July 8, 2012

[Fokus] Berfilsafat dengan Laut dan Pancing

MEMANCING bukan sekadar kesenangan mendapatkan ikan. Hobi ini dipercaya mampu melepas stres. Apalagi di tengah laut, kita bisa kontemplasi tentang kehidupan.

Sabtu pagi, pekan lalu, kapal nelayan ukuran sedang itu melancong membelah laut Teluk Lampung. Tak tanggung, dengan kecepatan 10 knot per jam, perahu berisi 10 penghobi memancing itu berlayar selama 10 jam. Tujuannya, perairan Gosong Pasir.

Lokasi ini diyakini sebagai tempat (spot) yang along, istilah nelayan, untuk memancing. Ikannya melimpah dan besar-besar. Setelah sampai, perjalanan melelahkan itu seolah hilang ketika mata pancing sudah dilepaskan.

Toto Subiantoro, satu dari penghobi mancing, menuturkan pengalaman dan suka dukanya tentang memancing di laut. Gosong Pasir dan sekitarnya, kata dia, sangat dikenal karena laut yang memiliki kontur gunung yang menjadi tempat idola ikan-ikan besar berkumpul. Daerah ini mencapai 12 mil dari pesisir Bandar Lampung dan hanya bisa ditempuh dengan kapal besar. “Hanya kapal besar saja yang bisa ke sana,” ujar Toto.

Hampir setiap bulan, Toto dan beberapa rekannya yang lain pergi ke Gosong Pasir dan sekitarnya. Mereka pun bisa memancing selama tiga hari di perairan yang sudah masuk ke Selat Sunda tersebut. “Di situ memang tempat memancing yang sudah terkenal hingga ke luar negeri. Yang memancing banyak dari Kalimantan dan ada juga dari luar negeri. Mereka membawa kapal yang lebih besar,” kata dia.

Warga Kemiling, Bandar Lampung, ini memang sangat suka memancing. Hobi yang sudah ia geluti selagi masih muda. Toto adalah pemancing kelas kakap. Dia dan rekannya tidak main di perairan nelayan, tapi lebih jauh ke lokasi ikan-ikan yang disebut monster. Ikan yang beratnya bisa lebih dari 50 kg.

“Saya pernah dapat ikan yang beratnya 90 kg di lokasi Gosong Pasir dan sekitarnya. Nariknya aja perlu waktu hingga 2 jam,” kata Kasubbid Keanekaragaman Pangan Badan Ketahanan Pangan Lampung ini.

Dia mengaku mendapat kesenangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata saat memancing ikan di laut lepas. Kebahagian yang didapat saat memancing tidak dapat dinilai dengan uang.

Pengalaman Masdulhaq tampaknya lebih dalam. Pensiunan PNS ini menganggap memancing bukan hanya pelepas stres dan rekreasi yang murah meriah. Namun, dia mendapat banyak pengalaman hidup dari kegiatan memancing.

“Orang memancing bukan hanya sekadar mendapat ikan. Memaknai setiap bagian dari proses memancing yang bisa menjadi pelajaran hidup,” kata dia.

Menurutnya, banyak filsafat kehidupan yang bisa diambil dari memancing. Mulai dari rasa syukur hingga mengerti tentang kekuasaan Sang Maha Pencipta. Dia mencontohkan ketika ada dua orang memancing, yang berpengalaman dan yang baru pertama kali memancing duduk bersebelahan. Ternyata yang lebih dahulu mendapat ikan, bahkan memperoleh tangkapan yang lebih banyak adalah orang yang baru pertama kali memancing.

“Artinya, rezeki dari Tuhan bisa diberikan kepada siapa saja. Tidak harus kepada orang yang sudah berpengalaman. Di sini kita bisa legawa jika ternyata di kantor, ada rekan kerja yang bisa mendapat banyak rezeki,” kata pria 61 tahun ini.

Saat seseorang memancing seharian dan hanya mendapat dua ikan, itu pun yang ukuran kecil. Dari pengalaman itu, kata dia, kita diajarkan untuk mensyukuri apa yang sudah didapat. Dengan mendapat ikan kecil itulah kita menghidupi keluarga di rumah. “Bagaimana kita menyikapi bila ternyata kita mendapat ikan sedikit untuk keluarga di rumah. Itulah salah satu pengalaman baru yang lain,” kata dia.

Masdulhaq pernah mengalami kejadian yang tidak pernah dia lupakan. Ketika memancing di perairan Labuhanmaringgai pada 1994, kapal yang ditumpanginya dan beberapa rekannya mengalami kerusakan mesin. Dia pun terapung selama empat hari di laut lepas.

“Dalam kondisi inilah kita langsung ingat Tuhan. Kita pun langsung menghitung kebaikan dan kejahatan yang sudah dilakukan,” kata Masdulhaq.

Mantan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Lampung ini menjadikan kejadian itu sebagai pengalaman pahit adi lautan itu dan sebuah renungan. Terkadang dia sengaja pergi memancing saat malam hari. Memancing sekaligus untuk mendekatkan diri pada kuasa Tuhan.

“Malam-malam kita di tengah lautan, ini makin membuat kita selalu ingat Tuhan. Bahkan menjadi renungan tentang keterbatasan manusia. Manusia hanya seperti dasar kapal yang mudah tenggelam. Malah kalah dengan ikan teri yang bisa berenang lincah di lautan luas,” ujarnya berfilosofi. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

No comments:

Post a Comment