July 8, 2012

[Fokus] Hoki dan Solidaritas di Tengah Laut

MEMANCING di laut tidak melulu bergantung pada peralatan dan kemahiran memainkan joran. Adakalanya hoki yang menentukan. Dan, ada solidaritas dan kebersamaan.

Angin laut yang terus menampar daun telinga Khairul sudah tak lagi ia dengar. Meskipun sesungguhnya bising, berada di tengah laut menunggu umpan dimangsa ikan menjadi momen yang terus hening.

Namun, saat kedutan kuat menyendal di tangan, suasana jadi berbeda. “Nah, strike gua. Ada yang mau bayar? Ayo, Rp20 ribu?” canda Khairul kepada beberapa rekannya yang masih terus manyun menunggu ikan tertipu.

Candaan itu lahir saat spot pancingnya tidak terlalu galak. Jika ada salah satu pancing yang disambar ikan, ada canda transaksi untuk saling menggoda.

Rombongan pemancing yang biasa mengail ikan di Tanjungputus, Teluk Lampung, memang tidak pernah absen mengajak Khairul. Khairul dianggap bawa hoki dan selalu ikut jika memancing. “Saya selalu diajak kalau teman-teman mancing. Kata mereka, saya sering bawa hoki kalau mancing. Kalau ada saya, dapat banyak ikan,” kata Khairul, warga Kemiling, yang hobi memancing di laut ini.

Menurutnya, memancing tidak hanya mengandalkan alat dan keahlian, tapi juga perlu hoki. Orang yang hoki mancing, selalu saja bisa mendapat ikan, di saat yang lain tidak. “Walaupun ikan yang didapat kecil, ada saja yang didapat sama orang yang punya tangan hoki mancing,” kata dia.

Toto Subiantoro mengatakan saat memancing bersama rekan yang lain, tidak boleh egois dan menurutkan ego. Saat kail seorang pemancing dimangsa ikan, maka pemancing yang lain harus menarik tali pancing dan kailnya. Hal ini penting agar kail yang dimangsa ikan tidak mengenai kail pemancing lain. “Kalau kail yang lain tidak diangkat, bisa kusut terkena kail yang lain yang sedang dimangsa ikan. Jika kusut, tali bisa putus,” katanya.

Khairul pun tidak kalah solidaritas kepada sesama pemancing. Ada rekannya yang tidak tidur dan memancing hingga pagi hari. Khairul yang merasa mengantuk ini pun tetap menemani temannya memancing. “Ya walaupun sambil ngantuk-ngantuk, saya temenin yang mancing sampe pagi,” kata dia.

Kesetiakawanan muncul ketika sesama pemancing berada di tengah lautan. Kondisi laut yang sulit ditebak dan kapal pun bisa saja tenggelam dan karam. Guna mengantisipasi korban, sesama kapal yang sedang memancing saling berkomunikasi melalui marine radio.

Toto mengatakan setiap kapal saling menjaga komunikasi. Bila kapal pemancing berpindah lokasi, selalu memberi kabar dengan kapal terdekat. Komunikasi pun terhubung dengan komunitas pancing yang ada di daratan. “Ada relawan di darat yang juga memantau. Kapal terdekat akan memberi pertolongan jika ada kapal lain yang berada dalam bahaya. Masing-masing kapal selalu berkomunikasi tiap 30 menit untuk mengetahui kondisi terakhir,” kata Toto.

Pemancing pun memiliki aturan-aturan tidak tertulis, tapi disepakati dan dijalankan. Selain aturan menjaga komunikasi sesama pemancing di laut lepas, pemancing juga dituntut untuk melepaskan ikan langka. Pemancing hanya diperbolehkan mengambil ikan konsumsi, seperti kerapu, eskolar, dan kakap. Ikan yang tidak boleh dikonsumi, antara lain ikan layaran, todak, dan marlyn.

“Kalau dapat ikan yang memang dilindungi, maka harus dilepaskan kembali ke habitatnya,” kata Toto. Menurutnya, ada ikan jenis tertentu yang hanya boleh diambil ketika beratnya melebihi 50 kg. Ukuran tersebut dinilai sudah menjadi ikan dewasa dan boleh dikonsumsi.

Musim Memancing

Berbeda dengan nelayan yang menghindari terang bulan karena dianggap tidak banyak ikan, para pemancing tidak bergantung pada bulan. Toto menilai memancing tidak bergantung pada bulan. Meskipun terang bulan, pemancing tetap bisa mendapat ikan. “Pada saat terang bulan, ikan bisa berada di kedalaman tertentu yang tetap bisa dicapai dengan tali pancing,” kata PNS Pemprov Lampung ini.

Dalam setahun, ada satu waktu menjadi masa emas nelayan dan pemancing. Pada saat itu ikan yang berada di Teluk Lampung lebih banyak dibandingkan biasanya. Menurut Khairul, pada saat ikan bermigrasi, banyak ikan yang terdampar di Teluk Lampung. Pada saat itulah tangkapan nelayan dan pemancing melimpah.

Migrasi ikan ini ditandai bila jumlah ikan di Gudanglelang melimpah. “Migrasi ikan hanya terjadi sekali dalam setahun, dan itu pun tidak lama, hanya satu minggu. Selama satu minggu itulah ikan melimpah dan mudah untuk dipancing. Kebanyakan jenis ikan simba berbagai ukuran. Ada yang beratnya mencapai 5 kg per ekornya,” ujar Khairul.

Hampir setiap minggu, Khairul bersama teman-temannya memancing dengan menyewa kapal nelayan. Dia bersama delapan temannya memancing di sekitar Teluk Lampung, tidak terlalu jauh dari pesisir Bandar Lampung. “Kami yang dekat-dekat seja. Pagi berangkat, sore pulang,” kata dia.

Khairul menilai keasyikan memancing adalah saat umpan ditarik ikan. Perasaan senang dan bangga yang tidak ada nilainya menikmati saat-saat menarik ikan yang memakan umpan. “Apalagi jika hanya kita yang dapat ikan, senangnya minta ampun,” kata dia.

Lokasi yang sering dikunjungi Khairul untuk memancing masih di Teluk Lampung, Tanjungputus, atau di dekat Pantai Marina, Lampung Selatan. Dia menilai ada rasa dan nuansa berbeda antara memancing di kolam dan di tengah laut.

“Kalau mancing di kolam, kita sudah tahu jenis dan besarnya ikan. Kalau di laut, kita dibuat penasaran karena enggak tahu ikan apa yang memakan kail kita,” ujar PNS di Pemrov Lampung ini.

Apalagi jika ikan yang dipancing lepas. Khairul pun makin penasaran dan merasa tertantang untuk mendapatkan buruannya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

No comments:

Post a Comment