July 7, 2013

[Refleksi] Muda

Oleh Djadjat Sudradjat

BUNG Karno memang selalu punya "sihir" untuk menggerakkan kaum muda. Ia pernah berseru: "Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Dan, di depan anak-anak muda, ia teriakkan sebuah pernyataan bertuah: "Satu orang (muda) yang punya prinsip jauh lebih bermanfaat daripada 99 orang yang punya kepentingan."

"Sihir" Bung Karno menghujam dalam. Dunia terguncang di bawah kaum muda yang ia pimpin, baik dalam dunia pergerakan maupun dalam pemerintahan ketika ia kemudian menjadi presiden. Ia mengguncang Hindia Belanda dengan Indonesia Menggugat-nya yang amat patriotik ketika ia berusia 26 tahun. Pleidoi ini kemudian menjadi dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme yang mendunia. Naskah pembelaan ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.


Dunia tentara juga digerakkan kaum muda. Jenderal Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TNI (dulu Tentara Keamanan Rakyat) pada usia 29 tahun. Sosok yang berlatar belakang pandu dan guru Muhammadiyah ini menjadi jenderal besar pertama di Indonesia. Ia wafat pada usia 34 tahun, menyerbakkan segala keagungan. Patriot pemberani, pemimpin yang disegani.

Jenderal Abdul Haris Nasution, peletak dasar teori perang gerilya, berusia 31 tahun ketika dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Inilah jenderal intelektual, penulis buku Pokok-Pokok Gerilya, yang strateginya ditiru banyak negara.

Maria Ulfah meraih gelar Messter in de Rechten dari Universitas Leiden pada usia 21 tahun. Ia perempuan pertama Indonesia yang lulus sarjana hukum di univeritas terkemuka Belanda. Maria diangkat menjadi Menteri Sosial pada usia 34 tahun. Sutan Syahrir, atasannya, ketika diangkat menjadi perdana menteri berusia 36 tahun. Menteri Penerangan, Mohammad Natsir, berusia 37 tahun.

Kala itu kaum muda menjadi lokomotif pergerakan di mana-mana. Bung Karno dan Mohammad Hatta, pemimpin orang-orang muda itu, ketika dilantik menjadi presiden-wakil presiden masing-masing berusia 44 dan 43 tahun. Spirit nasionalisme yang bergelora, disiplin diri yang tinggi, pendidikan yang menekankan kecerdasan dan kearifan, serta semangat zaman perubahan, kala itu benar-benar mampu melahirkan tokoh-tokoh kelas satu.

Kini masa keemasan kaum muda berada di pucuk kepemimpinan nasional telah memudar. Menjelang Pemilu 2009, aktivis Fadjroel Rahman pernah berupaya mengembalikan semangat kepemimpinan muda dengan mengucapkan selamat tinggal kepada kaum tua, "sunset generation." Tapi, alih-alih yang muda muncul menjadi inspirasi, mereka banyak terlibat korupsi.

Belum ada tanda-tanda kaum muda muncul sebagai calon pemimpin nasional pada Pemilu 2014. Tapi, di Lampung, di antara lima calon gubernur, muncul anak muda, Muhammad Ridho Ficardo, 33 tahun. Kita menyambut keberanian dan tekadnya. Tapi, publik masih banyak yang bertanya, siapa dia selain bapaknya yang juragan gula? "Ia serupa benda yang jatuh dari langit," demikian ada yang berkata.

Tapi, ambisi ini tak boleh dianggap sepi. Lewat foto-fotonya yang dominan di kanan kiri jalan, kita menikmati wajahnya yang bersih dan senyumnya yang manis. Dari sejumput biodatanya yang tersebar, masih ada yang bertanya, cukup bekalkah ia sebagai calon pemimpin kelas provinsi?

Kita perlu tahu pikiran-pikiran anak muda ini tentang Lampung dan Indonesia. Kita perlu ruang terbuka di mana dia bicara, publik menyimak, menganalisis, dan bertanya. Mungkin kita memuji atau memprotesnya. Mungkin juga diam. Prinsipnya sebuah ujian harus diberikan kepada calon pemimpinnya. n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013 

No comments:

Post a Comment