal.
Beberapa landmark ini tidak selalu gigantis, seperti Patung Singa di Singapura, Tugu Muda di Semarang, maupun Tugu Pahlawan di Surabaya, bentuknya hanya kecil. Namun, siapa pun sepakat bahwa tanpa landmark yang sudah demikian branded ini, keberadaan Singapura lebih sulit untuk dikenang oleh persepsi publik tanpa mengingat Patung Singa yang kecil saja itu.
Way Kanan sebagai kabupaten yang sedang membangun retorika citra kota perlu berpikir untuk mendesain sebuah landmark sebagai penanda kotanya. Tak hanya Way Kanan, karena provinsi dan kabupaten/kota di Lampung sendiri belum banyak memiliki landmark. Sebelum membangun menara suar berbentuk siger di Bakauheni, Lampung belum memiliki landmark yang representatif. Tugu Gajah di bundaran Kota Bandar Lampung atau Patung Radin Inten II di Rajabasa sebelumnya memang dianggap sebagai landmark, tapi Menara Suar Siger di Bakauhenilah yang mampu merebut image publik sebagai penanda wilayah Lampung.
Masyarakat Way Kanan dapat mengeksplorasi, misalnya motif tenun tapis khas Way Kanan, bentuk rumah adat (nuwo sesat), atau perilaku bertani masyarakat. Namun landmark tidak melulu harus berbentuk klasik. Landmark pun dapat berbentuk kontemporer, dan hendaknya bersifat fungsional.
Landmark tidak harus berujud tugu atau benda-benda yang memang dirancang sebagai penanda semata. Justru landmark yang dipersepsi publik dari bangunan-bangunan yang memang memiliki kegunaan tertentu--semisal teater di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali; gedung perkantoran seperti World Trade Centre (WTC) New York maupun Menara Petronas; gedung instansi pemerintahan sebagaimana White House di Washington D.C., Gedung MPR/DPR maupun Gedung Bundar Kejagung; atau sebagai monumen seperti Monas--akan memiliki manfaat yang langsung dapat dirasakan publik. Dalam konteks Way Kanan, landmark yang hendak dibangun lebih tepat memiliki fungsi sebagai ruang terpuka (open space) berbentuk teater terbuka (open theatre) bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan.
Potensi Way Kanan
Sebuah landmark selain sebagai sebuah kesatuan-bangun juga harus mencerminkan spirit, potensi, atau lokalitas sebuah kota yang hendak diidealkan sebagai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif. Soal bentuk misalnya, masyarakat Way Kanan perlu berpikir bentuk selain gajah, ikon Lampung yang telah mendunia. Meski berada di wilayah Provinsi Lampung, secara relatif kawanan gajah (liar) tidak banyak membangun ekosistem di wilayah Way Kanan. Dalam catatan yang ada, gajah Lampung banyak hidup di wilayah Lampung Barat, atau Lampung Timur.
Saat ini setidaknya terdapat tiga landmark Way Kanan, yakni patung dan Taman Ryacudu di Blambangan Umpu, tugu berornamen gading di Simpang Empat, serta tugu berbentuk perahu dan taman di Baradatu. Secara relatif, Taman Ryacudu dapat disebut sebagai landmark yang representatif, dilihat dari luasnya, komposisi bentuk, termasuk prasasti yang menjelaskan sosok Ryacudu.
Sedang tugu berbentuk perahu di Baradatu masih perlu diberi beberapa pelengkap karena selain lokasinya yang lebih sempit, juga perlu diberi pengantar (semacam prasasti) sebagaimana Taman Ryacudu. Beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada publik, misalnya, jenis perahu tersebut, apakah salah satu jenis perahu tradisional atau perahu estetik saja. Kemudian replika buah (kelapa sawit atau durian?) di dalam perahu, perlu diberi keterangan tambahan, mengapa komoditas itu yang di-display, bukan lada atau kopi.
Selama ini Way Kanan dikenal luas sebagai penghasil komoditas lada dan kopi. Dihitung dari jumlah produksi, komoditas kopi, misalnya, menyumbang 13.355 ton/tahun (waykanan.go.id: 2006), sedang kelapa sawit hanya menyumbang 8.266 ton/tahun. Kemudian patung laki-laki dan perempuan, sebaiknya digambarkan mengenakan pakaian khas Way Kanan, baik itu pakaian adat atau pakaian sehari-hari masyarakat. Bila dilihat sekilas, tokoh perempuan dalam patung seperti mengenakan kebaya, satu jenis tradisi sandang yang dikenal luas berasal dari Jawa. Bila kebaya ini dimaksudkan sebagai manifestasi akulturasi yang memang berlangsung baik di Way Kanan, kiranya penjelasan dari prasasti tugu dapat menjabarkannya.
Memang sebuah landmark bukan infrastuktur fisik yang dampaknya akan terasa langsung oleh rakyat, seperti jalan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Namun, bila kita hitung dampak-ikutannya (multiflier effect), keberadaan landmark baru terasa kemudian. Di sektor ekonomi, landmark akan menjadi gula-gula ekonomi baru yang mengundang bangkitnya investasi termasuk investasi sektor ekonomi nonformal bila landmark itu sekaligus dijadikan kawasan kunjungan wisatawan.
Secara politik dan kultural, keberadaan landmark akan menyajikan citra (image) kota yang menegaskan keberadaan kota dalam pergaulan antarkota baik di wilayah regional, nasional, maupun global. Sehingga, pembangunan sebuah landmark yang dilakukan secara kritis dan tidak korup tentulah bukan sebuah proyek mercusuar semata.
* Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, bekerja pada Bappeda Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Oktober 2009
October 9, 2009
Gubernur Lampung Minta Mahasiswa Kenalkan Budaya Daerah
BANDUNG, (PRLM).- Gubernur Lampung Sjachroedin ZP meminta mahasiswa Lampung yang menuntut ilmu di provinsi lain untuk mengenalkan budaya daerahnya kepada masyarakat setempat.
"Seni budaya Lampung cukup banyak sehingga perlu dikenalkan kepada daerah lain," kata Sjachroedin usai silaturahmi dengan sejumlah mahasiswa dan masyarakat asal Lampung di Bandung, Jumat (9/10).
Ia menyebutkan, pengenalan seni budaya Lampung perlu dilakukan agar masyarakat dari daerah lain dapat mengetahui dan mengenalnya.
Menurut Sjachroedin , pengenalan seni budaya Lampung oleh mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di provinsi lain kepada masyarakat telah pula dilakukan di beberapa daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Pemprov Lampung, katanya , telah memberikan sumbangan peralatan seni budaya kepada mahasiswa Lampung yang tengah belajar di daerah lain. "Pengenalan seni budaya Lampung mendapatkan respons positif dari daerah lain," ujarnya.
Dia mencontohkan pagelaran seni budaya seperti tari Sigeuh Panuten (sembah) dan tari Bedana di Yogyakarta beberapa waktu lalu oleh mahasiswa Lampung mendapatkan respons cukup baik dari masyarakat dan pemerintah daerah disana. Pagelaran itu katanya dihadiri Wakil Gubernur Yogyakarta Sri Paku Alam IX.
Pengenalan seni budaya Lampung, menurut Gubernur Lampung, akan terus dilakukan. "Tidak hanya di dalam negeri di luar negeri pun seni budaya Lampung digelar," kata dia pula.
Sjachroedin menjelaskan, anjungan Lampung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah beberapa kali menggelar pementasan seni budaya daerah itu. Di luar negeri, pementasan seni budaya Lampung juga pernah digelar seperti di Malaysia beberapa waktu lalu.
Sementara itu, pada acara silaturahmi Gubernur Lampung dengan mahasiswa dan masyarakat Lampung di Bandung Jawa Barat berlangsung di Graha Bhayangkara.
Rombongan Gubernur Lampung yang hadir pada acara itu diantaranya Sekda Lampung Irham Djafar Lan Putra, Kadis Kominfo Sututo, Kepala BKD Helmi Arsyad, Kabiro Umum Untung, Wakil Walikota Bandarlampung Kherlani dan sejumlah pejabat Pemprov Lampung lainnya.
Pada Jumat (9/10) sekitar pukul 13.00 WIB, Gubernur Lampung beserta rombongan kembali mengelar silaturahmi dengan sejumlah purnawirawan Polri dan mantan Kapolda Jabar di Graha Bhayangkara. (A-120)
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 9 Oktober 2009
"Seni budaya Lampung cukup banyak sehingga perlu dikenalkan kepada daerah lain," kata Sjachroedin usai silaturahmi dengan sejumlah mahasiswa dan masyarakat asal Lampung di Bandung, Jumat (9/10).
Ia menyebutkan, pengenalan seni budaya Lampung perlu dilakukan agar masyarakat dari daerah lain dapat mengetahui dan mengenalnya.
Menurut Sjachroedin , pengenalan seni budaya Lampung oleh mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di provinsi lain kepada masyarakat telah pula dilakukan di beberapa daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Pemprov Lampung, katanya , telah memberikan sumbangan peralatan seni budaya kepada mahasiswa Lampung yang tengah belajar di daerah lain. "Pengenalan seni budaya Lampung mendapatkan respons positif dari daerah lain," ujarnya.
Dia mencontohkan pagelaran seni budaya seperti tari Sigeuh Panuten (sembah) dan tari Bedana di Yogyakarta beberapa waktu lalu oleh mahasiswa Lampung mendapatkan respons cukup baik dari masyarakat dan pemerintah daerah disana. Pagelaran itu katanya dihadiri Wakil Gubernur Yogyakarta Sri Paku Alam IX.
Pengenalan seni budaya Lampung, menurut Gubernur Lampung, akan terus dilakukan. "Tidak hanya di dalam negeri di luar negeri pun seni budaya Lampung digelar," kata dia pula.
Sjachroedin menjelaskan, anjungan Lampung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah beberapa kali menggelar pementasan seni budaya daerah itu. Di luar negeri, pementasan seni budaya Lampung juga pernah digelar seperti di Malaysia beberapa waktu lalu.
Sementara itu, pada acara silaturahmi Gubernur Lampung dengan mahasiswa dan masyarakat Lampung di Bandung Jawa Barat berlangsung di Graha Bhayangkara.
Rombongan Gubernur Lampung yang hadir pada acara itu diantaranya Sekda Lampung Irham Djafar Lan Putra, Kadis Kominfo Sututo, Kepala BKD Helmi Arsyad, Kabiro Umum Untung, Wakil Walikota Bandarlampung Kherlani dan sejumlah pejabat Pemprov Lampung lainnya.
Pada Jumat (9/10) sekitar pukul 13.00 WIB, Gubernur Lampung beserta rombongan kembali mengelar silaturahmi dengan sejumlah purnawirawan Polri dan mantan Kapolda Jabar di Graha Bhayangkara. (A-120)
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 9 Oktober 2009
October 4, 2009
Tradisi Lebaran: Menjalin Silaturahmi dengan 'Sekura'
AWALNYA topeng sekura digunakan untuk perang saudara di Suku Tumi. Tetapi pada pertengahan abad ke-19, topeng sekura berubah fungsi menjadi sarana silaturahmi bagi warga Lampung Barat.
Raja Semilau Dalom Umardani, warga Pekon Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, mengatakan munculnya budaya sekura (pesta topeng) berawal dari niat lima orang pengembara yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung untuk menguasai dan menyebarkan ajaran Islam di Suku Tumi yang berada di daerah Sekala Brak waktu itu.
FOTO-FOTO LAMPUNG POST/ANSORI
Topeng sekura digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam dengan menyusup ke Suku Tumi. Sebagian Suku Tumi menerima ajaran Islam, sedangkan sebagian lagi tidak sepaham dengan ajaran yang dibawa lima orang Pagaruyung itu. Suku Tumi terpecah belah dan terjadi peperangan antara Suku Tumi. Pada waktu itulah sekura atau yang biasa disebut topeng kayu muncul.
"Sekura digunakan oleh Suku Tumi untuk menutupi wajah mereka agar tidak diketahui oleh suku yang lain pada saat peperangan terjadi. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kasihan dikarenakan akan berperang dengan saudara sendiri," ujar Umar.
Seiring bergulirnya waktu, pada pertengahan abad 19, sekura berubah fungsi sebagai topeng perang antarsaudara, menjadi sarana silaturahmi. Silaturahmi dilaksanakan warga setiap tahun. Lokasi perayaan sekura berpindah-pindah sesuai kesepakatan antarwarga pekon. Saat ini acara sekura atau yang disering disebut sekuraan selalu dilakukan masyarakat Lampung Barat menjadi rangkaian perayaan Hari Raya, baik Idulfitri maupun Iduladha.
Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1945--1946, sekura kamak yang dahulunya menggunakan perlengkapan serbakayu, mulai dari baju, celana, hingga topeng, berubah menjadi sekura betik (sekura bersih). Sekura betik masih memiliki arti yang sama dengan sekura kamak. Yang membedakan hanyalah bahan dasar pakaian yang dikenakan. Sekura kamak telah menggunakan pakaian dengan bahan dasar dari kain.
Menurut Umar, saat ini generasi muda terkesan mulai melupakan dan menganggap budaya ini sebagai hal yang kampungan.
"Saya berharap para pemuda dapat menjaga dan melestarikan budaya. Indonesia sangat dikenal karena kekayaan akan budayanya. Untuk itu, kita harus bangga dengan budaya yang kita miliki," kata Umar. n ANSORI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009
Raja Semilau Dalom Umardani, warga Pekon Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, mengatakan munculnya budaya sekura (pesta topeng) berawal dari niat lima orang pengembara yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung untuk menguasai dan menyebarkan ajaran Islam di Suku Tumi yang berada di daerah Sekala Brak waktu itu.
FOTO-FOTO LAMPUNG POST/ANSORI
Topeng sekura digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam dengan menyusup ke Suku Tumi. Sebagian Suku Tumi menerima ajaran Islam, sedangkan sebagian lagi tidak sepaham dengan ajaran yang dibawa lima orang Pagaruyung itu. Suku Tumi terpecah belah dan terjadi peperangan antara Suku Tumi. Pada waktu itulah sekura atau yang biasa disebut topeng kayu muncul.
"Sekura digunakan oleh Suku Tumi untuk menutupi wajah mereka agar tidak diketahui oleh suku yang lain pada saat peperangan terjadi. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kasihan dikarenakan akan berperang dengan saudara sendiri," ujar Umar.
Seiring bergulirnya waktu, pada pertengahan abad 19, sekura berubah fungsi sebagai topeng perang antarsaudara, menjadi sarana silaturahmi. Silaturahmi dilaksanakan warga setiap tahun. Lokasi perayaan sekura berpindah-pindah sesuai kesepakatan antarwarga pekon. Saat ini acara sekura atau yang disering disebut sekuraan selalu dilakukan masyarakat Lampung Barat menjadi rangkaian perayaan Hari Raya, baik Idulfitri maupun Iduladha.
Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1945--1946, sekura kamak yang dahulunya menggunakan perlengkapan serbakayu, mulai dari baju, celana, hingga topeng, berubah menjadi sekura betik (sekura bersih). Sekura betik masih memiliki arti yang sama dengan sekura kamak. Yang membedakan hanyalah bahan dasar pakaian yang dikenakan. Sekura kamak telah menggunakan pakaian dengan bahan dasar dari kain.
Menurut Umar, saat ini generasi muda terkesan mulai melupakan dan menganggap budaya ini sebagai hal yang kampungan.
"Saya berharap para pemuda dapat menjaga dan melestarikan budaya. Indonesia sangat dikenal karena kekayaan akan budayanya. Untuk itu, kita harus bangga dengan budaya yang kita miliki," kata Umar. n ANSORI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009
[Perjalanan] Klara, Pantai Berpayung Pohon Kelapa
WISATA air, selalu masuk dalam daftar dominan agenda libur Lebaran banyak keluarga, termasuk keluargaku. Bukan hanya sekadar kebersamaan dalam sukacita, melainkan juga menikmati kebesaran Allah swt. yang terpeta jelas pada eksotis alam Lampung menjadi tujuan utama.
Untuk tahun ini, pantai kelapa rapat atau ulun Lampung (orang Lampung, baik yang bersuku Lampung ataupun yang menetap di Lampung, red) menyebutnya Pantai Klara (singkatan dari Klapa Rapat), menjadi pilihan kami. Singkatan itu memang pas untuk menggambarkan lokasi yang berupa pantai dengan jajaran pohon kelapa menjulang tinggi sebagai peneduh pantai.
Masuknya pantai yang terletak di Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran, ini ke dalam list kunjungan wisata kami bukan tanpa alasan. Letak Pantai Klara tidak jauh dari pusat kota. Ini menjadi alasan yang sangat utama mengingat pada hari itu juga, salah satu anggota keluarga kami dan keluarganya, harus pulang ke tempatnya berdomisili di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Sehingga seluruh keluarga sepakat untuk berwisata tidak jauh dari rumahku yang terletak di Tanjungkarang Pusat.
Berangkat sekitar pukul 09.00, rombongan dibagi dalam dua mobil. Entah siapa yang membagi kelompok, tanpa dikomandoi satu mobil berisi para orang tua. Sementara mobil lain diisi anak-anak. Tentu saja sebagai cucu tertua (meskipun kini saya bukan anak-anak lagi, lo), saya harus rela duduk di mobil kedua dan bertugas menjaga adik-adik.
Meskipun pergi ke pantai bukanlah hal baru, setiap kali pergi ke salah satu jenis wisata air itu pasti terasa spesial. Menyusuri jalan yang sering kami lewati itu diliputi gembira tiada tara. Dengan keringat mengucur cukup deras akibat keadaan mobil yang seperti angkutan Lebaran, penuh sesak. Ditambah panas sinar matahari yang melesap masuk ke dalam mobil tak ber-AC itu. Tapi kami tetap gembira. Pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian memang harus selalu dipegang teguh.
Memasuki Jalan Laksamana R.E. Martadinata, aroma pantai mulai terasa. Berbelok ke arah kiri, mobil para orang tua singgah ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing. Di TPI yang terletak di Kelurahan Sukamaju, Telukbetung Barat, orang tuaku ingin menambah perbekalan kami. Menu ikan bakar tentu sangat menarik, ehmm yummy. Ikan kembung menjadi pilihan kami. Selain mudah dalam pengolahannya, ikan ini juga memiliki harga yang relatif murah.
Ternyata TPI Lempasing juga menyediakan jasa bakar ikan. Per kilogram mereka mematok harga Rp6.000. Wah, semakin mudah saja ya sekarang untuk mendapatkan ikan bakar yang lezat.
Tetapi berhubung ibuku sudah menyiapkan arang dan alat pemanggang. Serta telah terdapat ahli panggang, yakni Pak Su, paman dari Pagaralam. Maka urusan bakar membakar ikan kami anggap selesai.
Perjalanan menuju Pantai Klara kembali dilanjutkan. Kembali bersemangat, keindahan pantai telah menari-nari di ujung mata. Tapi ehm, kami harus kembali bersabar. Sabar, karena jalan menjadi macet. Arus lalu lintas sedikit tersendat akibat banyaknya masyarakat yang juga ingin menikmati eksotis pantai Lampung.
Sebenarnya lokasi pantai yang tidak terlalu ramai menjadi alasan kedua kami memilih Pantai Klara. Tapi keadaan itu mematahkan pernyataan itu. Macet tidak hanya di depan Pantai Mutun yang juga searah dengan pantai yang kami tuju.
Lautan manusia juga berkelimun di Pantai Klara. Kami kebingungan untuk memarkirkan mobil. Ternyata pantai itu telah banyak penggemarnya. Idulfitri memang sangat dahsyat, momen hari besar umat Islam itu bisa mengubah berbagai keadaan. Dari sepi menjadi ramai, dari sedih menjadi gembira, dan dari miskin menjadi kaya (sebab semua orang merasakan nikmatnya daging sapi ataupun ayam pada momen itu). Setidaknya itu menurut saya.
Oia, alasan lain kami menempatkan Klara menjadi tujuan wisata harga tiket masuk yang tidak mahal. Tanpa perlu merogoh kantung lebih dalam. Seluruh keluarga besar bisa menikmati keindahan pantai, dan menghirup udara bersih. Selain juga dapat melepas kepenatan, dan sedikit bersantai setelah selama beberapa hari berkeliling ke rumah saudara. Satu mobil yang diisi berapa pun manusia dipatok Rp20 ribu.
Sementara bagi adik-adik kecilku, pantai ini menjadi tempat mengeksplorasi diri. Mereka bebas bermain air laut, dan bermain pasir sesuka hati. Pantai yang landai dengan air laut yang tenang dan bersih sangat mendukung hobi mereka berenang.
Pantai ini memang sangat cocok untuk liburan keluarga. Panorama alam yang sangat menakjubkan pasir putih yang mendominasi pantai. Laut yang tenang dengan warna birunya. Diperkokoh dengan hamparan gunung sebagai backgroud-nya. Kombinasi kecantikan alam yang selaras.
Seperti diutarakan seorang pengunjung, Kusuma, yang mengatakan bahwa Pantai Klara merupakan pantai favoritnya. "Klara tempatnya sejuk, banyak pohon kelapanya dan gak rame orang," kata warga Kedaton, Bandar Lampung.
Wah tidak terasa, matahari semakin condong ke arah barat. Bekal telah porak poranda, dan seluruh adikku telah selesai bermain air. Meskipun saya tahu mereka tentu belum puas menikmati kebebasannya di pantai itu.
Wah, jalanan macet kembali kami temui saat perjalanan pulang. Polisi dan petugas dari Dinas Perhubungan semakin sibuk dengan tugasnya. Mengatur arus lalu lintas dan pemakai jalan yang seenaknya menjadi tugas berat hari itu..
Petugas Kepolisian yang merupakan gabungan dari Polsek Telukbetung Barat dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung mengalihkan arus lalu lintas. Kendaraan dialihkan menuju jalan Batu Putu yang tembus ke Jalan Pangeran Emir M. Noer.
Meski berat, leisure dengan keluarga di hari Lebaran cukup membuat suasana batin segar kembali. Kini, masa libur Lebaran usai. Aktivitas rutin harian mencengkeram kembali. Klara, sampai jumpa kembali, ya. n VERA AGLISA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009>
Untuk tahun ini, pantai kelapa rapat atau ulun Lampung (orang Lampung, baik yang bersuku Lampung ataupun yang menetap di Lampung, red) menyebutnya Pantai Klara (singkatan dari Klapa Rapat), menjadi pilihan kami. Singkatan itu memang pas untuk menggambarkan lokasi yang berupa pantai dengan jajaran pohon kelapa menjulang tinggi sebagai peneduh pantai.
Masuknya pantai yang terletak di Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran, ini ke dalam list kunjungan wisata kami bukan tanpa alasan. Letak Pantai Klara tidak jauh dari pusat kota. Ini menjadi alasan yang sangat utama mengingat pada hari itu juga, salah satu anggota keluarga kami dan keluarganya, harus pulang ke tempatnya berdomisili di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Sehingga seluruh keluarga sepakat untuk berwisata tidak jauh dari rumahku yang terletak di Tanjungkarang Pusat.
Berangkat sekitar pukul 09.00, rombongan dibagi dalam dua mobil. Entah siapa yang membagi kelompok, tanpa dikomandoi satu mobil berisi para orang tua. Sementara mobil lain diisi anak-anak. Tentu saja sebagai cucu tertua (meskipun kini saya bukan anak-anak lagi, lo), saya harus rela duduk di mobil kedua dan bertugas menjaga adik-adik.
Meskipun pergi ke pantai bukanlah hal baru, setiap kali pergi ke salah satu jenis wisata air itu pasti terasa spesial. Menyusuri jalan yang sering kami lewati itu diliputi gembira tiada tara. Dengan keringat mengucur cukup deras akibat keadaan mobil yang seperti angkutan Lebaran, penuh sesak. Ditambah panas sinar matahari yang melesap masuk ke dalam mobil tak ber-AC itu. Tapi kami tetap gembira. Pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian memang harus selalu dipegang teguh.
Memasuki Jalan Laksamana R.E. Martadinata, aroma pantai mulai terasa. Berbelok ke arah kiri, mobil para orang tua singgah ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing. Di TPI yang terletak di Kelurahan Sukamaju, Telukbetung Barat, orang tuaku ingin menambah perbekalan kami. Menu ikan bakar tentu sangat menarik, ehmm yummy. Ikan kembung menjadi pilihan kami. Selain mudah dalam pengolahannya, ikan ini juga memiliki harga yang relatif murah.
Ternyata TPI Lempasing juga menyediakan jasa bakar ikan. Per kilogram mereka mematok harga Rp6.000. Wah, semakin mudah saja ya sekarang untuk mendapatkan ikan bakar yang lezat.
Tetapi berhubung ibuku sudah menyiapkan arang dan alat pemanggang. Serta telah terdapat ahli panggang, yakni Pak Su, paman dari Pagaralam. Maka urusan bakar membakar ikan kami anggap selesai.
Perjalanan menuju Pantai Klara kembali dilanjutkan. Kembali bersemangat, keindahan pantai telah menari-nari di ujung mata. Tapi ehm, kami harus kembali bersabar. Sabar, karena jalan menjadi macet. Arus lalu lintas sedikit tersendat akibat banyaknya masyarakat yang juga ingin menikmati eksotis pantai Lampung.
Sebenarnya lokasi pantai yang tidak terlalu ramai menjadi alasan kedua kami memilih Pantai Klara. Tapi keadaan itu mematahkan pernyataan itu. Macet tidak hanya di depan Pantai Mutun yang juga searah dengan pantai yang kami tuju.
Lautan manusia juga berkelimun di Pantai Klara. Kami kebingungan untuk memarkirkan mobil. Ternyata pantai itu telah banyak penggemarnya. Idulfitri memang sangat dahsyat, momen hari besar umat Islam itu bisa mengubah berbagai keadaan. Dari sepi menjadi ramai, dari sedih menjadi gembira, dan dari miskin menjadi kaya (sebab semua orang merasakan nikmatnya daging sapi ataupun ayam pada momen itu). Setidaknya itu menurut saya.
Oia, alasan lain kami menempatkan Klara menjadi tujuan wisata harga tiket masuk yang tidak mahal. Tanpa perlu merogoh kantung lebih dalam. Seluruh keluarga besar bisa menikmati keindahan pantai, dan menghirup udara bersih. Selain juga dapat melepas kepenatan, dan sedikit bersantai setelah selama beberapa hari berkeliling ke rumah saudara. Satu mobil yang diisi berapa pun manusia dipatok Rp20 ribu.
Sementara bagi adik-adik kecilku, pantai ini menjadi tempat mengeksplorasi diri. Mereka bebas bermain air laut, dan bermain pasir sesuka hati. Pantai yang landai dengan air laut yang tenang dan bersih sangat mendukung hobi mereka berenang.
Pantai ini memang sangat cocok untuk liburan keluarga. Panorama alam yang sangat menakjubkan pasir putih yang mendominasi pantai. Laut yang tenang dengan warna birunya. Diperkokoh dengan hamparan gunung sebagai backgroud-nya. Kombinasi kecantikan alam yang selaras.
Seperti diutarakan seorang pengunjung, Kusuma, yang mengatakan bahwa Pantai Klara merupakan pantai favoritnya. "Klara tempatnya sejuk, banyak pohon kelapanya dan gak rame orang," kata warga Kedaton, Bandar Lampung.
Wah tidak terasa, matahari semakin condong ke arah barat. Bekal telah porak poranda, dan seluruh adikku telah selesai bermain air. Meskipun saya tahu mereka tentu belum puas menikmati kebebasannya di pantai itu.
Wah, jalanan macet kembali kami temui saat perjalanan pulang. Polisi dan petugas dari Dinas Perhubungan semakin sibuk dengan tugasnya. Mengatur arus lalu lintas dan pemakai jalan yang seenaknya menjadi tugas berat hari itu..
Petugas Kepolisian yang merupakan gabungan dari Polsek Telukbetung Barat dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung mengalihkan arus lalu lintas. Kendaraan dialihkan menuju jalan Batu Putu yang tembus ke Jalan Pangeran Emir M. Noer.
Meski berat, leisure dengan keluarga di hari Lebaran cukup membuat suasana batin segar kembali. Kini, masa libur Lebaran usai. Aktivitas rutin harian mencengkeram kembali. Klara, sampai jumpa kembali, ya. n VERA AGLISA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009>
October 2, 2009
Peluncuran Buku: Muslim Paris dalam Cerita Rosita
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Menjadi seorang muslimah asal Indonesia di sebuah negeri asing yang sangat berbeda tradisi dan kulturnya adalah perjuangan, bagaimana menjaga diri dan keimanan agar tidak terbawa arus yang kadang-kadang menyesatkan.
Rosita Sihombing, penulis buku Paris Lumire de L'Amor, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel, mengatakan hal ini sesaat sebelum acara Bincang Asyik Paris dan Islam yang diadakan Gramedia, Bandar Lampung, Rabu (30-9).
Rosita berbicara banyak hal mengenai Paris dan kehidupannya sebagai seorang muslimah. "Bahkan saya pernah mengalami diskriminasi karena memakai jilbab. Pintu rumah saya digedor-gedor, menyuruh saya pergi dari apartemen saya," kata dia.
Menurut dia, kehidupan Barat yang sangat bertolak belakang dengan agama Islam yang ia anut malah membuat ia bertambah kadar keimanannya, "Saya pakai jilbab ini bahkan saat saya di Paris. Sewaktu saya masih di Indonesia, saya malah seperti Mbah Surip, gimbal," ujarnya sambil tertawa kecil.
Dalam talkshow yang dimoderatori Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka ini juga sedikit membahas tentang buku terbaru dari penulis kelahiran Tanjungkarang tersebut, Paris Lumire de L'Amor, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (PLdA). "Buku ini adalah obsesi terbesar saya," kata dia.
"Dengan buku ini saya ingin mendobrak pandangan dan diskriminasi sosial yang kerap kali terjadi pada umat muslim di Prancis," kata dia.
Menurut Rosita, buku PLdA ini tadinya adalah tulisan-tulisan dari blognya di sikrit.multiplay.com. "Bisa dibilang ini diary saya," kata dia.
Buku yang diterbitkan Lingkar Pena Kreativita tersebut bercerita tentang keseharian Rosita, mulai dari sebagai ibu rumah tangga bersama suaminya, pria asal Prancis, Patrick Mon Luis, suasana di Paris. Juga sebagai seorang muslim.
Cerita-cerita ringan nonfiksi dalam PLdA ini bisa dibilang juga bermanfaat karena informatif bagi umat muslim yang ingin pergi ke Paris, seperti bagaimana cara memilih daging yang halal bagi umat muslim karena sebutan untuk olahan daging haram di Prancis banyak istilahnya. MG13/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 2 Oktober 2009
Rosita Sihombing, penulis buku Paris Lumire de L'Amor, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel, mengatakan hal ini sesaat sebelum acara Bincang Asyik Paris dan Islam yang diadakan Gramedia, Bandar Lampung, Rabu (30-9).
Rosita berbicara banyak hal mengenai Paris dan kehidupannya sebagai seorang muslimah. "Bahkan saya pernah mengalami diskriminasi karena memakai jilbab. Pintu rumah saya digedor-gedor, menyuruh saya pergi dari apartemen saya," kata dia.
Menurut dia, kehidupan Barat yang sangat bertolak belakang dengan agama Islam yang ia anut malah membuat ia bertambah kadar keimanannya, "Saya pakai jilbab ini bahkan saat saya di Paris. Sewaktu saya masih di Indonesia, saya malah seperti Mbah Surip, gimbal," ujarnya sambil tertawa kecil.
Dalam talkshow yang dimoderatori Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka ini juga sedikit membahas tentang buku terbaru dari penulis kelahiran Tanjungkarang tersebut, Paris Lumire de L'Amor, Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (PLdA). "Buku ini adalah obsesi terbesar saya," kata dia.
"Dengan buku ini saya ingin mendobrak pandangan dan diskriminasi sosial yang kerap kali terjadi pada umat muslim di Prancis," kata dia.
Menurut Rosita, buku PLdA ini tadinya adalah tulisan-tulisan dari blognya di sikrit.multiplay.com. "Bisa dibilang ini diary saya," kata dia.
Buku yang diterbitkan Lingkar Pena Kreativita tersebut bercerita tentang keseharian Rosita, mulai dari sebagai ibu rumah tangga bersama suaminya, pria asal Prancis, Patrick Mon Luis, suasana di Paris. Juga sebagai seorang muslim.
Cerita-cerita ringan nonfiksi dalam PLdA ini bisa dibilang juga bermanfaat karena informatif bagi umat muslim yang ingin pergi ke Paris, seperti bagaimana cara memilih daging yang halal bagi umat muslim karena sebutan untuk olahan daging haram di Prancis banyak istilahnya. MG13/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 2 Oktober 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)