July 20, 2013

Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang

Oleh Fauzi Fattah

PADA masyarakat Lampung terdapat seni budaya yang dikategorikan sastra lisan. Termasuk dalam sastra lisan itu ialah hahiwang, bandung, pepaccukh, pantun, wakhahan, muwayak, segata, adi-adi, butangguh, dan lainnya.

Hahiwang adalah salah satu jenis sastra lisan Lampung berbentuk puisi (pantun). Berdasar isinya, hahiwang itu terbagi dua macam. Pertama, berisikan penderitaan hidup seseorang dan yang kedua berisikan hubungan muda-mudi (kegagalan percintaan). Penderitaan hidup atau kegagalan hubungan muda-mudi tersebut ditulis dalam bahasa yang indah dan dibacakan dengan lagu yang menyayat oleh seseorang. Si pendengar akan seolah-olah ikut merasakan penderitaan tersebut.


Dalam pertemuan kita sekarang ini, saya ingin menyajikan sebuah teks hahiwang agar kita dapat menyikap makna filosofis yang terkadung di dalamnya. Hahiwang berikut ini berisikan kekecewaan seorang bujang karena kegagalan cinta, yaitu ditinggal kekasihnya menikah dengan orang lain. Kekecewaannya tersebut dituangkan dalam sebuah tulisan kemudian dikirimkan kepada mantan kekasihnya tersebut. Berikut petikan hahiwang-nya.

Janji Sebudi

Assalamulaikum, munyayan unyin kutti
ajo surat bitian, jama niku pakkalni
ajo hiwangni badan, tanno haga kubiti
hijjo radu bagian, hurik ku pissan sinji
tabik do jama tian, parwatin sai ngedengi
kittu ratong Pangeran, ampun di bawah kaki

Injuk bagi ram pangan, lagi tippu sekeji
sikam ngebukak rasan, tehadap di puwari
nangguhkon kilu andan, diniku pai pakkal ni
asal mula burasan, injuk mak haga reji
segala dikicikan, payu hani puwari
kirani kindo pangan, ajo dia rupani
niku mena bulamban, nyak tinggal cadang hati
mejong nyak dilambung jan, miwang ngagugok jakhi
alang sakikku pangan, burasan kena budi

injuk bagini badan, sangun do di pandai
sakik lain tanggungan, nasib turun di bumi
sikam yu hinjang rulang, tiseruk pakai huwi
di riccini pumengan, tilabi pakai putti
mengan pissan kebiyan, mengan pagi mak dibbi
sakik malang ni badan, mak ngedok banding lagi
bagian ku jak Tuhan, tenyandangan ni dikhi

Kidang bagi ni pangan, liwan senang sekali
khadu massa inggoman, setuju jak lom hati
senang sai kabbak rasan, sai tuha sangun sudi
sai niku na mupappan, setuju di puwari
pekakha tenungguan, cukup mak kurang lagi
Sabah berak lautan, mak ngedok bandingan-ni
darak berak bubilang, kebun lada rik kupi
lamban ni sassai papan, hatok sing jak Betawi
sambil merugok pissan, mija dalih kerussi
bidang tukku ni lamban, lemari appai beli

Ranno senangmu pangan, kapan kak sappai dudi
niku mittakh jak lamban, diiringko minak muwari
ya sappai di cukut jan, ngerasa senang hati
terus do niku pangan, tudungmu radu kari
kebayan radu budandan, kari lapahni lagi
dandananni jak tiyan, cukup mak kurang lagi
lapahdo niku pangan, tipenah tegi rani
wat nabuh taterbangan, haga nyambut kuwari

Di hadapan sawwa kebayan, bukelai bukak tari
tiyan bumain disan, ni tutuk senang hati
ya sappai sambut tangan, jajama hanjak hati
laju mulang mid lamban, niku nutuk jak buri
ya sappai dicukut jan, ticerok pakai kundi
ngisi bura kebayan, pakai nuttopkon hati
tekhus cakak mid lamban, mejong dunggak kekhusi
nerima pernikahan, seratta di janji ni
alang senang mu pangan, hukhik ni pippin Nabi

Ki injuk bagi ni badan, liwan malang sekali
huwok di penapian, pari rejang mak ngisi
ibarat babuwahan, radu buwah diuncukni
tikanik kindo pangan, mak ngedok rasa lagi
tijual mari pangan, hulun mak suka ngebeli
kittu tanno yu pangan, mahap nyak jama kutti
sambut salam ku pangan, akhir penghabisan ni
jejama semahapan, betik jahal ni diri

Hahiwang ini menceritakan tentang seorang bujang yang sudah menjalin kasih dengan seorang gadis dan sudah berjanji akan sehidup-semati dalam sebuah rumah tangga yang bahagia. Kemudian, kekasihnya mengkhianati janji mereka dan menikah dengan laki-laki lain yang juga pilihan hatinya. Oleh sebab itu, bujang tersebut menuliskan kekesalan dan kekecewaan hatinya dalam bentuk hahiwang, kemudian dia kirimkan dengan mantan kekasihnya itu.

Dalam hahiwang ini penulis memulai tulisannnya dengan salam keagamaan dan mendoakan mantan kekasihnya itu selalu dalam keadaan sehat dan bahagia. Kemudian, penulis menyampaikan permohonan maaf bisa kejadian ini sampai diketahui oleh pekhwatin (pamong/pemerintah) dan mohon ampun dengan mencium kaki bila juga sampai diketahui oleh pangeran (pimpinan adat).

Penulis melanjutkan kita sudah berjanji akan sehidup-semati, apa saja yang pernah saya ajukan engkau setuju dan tidak pernah menolak. Namun, sekarang kejadiannya sungguh berbeda, engkau menikah dengan pria lain yang juga pilihanmu dan disetujui oleh semua keluarga besarmu, sekarang kamu sudah bahagia dan sangat bahagia.

Dari semula bukankah kamu memang sudah tahu tentang diriku, seorang yang tidak punya apa-apa, seorang yang miskin dan papa. Di sini penulis mendramatisasi kemiskinan hidupnya dengan mengatakan berpakaian dari kulit kayu dan makan pun hanya bisa sekali sehari. Kalau pagi makan, sore tidak; kalau sore makan, pagi tidak.

Makna Filosofi

Pertama, orang Lampung itu agamis walaupun banyak yang tidak melaksanakan ibadah, orang Lampung itu sangat akrab dengan kalimat tauhid, seperti lailaha illallah, ya Allah.

Kedua, orang Lampung itu lebih taat, lebih hormat, dan lebih patuh kepada pimpinan adat ketimbang pemerintah (dahulu pemerintahan penjajah Belanda).

Ketiga, orang Lampung menyerahkan kepada anak-anaknya untuk mencari jodohnya masing-masing.

Keempat, orang Lampung biasa merendahkan diri. Walaupun dia mampu, selalu mengatakan tidak punya. Walaupun dia bisa, mengaku tidak bisa. Walaupun dia senang, dia mengaku susah.

Kelima, orang Lampung suka menghormati orang lain dengan memberikan pujian dan sanjungan.

Keenam, kekayaan yang dimimpikan oleh orang Lampung dahulu sangat sederhana, yaitu punya rumah, punya sawah, dan punya kebun.

Ketujuh, rumah sudah dianggap mewah apabila berdinding papan dan beratap seng. Sebab, kebanyakan rumah orang Lampung berdinding kulit kayu atau pelupuh dari bambu dan beratap ijuk dalam bahasa Lampungnya sabuk.

Kedelapan, hahiwang ini dibuat atau ditulis pada zaman Belanda karena di sini belum dikenal Jakarta, tetapi Betawi pada kalimat hatok sing jak Betawi. n

Fauzi Fattah, Dosen IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juli 2013

No comments:

Post a Comment