July 14, 2013

Manakala Keadilan Bercabang

Oleh Tri Purna Jaya
Seni sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk menampung kritik sosial. Ruang-ruang di dalamnya memiliki kemampuan menghilangkan kesat-kesat yang acapkali membentang di kehidupan nyata.

DEATH AND THE MAIDEN. Paulina (Desi Susan) menodongkan pistol ke dr.
Miranda (Iswadi Pratama). Teater Satu mementaskan Death and The Maiden
karya Ariel Dorfman dan disutradarai Iswadi Pratam di Taman Budaya
Lampung, Sabtu (6-7). (FOTO: M. REZA)
Dalam pementasan teater Death and The Maiden yang dipentaskan Teater Satu Lampung, Sabtu 6 Juli pekan lalu, kritik sosial tentang ketimpangan keadilan disajikan dengan cerdas sekaligus ironis.



Naskah karya Ariel Dorfman yang disutradarai Iswadi Pratama itu seperti mencoba mempertanyakan tentang keadilan yang buta dalam arti sebenarnya. Ya, justice is blind. Dan dalam kebutaannya, orang yang terlibat mungkin berubah peran. Pelaku menjadi korban dan korban menjadi hakim.

Death and The Maiden berkisah tentang seorang aktivis perempuan bernama Paulina (diperankan Desi Susan) yang diculik dan diperkosa di masa rezim Pinochet di Chile.

Selama 15 tahun di masa transisi menuju demokrasi, Paulina yang bungkam (dibungkam) mengalami trauma psikis berat. Lalu ia memutuskan untuk menuntut keadilan melalui Geri (diperankan Budi Laksana), suaminya yang juga seorang anggota komisi penyelidik yang ditunjuk presiden.

Namun, komisi itu hanya menangani kasus yang berakhir dengan kematian. Sedangkan Paulina masih hidup. Selain itu, tidak ada bukti kuat yang bisa diajukan ke pengadilan selain ingatan Paulina tentang peristiwa penculikan dan pemerkosaannya.

Cerita lalu berkembang ketika bertemunya Geri dengan dr. Miranda (diperankan Iswadi Pratama). Paulina yang begitu trauma atas penculikan yang pernah menimpanya merasa dr. Miranda-lah yang dulu menyiksa dan mengiterogasinya. Meski tak pernah melihat dr. Miranda, suara, tekanan nada bicara, cara tertawa menjadi referensi fakta bagi Paulina untuk merasa yakin.

Keadilan lalu menjadi benar-benar buta tatkala terbentur batasan-batasan. Paulina mengulangi penyiksaan terhadap dr. Miranda agar mengaku. Musik klasik gubahan Schubbert, tangan diikat, kening ditodong pistol, mulut dilakban.

Di bawah tekanan dan ancaman, dr. Miranda mengakui bahwa ialah yang menyiksa dan mengiterogasi Paulina dengan dalih ekperimen kejiwaan. Semua disampaikannya dengan wajah tenang dan tanpa penyesalan.

Pentas diakhiri dengan perginya Paulina meninggalkan Geri dan dr. Miranda dan sepucuk pistol. Keadilan lalu bercabang bagi Geri. Membunuh dr. Miranda adalah keadilan bagi Paulina atau membiarkannya hidup dan menjadi keadilan untuk keyakinannya.

“Di negeri ini, sebenarnya ada orang-orang yang tidak layak untuk hidup,” ujar Paulina.

Kritik Sosial

Kritikus seni Georgi Plekhanov dalam bukunya Seni dan Kritik Sosial mengatakan seni seharusnya tak melepaskan realitas sosial dalam setiap bentuknya. Seni merupakan pantulan dari realitas sosial yang dimana seniman hidup dan menjadi bagian dari lapisan sosialnya (G.V. Plekhanov, 1957).

Lakon Death and The Maiden sedikit banyak menjadi representasi dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia. Marsinah, Munir, ataupun aktivis-aktivis era '98 untuk menyebut salah satunya.

Kasus mereka terbengkalai dan teronggok begitu saja. Bahkan mulai menjadi nyanyian sunyi di pojok ruang komisi. Pada lakon itu, kasus penculikan aktivis menguap begitu saja karena bukti hanya berdasarkan ingatan dan kenangan pahit para korban yang masih hidup. Bahkan status hubungan antara Paulina dengan Geri yang menjadi anggota komisi pun tidak bisa lagi diandalkan meski dibujuk sedemikian rupa.

“Di negeri ini orang semakin ramah jika kita dekat dengan kekuasaan,” kata Paulina.

Kesenian mempunyai ruang yang sangat tidak terbatas jika digunakan sebagai salah satu tempat menumpahkan kritik. Ke-nyinyir-an, sorotan, dan penjabaran dapat terdedah begitu terbuka. Kesalahan demi kesalahan dikupas hingga kulit-kulitnya.

Dan, pada akhirnya, peristiwa yang direkonstruksi pada suatu pentas kesenian dapat memetik kesadaran kita. Bukankah sebuah kesalahan dilakukan agar manusia bisa mengambil pelajaran dari sana? Dan, tidakkah dapat tersadarkan oleh kesalahan tersebut. Bahkan orang buat pun tidak akan jatuh pada lubang yang sama.

Tri Purna Jaya, penikmat kopi dan puisi, berdomisili di Bandar Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Juli 2013

No comments:

Post a Comment