November 19, 2015

Figur Perempuan Indonesia: Nyai Dahlan dan Nyai Sholihah

Oleh Akhmad Syarief Kurniawan


TANPA menafikan sejarah, jasa-jasa ormas Islam lain, belum lengkap rasanya ketika menceritakan sejarah perjalanan bangsa ini tanpa ikut menyertakan peran dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu: Persyarikatan Muhammadiyah dan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU).    

Tokoh pendiri Muhammadiyah diwakili oleh KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, 1912 dan dari barisan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) diwakili dengan tokoh sentralnya Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’arie, 1926.

Penulis tidak akan menjelaskan sejarah Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama’, melainkan tentang peran, pengabdian, jasa-jasa para tokoh istri kedua ormas tersebut, yakni Nyai Siti Walidah atau yang lebih populer dikenal Nyai Dahlan dan Nyai Munawaroh atau yang lebih akrab disapa Nyai Sholihah A. Wahid Hasyim.


Nyai Dahlan
H.M. Yunus Anis (1968) menjelaskan, Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta, 1872 berasal dari keluarga taat beragama. Ayahnya adalah seorang penghulu Kraton, H. Mummad Fadlil bin Kiai penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhmmad Hassan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol. Ibunya dikenal dengan sebutan Nyai Mas, juga berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Tak heran, sejak kecil Siti Walidah di didik dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Kiai Fadlil, sangat menekankan pelaksanaan ajaran Islam dengan penuh ketaatan dan disiplin tinggi.   
Siti Walidah (nama kecil Nyai Dahlan) mungkin tepat disebut sebagai ”orang kecil” yang luput dari catatan panggung sejarah Indoenesia. Tidak ada satupun dokumen sejarah yang menceritakan siapa Siti Walidah? Namun tidak demikian halnya setelah ia menjadi Nyai Dahlan sesunguhnya, istri pendiri persyarikatan Muhammadiyah, organisasi modern di Indoenesia pada awal abad 20 yang berbasis perkotaan.

Nyai Dahlan, nama yang diasandangnya kemudian dikenal luas, bahkan hingga saat ini sebagai ulama, figur perempuan Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang banyak berjasa dalam memperjuangkan hak-hak wanita, sejajar dengan tokoh-tokoh wanita lain di Indonesia Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Muetia, Dewi Sartika, Sholihah A. Wahid Hasyim, Haji Rangkayo Rasuna Said dan sejumlah nama lain yang telah mengukir sejarah pergerakan wanita di Indonesia.
Sebagai seorang permaisuri dari tokoh pergerakan Islam, Nyai Dahlan menjadi akrab dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional teman suaminya, seperti ; Bung Tomo, Bung Karno. Dari tokoh-tokoh itulah meski hanya memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarga tumbuh menjadi seseorang yang berwawasan luas. Dan berbekal wawasan itu pula dia berhasil mendampingi suaminya membawa Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari Nyai Dahlan menjadi perhatian banyak orang, karena ia mengikuti suaminya dalam pergerakan Muhammadiyah. Seringkali Kiai Ahmad Dahlan menyerahkan pekerjaan-pekerjaan Muhammadiyah yang terkait dengan perempuan kepada Nyai Dahlan. Oleh karena itulah, beliau di juluki ibu Muhammadiyah. Sejarah mencatat dalam tinta emasnya, jasa besar Nyai Dahlan dalam usaha membangun perkumpulan ”Sopo Tresno”, sebuah pergerakan wanita Muhammadiyah yang didirikan pada 1914. dan akhirnya Sopo Tresno sejak tahun 1923 berganti ’Aisyiyah, lembaga khusus untuk kaum perempuan dalam organisasi Muhammadiyah.    

Nyai Sholihah A. Wahid Hasyim

Nyai Sholihah nama aslinya adalah Munawaroh. Ia lahir dari seorang Kiai besar, KH. Bisri Syansuri, pimpinan pondok pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya, Chodijah, adalah putri seorang ulama’ terkenal dari Tambak Beras Jombang, Jawa Timur, KH. Wahab Hasbullah. Sehingga dalam tradisi pesantren, beliau adalah seorang santri yang berdarah biru.  

Kelak Nyai Sholihah adalah istri dari A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi warga Nahdlatul Ulama’ (nahdliyyin), tentunya sudah tidak asing dengan nama A. Wahid Hasyim, beliau adalah putra Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’arie pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, sekaligus salah satu pendiri ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama’.

Sholihah A. Wahid Hasyim merupakan tokoh perempuan penting dalam perkembangan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, NU. Sepak terjangnya dalam dunia politik dan amal sosial lainnya tak layak untuk diabaikan. Jasanya sangat besar dalam mengembangkan organisasi perempuan dibawah bendera Nahdlatul Ulama’, yaitu Muslimat NU. Diluar NU, selain banyak mendirikan organisasi untuk membantu kehidupan kaum papa, ia juga mendirikan lembaga-lembaga yang dapat memajukan peran perempuan diranah publik, diantaranya ; Bunga Kamboja, 1960, Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU, 1963, kelompok Pengajian Al Islah, 1963, Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, 1974, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, 1978, dan lain-lain, (Jajat Burhanuddin, dkk, 2002).

Cobaan paling berat dalam kehidupan Nyai Sholihah adalah pada tahun 1953, suaminya, A. Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Saat itu usianya baru 30 tahun, dengan 5 anak yang masih kecil-kecil dan sedang dalam keadaan mengandung anak keenam.

Namun, justru dalam kondisi kritsi inilah beliau mampu menunjukkan ketegarannya sebagai perempuan dan sebagai ibu. Dalam kesulitannya ia tak mau mengorbankan anak-anaknya. Ia menolak dengan tegas keputusan keluarga besarnya yang ingin mengambil alih pengasuhan anak-anaknya karena mereka merasa mengasuh sendiri 6 anak tanpa kehadiran suami terlalu memberatkan. Ia kukuh dengan keputusannya bahwa apapun yang terjadi, tanggung jawab kelangsungan kehidupan dan pendidikan anak-anak-nya  berada ditangannya.

Pernikahannya dengan A. Wahid Hasyim melahirkan enam putra, yakni  Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mantan Ketua Umum PBNU 1984-1999 sekaligus mantan Presiden Republik Indonesia ke-4, Aisyah Hamid Baidlowi, Sholahudin Wahid (Gus Sholah), Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid dan Hasyim Wahid.

Belajar dari dua figur perempuan Indonesia di atas, dalam era globaliasisi ini pembangunan nasional dalam konteks sumber daya manusia (SDM), keterlibatan lak-laki dan perempuan merupakan hal yang sangat esensial. Oleh sebab itu, kepedulian holistik yang melihat sumber daya perempuan dengan peran kekhalifahannya dimuka bumi dengan acuan pada nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya-bangsa, perlu disinergikan dalam konteks dimensi publik dan domestik sekaligus.    

Sumber daya perempuan merupakan sumber daya manusia potensial dan strategis untuk dikembangkan. Kalau potensi perempuan tidak didorong dan dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan nasional, maka bangsa dan negara ini akan mengalami kelambanan dan kemunduran. Namun sayang, keterlibatan perempuan dalam segala lapangan kehidupan dan pekerjaan diluar rumah, masih banyak mendapat tantangan, baik dari perspektif agama maupun tradisi budaya. Wallahu A’lam. 

Akhmad Syarief Kurniawan, Staf Peneliti PC Lakpesdam NU Lampung Tengah

Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 19 November 2015



1 comment: