Budi Laksana |
INSAN sepuh sejoli itu ekspresif berinteraksi di satu taman rumah. Dogie, sang kakek, terdengar melancarkan rayuan romantis tanda kasihnya yang tulus dan tak putus kepada Helie, pasangannya.
Namun, Helie tampak kurang peduli. Bahkan, Helie lebih suka ke luar rumah dan bersenang-senang dengan lelaki lain.
Naskah Buried Child (anak yang terkubur) karya penulis Amerika itu dimainkan dengan amat manis oleh Budi Laksana pada pentasnya bersama Teater Satu di Komunitas Salihara, tahun 2010. Bersama pemerang Helie, Ruth Marini, lakon itu amat memesona dan mengagumkan penonton yang memadati gedung teater itu.
Cinta Dogie kepada Helie memang amat dalam. Untuk merebut simpati kekasihnya itu, Dogie sampai harus pura-pura lumpuh. Sumpah mati, Dogie enggan mencerikan Heli.
Cerita yang haru biru itu memang layak mendapat pujian. Di tangan Budi Laksana, karakter Dogie menampilkan sisi terenyuh yang dalam.
Pentas nan apik itu menjadi salah satu tonggak penilaian majalah Tempo memberikan apresiasi tinggi kepada Teater Satu, tempat Budi bernaung.
Pada tahun itu, majalah berita mingguan itu menobatkan Teater Satu sebagai kelompok teater terbaik nasional versi majalah Tempo.
Tertarik Teater
Dunia akting di panggung memang bukan impian Budi saat kecil. Bukan pula pola yang dipasangkan oleh kedua orang tuanya. Ia tertarik dengan seni peran ini saat sekolahnya, SMA Negeri 7 Bandar Lampung membuka kelas ekstrakurikuler teater. ?Yang ngajak saya namanya Mbak Fitri Handayani, kakak kelas saya,? kata Budi.
Namun, bermain teater di sekolah tak cukup membuat dia puas. Untuk menggali lebih dalam, Budi bersama Fitri mencari peruntungan di Teater Satu yang digawangi Iswadi Pratama. ?Ya, baru di tangan Kak Is (Iswadi Pratama), saya bisa seperti sekarang ini,? kata bujang berperawakan kekar ini.
Mengikuti ekskul dan berlatih teater bukan tanpa sandungan. Budi mengaku sudan mengalami enam hari tidur di bangku teras rumahnya karena tidak dibukakan pintu oleh orang tuanya. Maklum saja, ayahnya yang tokoh agama merasa risi mendapati anaknya pulang larut malam terus.
?Keinginan orang tua saya, ya hidup dengan profesi yang mulus-mulus saja. Menjadi karyawan bank atau menjadi PNS,? begitu kisah Budi.
Namun, kerja kerasnya berbuah manis. Tahun 2010, ia terpilih menjadi aktor yang bermain di Jerman melalui Teater Satu. Bersama enam aktor dari beberapa negara, Budi memainkan peran yang naskahnya di buat oleh Iswadi Pratama.
?Ya, otomatis saya harus belajar bahasa Inggris. Sedangkan yang menyeleksi pemain adalah sutradara dari Jerman. Kalau pemainnya dari Swedia, Portugal, Spanyol, Belanda, Rusia, Jerman, dan Indonesia,? kata dia.
Pengalaman di Jerman membuat Budi takjub. Dilatih oleh sutradara dari negara lain membuat dia tahu bahwa kesenian bukan satu profesi yang bisa dijalankan dengan sembarangan. "Melaui seni, teater kita bisa melihat sisi lain kehidupan, sisi hitam, putih dan abu-abu,? kata alumnus Perguruan Tinggi Teknokrat itu.
Berkat teater ia sudah keliling Indonesia, bahkan luar negeri. "Papua yang belum dikunjungi, mudah-mudahan tahun ini bisa," kata lelaki kelahiran Bandar Lampung, 25 Maret 1982 ini.
Anak bungsu dari tujuh bersaudara ini terus main di hampir setiap pertunjukan teater Satu. Pada lakon Death and The Maiden yang dipentaskan di Taman Budaya dan Teater Salihara Jakarta, awal Juli lalu, dia juga terlibat.
Lelaki yang juga guru seni di SMP BPK Penabur dan SMP Imanuel ini mengaku meski seniman, tetap memperhatikan kebersihan dan kerapian. Ia terlihat rapi, pakaian dan penampilannya. "Kebanyakan seniman gondrong, dekil, tapi itu jangan dicontoh. Seniman juga harus rapi, supaya banyak yang mau jadi seniman," kata lelaki keturunan Palembang ini sambil terkekeh. (DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013
Namun, Helie tampak kurang peduli. Bahkan, Helie lebih suka ke luar rumah dan bersenang-senang dengan lelaki lain.
Naskah Buried Child (anak yang terkubur) karya penulis Amerika itu dimainkan dengan amat manis oleh Budi Laksana pada pentasnya bersama Teater Satu di Komunitas Salihara, tahun 2010. Bersama pemerang Helie, Ruth Marini, lakon itu amat memesona dan mengagumkan penonton yang memadati gedung teater itu.
Cinta Dogie kepada Helie memang amat dalam. Untuk merebut simpati kekasihnya itu, Dogie sampai harus pura-pura lumpuh. Sumpah mati, Dogie enggan mencerikan Heli.
Cerita yang haru biru itu memang layak mendapat pujian. Di tangan Budi Laksana, karakter Dogie menampilkan sisi terenyuh yang dalam.
Pentas nan apik itu menjadi salah satu tonggak penilaian majalah Tempo memberikan apresiasi tinggi kepada Teater Satu, tempat Budi bernaung.
Pada tahun itu, majalah berita mingguan itu menobatkan Teater Satu sebagai kelompok teater terbaik nasional versi majalah Tempo.
Tertarik Teater
Dunia akting di panggung memang bukan impian Budi saat kecil. Bukan pula pola yang dipasangkan oleh kedua orang tuanya. Ia tertarik dengan seni peran ini saat sekolahnya, SMA Negeri 7 Bandar Lampung membuka kelas ekstrakurikuler teater. ?Yang ngajak saya namanya Mbak Fitri Handayani, kakak kelas saya,? kata Budi.
Namun, bermain teater di sekolah tak cukup membuat dia puas. Untuk menggali lebih dalam, Budi bersama Fitri mencari peruntungan di Teater Satu yang digawangi Iswadi Pratama. ?Ya, baru di tangan Kak Is (Iswadi Pratama), saya bisa seperti sekarang ini,? kata bujang berperawakan kekar ini.
Mengikuti ekskul dan berlatih teater bukan tanpa sandungan. Budi mengaku sudan mengalami enam hari tidur di bangku teras rumahnya karena tidak dibukakan pintu oleh orang tuanya. Maklum saja, ayahnya yang tokoh agama merasa risi mendapati anaknya pulang larut malam terus.
?Keinginan orang tua saya, ya hidup dengan profesi yang mulus-mulus saja. Menjadi karyawan bank atau menjadi PNS,? begitu kisah Budi.
Namun, kerja kerasnya berbuah manis. Tahun 2010, ia terpilih menjadi aktor yang bermain di Jerman melalui Teater Satu. Bersama enam aktor dari beberapa negara, Budi memainkan peran yang naskahnya di buat oleh Iswadi Pratama.
?Ya, otomatis saya harus belajar bahasa Inggris. Sedangkan yang menyeleksi pemain adalah sutradara dari Jerman. Kalau pemainnya dari Swedia, Portugal, Spanyol, Belanda, Rusia, Jerman, dan Indonesia,? kata dia.
Pengalaman di Jerman membuat Budi takjub. Dilatih oleh sutradara dari negara lain membuat dia tahu bahwa kesenian bukan satu profesi yang bisa dijalankan dengan sembarangan. "Melaui seni, teater kita bisa melihat sisi lain kehidupan, sisi hitam, putih dan abu-abu,? kata alumnus Perguruan Tinggi Teknokrat itu.
Berkat teater ia sudah keliling Indonesia, bahkan luar negeri. "Papua yang belum dikunjungi, mudah-mudahan tahun ini bisa," kata lelaki kelahiran Bandar Lampung, 25 Maret 1982 ini.
Anak bungsu dari tujuh bersaudara ini terus main di hampir setiap pertunjukan teater Satu. Pada lakon Death and The Maiden yang dipentaskan di Taman Budaya dan Teater Salihara Jakarta, awal Juli lalu, dia juga terlibat.
Lelaki yang juga guru seni di SMP BPK Penabur dan SMP Imanuel ini mengaku meski seniman, tetap memperhatikan kebersihan dan kerapian. Ia terlihat rapi, pakaian dan penampilannya. "Kebanyakan seniman gondrong, dekil, tapi itu jangan dicontoh. Seniman juga harus rapi, supaya banyak yang mau jadi seniman," kata lelaki keturunan Palembang ini sambil terkekeh. (DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013
No comments:
Post a Comment