Oleh Anshori Djausal
KEBUDAYAAN kerap hanya dimaknai sebatas norma adat istiadat, kesenian, dan tata cara adat lainnya. Dalam perspektif luas, seperti diutarakan Koentjaraningrat, kebudayaan atau etnografis dapat meliputi aspek yang lebih komprehensif seperti sistem teknologi, mata pencaharian, pengetahuan, religi, organisasi sosial, kesenian, sejarah, lingkungan alam, dan sistem bahasa.
Kebudayaan tidaklah statis, tapi dinamis. Kebudayaan yang statis cenderung introver, tak mampu menyesuaikan diri dengan dinamika peradaban. Kebudayaan statis akan berujung pada runtuhnya peradaban suku-bangsa. Sebaliknya, kebudayaan yang dinamis mampu beradaptasi dengan dinamika sosial. Dalam tataran ini, kita mengenal ranah local genius, asimilasi, dan akulturasi.
Eksistensi kebudayaan kita dewasa ini, terutama masyarakat adat Lampung, dihadapkan pada dua tantangan besar. Secara internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya, pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana dan dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Secara eksternal, kita dihadapkan pada serbuan budaya instan, pop, dan budaya global. Koran, radio, internet, dan televisi menjadi media yang bisa masuk ke ruang-ruang privasi kita. Budaya instan dan global itu dengan mudah memengaruhi diri anak-anak kita, baik pada tataran kognitif, afektif, dan lambat laun akan sampai pada level psikomotorik.
Apabila kedua tantangan tersebut dapat kita ubah menjadi peluang, maka kita dapat memajukan kebudayaan. Sebaliknya, apabila gagal menjadikan tantangan tersebut menjadi peluang, bahkan tantangan tersebut bergeser menjadi virus atau ancaman serius, maka siap-siaplah kebudayaan kita akan terdegradasi, tererosi, bahkan menuju jurang kepunahan.
Sejak tahun 90-an, muncul pemikiran dan upaya pelestarian dan pemberdayaan budaya Lampung. Pemerintah dan sekolah membuat kurikulum lokal bagi siswa untuk mempelajari bahasa dan aksara Lampung. Pelaku budaya yang terbatas mencoba melakukan sosialisasi dan pewarisan nilai adat istiadat melalui kegiatan pelatihan, acara di RRI Lampung, TVRI Lampung. Generasi muda yang peduli mulai memasukan lagu Lampung sebagai pilihan wajib, sebagai selingan mementaskan musik rock.
Pemerintah berupaya mengoptimalisasi sarana kebudayaan baik yang ada di Museum Lampung, Taman Budaya Lampung, Way Halim, dan aneka tempat. Pemerintah mencoba mengadopsi arsitektur tradisional Lampung untuk merehabilitasi bangunan perkantoran, bahkan telah mendirikan menara siger. Beberapa pihak mulai mengumpulkan dan menata database kebudayaan Lampung. Kelembagaan adat di level kampung serta marga juga menata diri menatap masa depan.
Perkembangan konservasi kebudayaan di Lampung memang cukup dinamis. Namun, menurut saya, setidaknya ada 6 (enam) aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan konservasi kebudayaan.
Pertama, prinsip learn, care, and used. Prinsip ini merupakan prinsip konservasi yang berlaku universal yang sering diintrodusir oleh lembaga-lembaga konservasi. Ketiga hal itu harus sinergis. Kebudayaan jangan berhenti sebatas sesuatu yang keramat, sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan generasi mendatang. Kebudayaan hendaknya bermuara pada peningkatan nilai budaya dan kualitas kehidupan kita.
Kedua, penguatan kelembagaan dan database. Apabila kelembagaan dan database ini kuat, dia mampu menopang dan mengendalikan beban atau potensi yang ada. Selain itu, yang penting dibenahi adalah penyusunan program kegiatan, dan melatih sumber daya pengelola. Kekeliruan kita selama ini adalah kita baru sebatas penyiapan perangkat keras dan lunak, belum menjangkau secara utuh dan menyeluruh. Kelembagaan budaya dan informasi yang harus dibangun.
Ketiga, kejelasan visi dan misi. Visi dan misi ibarat secercah cahaya di ujung lorong gelap. Tanpa visi dan misi yang jelas, kita dapat "tersesat", jalan di tempat. Visi kebudayaan kita harus terang benderang dilihat semua pihak, visi kita adalah menjadi warga nasional dan global.
Keempat, kesinambungan program. Konservasi kebudayaan haruslah diwujudkan secara nyata ke dalam program kerja secara simultan. Kita perlu saling koordinasi dan kerja sama sinergis. Jangan terjebak untuk saling hadap-menghadapkan, yang malah berujung kepada sikap saling menyalahkan dan menilai diri yang paling baik.
Kelima, kerja sama dan networking. Kerja sama kebudayaan akan bermuara kepada terbentuknya mata rantai kebudayaan baik di level lokal, nasional, regional, dan internasional. Ketika dunia internasional membicarakan topeng, maka mestinya Lampung juga diperhitungkan, karena Lampung memiliki aneka topeng tradisional. Begitu juga mengenai tekstil, arsitektur tradisional, perahu, dan aneka norma budaya lainnya.
Keenam, sebagai tujuan pokok, menjadikan kebudayaan Lampung sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Kebudayaan kita harus mampu untuk ikut membangun kebudayaan dunia. Konservasi kebudayaan idealnya memegang prinsip bahwa konservasi budaya bukan semata mengagung-agungkan masa lalu. Konservasi itu untuk digunakan (used) pada masa kini dan kepentingan masa depan.
Memang ini tidaklah mudah mencapainya, tetapi perlu upaya bertahap dan terus menerus untuk mencapainya. Semua ini membutuhkan proses dan keterlibatan yang sungguh-sunguh, semua pihak.
* Anshori Djausal, Ketua Lampung Heritage Society
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment