April 12, 2010

Profil: Rapanie, Pakar Aksara Kaganga dari Sumsel

KELESTARIAN aksara kaganga yang merupakan aksara khas dari kawasan Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumsel, semakin terancam. Namun, aksara tersebut belum menarik banyak orang untuk mempelajarinya.

Rapanie Igama (WAD)

Satu-satunya pakar bahasa kaganga di Sumsel yang mampu membaca, mengartikan, dan memahami filologi (ilmu tentang naskah kuno) adalah Rapanie Igama (46), pamong budaya ahli pada Museum Negeri Sumsel.

Kepada Kompas yang menemui Rapanie di Museum Tekstil Sumsel, Minggu (11/4), Rapanie mengatakan, awal ketertarikannya terhadap aksara kaganga karena di Museum Negeri Sumsel tempatnya bekerja terdapat beberapa naskah dengan aksara kaganga. Namun, Rapanie tidak dapat membaca, apalagi mengartikannya.

Merasa tertantang, Rapanie menemui pakar aksara kaganga dari Universitas Bengkulu, Sarwit Sarwono, pada tahun 1996. Rapanie meminjam buku-buku tentang aksara kaganga milik Sarwit kemudian mempelajarinya.

Setelah mempelajari selama empat tahun, Rapanie baru bisa memahami seluk beluk aksara kaganga, termasuk filologi yang terkait aksara kaganga.

Menurut Rapanie, Museum Negeri Sumsel memiliki empat naskah dengan aksara kaganga. Dua naskah berupa kakhas (semacam kitab terbuat dari kulit kayu), satu naskah berupa gelumpai (berbentuk buluh dari bambu), dan satu naskah berupa gelondongan dari bambu. Adapun di Museum Nasional, Jakarta, tersimpan 74 naskah dengan aksara kaganga.

”Saya pernah meneliti naskah aksara kaganga milik warga di Bumiayu dan Pagar Alam. Saya sempat mendokumentasikannya. Sayangnya, naskah-naskah itu dikeramatkan pemiliknya sehingga justru tidak tersimpan dengan baik,” ujar ayah dari Prima Ahmadi dan Suryaninda itu.

Pria yang lahir di Palembang, 23 Maret 1964, itu mengatakan masih sangat banyak naskah dengan aksara kaganga yang tersimpan di rumah-rumah. Sebagian besar pemilik naskah mendapatkan naskah tersebut secara turun-temurun.

Naskah yang pernah dibaca Rapanie berisi tentang ajaran agama Islam dan kisah mengenai Nabi Muhammad. Naskah tersebut diperkirakan berasal dari abad XVII Masehi.

”Di Bandung, ada orang asal Sumsel yang menyimpan banyak naskah aksara kaganga. Saya mau ke sana untuk mendokumentasikan, tetapi anggarannya tidak tersedia. Tidak mungkin saya pakai uang sendiri pergi ke sana,” ungkapnya.

Menurut alumnus Fakultas Sastra Indonesia UGM itu, telantarnya naskah dengan aksara kaganga disayangkan karena aksara kaganga merupakan bukti tingginya kebudayaan masyarakat Sumsel. Sebab, tidak semua suku di Indonesia memiliki sistem aksara.

Rapanie mengungkapkan, kurangnya dukungan dari pemerintah daerah untuk melestarikan naskah aksara kaganga juga sangat disayangkan. Pemerintah daerah seharusnya memiliki inisiatif untuk mendokumentasikan dan meneliti naskah aksara kaganga yang tersebar di mana-mana. (WAD)

Sumber: Kompas, Senin, 12 April 2010

No comments:

Post a Comment