MENYAKSIKAN ikan lumba-lumba di gelanggang atau sirkus memberikan kesenangan tersendiri. Terlebih melihat satwa air yang jinak itu menunjukkan kebolehannya bersama sang pelatih atau pawang.
Namun, saat melihat lumba-lumba bermain di laut lepas sambil mengiringi kapal yang kita tumpangi, chemistry-nya menjadi berbeda. Bukan senang, tapi sangat-sangat senang, bahkan membuat takjub.
Bagaimana tidak, kita bisa bercengkerama langsung dengan si dolphin yang ramah ini.
***
Kamis (1-4), sekitar pukul 09.00, tim perjalanan Lampung Post didampingi Fadliansyah (Yeye) dari Cikal (Cinta kepada Alam), salah satu LSM mengurusi ekowisata di Teluk Kiluan, memulai perjalanan ke Kiluan, Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus, dengan kendaraan minibus.
Kami memilih jalan darat karena sudah mampu dilalui dengan kendaraan roda empat. Sebelumnya, kendaraan roda empat hanya sampai di Pasar Bawang saja dan harus melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor sampai di Desa Kiluan Negeri.
Perjalanan kami menuju lokasi memakan waktu sekitar empat jam, termasuk istirahat makan siang. Padahal jarak tempuh hanya sekitar 80-an km saja.
Hal ini disebabkan jalan yang mulai tak bersahabat, berlubang hingga berkubang, selepas dari pangkalan TNI AL di Piabung, Padangcermin, Pesawaran.
Rata-rata kecepatan sekitar 40 km/jam, bahkan di bawah itu. Belum lagi medan yang terjal, menukik dan menurun hingga 30 derajat, yang si sisi kiri dan kanan terdapat jurang yang menganga. Beruntung siang itu cuaca cerah menyengat, padahal semalam baru saja hujan mengguyur bumi Lampung secara merata.
Ya, selepas dari Desa Bawang, jalan tak lagi beraspal, tetapi tanah yang baru saja diperbaiki. Kami melihat ada alat berat yang tengah memperbaiki jalan yang longsor. Rasanya adrenalin langsung berpacu. Di sinilah nikmatnya perjalanan menuju Kiluan yang mulai tersohor hingga ke mancanegara.
Dirhamsyah, koordinator Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas), ikut dalam rombongan kami. Namun, ia menggunakan kendaraan roda dua yang ternyata lebih lincah dan lebih cepat menuju ke lokasi sasaran.
Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Kiluan Negeri. Pemandangan indah terlihat di sini, di mana masjid dan pura (tempat ibadah agama Hindu) saling berdampingan satu sama lain. Ah, kerukunan beragama yang terjaga di desa ini rupanya.
Kendaraan kami parkir di salah satu rumah Kadek, kepala dusun setmpat. Kami menuju perahu yang akan menyeberangkan ke Pulau Kiluan. Sebelumnya mampir di sebuah toko serbalengkap, untuk membeli aneka kebutuhan makanan serta peralatan mancing. Maklum, selain melihat lumba-lumba, kami pun ingin memancing di Teluk Kiluan ini.
Perahu Sudarno ternyata telah menunggu. Wow! perahu katir dan lumayan kecil. Namun, perahu tersebut mampu membawa kami ber-10 orang, termasuk nakhoda menuju ke Pulau Kiluan yang berjarak sekitar 1 km saja dari daratan. Deg-geg plas juga sih, soalnya kelebihan muatan nih.
Wow! pekik itu kembali terucap begitu melihat air di sekitar Teluk Kiluan yang berwarna biru jernih hingga biru pekat yang kami lintasi. Apalagi saat perahu kami mendarat di pantai berpasir putih bak mutiara.
Ah, pupus sudah rasa penat dan deg-deg plas perjalanan kami tadi. Apalagi saat kaki tenjang ini menginjakkan kaki di pasir yang lembut.
"Cakepnya," kata Pipi, salah satu dari rombongan kami berucap. Saya langsung menyetujuinya. "Indah sekali dan alami."
Kami langsung membawa berbagai perbekalan ke pondokan, rumah panggung yang dikelola Pak Abdullah dan Ibu Rohana. Rumah adem yang nyaman. Ada 8 kamar yang bisa disewakan kepada pengunjung. Kami mengambil beberapa kamar.
Kami rehat sebentar sambil minum kopi dan mempersiapkan pancing, serta ngobrol dengan pengelola pondokan yang telah 16 tahun mendiami Pulau Kiluan tersebut. Ramah dan bersahabat. Di pulau itu hanya tinggal mereka berdua bersama Sudarno, sang nakhoda bersuara serak-serak basah itu. Setiap akhir pekan, pasti banyak tamu yang datang ke pondokan mereka.
Pukul 14.30, matahari masih terik. Kami mulai mendorong perahu sambil membawa perlengkapan. Saatnya memancing!
Lokasi memancing tak jauh-jauh dari pulau, kami berdelapan mulai berdesakan di atas kapal mengambil PW (posisi wuenak, red). Tak ada pelampung!
Setelah menemukan lokasi, pancing mulai diturunkan. Ternyata Pipi yang pertama mendapatkan ikan kerapu merah. Tidak besar, tapi cukup memacu kami untuk terus menggerakkan mata pancing. Ah, peruntungan saya belum di hari itu, umpan di pancing cuma ditotol-totol saja.
Kami memancing hingga matahari terbenam, dan menyaksikan keindahan sunset yang jatuh di ufuk barat. Wah...cantiknya...jarang-jarang melihat sunset jatuh di kaki laut.
***
Malamnya kami mulai membakar hasil tangkapan ikan. Ada ikan kerapu merah, kambingan, jelendok, raja ganteng, dan lain-lain...
Kami membuat api punggun di pinggir pantai, di bawah cahaya bulan purnama. Duhai, indah nian cahaya bulan ini. Di pasir yang putih dan halus itu, saya terpekur menatap sang rembulan yang luar biasa lembutnya. Wow! Romantis.
Tak lama kami pun menyatap ikan bakar hasil olahan tangan Meza, Erlian, dan Yeya. Hmmm...nyumi, cocolan sambal botol menambah cita rasa ikan yang manis. Memang, ikan yang baru saja ditangkap dari laut tersebut akan terasa manis karena masih segar, ketimbang ikan yang dijual di pasar atau pelelangan.
Tiba-tiba awan hitam menggumpal dan hujan pun turun. Kami beranjak dari pinggir pantai dan naik ke rumah panggung dan menikmati hiburan televisi sambil minum kopi hingga pukul 02.00 dini hari.
***
Pukul 05.40. Langit di luar mulai terang dan cuaca seperti cerah. Saya tergopoh-gopoh bangun untuk salat subuh, setelah dibangunkan Pipi. Maklum, alarm tidak dihidupkan karena di pulau tersebut jaringan telekomunikasi cukup payah, hanya pesawat briker yang mampu menembusnya.
Teman-teman lain ikut terbangun dan bergegas siap-siap melihat lumba-lumba serta mancing.
Kami menggunakan dua perahu katir yang masing-masing berisi empat orang, Yeye yang kerap bercengkerama dengan lumba-lumba, memilih untuk tinggal di pulau. "Mudah-mudahan masih bisa bertemu dengan kumpulan lumba-lumba," ujarnya.
Kami menuju ke Pulau Tabuhan yang ditempuh sekitar 30 menit dari Pulau Kiluan. Lumayan juga ombaknya saat menuju ke laut sekitar Tabuhan. Warnanya biru pekat yang menandakan laut cukup dalam.
Matahari pagi mulai terasa membakar punggung kami. "Ah, ini vitamin D," pekik saya yang jarang-jarang bisa menikmati matahari pagi.
Tak lama, kami menemukan satu dua lumba-lumba meloncat. Lalu menghilang. Kami mengitarinya lagi, setelah hampir 15 menit berputar-putar, lumba-lumba kembali muncul dan kali ini populasinya lebih banyak.
Dengan tanpa rasa takut, lumba-lumba mengiringi perahu kami yang mengitari laut di sekitar Pulau Tabuhan dan Kiluan, Kelumbayan, Tanggamus.
Sesekali kelompok lumba-lumba ini bermanuver di depan perahu kami, dari kiri ke kanan dan sebaliknya, tentu saja sambil mempertontonkan keahliannya meloncat. Kami menyebutnya tarian luma-lumba. Tarian itu kian kencang saat kami membuat suara gaduh memanggil mereka. "Wowowo...wowowo...wowowo...," teriak kami dari atas kapal.
Dengan dua kapal katir yang kami tumpangi, masing-masing kapal berisi empat penumpang, kami mengitari kumpulan lumba-lumba yang ukurannya tidak seragam. Ada yang besar (dewasa) dan ada pula yang kecil (anakan).
Begitu dekatnya lumba-lumba dengan kapal kami, saya sampai khawatir jika tubuh hewan berwarna abu-abu tua itu terantuk katir kapal kami.
"Hai lumba-lumba, jangan terlalu dekat, nanti kena katir kapal," ujar saya.
Semua wajah yang ada di atas kapal semringah. Bahkan saya sampai-sampai lupa untuk mengabadikan gambar si lumba-lumba berwajah jenaka itu, saking asyiknya bercengkerama.
Namun, hanya sebentar si lumba-lumba ini muncul di perairan berwarna biru pekat. Selepas pukul 09.00, mereka mulai tak terlihat lagi, kata Dirhamsyah, yang memandu kapal kami menuju ke populasi lumba-lumba.
"Kalau mau lihat lumba-lumba, biasanya berangkat mulai pagi sekitar pukul 06.00, sambil menikmati sinar matahari dan indahnya laut," kata dia lagi.
Benar saja, lumba-lumba mulai menjauh. Kami pun memutuskan kembali ke tepian untuk memancing ikan. Ternyata peruntungan saya mulai terlihat pagi itu, lumayan ikan kambingan dan kakak tua ukuran sedang terjerat pancing. Hmmm...asyik. (SRI AGUSTINA/MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 April 2010
No comments:
Post a Comment