October 18, 2009

Menimbang Wisata Lampung

Esai Christian Heru Cahyo Saputro

TAHUN kunjungan Lampung (Visit Lampung Year) dalam hitungan hari akan berakhir. Namun, gaungnya nyaris tak terdengar. Festival Krakatau, mayor event yang dijadikan andalan pun tak membahana. Hanya terkesan seremonial untuk memanjakan petinggi dan duta besar negeri jiran.

Danau Ranau (LAMPUNG POST/M. REZA)

Memang, masih banyak pekerjaan rumah dan persoalan yang harus dibenahi untuk menggesa perkembangan jagat pariwisata Lampung. Mungkin, yang menjadi salah satu kelemahan jagat pariwisata Lampung hingga saat ini, Lampung tak memiliki branding atau tagline yang unik dan menjual.

Padahal, branding atau tagline ini sangat penting dalam dunia industri tanpa cerobong asap ini untuk membangun pencitraan untuk target marketing. Atau, istilah lainnya menurut Alamsyah, pariwisata Lampung harus memiliki visi yang cerdas (Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009).

Daerah lain berani mengucurkan dana miliaran rupiah untuk mengampanyekan tagline-nya yang sesuai dengan karakter, filosofi, dan tentunya punya nilai jual. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan bangga mengusung tagline wisata yang cukup menarik: Never Ending Asia. Solo dengan The Spirit of Java dan Semarang dengan SPA (Semarang Pesona Asia).

Dulu Komite Pariwisata Lampung pernah mengajak para pewarta untuk mendiskusikan tagline ini. Memang tak secara resmi disepakati untuk bersama-sama menggemakan tagline pariwisata Lampung yaitu Lampung, The Land of Krakatau (Lampung Bumi Krakatau). Namun, program yang pernah dirilis dan digemakan di berbagai media ini tak ada kelanjutannya.

Padahal, tagline ini sangat tepat, berkarakter dan lebih "menjual" ketimbang Lampung, Your Second Home. Apalagi, secara administratif dan geografis, Krakatau sekarang ini milik Lampung. Selain itu, Lampung didukung nama besar Krakatau yang sudah populer di dunia.

Tetapi apa yang terjadi? Lampung justru merilis tagline Lampung, Your Second Home. Atau ternyata, Lampung memang hanya pantas dijadikan rumah kedua. Yang mencerminkan, Lampung hanyalah destinasi alternatif, bukan prioritas. Sungguh malang nian jagat pariwisata Lampung.

'Event' dan Festival

Pada tahun kunjungan wisata Lampung (VLY) 2009, Lampung masih mengandalkan empat event pariwisata yang juga merupakan agenda nasional, yakni Festival Bandar Lampung Begawi, Festival Teluk Stabas, Festival Krakatau, dan Festival Way Kambas.

Sedangkan VLY 2009 ditargetkan dapat menarik dua juta wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang bisa melihat langsung objek wisata maupun peristiwa budaya yang dihelat di Lampung.

Untuk memarakkan VLY 2009, sepanjang tahun dijadwalkan ditaja berbagai major event dan supporting event seperti Festival Megou Pak di Kabupaten Tulang Bawang, Lomba Perahu Naga (Dragon Boat Competition), Petualangan Sungai dan Lahan Basah (Wet Land and River Tour), Festival Radin Jambat, Festival Kuda Lumping, Lomba Lari 10 K, Lomba Layang-layang Hias.

Kemudian, Festival Kota Metro, Festival Kota Bumi Bettah, Cangget Bakha, Manjau Tebing, Begawi Bandar Lampung, International Mask Festival, International Kite Festival, Festival Perahu Hias, Festival Stabas, Surfing Exhibition Track Series, Semarak Danau Ranau, Lomba Panjat Damar.

Selain itu, Pesona Budaya Lampung Selatan, Festival Krakatau, Krakatau Tour, Lampung Expo, Festival Teluk Semaka, Fishing Week, Kebut Gunung Pesagi, Festival Selat Sunda, dan Jet Ski Competition. Sedangkan pada penghujung bulan Desember, sebagai sebagai gong VLY 2009 bakal ditaja Festival Ngumbay Lawok, Festival Way Kambas, Fox Hunting, dan National Offroad.

Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pencanangan tahun kunjungan ke Lampung (Visit Lampung Year 2009) tak terasa akan berakhir. Tetapi, target golnya belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Pasalnya, tradisi pariwisata di Lampung memang belum tumbuh dan memasyarakat. Contohnya, meskipun Festival Krakatau sudah memasuki tahun ke-19 penyelenggaraannya, festival yang setiap tahun dihelat dengan tujuan memarakkan kehidupan pariwisata Lampung ini belum banyak dinikmati manfaatnya oleh masyarakat.

Festival ini lebih berkesan sebagai festival "pelat merah" dan sekadar proyek. Peristiwa ini terkesan hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi ketimbang masyarakat Lampung. Festival ini terkesan hanya untuk menyervis para duta besar. Padahal, kalau festival yang digarap membumi dan berbasis masyarakat, hasilnya dapat dinikmati segenap masyarakat Lampung.

Pariwisata di Lampung memang belum menjadi kebutuhan pokok seperti halnya sektor primer lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal, di era otonomi inilah saatnya sektor wisata memberikan kontribusi yang besar bagi kebutuhan primer masyarakat.

Kalau saja Festival Krakatau digarap dengan berbasis masyarakat, akan tumbuh kokoh dan kuat seperti Pesta Kesenian Bali, Festival Kesenian Yogyakarta, Jak Art dan Jember Fashion Carnaval yang sudah mendunia.

Pesimisnya lagi, beberapa tahun terakhir, infrastruktur seperti jalan-jalan dan fasilitas umum di kawasan wisata di Lampung amburadul. Inilah salah satu langkah yang penting untuk diperbaiki. Pasalnya, nanti ketika para wisatawan berkunjung ke Lampung dan kecewa, ini justru bisa menjadi kampanye hitam (black campaign) bagi dunia pariwisata Lampung.

Sinergi 'Stakeholder'

Di samping itu, fund raising dan publikasi yang merupakan elemen penting dalam menggelar festival di Lampung belum tergarap. Andai saja Lampung punya "orang gila" seperti dua bersaudara Helmi Yahya dan Tantowi Yahya yang bisa menarik sponsor untuk menggemparkan Visit Musi Year yang digelar Sumsel tahun lalu.

Penyair Isbedy Setiawan Z.S. dalam sebuah puisinya, Muli, menyindir orang Lampung yang sudah sukses tapi enggan bersusah-payah untuk membesarkan Lampung. Mak ingok jamo tiyuh (lupa kampung halaman).

Banyak hal yang harus dibenahi untuk menumbuhkembangkan industri pariwisata Lampung, mulai dari keamanan dan kenyamanan, akses penerbangan, prasarana pelabuhan laut, hingga transportasi angkutan umum ke objek wisata.

Dunia pariwisata merupakan kerja lintas sektoral. Perlu kerja sama yang sinergis antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada. Pemprov Lampung juga harus menggandeng pihak swasta untuk mendukungnya dengan regulasi dan kepastian hukum yang jelas sehingga orang tak ragu-ragu dalam berinvestasi.

Salah satu langkah solusi yang bisa dikedepankan antara lain hotel-hotel bisa bekerja sama dengan biro perjalanan menjual paket wisata. Selama ini, biro perjalanan yang ada terkesan hanya papan nama dan tak mau jemput bola.

Lalu, menyiapkan tenaga-tenaga di bidang pariwisata yang profesional, menata dan mengemas objek wisata agar lebih menarik, serta publikasi yang gencar dari berbagai lini seperti media cetak, media elektronik, internet, dan website yang terus di-update.

Beberapa catatan dan pekerjaan rumah inilah yang harus digarap kalau ingin menjadikan Lampung destinasi wisata yang "menjual".

* Christian Heru Cahyo Saputro, penghayat perjalanan dan Peneliti Folklor, tinggal di Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment