LAMPUNG punya cerita. Tradisi yang sempat tinggal kisah itu dihidupkan lagi. Belangiran namanya. Ini tradisi mandi, menyucikan diri menjelang bulan puasa. Di Kali Akar, Sukadanaham, cerita itu semarak kembali.
Puluhan muli (gadis) dan mekhanai (bujang) berjalan beriringan menuju Kali Akar. Mereka membawa satu baskom kecil berisi bunga, jeruk nipis, air bersih, dan merang atau tangkai padi. Suara riak air yang mengalir kecil mengiringi langkah para muli dan mekhanai.
Sebagian muli menyeberang sungai dan lainnya duduk berjajar di sepanjang sungai. Muli yang menyeberang membuat sesaji dari bunga, air, dan jeruk nipis. Kemudian merang dibakar dan abunya dicampur dengan racikan bunga tadi. Bahan inilah yang dijadikan pengganti sabun untuk mandi di kali.
Satu per satu muli dan mekhanai yang duduk di sungai disiram dengan racikan bunga tadi. Setelah semua sesaji habis, barulah mereka memasukkan seluruh badan ke sungai. Mereka berendam sampai semuan bagian tubuh terkena air, tanpa terkecuali.
Mandi di kali menjelang Ramadan ini adalah tradisi orang Lampung yang dinamakan belangiran atau bulangekhan. Tradisi yang dipercaya sudah dimulai ketika Islam masuk ke Lampung. Mandi menjelang masuknya bulan puasa ini bertujuan supaya manusia bersih, jasmani dan rohani, dan siap menjalankan salah satu kewajiban sebagai umat Islam, puasa.
Anggota Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Nashrun Ratai menilai tradisi belangiran ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian warga Lampung. Namun, masih ada yang tetap mempertahankannya hingga kini.
Tradisi belangiran ini pun memang masih ditemukan di Bandar Lampung. Biasanya sebagian warga Bandar Lampung mandi bersama di Kali Akar, sehari menjelang puasa. Meskipun lebih sederhana dan hanya sekadar mandi membersihkan badan di sungai, tanpa ada upacara khusus.
Belangiran yang dihelat di Kali Akar, Selasa (10-7), ini bukan hanya sebatas untuk mempertahankan tradisi. Tapi juga untuk mempromosikan budaya Lampung ke wisatawan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Gatot Hudi Utomo mengungkapkan belangiran perlu dilestarikan sebagai warisan budaya yang bisa dipromosikan kepada wisatawan.
Menurut Nashrun, dahulu belum dikenal sabun dan bahan pembersih lain. Masyarakat Lampung ketika itu memakai bunga, jeruk nipis, abu merang, dicampur dengan air bersih yang memang bisa dipakai untuk berwudu, suci dan menyucikan. Campuran bunga inilah sebagai pengganti sabun.
Merang atau tangkai padi yang dipakai memiliki makna tersendiri. Menurut Nashrun, padi adalah bahan pangan utama. Ada harapan kepada Tuhan supaya selama puasa diberi kecukupan rezeki dan tetap dalam lindungan Allah.
Setelah membasuh badan dengan campuran bunga tadi, barulah mandi dan berendam di kali. Nashrun menjelaskan orang yeng melakukan belangiran harus menyelam di kali. Supaya semua bagian tubuhnya terkena air dan semua kotoran pun hanyut.
“Dengan harapan semua dosa dan kotoran hanyut bersama air sungai yang mengalir. Setelah belangiran, kondisi badan pun suci dan bersih dan siap menjalankan ibadan puasa. Bulangekhan harus dilakukan di air sungai yang mengalir agar dosa dan kotoran hanyut terbawa air,” ujar Nashrun yang bergelar Dalom Kelabai ini.
Belangiran menjadi tradisi yang sengat menyenangkan dan penuh sukacita. Muli dan mekhanai serta masyarakat begitu menikmati mandi di kali yang sudah sangat jarang dilakukan. Mereka saling menyibakkan air dan bercanda dengan yang lain. Sukacita ini juga berarti rasa senang menyambut kadatangan Ramadan. Puasa menjadi bulan yang sangat dinanti, khususnya untuk umat Islam.
Tradisi bulangekhan memang kental dengan nuansa Islam. Kesenian yang disajikan pun kesenian islami, hadrah. Berselawat diiring musik dan tari yang semuanya dilakukan laki-laki. Para penari atau rodat pun menampilkan tarian ceria yang lucu. Mereka bergerak jenaka dan memakai kacamata hitam, menambah kesan kocak.
Bagi Nashrun, belangiran ini perlu kembali menjadi tradisi di semua kabupaten dan kota di Lampung. Adat mandi menjelang puasa ini bisa menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Mereka yang ingin menyaksikan belangiran bisa berkunjung ke Lampung menjelang Ramadan.
Belangiran yang digelar MPAL dan Pemprov Lampung kali ini memang dijadikan sebagai bagian dari promosi budaya. Belangiran dipadukan dengan berbagai tradisi Lampung yang lain, seperti pepancokhan dan bubandung, semacam pantun dan syair. Tidak hanya itu, acara juga dimeriahkan dengan tari kreasi dan lagu Lampung.
Sebagai promosi budaya untuk wisata, belangiran dikemas lebih meriah. Kemariahan itu ditunjukkan dengan panjat pinang serta pembagian ayam dan ikan. Penglepasan ikan dan ayam ini memancing animo masyarakat turun ke sungai. Ribuan masyarakat menyaksikan belangiran. Sebagian turun ke sungai menunggu penglepasan ikan dan ayam. Masyarakat sekitar yang menyaksikan belangiran mendapat bantuan sembako dari Pemprov Lampung.
Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., yang turut hadir dalam belangiran, mengatakan tradisi mandi ini divariasikan dengan pembagian ikan dan ayam. Ini untuk menyemarakkan kegiatan dan sebagai bentuk sukacita menjelang puasa.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gatot Hudi Utomo menggelar belangiran bukan hanya sekadar menegakkan budaya adat, sekaligus promosi budaya. Tradisi ini perlu menjadi kebiasaan yang mengakar karena banyak nilai-nilai kebaikan di dalamnya, salah satunya sedekah menjelang puasa. Pembagian ikan, ayam, dan sembako ini merupakan bagian dari kebaikan untuk mengisi tradisi belangiran.
Promosi tradisi belangiran ini juga disaksikan beberapa orang dari Korea Selatan yang kebetulan sedang berkunjung ke Lampung. Bahkan Sjachroedin pun mengucapkan kata apa kabar dalam bahasa Korea.
Sebagai bagian dari promosi wisata, belangiran dipadukan dengan tradisi yang lain. Misalnya berbalas pantun, saat penyerahan sesaji. Berbalas pantun ini yang tidak kalah meriah.
Ucapan pun yang dibaca panjang “puuuuuuuuuunnnnnn” menggema di Kali Akar dan diikuti orang yang menyaksikan belangiran.
“Sengaja sikam ngsung alat belangekh mandi
Ajoya alat mandi terima Kuntara Rajaniti
Jemoh khadu puasa.
Ganta bulangekh
puuuuuuuuuunnnnnnnn”
Ayo sambutlah tradisi mandi di sungai ini. Pun! (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012
Puluhan muli (gadis) dan mekhanai (bujang) berjalan beriringan menuju Kali Akar. Mereka membawa satu baskom kecil berisi bunga, jeruk nipis, air bersih, dan merang atau tangkai padi. Suara riak air yang mengalir kecil mengiringi langkah para muli dan mekhanai.
Sebagian muli menyeberang sungai dan lainnya duduk berjajar di sepanjang sungai. Muli yang menyeberang membuat sesaji dari bunga, air, dan jeruk nipis. Kemudian merang dibakar dan abunya dicampur dengan racikan bunga tadi. Bahan inilah yang dijadikan pengganti sabun untuk mandi di kali.
Satu per satu muli dan mekhanai yang duduk di sungai disiram dengan racikan bunga tadi. Setelah semua sesaji habis, barulah mereka memasukkan seluruh badan ke sungai. Mereka berendam sampai semuan bagian tubuh terkena air, tanpa terkecuali.
Mandi di kali menjelang Ramadan ini adalah tradisi orang Lampung yang dinamakan belangiran atau bulangekhan. Tradisi yang dipercaya sudah dimulai ketika Islam masuk ke Lampung. Mandi menjelang masuknya bulan puasa ini bertujuan supaya manusia bersih, jasmani dan rohani, dan siap menjalankan salah satu kewajiban sebagai umat Islam, puasa.
Anggota Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Nashrun Ratai menilai tradisi belangiran ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian warga Lampung. Namun, masih ada yang tetap mempertahankannya hingga kini.
Tradisi belangiran ini pun memang masih ditemukan di Bandar Lampung. Biasanya sebagian warga Bandar Lampung mandi bersama di Kali Akar, sehari menjelang puasa. Meskipun lebih sederhana dan hanya sekadar mandi membersihkan badan di sungai, tanpa ada upacara khusus.
Belangiran yang dihelat di Kali Akar, Selasa (10-7), ini bukan hanya sebatas untuk mempertahankan tradisi. Tapi juga untuk mempromosikan budaya Lampung ke wisatawan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Gatot Hudi Utomo mengungkapkan belangiran perlu dilestarikan sebagai warisan budaya yang bisa dipromosikan kepada wisatawan.
Menurut Nashrun, dahulu belum dikenal sabun dan bahan pembersih lain. Masyarakat Lampung ketika itu memakai bunga, jeruk nipis, abu merang, dicampur dengan air bersih yang memang bisa dipakai untuk berwudu, suci dan menyucikan. Campuran bunga inilah sebagai pengganti sabun.
Merang atau tangkai padi yang dipakai memiliki makna tersendiri. Menurut Nashrun, padi adalah bahan pangan utama. Ada harapan kepada Tuhan supaya selama puasa diberi kecukupan rezeki dan tetap dalam lindungan Allah.
Setelah membasuh badan dengan campuran bunga tadi, barulah mandi dan berendam di kali. Nashrun menjelaskan orang yeng melakukan belangiran harus menyelam di kali. Supaya semua bagian tubuhnya terkena air dan semua kotoran pun hanyut.
“Dengan harapan semua dosa dan kotoran hanyut bersama air sungai yang mengalir. Setelah belangiran, kondisi badan pun suci dan bersih dan siap menjalankan ibadan puasa. Bulangekhan harus dilakukan di air sungai yang mengalir agar dosa dan kotoran hanyut terbawa air,” ujar Nashrun yang bergelar Dalom Kelabai ini.
Belangiran menjadi tradisi yang sengat menyenangkan dan penuh sukacita. Muli dan mekhanai serta masyarakat begitu menikmati mandi di kali yang sudah sangat jarang dilakukan. Mereka saling menyibakkan air dan bercanda dengan yang lain. Sukacita ini juga berarti rasa senang menyambut kadatangan Ramadan. Puasa menjadi bulan yang sangat dinanti, khususnya untuk umat Islam.
Tradisi bulangekhan memang kental dengan nuansa Islam. Kesenian yang disajikan pun kesenian islami, hadrah. Berselawat diiring musik dan tari yang semuanya dilakukan laki-laki. Para penari atau rodat pun menampilkan tarian ceria yang lucu. Mereka bergerak jenaka dan memakai kacamata hitam, menambah kesan kocak.
Bagi Nashrun, belangiran ini perlu kembali menjadi tradisi di semua kabupaten dan kota di Lampung. Adat mandi menjelang puasa ini bisa menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Mereka yang ingin menyaksikan belangiran bisa berkunjung ke Lampung menjelang Ramadan.
Belangiran yang digelar MPAL dan Pemprov Lampung kali ini memang dijadikan sebagai bagian dari promosi budaya. Belangiran dipadukan dengan berbagai tradisi Lampung yang lain, seperti pepancokhan dan bubandung, semacam pantun dan syair. Tidak hanya itu, acara juga dimeriahkan dengan tari kreasi dan lagu Lampung.
Sebagai promosi budaya untuk wisata, belangiran dikemas lebih meriah. Kemariahan itu ditunjukkan dengan panjat pinang serta pembagian ayam dan ikan. Penglepasan ikan dan ayam ini memancing animo masyarakat turun ke sungai. Ribuan masyarakat menyaksikan belangiran. Sebagian turun ke sungai menunggu penglepasan ikan dan ayam. Masyarakat sekitar yang menyaksikan belangiran mendapat bantuan sembako dari Pemprov Lampung.
Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., yang turut hadir dalam belangiran, mengatakan tradisi mandi ini divariasikan dengan pembagian ikan dan ayam. Ini untuk menyemarakkan kegiatan dan sebagai bentuk sukacita menjelang puasa.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gatot Hudi Utomo menggelar belangiran bukan hanya sekadar menegakkan budaya adat, sekaligus promosi budaya. Tradisi ini perlu menjadi kebiasaan yang mengakar karena banyak nilai-nilai kebaikan di dalamnya, salah satunya sedekah menjelang puasa. Pembagian ikan, ayam, dan sembako ini merupakan bagian dari kebaikan untuk mengisi tradisi belangiran.
Promosi tradisi belangiran ini juga disaksikan beberapa orang dari Korea Selatan yang kebetulan sedang berkunjung ke Lampung. Bahkan Sjachroedin pun mengucapkan kata apa kabar dalam bahasa Korea.
Sebagai bagian dari promosi wisata, belangiran dipadukan dengan tradisi yang lain. Misalnya berbalas pantun, saat penyerahan sesaji. Berbalas pantun ini yang tidak kalah meriah.
Ucapan pun yang dibaca panjang “puuuuuuuuuunnnnnn” menggema di Kali Akar dan diikuti orang yang menyaksikan belangiran.
“Sengaja sikam ngsung alat belangekh mandi
Ajoya alat mandi terima Kuntara Rajaniti
Jemoh khadu puasa.
Ganta bulangekh
puuuuuuuuuunnnnnnnn”
Ayo sambutlah tradisi mandi di sungai ini. Pun! (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012
No comments:
Post a Comment