January 31, 2007
Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah
Bagaimana Kondisi Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah Saat ini?
Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)
Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa daerah antara lain Kongres Bahasa Bali, mulai kongres yang pertama sampai kongres yang kelima dan Kongres Bahasa Jawa dari kongres pertama sampai dengan kongres yang ketiga.
Seandainya bahasa-bahasa Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu potret yang suram.
Pada Kongres III Bahasa Bali, misalnya, terasa adanya jati diri orang Bali yang mulai (atau sudah?) goyah, sehingga diperlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang merupakan cerminan jati diri orang Bali itu. Pernyataan ini saya buat atas dasar tema yang diambil oleh penyelenggara kongres yang ke lima dua tahun silam. Goyahnya jati diri orang Bali dan budayanya itu tercermin dalam menurunnya kualitas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa Bali di kalangan penuturnya, di dalam dan luar keluarga.
Orang Bali menyadari bahwa bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting antara lain (1) sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Bali, (2) sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, (4) sebagai pendukung sastra daerah Bali dan sastra Indonesia, dan (5) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Sayang dalam kehidupan sehari-sehari, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan menggunakan bahasa Bali Alus (analog dengan Krama Inggil dalam bahasa Jawa), terutama di Bali Utara, menurun. Stratifikasi bahasa ini jarang (tak dipakai lagi?) bila seseorang berbicara dengan orang dari kasta yang lebih tinggi.
Sebagai gambaran tentang menurunnya penggunaan stratifikasi ini, orang Bali dari generasi yang berusia 30 tahun ke atas masih mampu secara aktif menggunakanya. Orang Bali dari generasi yang berusia antara 20 dan 30 tahun sudah mulai kurang aktif, sedang orang Bali dari generasi yang berusia kurang dari 20 tahun sudah tidak peduli lagi. Keadaan di Bali Selatan masih lebih baik. Ada beberapa alasan mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi pada orang-orang Bali Utara. Alasan pertama yang paling ditonjolkan ialah adanya demokratisasi. Karena itu ada keyakinan pada sementara orang Bali Utara bahwa kehidupan kekastaan digeser oleh adanya perbedaan warna. Tidak jarang orang Bali dari kasta yang lebih tinggi mempunyai status ekonomi, jabatan, dan pendidikan yang lebih rendah dari orang yang berkasta lebih rendah. Alasan kedua ialah adanya keyakinan secara historis bahwa Bali Utara itu tempat pengasingan atau pengucilan sebagai hukuman bagi orang-orang Bali Selatan yang vocal atau menentang sikap, kebijakan, dan perilaku raja-raja yang ada di Bali Selatan. Alasan ketiga ialah banyaknya pendatang dari luar Bali yang kemudian bermukim di Bali Utara, sehingga orang Bali yang ingin mengadakan komunikasi dengan para pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia atau ragam bahasa Bali yang tidak halus.
Bagaimana keadaan sastra Bali? Sastra daerah Bali merupakan bukti historis masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, sastra daerah Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya, yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social, politik, dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Pengalaman hidup orang Bali dengan segala macam aspeknya itu unik dan memikat budaya lain, sehingga ada sebagian cerita Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris, seperti “Mati Salah Pati” oleh Gde Aryantha Soethama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris; penerjemah yang pertama ialah Vern Cork dengan pengalihan judul menjadi “Death by Misfortune” dan penerjemah kedua ialah Jennifer Lindsay dengan perubahan judul menjadi “The Wrong Kind of Death.” Cerita pendek “Luh Galuh” oleh Putu Oka Sukanta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris, yaitu Vern Cork dan oleh Mary Zurbuchen tanpa adanya perubahan judul, karena cerita pendek itu memaparkan pengalaman hidup gadis Bali yang bernama Luh Galuh. Satu lagi cerita pendek yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa ini ialah “Mega Hitam di atas Pulau Kahyangan” yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta oleh Vern Cork dengan perubahan judul dalam bahasa Inggris “Storm Clouds over the Island of Paradise.”
Melihat sikap orang asing yang sangat positif terhadap sastra Bali, sehingga karya sastra Bali diterjemahkan kedalam bahasanya, dengan tujuan supaya pengalaman hidup orang Bali yang sangat unik itu melengkapi aspek kehidupan yang tak mereka dapatkan dalam budayanya, saya berpendapat bahwa sastra Bali itu memiliki nilai humanisme universal.
Bagaimana kondisi aksara Bali dewasa ini? Bangsa yang memiliki aksara sendiri sebenarnya mencerminkan adanya budaya baca tulis, keinginan untuk mendokumentasikan segala bentuk kehidupan agar dapat diketahui, dipelajari, dan dinikmati oleh orang lain inter-generasi maupun antar-generasi tanpa batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Bali ke V menyimpulkan bahwa aksara Bali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya masyarakat Bali. Melihat fungsinya, aksara Bali digunakan dalam “nyastra”, seni, pendidikan, adat, dan agama Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari, Juru Arah di Bali misalnya, menyampaikan wewarahnya dalam bahasa Bali yang masih tertulis dalam huruf Bali. Karena itu, upaya pelestarian dilakukan melalui jalur formal dan jalur nonformal. Lewat jalur formal, secara umum aksara Bali diajarkan mulai tingkat sekolah dasar sampai kelas dua SMU dan secara khusus, aksara Bali diajarkan sampai tingkat perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan yang terkait dengan budaya dan sastra Bali. Lewat jalur non-formal upaya pelestarian aksara Bali dilakukan dengan pemberian fungsi aksara itu seperti penggunaannya oleh Juru Arah tersebut di atas. Sayang pada kalangan generasi muda Bali yang sekarang ini berusia 20 tahun ke bawah, penguasaan aksara Bali secara receptive apalagi secara produktif ada kecenderungan memudar.
Bagaimana halnya dengan kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah lainnya seperti Batak, Bugis, Bima, dan Lampung? Perkembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah pada daerah-daerah ini memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi pada daerah Bali. Pada bahasa Bali, seperti halnya dengan yang terjadi pada bahasa Jawa, stratifikasi dan ekspresi kehalusan masih terdapat pada leksikon dan kaidah sintaksis. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa yang saya sebut terakhir di atas ini, stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan sudah tinggal dalam ekspresi paralinguistik saja. Saya percaya bahwa pada jaman dulu bahasa-bahasa ini memiliki stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan yang tidak hanya tercermin dalam paralinguistik, melainkan pada leksikon dan wujud sintaksis sebagaimana yang terdapat pada ciri bahasa-bahasa Nusantara. Hilangnya leksikon dan wujud sintaksis pada bahasa-bahasa ini merupakan suatu kealpaan yang besar, karena sikap tidak-peduli kita terhadap bahasa-bahasa daerah.
Seperti halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, pemakaian bahasa daerah yang saya sebut pada paragraf di atas ini terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di antara orang dewasa Batak, Bugis, Makasar, Lampung, dan Bima misalnya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia lebih tinggi dari penggunaan bahasa daerahnya, untuk urusan formal maupun non-formal. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa Bugis dan ibu yang berpenutur asli bahasa Makasar, komunikasi antara suami istri lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis atau bahasa Makasar. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama. Pada bahasa-bahasa yang saya bahas pada paragraf di atas, penggunaan bahasa daerah dilakukan oleh generasi usia 40 tahun keatas. Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, pada daerah-daerah yang saya sebut belakangan itu tak terdapat media cetak dalam bahasa daerah.
Sastra pada daerah-daerah ini, terutama sastra modern tertulis dalam bahasa Indonesia dengan setting Indonesia. Khas daerah sukar ditemui. Sastra kuno seperti “Nenek Malomo” ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara Bugis pada rontal. Pelestarian sastra semacam ini justru terdapat di desa. Semakin masuk ke jantung kota, minat terhadap sastra daerah oleh penutur aslinya semakin berkurang (atau tidak ada.) Upaya pelestarian sastra dan kesenian daerah masih terbatas pada penelitian yang terbatas pula pada kegiatan pendataan saja, belum sampai kepada pemberian fungsi.
Kehidupan aksara Batak, Bugis, Lampung, dan Bima tidak sebaik kehidupan aksara Bali. Kini hanya sebagian generasi yang berusia 40 tahun keatas saja yang mampu mengenali aksara daerah. Itu pun terbatas pada tingkatan recognitif, bukan pada tingkatan produktif. Pada kalangan generasi usia 20 tahun ke bawah, aksara daerah itu mereka anggap sebagai hiasan museum belaka.
Nasib aksara Bima tidak hanya memprihatinkan, tetapi sudah tinggal kenangan, sebab aksara yang pernah berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dalam urusan administrasi pemerintahan dan representasi karya sastra itu kini sudah musnah seperti musnahnya burung dodo di planet bumi ini. Menurut ingatan orang Bima, tradisi menulis Bo’ [buku] dengan bahasa dan aksara Bima dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistem administrasi kerajaan Goa dan Luwu’. Karena alasan pengembangan agama Islam di Bima, pada tanggal 15 Muharam 1005 (13 Maret 1645), Sultan Abi’l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis di atas kerta [bukan di atas rontal] dengan menggunakan bahasa Melayu [bukan bahasa Bima] dengan rupa tulisan yang diridlai oleh Allah [yang dimaksud aksara Arab] (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999: xii).
Bahasa Jawa adalah bahasa dengan jumlah penutur yang paling besar di Indonesia dan masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi yang lain seperti di Afrika Selatan dan Suriname. Bagaimana kondisi bahasa, sastra, dan aksara Jawa sekarang? Kondisi bahasa Jawa dewasa ini sebenarnya telah saya bentangkan dua kali dalam dua kongres kebahasaan yang bertaraf internasional. Yang pertama saya bentangkan pada Kongres Bahasa Jawa ke III di Yogyakarta pada bulan Juli 2001 melalui makalah saya yang berjudul “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa”, dan yang kedua saya bentangkan pada Kongres Linguistik Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Bali pada bulan Juli 2002, dengan judul “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.”
Pada Kongres Bahasa Jawa yang ke III itu saya katakan bahwa bahasa Jawa sekarang ini telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas, stratifikasi bahasa Jawa yang ada—krama inggil, krama andhap, krama lugu, ngoko ndhap, dan ngoko lugu—yang sudah tertata secara rapi an indah itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dalam bebahasa oleh sebagian besar penutur asli bahasa Jawa. Kesalahan pemilihan leksikon, sintaksis, dan semantis dalam bertutur kata sering terjadi pada kalangan penutur bahasa Jawa. Secara kuantitas, penggunaan bahasa Jawa krama inggil dan karma andhap frekuensinya sangat kecil, dalam kalangan keluarga dan masyarakat untuk urusan formal maupun non-formal, terutama pada kalangan generasi muda. Bahkan pada kalangan Keraton (yang diharapkan merupakan pusat tempat mempertahankan dan melestarikan kualitas dan kuantitas bahasa Jawa), interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Jawa frekuensinya tidak setinggi frekuensi interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Dr. Pranowo (1998: x) mengungkapkan kenyataan sebagai berikut.
Kemampuan berdwibahasa [bahasa Jawa dan bahasa Indonesia] kerabat keraton tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa Jawa. Faktor penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis daripada bahasa Jawa, keyakinan bahwa kemampuan bahasa Jawa kurang memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain. Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa peranan keraton Kesultanan Yogyakarta [dalam hal pemeliharaan budaya dan bahasa Jawa] sudah bergeser. Zaman dahulu, keraton berperan sebagai pusat bahasa dan budaya [Jawa], … sekarang tidak [lagi] demikian.
Saya amati, kehalusan bertutur kata yang tercermin dalam stratifikasi bahasa Jawa sudah mengalami erosi berat. Anak-anak muda tidak lagi mau dan mampu berbahasa krama dengan orang tuanya dan dengan orang lain yang lebih tua sebagai wujud adanya rasa hormat (yang mestinya etikanya begitu). Dari 87 orang mahasiswa saya yang berasal dari etnis Jawa, program S1 bahasa Inggris yang mengambil matakuliah binaan saya, tak seorang pun berbahasa krama dengan orang tuanya. Dalam simulasi berbahasa krama yang baik dan benar, tak seorang pun mampu melakukannya. Paling tidak ini yang terjadi di Malang dan sekitarnya. (Mudah-mudahan di daerah Jawa lainnya keadaan semacam di Malang itu masih lebih baik.) Pada kalangan anak-anak muda, sulit bagi kita mengharapkan sapaan yang didahului dengan ujaran “Nuwun sewu …”, atau “Kepareng …” , dan lainnya yang semacam yang digunakan sesuai dengan fungsinya.
Menurunnya kualitas bahasa Jawa bagi penutur aslinya tercermin dalam banyak makalah yang disajikan pada Kongres Bahasa Jawa III itu. H. Budiono Herusatoto, sarjana filasafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, misalnya, menulis tentang terjadinya rancu pikir di kalangan penutur asli bahasa Jawa dalam memahami makna tata karma dan unggah-ungguh. Menurut Herusatoto, ada tiga sebab yang menjadikan rancu pikir itu: (a) dalam mengartikan dan memahami makna kata unggah-ungguh dan tata karma, kebanyakan penutur asli bahasa Jawa menggunakan ‘nalar dan rasa bahasa Indonesia’ [bukan nalar dan rasa kebahasaan dari perspektif bahasa dan budaya Jawa), (b) buku pegangan pokok atau kamus yang dijadikan sebagai sumber untuk memahami arti kedua istilah itu adalah kamus dalam bahasa Indonesia, [yang tidak dapat menyentuh rasa dalam perspektif bahasa dan budaya Jawa], dan (c) penulis dan peneliti yang non-Jawa tidak mau melihat dari pandangan perspektif budaya dan bahasa Jawa, melainkan memandangnya dari perspektif budaya dan bahasanya sendiri.
Terhadap menurunnya kualitas bahasa Jawa ini, I Wayan Bawa dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, juga menuturkan dalam Kongres Bahasa Jawa III bahwa telah terjadi pengausan kemampuan menggunakan undha-usuk bahasa Jawa bagi etnik Jawa yang bermukim di Denpasar, Bali. Pada forum yang sama, Kisyani Laksono, dari Universitas Negeri Surabaya, dalam kajiannya tentang identifikasi dialek dan sub-dialek bahasa Jawa di Jawa Timur bagian timur dan Blambangan, menunjukkan bahwa pemilihan kosa kata ragam ngoko dan krama mengalami kekacauan.
Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.
Bagaimana kondisi sastra Jawa dewasa ini? Meskipun penghormatan dan pemeliharaan bahasa Jawa hanya terbatas pada pencantuman gagasan dalam undang-undang dasar pasal 36 dan aturan tambahannya, sastra Jawa berkembang terus dari jaman ke jaman. Pada jaman bahasa Jawa kuna (periode sebelum jatuhnya kerajaan Majapahit), ada beberapa karya sastra yang terkenal, antara lain, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayuda, Mahabharata, Nagara Kertagama, Nitisastra, dan Sutasoma. Pada Abad Pertengahan, karya sastra yang terkenal antara lain Calon Arang, Dewa Ruci, Pararaton, Sri Tanjung, dan Tantri Kamandaka. Pada Jaman Baru, sastra Jawa dapat dibagi menjadi dua—sastra tradisional dan sastra modern. Karya sastra Jawa tradisional dapat dibaca pada Serat Ambiya, Serat Arjuna Sasrabau, Serat Bratayuda, Serat Centhini, Serat Menak, Serat Nitipraja, Serat Pustaka Raja, Serat Rama, Serat Sabda Jati, Serat Sastra Gendhing, Serat Surya Raja, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh. Kreativitas menciptakan karya sastra modern oleh penutur asli bahasa Jawa terus berlangsung hingga sekarang, meski tidak ditulis dalam aksara Jawa. Hasil ciptaan dalam karya sastra itu antara lain Anteping Tekad, Candhikala Kapuranta, Dokter Wulandari, Dongeng Sato Kewan, Hera-Heru, Jarot, Kemandang, Kidung Wengi ing Gunung Gamping, Kinanthi, Kirti Njunjung Drajad, Kreteg Emas Jurang Gupit, Layang Saka Paran, Mendhung Kesaput Angin, Nalika Langite Obah, Ngulandara, Pupus kang Pepes, Sinta, Serat Durcara Arya, Serat Rangsang Tuban, Serat Riyanta, Serat Gerilya Sala, Siter Gadhing, Sri Kuning, Sumpahmu Sumpahku, Timbreng, Trem, dan belum termasuk karya sastra dengan seting Jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra yang sebut di atas itu berbentuk prosa. Puisi (dalam bahasa) Jawa yang pernah dimuat pada berbagai media cetak antara tahun 1940 dan tahun 1980, dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo (almarhum) dalam satu antologi, yaitu Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.
Selama manusia hidup, ia tidak akan berhenti memiliki pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Sastra, pada hemat saya, merupakan jelmaan pengalaman itu dalam bahasa yang terpilih, dalam bahasa yang secara sadar atau tidak oleh penulisnya dinyatakan atas dasar prinsip-prinsip estetika. Itulah sebabnya, betapa pun jelek atmosfir yang melingkunginya, sastrawan tidak akan berhenti berkreasi. Saya kira, begitulah yang terjadi pada para sastrawan Jawa, Bali, Makasar, Bugis, Batak, Lampung, Sunda, dan lain-lainnya di tanah air ini.
Bagaimana halnya dengan aksara Jawa saat ini. Meskipun penutur asli bahasa Jawa merupakan penutur yang jumlahnya paling besar dibanding dengan penutur-penutur bahasa daerah lainnya di Nusantara, nasib aksara Jawa lebih buruk dari nasib aksara Bali. Aksara Jawa sekarang ini kedudukannya sebagai pengetahuan saja yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar mulai kelas tiga sampai dengan kelas lima. Pengajaran aksara Jawa sekarang tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai representasi ortografis bahasa Jawa. Oleh karena itu, matapelajaran bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai siksaan oleh para siswa, karena mereka beranggapan bahwa pengajaran pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.
Meskipun Belanda didakwa sebagai biang keladi menurunnya derajad bahasa, sastra, dan aksara Jawa (dalam Riyadi, 2002: 5), pemerintah Belanda sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia masih menghormati dan memelihara aksara Jawa dengan memberikan fungsi pada urusan-urusan resmi misalnya dalam peringatan akan bahasa listrik dan pecahan mata uang, sebagaimana pada terdapat lampiran makalah ini. Pada mata uang logam mulai ketheng, sen, benggol, kelip, kethip, dan seterusnya, terdapat tiga macam aksara—aksara Jawa, Arab, dan Latin. Sekarang, setelah bangsa sendiri merdeka, aksara Jawa itu tak dipakai dalam mata uang. Begitu pula untuk keperluan lain, aksara daerah (kecuali aksara Bali) tak difungsikan lagi.
Generasi Jawa di bawah umur 50 tahun tahu akan huruf Jawa, tetapi tidak dapat membaca dengan lancar, apalagi menulisnya sebagai alat melahirkan cipta, rasa, karsa, dan karyanya, baik yang menyangkut urusan formal, maupun yang menyangkut urusan informal dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat Apa yang Diharapkan Apabila Kita Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai ikutan atau pelibatan makna bahwa sudah ada keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidak-mampuan kita menghormati dan memelihara budaya daerah. Pemahaman budaya suatu bangsa dapat dilakukan secara mendalam jika pemahaman itu dilakukan atas dasar perspektif budaya bangsa itu sendiri, bukan dari perspektif budaya asing. Demikian pula halnya dengan pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah. Pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah dapat dicapai kedalamannya, apabila kita mampu melihatnya dari perspektif budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri.
Dengan mengingat definisi budaya sebagai “pola keyakinan, sikap, dan perilaku yang dipelajari oleh suatu bangsa yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya,” saya percaya bahwa keyakinan, sikap, dan perilaku suatu etnis selalu dinyatakan dalam bahasa daerah yang dipergunakan dalam interaksi antar anggota etnis itu. Banyak ungkapan yang mencerminkan keyakinan, sikap, dan perilaku suku-suku bangsa kita ini yang tak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Di samping itu, hasil pengalaman hidup dan pemikiran yang sudah berlangsung berabad-abad, misalnya dalam hal seni dan budaya dengan segala aspeknya, seperti model pakaian, masakan, obat-obatan, keperluan rias, dan lain-lain hanya dapat diungkap dan dipahami secara sempurna dalam bahasa daerah yang ada di Nusantara ini.
Dalam masalah sastra juga banyak terdapat ungkapan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa daerah untuk mempertahankan keindahan dan makna yang dikandungnya. Tidak heran jika kita mendapatkan pemakaian bahasa daerah dalam ranah sastra Indonesia, karena pengarang lebih “sreg” menggunakan bahasa daerah daripada menggunakan bahasa Indonesia. Pengarang novel atau serita pendek yang berasal dari Batak, Bali, Lampung, Makasar, Bugis, Jawa dan lain-lainnya yang ada di Nusantara ini tak dapat lepas dari penggunaan bahasa daerah masing-masing, karena dengan menggunakan ungkapan bahasa daerah itu pengarang tetap dapat menyampaikan maksud yang dikehendaki tanpa mengorbankan aspek keindahannya.
Bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini tidak lebih rendah dari bahasa-bahasa yang ada di dunia termasuk bahasa-bahasa yang ada di Asia, seperti bahasa Arab, bahasa Thai, bahasa Tamil, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea dan lain-lainnya. Bahasa-bahasa ini tetap dipertahankan oleh masyarakat penutur-aslinya, karena eksistensi bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari bahasanya. Bahasa-bahasa di atas ini dipelajari oleh bangsa lain bukan karena kemampuan komunikasi bahasa itu dalam ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan interaksi umat manusia lebih tinggi dari bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu menjadi begitu bergengsi karena kualitas manusia dengan etos kerja yang tinggi menjadikan bangsa-bangsa itu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang lebih kreatif. Bukan karena bahasanya. Bahasa merupakan representasi untuk mengungkapkan segala sesuatu yang mereka capai itu. Biar bangsa lain mempelajari bahasa-bahasa Jepang, Cina, Korea, Inggris, dan lain-lain, karena memang hasil keras mereka yang berupa ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya itu memang dibutuhkan oleh bangsa lain termasuk oleh bangsa Indonesia.
Seandainya bangsa-bangsa yang saya sebutkan itu tidak memiliki presatasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi, bahasa mereka tidak akan dipelajari oleh bangsa-bangsa lain di dunia, karena tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Itu seandainya begitu. Sebaliknya, seandainya suku-suku bangsa kita yang beraneka ragam ini juga memiliki prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi dan dinyatakan dalam bahasa dengan aksara daerah masing-masing, bangsa lain akan lebih memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang kita miliki. Jangan karena kualitas bangsa dengan etos kerja dan disiplin yang rendah sehingga prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budayanya rendah, lalu menganggap bahwa bahasa, sastra, dan aksara daerah dialpakan begitu saja. Prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya sudah miskin, mau mengalpakan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah yang dimiliki. Lalu kita punya apa yang bisa dipakai tanda bahwa kita ini eksis di dunia ini?
Khusus tentang aksara daerah. Budaya yang sudah memiliki system tulisan sendiri menandakan bahwa budaya itu memiliki derajad yang tinggi, sebab dalam budaya itu segala pola pikiran, keyakinan, dan perilaku pemiliknya terekam untuk dipelajari dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, tanpa batas ruang dan waktu. Berapa jumlah bangsa dan bahasa yang ada di dunia ini tak terhitung banyaknya. Tetapi berapa budaya yang memiliki system tulisan sendiri perkiraan saya tidak lebih dari lima persen. Perkiraan ini saya dasarkan atas banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Ada tidak kurang dari lima ratus bahasa, tetapi bahasa yang memiliki sistem tulisan sendiri tidak ada lima persen dari seluruh bahasa yang ada di Nusantara ini.
Di samping itu, menciptakan simbol, sebagai suatu sistem tulisan, yang dapat menyatakan semua aspek cipta, rasa, karsa, dan karya suatu bangsa dengan budaya dan bahasanya tidak mudah. Lima kali, sepuluh kali, atau berapa kali pun kongres bahasa ini belum tentu dapat merumuskan simbol-simbol sebagai suatu sistem tulisan yang dapat diterima oleh suatu budaya untuk merekam semua pola pikiran, keyakinan, dan perilaku dan dipelajari serta diwariskan kepada generasi mendatang tanpa batas ruang dan waktu.
Demikianlah halnya dengan sistem tulisan daerah yang ada dalam budaya Nusantara ini, seperti aksara Batak, Bali, Bugis, Jawa, Lampung, dan Bima. Saya percaya banyak dokumentasi pola pikiran, keyakinan, dan perilaku budaya-budaya daerah ini yang tak ternilai harganya yang direkam dengan sistem tulisan daerah-daerah itu, baik yang masih ada di museum-museum di tanah air maupun yang ada di museum-museum manca negara, terutama yang ada di Eropa dan Amerika seperti yang pernah saya lihat di Smithsonian Institution di Washington D. C.
Jika nanti sistem tulisan daerah ini lenyap dari bumi Nusantara, maka generasi yang sangat bertanggung-jawab atas lenyapnya aksara daerah ini ialah generasi yang sekarang ini, terutama individu-individu yang secara formal diberi tanggung-jawab untuk menghormati dan memelihara aksara daerah itu. Saya katakan generasi yang sekarang, sebab sekarang ini masih ada individu-individu yang mampu menguasai aksara daerah itu untuk tujuan-tujuan rekognitif dan produktif, tetapi kita tidak memberikan atmosfir yang menunjang penghormatan dan pemeliharaan aksara daerah tersebut. Kita tidak mau mempelajari aksara daerah itu kemudian menurunkan kepada generasi berikutnya, pada hal, jika ada niatan, kita masih belum kematian dian. Atas dasar pemikiran di atas saya meneriakkan suara pecinta dan pemeduli hidupnya aksara daerah agar aksara-aksara daerah itu tetap dipelihara dan dihormati, bukan dibiarkan mati tak terurus.
Bagaimanakah Kita Memelihara Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Sebelum melakukan tindakan penghormatan, penyelamatan, dan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, yang utama ialah adanya kemauan untuk menghormati, menyelamatkan, dan memelihara bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri. Adanya kemauan yang keras akan memberi semangat untuk mencari cara. Sebenarnya untuk menghormati dan memelihara bahasa dan sastra daerah, Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa selalu merumuskan butir-butir tindakan, mulai dari rumusan perda, keterlibatan pemerintah daerah, sampai dengan langkah-langkah kongkrit yang harus dilaksanakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, misalnya, telah mengeluarkan Buku Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, atas dasar Peraturan Daerah Nomor 3/1992, yang secara khusus diperkuat oleh Edaran Gubernur Nomor 1/1995, tentang Penulisan Papan Nama dengan Dwi Aksara Bali.
Dengan mengambil analogi yang terdapat pada Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, penyelamatan, pemeliharaan, dan penghormatan bahasa-bahasa daerah, terlebih dahulu pemilik dan penutur asli bahasa daerah itu sendiri perlu dibuat sadar bahwa daerah itu berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah dan masyarakat penuturnya, (2) lambang identitas daerah dan masyarakat penuturnya, (3) alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, dan (5) sarana pendukung daerah dan budaya Indonesia.
Apabila pemilik dan penutur asli bahasa daerah sadar bahwa begitu besar dan pentingnya fungsi bahasa daerah, perlu diupayakan peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah, mencakup upaya meningkatkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa daerah melalui jalur formal—pendidikan dan pengajaran di sekolah dan jalur informal--dengan memfungsikan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pembinaan sastra daerah juga perlu didahului dengan penanaman kesadaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan pemilik sasrta daerah bahwa sastra daerah merupakan bukti historis masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu bagian dari sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Indonesia, yang di dalamnya terekam pengalaman etika, estetika, moral, agama, dan social masyarakat daerah. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah memiliki fungsi sebagai perekam kebudayaan daerah dan pemelihara, pemupuk, dan penumbuh solidaritas daerah.
Apabila kesadaran akan begitu besar dan pentingnya sastra daerah telah timbul, pembinaan yang perlu dilakukan ialah meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan lewat pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan sastra daerah. Secara kongkrit, (1) adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai matapelajaran dalam kurukulum, bukan merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah, (2) adakan guru-guru satra daerah yang bermutu, (3) adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula, (4) manfaatkan tokoh-tokoh sastra daerah yang masih kreatif dan produktif, (5) berikan penghargaan yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki nilai universal.
Singkatnya, pengembangan sastra daerah adalah upaya untuk meningkatkan mutu sastra daerah agar sastra daerah itu dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi pencarian dan pencerminan jati diri dalam membangun masyarakat daerah yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kegiatan pengembangan meliputi penelitian dan penulisan-penulisan.
Aksara daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Melihat fungsinya, aksara daerah telah dan dapat digunakan lagi dalam kehidupan bersastra, berseni, pendidikan, adapt, agama, serta komunikasi tulis sehari-hari. Dengan lain perkataan, aksara daerah itu dapat diberi kedudukan yang tinggi seperti yang terdapat pada mata uang logam jaman Belanda berikut ini.
Anehnya, kita ini ada dalam jaman kemerdekaan. Tetapi justru pada alam kemerdekaan ini sendiri, bahasa, sastra, dan aksara daerah tidak kita pelihara, tidak kita hormati, apalagi kita junjung tinggi seperti pada jaman penjajahan. Sebenarnya, jika kita mau, bahasa dan penulisan aksara daerah dapat saja dicantumkan pada mata uang resmi Indonesia. Masih banyak ruang pada mata uang kita itu yang dapat memuat bahasa dan aksara daerah kita. Perhatikan betapa banyaknya ruang pada mata uang kertas kita seandainya kita mau memberi muatan bahasa dan aksara daerah.
Saya kira, tidak hanya pada mata uang saja, aksara daerah itu bisa kita beri kedudukan yang terhormat. Pada petunjuk-petunjuk produk Indonesia pun, bisa saja kita muati bahasa dan aksara daerah sebagaimana para produsen Cina, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain, yang dengan bangganya mencantumkan bahasa dan aksara mereka masing-masing pada petunjuk pemakaian produknya.
Mungkin ada yang berfikiran begini. Jika bahasa dan aksara daerah itu kita cantumkan pada mata uang, tidakkah akan menimbulkan rasa iri hati dan sentiment kedaerahan? Untuk menangkis kecurigaan semacam itu, kita memunculkan bahasa dan aksara daerah pada mata uang secara seri. Mata uang tertentu dengan bahasa dan aksara Bali, bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Bugis, bahasa dan aksara Jawa, dan lain sebagaimana yang sudah kita lihat pada mata uang kita dengan seri gambar-gambar pahlawan nasional, seni tari dan lain sebagainya yang berasal dari daerah.
Untuk menutup makalah saya ini ada dua hal yang ingin saya tekankan. Saya melihat semua kegiatan semacam kongres ini dari dua segi: segi ergon dan segi energiae. Dari segi ergon, kita sadar bahwa Kongres Bahasa Indonesia ini akan merumuskan hasil kongres untuk dideseminasikan ke lembaga-lembaga pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat ramai. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus memperhatikan segi energiae-nya, yaitu adanya dinamika untuk menindak lanjuti hasil kongres ini dengan perbuatan nyata. Oleh karena pembinaan dan pengembangan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan undang-undang itu dengan segala konsekuensinya, sedangkan pemerintah pusat mengatur perekatan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah menjadi budaya nasional Indonesia.-
Bacaan:
Bandana, I Gde Wayan Soken. 2003. “Sekilas Tentang Fungsi dan Asal-Usul Aksara Bali.” Dalam Aksara, Jurnal Bahasa dan Sastra No. 21, Tahun XIII, 2003. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Bawa, I Wayan. 2001. “Pengausan Kemampuan Menggunakan Undha-Usuk Bahasa Jawa Bagi Etnik Jawa Setelah Satu Tahun Tinggal di Denpasar.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Brata, Suparto. 2002. “Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa dalam Kaca Mata Pengarang.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Chambert-Loir, Henri dan Siti Maryam R. Salahuddin. 1999. Bo’ Sangaji (Catatan Kerajaan Bima). Jakarta: Ecole Francais d’Extreme-Orient Yayasan Obor Indonesia.
Gossweiler, Christian. 2001. “Jenggelekipun Basa-Basa Daerah Wonten Tengahing Globalisasi: Refleksi Pengalaman ing Eropa lan ing Indonesia.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Herusatoto, Budiono. 2001. “Rancu Pikir dalam Memahami Makna Kata Tata-Tata Krama dan Undha-Usuk.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Laksono, Kisyani. 2001. “Identifikasi Dialek dan Sub-Dialek Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Riadi, Slamet. 2002. “Kebijakan Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Wahab, Abdul. 2001. “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Wahab, Abdul. 2002. “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.” Kongres Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar-Bali, Juli 2002.
Widati, Sri. 2002. “Kontribusi Hasil Penelitian Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
-----, 1966. Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali (Pedoman Penulisan papan nama dengan Aksara Bali).Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
-----, 2001. Makalah Kongres Bahasa Jawa III.
-----, 2002. Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Kerja Sama Pemerintah Propinsi Bali, Badan Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali, Fakultas Sastra Unud, dan Balai Bahasa Denpasar.
Sumber: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id
January 30, 2007
Pusat Bahasa Lampung Bukukan Biografi Sastrawan Lampung
Kepala Pusat Bahasa Lampung Agus Sri Danardana, Jumat (26/1) mengatakan, dari sekian banyaknya sastrawan dan seniman di Lampung, pusat bahasa baru berhasil mengumpulkan sekitar 13 biografi sastrawan dan seniman Lampung. Di antaranya seperti Isbedy Stiawan, Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, Udo Z. Karzi, Budi Hutasuhut, dan Panji Utama.
Selain penerbitan buku sastrawan dan seniman Lampung, Pusat Bahasa Lampung juga tengah menyusun buku mengenai pemetaan bahasa di Lampung. Pemetaan yang melibatkan 47 titik pengamatan di berbagai daerah di Lampung itu menghasilkan data berupa 10 bahasa yang banyak dipakai masyarakat Lampung. Di antaranya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Lampung. "Kami berharap bisa menerbitkan buku mengenai peta bahasa-bahasa di Lampung bersamaan dengan terbitnya buku tentang sastrawan dan seniman Lampung," kata Agus.
Sumber: Kompas Cyber Media, 26 Januari 2007
January 29, 2007
Lampung Barat Berbasis Ekosistem
MENILIK berbagai gejala alam yang dapat memicu bencana alam, Kabupaten Lampung Barat yang berada di jalur Bukit Barisan dan berhadapan dengan Samudera Indonesia ada di sentra wilayah bencana. Di wilayah pegunungan berada pada zona patahan Semangka (Sumatra transform pault zone) yang bergerak dengan kecepatan antara 7 dan 14 cm/tahun sesuai dengan gerak sundulan penunjang kerak Samudera Indonesia-Australia di Selatan, yang di lokasi lantai samuderanya juga dapat berakibat terjadinya tsunami seperti kasus gempa Nias dan Aceh pada tahun 2004 dan 2005.
Berdasarkan hal tersebut, catatan sejarah gempa Liwa-Suoh telah terjadi pada tahun 1933 dan 1994, yang secara statistik diduga berperiode ulang 60 tahunan.
Di sisi lain, kondisi geomorfologi pegunungan, dataran tinggi, dan dataran rendah-pantai telah menempatkan Lampung Barat sebagai areal tangkapan hujan bagi wilayah kabupaten/kota yang ada di bagian hilirnya. Jika tidak dikonservasi, akan berakibat fatal karena terjadi kelangkaan air baku, air bersih, dan air minum pada musim kemarau dan sebaliknya terjadi banjir pada musim hujan.
Sedangkan di Lampung Barat dengan kondisi tanah dan batuan retas terpatahkan akan mudah terjadi longsor dan gerakan tanah seperti yang sering melanda jalan Bukit Kemuning--Liwa--Krui yang rutin terjadi sepanjang tahun.
Secara ekosistem hal ini terdukung dengan keberadaan kawasan yang harus dikonservasi dan dilindungi berupa Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), hutan lindung, dan hutan suaka alam wisata dan marga satwa, termasuk taman laut nasional yang intinya mencapai 76,28%, sehingga hanya tersisa 23,72% yang boleh dibudidayakan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, permukiman, pariwisata, dan kegiatan antropojenik lain. Kondisi semacam inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya PAD Lampung Barat yang sampai anggaran 2006 belum bisa mencapai Rp10 miliar.
Dengan mempertimbangkan semua keadaan tersebut, pada tahun 2004 ditetapkan Perda No. 18/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis Masyarakat, yang secara nasional merupakan suatu prototipe bagi penyelamatan dan konservasi sumber daya alam yang masih berlingkup lokal, tetapi belum dapat mengatur hubungan antarwilayah.
Untuk itu perlu diangkat ke jenjang lebih tinggi menjadi perda yang ditetapkan di Provinsi Lampung. Pada tahun sama, bulan Juli 2004 keberadaan TNBBS oleh badan PBB (UNESCO) telah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (world heritage cluster).
Mengingat Lampung Barat mustahil bisa dibangun dari kemampuan ekonomi wilayah sendiri dengan kondisi PAD yang masih rendah dan keterbatasan wilayah untuk kegiatan budi daya, terinspirasi dari model dunia yang berkembang di salah satu negara bagian di Kanada yang dapat hidup dan bertumbuh kembang lewat subsidi silang dari negara bagian yang ada di hilirnya dalam pengamanan sumber daya air bagi kebutuhan hilir.
Model yang sama di Indonesia sebagai kabupaten konservasi ialah Kabupaten Kuningan di Jawa Barat. Kabupaten/Kota Cirebon menyubsidi Kabupaten Kuningan Rp2 miliar/tahun lewat APBD untuk kegiatan konservasi (penyelamatan sumber daya air dan pencegahan bahaya banjir).
Sebagai konsekuensi logis dari komitmen kabupaten konservasi Lampung Barat, seluruh kegiatan pembangunan harus berbasis pembangunan konservasi dan daya dukung ekosistem (sumber daya alam dan lingkungan hidup), termasuk keberadaan Lapangan Terbang Pekon Seray, Kawasan Usaha Agroindustri Terpadu (KUAT), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Kawasan Resor Wisata Terpadu Lombok Ranau, dan Wisata Bahari Tanjung Setia tidak boleh mencederai konsepsi kabupaten konservasi yang telah direncanakan.
Salah satu potensi kekayaan plasma nutfah sesuai dengan arahan kabupaten konservasi ialah pengembangan tanaman hias yang telah dideteksi ratusan genus dan spesies untuk dibudidayakan dalam kegiatan ekspor bunga/tanaman hias yang telah dilakukan atas kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor sejak tahun anggaran 2006 dan akan terus dilanjutkan pada tahun anggaran 2007.
Sudah barang tentu untuk membangkitkan potensi yang luar biasa ini, dibutukan SDM pengelola yang andal untuk menangani semua kegiatan yang telah kami jabarkan di atas agar potensi SDA yang kita miliki memiliki nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat Lampung Barat. Sehingga pada TA 2007 telah direncanakan program pendidikan magister manajemen (S-2) bekerja sama dengan IPB untuk bidang: Ketahanan Pangan dan Administrasi Publik yang diikuti aparatus eksekutif, anggota legislatif, dan masyarakat (LSM, PTS, dan perorangan) secara selektif.
Berdasarkan paparan Gubernur Lampung pada saat briefing dengan jajaran aparatus serta masyarakat Lampung Barat, dari lima nilai strategis pengembangan dan pembangunan daerah semua ada di Kabupaten Lampung Barat, sebagian besar unggulan provinsi maupun nasional.
Berkenaan dengan itu, konsepsi penanganan antarwilayah dalam konteks kabupaten konservasi Lampung Barat ini telah diajukan usulan kepada Gubernur segera dapat dirancang perda pembangunan hulu dan hilir, termasuk usulan kepada Menteri Kehutanan untuk mengalokasikan DAK bagi penyelamatan TNBBS termasuk bantuan dunia untuk itu. Semua program mulia tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan rakyat dan sistem kepemimpinan yang peduli, jujur, dan memegang amanah secara bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Dalam waktu dekat sudah ada investor yang akan membangun pabrik pengolahan damar di KUAT (Kawasan Usaha Agroindustri Terpadu) yang akan diekspor langsung ke Dubai. Kini saja sudah ada pasok kebutuhan damar 10 ton dari berbagai kualitas, sehingga dapat menjawab keresahan petani repong damar yang tergabung P2RD, termasuk pengembangan komoditas lain.
Demikian sehingga para petani repong damar yang telah mendapat bantuan bibit damar dari Gubernur sebanyak 400 ribu batang dapat segera meremajakan pohon-pohon damar yang telah tua dan tumbang akibat angin puting beliung beberapa waktu lalu.
Semoga cita-cita luhur Bumi Beguai Jejama Sai Betik untuk membangun masyarakat madani yang sejahtera secara bertahap dapat segera direalisa
* Erwin Nizar T., Bupati Lampung Barat
Sumber: Lampung Post, Senin, 29 Januari 2007
January 27, 2007
Identitas dan Kebudayaan Lampung, Sebuah Tinjauan*
Dimulai dari acara bedah buku Rizani Puspawijaya (19 Oktober 2006) Hukum adat dalam Tebaran Pemikiran, 19 Oktober 2006. Relatif tak ada yang baru, begitu kata Udo Z Karzi dalam "Pemikir(an) Kebudayaan Lampung?" (Lampung Post, 2 Desember 2006). Diskusinya tidak menggigit, normatif, dan formal. Mungkin karena ketokohan senior Rizani Puspawijaya. Karena itu saya mencoba mengelaborasicatatan saya dalam bedah buku tersebut melalui tulisan di Lampung Post (11 November 2006): "Puzzle bernama Piil Pesenggiri”.
Terima kasih buat catatan diskusi yang disampaikan Fachruddin, Muhammad Aqil Irham, Udo Z Karzi, dan Budi Hutasuhut. Semua memperkaya dan menambah pencerahan pemikiran kita bersama. Dan, tentunya kita amat percaya di antara reaksi yang konkrit dan signifikan atas tulisan saya, pasti ada reaksi bisik-bisik dan rencana gugatan pemikiran yang muncul dalam diskusi imaginer masing-masing kita. Semua ini adalah refleksi kebanggaan dan rasa
memiliki dan tanggung jawab kita buat masyarakat dan daerah “Sai Bumi Ruwai Jurai”.
Rasanya terlalu berlebihan bila wacana (discource) Piil Pesenggiri kita anggap sebagai puzzle atau scrable. Tapi, nyatanya tak terhindar, begitu asyik permainan kata-kata berputar bicara tentang Piil Pesenggiri.
Catatan Fachruddin (Lampung Post, 18 Nopember 2006) “Piil Pesenggiri bukan Puzzle”, pada dasarnya memperkuat substansi tulisan saya (Lampung Post, 11 Nopember 2006) “Puzzle bernama Piil Pesenggiri”.
Terima kasih pada Fachruddin, hanya perlu diingatkan bersama, bahwa kalaulah Piil Pesenggiri sudah menjadi milik Perguruan Tinggi, diuji dengan pendekatan akademis oleh para guru besar, apakah sudah menjadi sesuatu yang istimewa, prestisius. Rasanya sih biasa-biasa saja, bahwa setiap fenomena, gejala alam, gejala sosial, apa pun harus (bukan dapat) menjadi kajian akademis di Perguruan Tinggi. Sebab, salah satu tugas perguruan tinggi sebagai
bagian dari Tridharma Perguruan Tingginya, adalah penelitian.
Jangankan Piil Pesenggiri sebagai sebuah tatanan moral dari kebudayaan Lampung, 'rumput teki' (Latin: Cyperus rotumdus, Cina : Xiang Fu) telah lama menjadi kajian akademis yang melahirkan banyak doktor dalam ilmu pertanian. Begitu juga “puzzle” sebagai satu bentuk exercise, permainan untuk “killing time” juga merupakan obyek kajian akademis di Fakultas Psychologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, yang juga menghasilkan banyak Doktor. Mungkin kita melupakan Prof. Dr. Tubagus Ronny Nitibaskoro, SH, MH (Guru Besar UI) melakukan penelitian Santet untuk disertasi doktornya di Banten sana (1980). Dengan demikian, tidak ada yang menjadi istimewa apabila Piil Pesenggiri menjadi kajian akademis. Biasa-biasa saja.
Saya mulai tulisan “puzzle” ini dengan ungkapan (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952). Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriyah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition.
Sejarah penelitian kebudayaan kita pahami merupakan sejarah panjang berawal dari catatan-catatan deskriptif, kebanyakan naskah-naskah perjalanan (itineraria). Perkembangan selengkapnya lebih bersifat analitis, lahir berbagai aliran seperti interpretasi geografis, interpretasi biologis, interpretasi pralogis, psikologisme kebudayaan, determinisme ekonomi, dan interpretasi sosiologis. Dengan demikian, wajarlah tahun 1952 oleh AL Kroeber & Clyde Klukhon ditemukan 166 definisi Kebudayaan selama kurun waktu 1871 – 1952. Sementara saya terkesan pada pemikiran Prof. Van Baal (Universitas Leiden, Belanda) tentang kebudayaan Cultuur bestaats in de mens, van daar ze uit”.
Heterogenitas pendekatan maupun diversitas definisi mengenai kebudayaan yang kebanyakan bersifat dogmatis dan deterministik mengungkapkan kompleksitas dari kebudayan itu sendiri. Dengan demikian penilaian subyektif kebudayaan yang bentuk aktualnya adalah peradaban ada dimana-mana. Termasuk apa yang dikemukakan oleh Muhammad Aqil Irham “Piil Pesenggiri” antara Langit dan Bumi (Lampung Post, 29 Nopember 2006), secara lantang menyatakan masyarakat Lampung sebagai kelompok etnis, dalam sejarahnya pernah menempati puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradapan dunia. Era itu dikatakan oleh Muhammad Aqil Irham sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnis Lampung.
Saya hanya ingin menekankan eksistensi sebuah kebudayaan, berangkat dari proses akulturasi dan interdependensi. Pengalaman mengungkapkan bahwa manusia adalah pribadi yang berada dalam sebuah lingkungan, berada dalam komunitas yang lebih luas, berada didalam sejarah, bergerak mengatasi keterbatasan-keterbatasan. Kebudayaan berada dalam proses humanisasi, proses sosialisasi dan proses kebudayaan itu sendiri.
Fachruddin secara cerdas menjelaskan pada dasarnya Piil Pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung, sebagai semangat, sebagai sikap dasar dalam membangun kebudayaan lokal juga ada pada kebudayaan lokal lain. Sesungguhnya ini benang merah yang harus kita perhatikan, supaya kita terhindar dari sikap eksklusif dan megalomania.
Benarkah apa yang dikemukakan Muhammad Aqil Irham, etnis Lampung dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi? Tergantung parameter dan asumsi yang kita gunakan. Masyarakat asli Lampung baru mengenal budidaya kopi, lada, karet karena pengaruh tekanan Pemerintah Kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan Sultan Banten, Sultan Haji (1682) untuk memperkuat perekonomian Kolonial. Sementara Belanda melakukan perdagangan monopoli lada, kopi untuk pasar di Eropa.
Cornelis Speelman (1681-1684) adalah Gubernur Jenderal di Hindia Belanda yang menggagas penduduk Lampung menanam kopi dan lada secara besar-besaran. Masyarakat Lampung baru mengenal sistem sawah air (non ladang) karena pengaruh Kolonisasi Belanda pada tahun 1905. Rumah tradisonal masyarakat Lampung rumah panggung besar, banyak kamar, kokoh terbuat dari kayu pilihan. Rumah semacam ini sekitar tahun 1700 bukan hanya ada di Lampung tersebar di masyarakat Melayu mulai dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Jakarta (Betawi) sampai Kalimantan.
Sementara pada tahun 1745 Istana Bogor dengan konstruksi beton bertulang berarsitektur art deco, dan banyak bangunan lain yang sejenis dengan itu telah terbangun. Sampai dengan tahun 1945 Lampung hanya memiliki fasilitas pendidikan sebatas Sekolah Rakyat, 1 buah ELS (Europeesche Lagere School), 2 HIS (Holands Inlands School) dan sekitar 20-an sekolah “ongko loro” yang tersebar di seluruh Lampung, Voor Volk School dan Volk School. Sampai dengan Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak ada seorang Lampung pun yang lulus Hogere Burgelijk School (HBS), yang lulus Algemeene Middlebaar School (AMS) sekitar 7 orang. Satu-satunya sarjana adalah Drh. A Syamil. Orang Lampung yang pertama kali mendapat gelar Mesteer In de Rechten dari Universitas Indonesia tahun 1961 adalah Mr. Ahmad Rusli Darmawan (alm, terakhir karier beliau Hakim Agung). Mr. Rusma S. Alamsyah (Alm, terakhir pejabat senior Kejaksaan Agung), Mr. Alimuddin Umar (mantan ketua DPRD Propinsi Lampung, mantan Sekwilda Propinsi Lampung).
Menatap ke Depan dan Bukan Membangun Mitos
Saya terkesan pada pemikiran Udo Z Karzi yang menyatakan kebanyakan ulun Lappung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, Piil Pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serba kecil semacam Tugu Siger yang tidak mampu menjelaskan kebudayaan Lampung secara general, holistik dan strategis.
Saya berpikir, sebatas itulah yang dapat dibicarakan tentang kebudayaan Lampung, betapa pun hasrat kita ingin menjelaskan tentang adiluhungnya kebudayaan Lampung dan peradabannya. Selama ini kita tidak lebih berbicara tentang pernik-pernik kecil atau pengamatan terhadap mozaik pada sebuah konfigurasi.
Di hadapan kepentingan/tantangan global dan lokal, kebudayaan sekonyong-konyong mengartikulasikan dirinya tidak hanya sekadar terbaca sebagai peluang, tetapi juga merupakan beban. Kebudayaan yang selama ini dilihat dari sisi positif telah berubah menjadi beban. Terlebih lagi ketika pertanyaan dan pernyataan itu bersinggungan dengan bagaimana sesungguhnya identitas dan tradisi kebudayaan itu harus dikonstruksikan di tengah sejumlah paradoksal dan anomali kepentingan antara ruang global dan lokal.
* Artikel ini yang dikirim ke Lampung Post, tetapi belum dimuat.
** Firdaus Augustian, peminat masalah kebudayaan.
January 26, 2007
Traveling: Liwa, Dingin tapi Hangat Terasa
INI petikan sajak panjang Udo Z. Karzi, "Bagaimana Mungkin Aku Lupa" tentang kota kelahirannya, Liwa. Sebuah kota kecil yang nyaris terlupakan dalam peta negeri yang hiruk-pikuk. Walaupun begitu, kota hujan karena terletak di dataran tinggi ini sempat menghebohkan karena dilanda gempa berkekuatan 6,6 pada skala Richter, 15 Februari 1994.
Dua belas tahun lalu, Liwa porak-poranda. Hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah. Tak kurang dari 196 jiwa dari beberapa desa dan kecamatan di Lampung Barat tewas. Jumlah yang terluka hampir mencapai 2.000 orang. Rata-rata mereka tewas dan terluka karena tertimpa reruntuhan bangunan. Jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal hampir mencapai 75 ribu.
Sebuah monumen gempa terpancang di makam Ham Tebiu sebagai bahan ingatan.
Sebuah kenangan pahit tentang Liwa.
Tapi, setelah sekian tahun berlalu, perlahan masa berlalu. Kini, Liwa tetap berkembang menjadi sebuah wilayah yang aman, damai, dan tenteram. Apalagi dengan tanah yang subur mampu memberi kehidupan yang lebih bermakna.
Liwa terletak di jalan simpang yang menghubungkan tiga provinsi, yaitu Lampung sendiri, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Liwa yang meliputi satu marga (marga Liwa) dan satu kecamatan (Kecamatan Balik Bukit) terdiri dari 11 (sebelas) pekon (kelurahan): Padangcahya, Way Mengaku, Pasar Liwa, Kubuperahu, Sebarus, Gunungsugih, Way Empulau Ulu, Watas, Padangdalom, Sukarame, dan Bahway.
Di pusat kota, berdiri megah Tugu Kayu Hagha yang menjadi legenda tentang asal-muasal suku Lampung yang kini menyebar ke seluruh pelosok provinsi lengkap dengan bahasa, aksara, dan budayanya.
Terletak di pegunungan dengan hawa yang sejuk dan panorama yang indah seluas sekitar 3.300 hektare, Liwa adalah eksotisme bagi para pencinta alam. Liwa (juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung) mencakup beberapa pekon (desa) yang dikelilingi hijaunya bukit-bukit. Dari kejauhan, kebiruan Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (2.262 m), menambah eloknya kota.
Di kaki gunung tertinggi di Lampung ini dipercaya pernah berdiri Kerajaan Skalabrak yang menurunkan buay-buay keturunan Ompung si Lamponga (Lampung).
Sejak dulu, Liwa terkenal sebagai peemukiman yang menyenangkan, aman, dan damai bagi semua orang. Orang Belanda di masa kolonial dahulu pun memanfaatkan kota ini sebagai tempat berlibur, beristirahat, dan bersantai.
Beberapa bangunan peninggalan Belanda sebetulnya utuh sebelum gempa tektonik berkekuatan 6,5 skala Richter menghantam kota ini, 15 Februari 1994. Kini, beberapa peninggalan Belanda masih dapat kita lihat seperti tangsi yang kini menjadi Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Balik Bukit dan pesanggrahan (kini Hotel Sindalapai).
Di kota ini orang bisa belajar konstruksi bangunan antigempa. Beberapa bangunan yang utuh meski digasak gempa 1933 dan 1994 dapat menjadi bukti tentang kemampuan orang Lampung dalam menciptakan teknologi tradisional bangunan tahan gempa. Sekarang pun, Pemda Lampung Barat mulai menerapkan ini. Pembangunan permukiman penduduk, perkantoran, dan sekolah kembali dibangun dengan konstruksi bangunan antigempa. Pada waktu itu, kami membangun sekitar 60 masjid dan ada juga sekolah dengan bahan ferocemen, yaitu bahan semen dengan dipasang pada tulang-tulang halus sebagai pengganti besi beton.
Liwa, dingin tapi hangat yang terasa/sehangat secangkir kopi di pagi hari. n ZULKARNAIN ZUBAIRI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2006
Traveling: Ada 'Nyambai', 'Sekura', dan Air Terjun di Sana
Jika ditanyakan asal-usul mereka (penduduk etnik Lampung di daerah tersebut), banyak di antara mereka yang menjawab, "Sebenarnya kami berasal dari Liwa. Tuyuk (buyut atau nenek moyang) kami dari sana."
Mereka yang merantau itu biasanya masih tetap membawa tradisi dan budaya dari tempat asal mereka. Mereka berusaha tetap mempertahankan kebiasaan leluhur mereka. Akan tetapi yang mengherankan, justru di Liwa sendiri tradisi dan budaya malah tergerus zaman. Mungkin karena letaknya yang strategis membuat daerah ini terlalu banyak menerima pengaruh dari luar. Sayangnya, pengaruh itu tidak terlalu mengakar di daerah ini.
Beberapa kebiasaan (tradisi-budaya) yang masih kita temui di Liwa, antara lain upacara-upacara adat seperti nayuh (pesta pernikahan), nyambai (acara bujang-gadis dalam rangka resepsi pernikahan), bediom (menempati rumah baru), sunatan, sekura (pesta topeng rakyat), tradisi sastra lisan (seperti segata, wayak, hahiwang, warahan, dll), rasan buhimpun (bermusyawarah), butetah (upacara pemberian adok atau gelar adat), dan berbagai upacara adat lainnya.
Air terjun Kubuperahu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang termasuk sebagian kecil wilayahnya, suasana sejuk karena alam yang masih hijau, dan adat-istiadat setempat (seni-budaya lokal) dapat menjadi hiburan tersendiri bagi yang ingin melepaskan lelah dari kesibukan hidup.
Namun, Kabupaten Lampung Barat mempunyai belasan tempat wisata seperti Danau Ranau, wisata budaya Pekon Kenali, (Belalau), dan pantai sepanjang Pesisir Barat Samudera Indonesia yang dapat diandalkan terutama pantai dan tempat bersejarah.
Salah satunya Situs Prasejarah Batu Jaguar yang terletak di Pekon Purawiwitan, Sumberjaya. Di sini, terdapat sebuah batu menhir yang dipercaya masyarakat dapat memberikan tanda-tanda jika akan terjadi bencana alam. Hal ini terbukti saat gempa Liwa pada 1994. n ZUL/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2006
Traveling: 'Ngebeli Iwa' di Liwa
Ya, Liwa menyimpan banyak misteri, yang mungkin lupa di-warahko tamong (diceritakan kakek).
Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata meli iwa (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon, dahulu Liwa merupakan daerah yang subur dengan persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah.
Way Setiwang, Way Robok, dan Way Sindalapai yang mengaliri wilayahnya merupakan sumber kekayaan daerah ini. Ditambah pula, penduduk yang masih jarang membuat masyarakat daerah ini menjadi makmur dan sejahtera.
Di daerah ini dulu terdapat bendungan-bendungan tempat ikan (bidok, bahasa Lampungnya), sehingga terkenallah daerah ini sebagai penghasil ikan. Hampir setiap orang yang datang dari dan ke tempat itu jika ditanya sewaktu bertemu di jalan: "Mau ke mana?" atau "Dari mana?" selalu menjawab: "Jak/aga mit meli iwa" (Dari/hendak membeli ikan).
Lama-kelamaan jawaban itu berubah menjadi "mit meli iwa". Kemudian karena diucapkan secara cepat kedengarannya seperti "mit liwa". Dan, akhirnya daerah ini mereka namakan Liwa.
Kalau kita kontekskan dengan sekarang, Liwa memang menjadi tempat pertemuan ikan laut dari Krui di tepi Samudera Hindia, ikan tawar dari Danau Ranau, dan ikan tawar lain dari sungai dan sawah.
Di samping memiliki potensi alamiah seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan, Liwa juga menyimpan sejarah budaya. n ZUL/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2006
January 25, 2007
Langkan: Bahasa Lampung Makin Terpinggirkan
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Januari 2006
January 23, 2007
Kesenian: Pemda tidak Dukung Perkembangan Musik Lampung
"Akhirnya, seni tradisi Lampung belum menjadi tuan di rumahnya sendiri dan belum dapat sejajar dengan perkembangan seni musik daerah lain seperti Sunda, Minang, dan Batak, bahkan Betawi," kata seniman dan budayawan Lampung Isbedy Setiawan Z.S., Selasa (23-1).
Menurut Isbedy, di seni musik banyak produk-produk lagu Lampung yang diciptakan seniman musikus. Namun, akhirnya tak begitu diterima masyarakat umum, sehingga akhirnya terpendam hanya di kalangan tertentu. Mulai dari zaman Arifin, Andy Achmad, Syaiful Anwar sampai zaman Edi Pulampas dan zaman sekarang di mana lagu-lagu Lampung terus dicipta. "Perlu ada dukungan pemerintah untuk lebih memasyarakatkan lagu-lagu Lampung," katanya.
Misalnya dengan membuat sebuah kebijakan untuk mewajibkan pemutaran lagu-lagu Lampung di tempat dan fasilitas umum. Misalnya hotel, restoran, dan pasaraya bahkan juga dapat menggunakan potensi kendaraan umum, yaitu bagi kendaraan angkutan umum yang mempunyai fasilitas teknologi harus memutar lagu Lampung saat beroperasi di kawasan Lampung.
"Sampai akhirnya, lagu-lagu Lampung dapat benar-benar menyentuh setiap lapisan masyarakat dalam etnis atau kelompok apa pun," katanya.
Namun, kebijakan itu harus jelas legal formal-nya yang dibuat dalam bentuk Peraturan daerah (perda), Peraturan Gubernur (pergub) atau juga instruksi gubernur. Sehingga pengembangan seni tradisi Lampung tidak akan terpengaruh akibat pergantian pimpinan daerah.
"Saat ini ada harapan besar untuk itu karena Gubernur Sjachroedin Z.P. terlihat sangat peduli dengan seni dan tradisi daerah. Harapannya dapat dijadikan sebuah aturan daerah dalam rangka pelestarian lingkungan dan Gubernur sebagai penggagasnya," katanya.
Di lain pihak, kata Isbedy, para seniman tradisi di Lampung juga harus berani berkreativitas. Sehingga seni-seni tradisi yang dibuat dapat lebih diterima masyarakat daerah Lampung kebanyakan yang heterogen. Misalnya dengan memberikan warna tersendiri ataupun kolaborasi dengan jenis musik lainnya.
"Seniman harus berani berkreativitas, sekalipun ia seniman tradisi. Karena tradisi itu juga ada yang dapat dikreasikan selain yang harus dijaga kelestariannya,"
katanya. n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Januari 2007
January 16, 2007
Lampung pada Abad XVII*
Kendatipun Propinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan. Namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah kasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai kesultanan banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji Dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Scuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan Lada yang dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak. Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di lampung yang disebut "Jenang" atau kadang-kadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hierarkis tidak berada di bawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama Lada, dengan demikian jelas Hubungan Banten Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa :
1. Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
2. Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
3. Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda didaerah Telukbetung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya per- juangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Propinsi Lampung.
* A.S. Wibowo. tanpa tahun. "Lampung pada Abad XVII" dalam www.lampung.bps.go.id
January 15, 2007
Mendengar Raja Cetik Memainkan Musik
BANDAR LAMPUNG--Acara Ragom Budaya Lampung (RBL) terus mengumandang dari Studio 2 RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam. Tak terasa empat tahun sudah acara yang mengangkat kesenian lokal Lampung ini berjalan.
Sabtu, 7 Mei 2005, giliran Sanggar Waya Kenyangan dari Lampung Barat menyuguhkan berbagai bentuk seni tradisi. Sanggar yang telah menelurkan album Nyambai Agung ini tampil mengesankan. Hadrah, gambus klasik, dikir, muayak, nyambai, dan hahiwang, mengalir asyik dari para seniman tradisi yang aktif di sanggar ini.
Penampilan sanggar pimpinan Ir. Nurul Adiyati gelar Ratu Mas Dalam Ratu Marga Buay Kenyangan tampak rampak. Seniman tradisi Syapril Yamin dan Nurdin Darsan yang terlibat di dalamnya membuat suguhan seni Waya Kenyangan lebih hidup.
Rampak rebana dalam hadrah misalnya, terasa kental mengiringi syair-syair bernuansa Islami. Petikan gambus lunik yang ditingkahi gamolan peghing membawa kerinduan pada suasana pemekonan.
Di tengah-tengah jeda, penyelia acara Sutan Dermawan Sutan dan Sutan Purnama menyempatkan mewawancarai Syaprin Yamin. Seniman yang dikenal sebagai Raja Cetik ini mengatakan, cetik atau gamolan peghing adalah alat musik dari bilah-bilah bambu yang sangat memasyarakat di Lampung Barat.
Lil, begitu panggilan akrab Syapril Yamin yang juga anggota Komite Tradisi Dewan Kesenian Lampung (DKL) itu sempat memeragakan tabuh sekoal, tabuh jaghang, dan tabuh nyambai agung dengan iringan gamolan peghing.
"Gamolan peghing ini lebih memasyarakat di Lampung Barat karena mudah didapat. Sedangkan talo balak sulit didapat. Bahkan, di Lampung Barat hanya ada satu. Padahal, alat musik talo balak ini sangat penting. Mestinya Pemda Lambar membantu pengadaan alat musik ini untuk sanggar-sanggar," ujar Syapril.
Pindah Frekuensi
Dalam perjalanannya, acara RBL mulai menuai kritik. Perpindahan frekuensi dari 89,9 ke 87,7 yang menjadi biangnya. Pemirsa merasa kesulitan memonitor acara ini. "Sejak pindah frekuensi, kami tak bisa mendengar RBL," kata Hi. Syahroni gelar Paksi Marga dari Way Semah.
Keluhan serupa datang dari Usup Babatan (Sidomulyo), M. Abbas Sutan Ulangan (Negarasaka), Hernawati (Lampung Timur), Syarifudin Buay Turgak (Lampung Tengah), dan Sutan Punyimbang Mergo (Metro). "Saya terpaksa ke studio kalau ingin mengikuti acara ini," kata Sutan Babatan.
Ketua RBL Hermansyah menyayangkan perpindahan frekuensi ini. "RRI Bandar Lampung sudah berhasil membuat acara ini diminati masyarakat. Sayang kalau hanya karena persoalan teknis, acara ini tidak bisa dinikmati masyarakat," ujarnya.
RBL merupakan peran nyata RRI Bandar Lampung dalam memberikan stimulan dalam menumbuhkembangkan seni-budaya Lampung. "Jadi, agar RBL bisa didengar masyarakat Lampung, sebaiknya dikembalikan ke frekuensi semula," kata Hermansyah.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2005
Syapril Yamin Lestarikan 'Kulintang Pring'
BANDAR LAMPUNG - Sebagai salah satu daerah yang memiliki akar budaya beragam, Lampung boleh bangga. Tapi seiring kian kuatnya arus budaya global, Lampung risau karena budaya lokalnya terancam punah.
Untunglah dalam upayanya bertahan, masih ada putra daerah ini yang peduli pada kelestarian budaya daerah ini, terutama dalam hal seni kulintang pring.
Dia adalah Syapril Yamin (38). Selain sebagai pemain musik tradisional Lampung kulintang pring, ia sekaligus memproduksi alat musik yang terbuat dari bambu tersebut. Bahkan ia kini mungkin merupakan satu-satunya perajin sekaligus pemain yang menekuni alat musik tradisional ini.
Bagi Syapril, musik yang dimainkan dengan dipukul seperti gamelan tersebut bukan sesuatu yang baru. Maklum, ayah Yamin yang berasal dari Lampung Barat, merupakan pemain musik kulintang di daerahnya. Saat ayahnya masih muda, setiap kali warga mengadakan hajatan atau pesta perkawinan selalu dihibur dengan menampilkan musik kulintang untuk mengiringi tari-tarian tradisional dan lagu-lagu daerah.
Syapril yang ketika itu masih duduk di bangku SD sering dibawa orang tuanya bermain musik ke pesta-pesta dan hajatan. Sebagai bocah, ia senang meskipun harus berjalan kaki berkilo-kilometer ke rumah warga yang mengadakan pesta. Yang mengasyikkan bagi Syapril, di setiap pesta ia bisa makan enak bersama teman-temannya.
“Akhirnya, saya menyenangi musik ini dan belajar dengan bapak bagaimana cara memainkannya,” kata Syapril kepada Sinar Harapan di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL), Pusat Kesenian dan Olahraga (PKOR) Bandar Lampung, beberapa hari lalu.
Lama-kelamaan, pengurus DKL ini mahir bermain kulintang dan mulai menggantikan peran orang tuanya jika diundang ke pesta dan hajatan. Setamat dari SMA di Liwa, Lampung Barat tahun 1985, ia hijrah ke Bandar Lampung dan mulai mengisi berbagai acara di tingkat provinsi yang menampilkan musik dan seni tradisional. Ia pun mulai mengajarkan bermain kulintang di berbagai sekolah menengah di Bandar Lampung.
Untuk mendukung pelestarian dan pengembangan musik tradisi Lampung ini, ia mencoba memproduksi alat musik yang berbahan baku dari bambu betung ini sejak 1993.
Ia bahkan sempat belajar ke Bandung mengenai cara penotasian di sebuah sanggar angklung, alat musik yang bahan bakunya juga dari bambu.
Agar bunyi kulintang tidak berubah, bahan bakunya harus berasal dari bambu yang tua dan dibiarkan kering secara alami minimal setahun. Pengeringan tidak boleh menggunakan sinar matahari melainkan harus disimpan di tempat yang terlindung.
Kulintang terdiri dari tujuh bilah bambu, disusun dari yang paling panjang hingga terpendek. Yang paling panjang berukuran 32 cm dengan bunyi nada paling rendah. Sementara itu, yang paling pendek berukuran 26 cm yang nadanya paling tinggi. Dalam mengiringi lagu dan tari, biasanya kulintang dilengkapi dengan gendang dan goy--sejenis biola tradisional Lampung.
Menurut sejarahnya, kulintang pring merupakan musik tradisi yang berkembang di Kerajaan Skalabrak, Belalau, Lampung Barat. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Lampung setelah berakhirnya pengaruh Kerajaan Majapahit dari Jawa yang beragama Hindu. Kerajaan ini banyak mendapat pengaruh dari Kerajaan Melayu Minangkabau di Sumatera Barat. Saat itu musik kulintang merupakan alat musik rakyat yang biasa ditampilkan dalam acara-acara pesta perkawinan dan hajatan lainnya.
Budaya Global
Dalam memasarkan alat musik ini, Syapril mengaku cukup berat seiring makin tenggelamnya budaya tradisional disapu budaya global. Hingga 13 tahun kemudian, pesanan yang datang masih terbatas, hanya dari sanggar-sanggar seni dan Dinas Pendidikan Nasional. Khusus pesanan Diknas, itu digunakan untuk bantuan instansi tersebut ke sekolah-sekolah dalam rangka pengembangan mata pelajaran muatan lokal dan kegiatan ekstrakurikuler.
Demikian pula acara-acara resmi yang menampilkan musik tradisional, termasuk kulintang juga tidak berkembang, malah kian berkurang. “Mungkin karena pejabat di daerah ini banyak yang bukan orang Lampung sehingga seni dan budaya Lampung kurang diperhatikan,“ Syapril memperkirakan.
Padahal, ungkapnya, musik kulintang yang juga terdapat di daerah lain masih lestari dan bahkan berkembang. Namun yang bahan bakunya dari bambu, mungkin hanya ada di Lampung. Oleh karena itu alat musik yang bunyinya mirip gamelan ini di Lampung disebut kulintang pring. Pring berarti bambu.
Untuk mendorong pengembangan musik tradisional ini Syapril cuma minta biaya untuk pengganti bahan baku yang harus didatangkan dari Lampung Barat dan upah kerja saya yakni Rp 150.000-200.000 per set. Untuk memperbesar omzet, ia mencoba mengarahkan kulintangnya untuk dijadikan suvenir.
Beberapa temannya menyarankan agar ia mencari bapak angkat dari BUMN guna mendapatkan pinjaman modal. Tapi Syapril belum berani karena khawatir tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut.
Kendati demikian, putra asli Lampung ini tetap menekuni profesinya sebagai seniman dan perajin, sebagai bagian kepeduliannya melestarikan budaya nenek moyang. Ia berharap masyarakat dan pemerintah daerah ikut terpanggil melestarikan budaya lokal di tengah hiruk-pikuknya budaya global. n
Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 03 Januari 2007
January 14, 2007
Hutan Hilang, Tanah Merekah
Semak dan ilalang kering yang tumbuh di sepanjang tepi jalan membuat siang yang panas semakin terik dan kering. Fatamorgana yang berupa bayangan air di permukaan jalan, menjadi pemandangan di sepanjang jalan yang mengitari tepi Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Beberapa waktu lalu, hampir 250 hektar lahan kering bekas pemukiman di kawasan itu terbakar. Di tempat lain, di kaki Gunung Betung, ratusan hektar hutan mulai tandus. Pohon-pohon tak lagi berdaun, tanah mulai pecah-pecah rumput-rumput hutan pun mulai layu dan mati.
Lampung yang kawasannya didominasi perbukitan mulai kehilangan pohon-pohon besar. Bukit-bukit lain di seputar Bandar Lampung juga tak luput dari penjarahan dan penggerusan. Bahkan, pada awal Juni lalu, sebuah bukit yang letaknya di pinggiran Kota Bandar Lampung, Bukit Kunyit, longsor.
Ribuan ton batu runtuh dan menimbun perkampungan penambang batu yang berada di bawahnya. Tercatat, tak satu pun korban jiwa jatuh dalam bencana itu.
Meskipun demikian, ratusan juta rupiah lenyap, karena rumah berikut harta benda yang ada di dalamnya hancur tak bersisa dilumat bongkahan karang.
Perlahan-lahan kondisi perbukitan dan hutan di kawasan Lampung hancur. Perambahan hutan, penggerusan, serta perluasan permukiman dan perladangan terus-menerus menggerogoti hutan Lampung. Mirip sel kanker yang melumat paru-paru, meski pelan namun berakibat fatal.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Edy Suryadi mengungkapkan, lebih dari 70 persen hutan di kawasan Lampung rusak. Bahkan, ada kawasan hutan yang saat ini sudah tidak lagi memiliki tegakan atau tak lagi berpohon, alias hancur. Akibatnya, banyak fungsi hutan hilang.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik, Lampung memiliki hutan sebanyak 1.237.208 hektar. Kawasan itu terbagi menjadi 336.100 hektar hutan lindung, 294.050 hektar hutan suaka alam dan hutan wisata, 44.120 hektar hutan produksi terbatas, 281.029 hekar hutan produksi tetap, 153.459 hektar hutan produksi yang dapat dikonservasi, dan 128.450 hektar hutan fungsi khusus yang diperuntukkan sebagai pusat pelatihan gajah di Way Kambas.
Sayangnya, sebagian besar kawasan itu hilang dalam proses transmigrasi era pembangunan lima tahun (Pelita) di masa Orde Baru lalu. Ledakan pendatang serta kurangnya pemahaman mereka terhadap status tanah, serta didorong keinginan memiliki tanah garapan, mereka kemudian masuk ke kawasan hutan. Mereka menganggap hutan merupakan tanah yang tidak bertuan. Nyaris sebanyak 145.000 hektar hutan rusak karena dirambah.
Akibatnya, kerusakan fisik hutan menimbulkan dampak sosial yang sulit dipecahkan. Para perambah itu kemudian ditata lagi, sebab kehadiran mereka tentu membahayakan fungsi hutan sebagai paru-paru alam, daerah tangkapan air, serta menjadi cadangan air ketika musim kering melanda.
SEKARANG ini, sungguh terasa betapa beratnya kehilangan hutan. Ratusan hektar bahkan ribuan hektar sawah kering tak berair. Musim kemarau yang panjang membuat semua sumber air seolah mati. Mengenaskan, padi yang baru berumur sebulan mati kering. Jagung yang baru berumur setengah bulan pun turut kering, dan terpaksa dijual kepada pemilik sapi untuk pakan ternak.
Hancurnya hutan menyebabkan kehidupan petani makin sulit. Hal itu disebabkan irigasi teknis yang mengandalkan sumber air dari kawasan hutan dan perbukitan turut mengering. Penyebabnya, mata air di hutan mati seiring hancurnya pepohonan yang tumbuh di atasnya. Tak ada lagi peneduh dan pelindung mata air itu.
"Lihat saja, Mas, di atas sana pohon-pohonnya sudah tidak ada lagi. Kalau ada, juga sudah mulai mati. Mana bisa ada air di situ," papar Suyanto, petani asal Desa Bulukwangi, Gadingrejo, Tanggamus. Bukit-bukit yang ada di seberang desanya sudah kering.
Seorang dosen dan ahli ilmu lingkungan dari Universitas Lampung, KES Manik, membenarkan, sebanyak 65 persen kawasan hutan yang merupakan daerah tangkapan air rusak berat. Akibatnya, ketika musim kemarau, sumber air di kawasan itu mengering.
Padahal, hutan di Lampung merupakan sumber utama cadangan air bagi tiga daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Way Sekampung, DAS Way Seputih, dan DAS Way Tulang Bawang. Ketiga DAS tersebut berhulu di kawasan Pegunungan Bukit Barisan Selatan yang berada di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat.
Way Sekampung memiliki panjang 256 kilometer, dengan kawasan tangkapan air seluas 5.675 kilometer persegi. Way Seputih yang panjangnya mencapai 249 kilometer memiliki daerah tangkapan air seluas 7.550 kilometer persegi, dan Way Tulang Bawang yang panjangnya 136 kilometer memiliki daerah tangkapan air seluas 10.150 kilometer persegi.
Manik mengemukakan, kondisi hutan yang berada di kawasan tangkapan air Way Sekampung amat berpengaruh pada umur teknis Waduk Batutegi yang berada di hulu Way Sekampung. Waduk itu, selain digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan pariwisata, ternyata juga diproyeksikan untuk irigasi bagi pengembangan sawah seluas 60.000 hektar di Kabupaten Lampung Tengah.
Way Seputih juga memiliki fungsi serupa, yaitu untuk mengairi sawah sekitar 20.000 hektar yang tersebar di daerah Bandarjaya dan sekitarnya. Way Tulang Bawang juga memiliki fungsi yang sama, bahkan sebaran anak sungai Way Tulang Bawang menjadi sumber irigasi bagi wilayah Lampung Barat, Lampung Utara, dan Way Kanan.
Kajian yang dilakukan Manik menunjukkan, kerusakan wilayah tangkapan air di tiga DAS tersebut ditunjukkan oleh besar fluktuasi debit air sungai antara musim kemarau dan musim hujan. Menurut Manik, debit air Way Sekampung pada musim kemarau hanya mencapai enam meter kubik per detik, sedangkan pada musim hujan mencapai 237 meter kubik per detik.
Manik mencatat, selain kerusakan hutan, petani masih belum melakukan tindakan konservasi tanah dalam pengelolaan usaha taninya. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 08 September 2003
Kopi, Lada, dan Petani Lampung
Jika dibandingkan dengan volume ekspor kopi pada bulan sebelumnya, jumlah itu naik sebesar 13,46 persen. Komoditas ini memang menjadi komoditas andalan Lampung, selain lada hitam yang memang sejak zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya telah menjadi komoditas unggulan.
Bahkan, hingga saat ini kopi produksi Lampung masih mendominasi ekspor kopi Indonesia. Setidaknya sekitar 50 persen ekspor kopi Indonesia berasal dari Lampung. Hingga akhir 2002, misalnya, tercatat ekspor kopi Indonesia mencapai 283.711 ton dengan nilai ekspor 240 juta dollar AS. Sebanyak 196.038 ton dari total volume ekspor itu berasal dari Lampung.
Namun sayang, saat ini, kondisi yang bagus itu belum banyak dirasakan para petani. Harga kopi amat ditentukan oleh pasar dunia. Apalagi saat ini serbuan kopi Vietnam membuat harga kopi tak bergerak lebih dari Rp 4.900 per kilogram.
Hal itu tentu berpengaruh pada kinerja petani kopi di Lampung yang mengelola lahan 135.202 hektar, dengan total produksi rata-rata 150.193 ton per tahun. Populasi tegakan per hektar terbanyak berada di Kabupaten Lampung Barat, rata-rata 2.186 pohon per hektar dengan jumlah pohon yang berproduksi 1.610 pohon per hektar.
Semua kebun itu dikelola oleh petani dengan sistem budidaya dan permodalan yang terbatas. Padahal, beberapa jenis kopi robusta yang ditanam petani Lampung merupakan jenis unggulan yang dimereka kembangkan sendiri. Namun, pada umumnya produktivitas tanaman kopi itu masih rendah dengan kualitas kopi yang beragam.
"Meskipun ada petani yang mampu menghasilkan dua hingga tiga ton per hektar, rata-rata hasil kopi Lampung sebanyak 900 kilogram per hektar," papar Humas Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Azischan Satib.
Jika harga dasar kopi hanya berkisar Rp 4.900 per kilogram, tidak banyak yang diperoleh petani untuk mengelola lahan kebunnya. Apalagi harga kopi di pasar dunia sangat fluktuatif, bahkan tak jarang anjlok tajam.
Kondisi itu berbeda jauh dengan petani Vietnam yang mampu menghasilkan lebih dari delapan ton kopi per hektar. Mereka masih mampu memperoleh pendapatan yang lumayan lantaran produktivitas mereka tinggi.
Dari hasil taksasi yang dilakukan AEKI dan Dinas Perkebunan di Lampung diketahui bahwa total produksi kopi robusta Lampung mencapai 141.734,694 ton, dengan tingkat produktivitas berkisar antara 451,20-1.561,48 kilogram atau rata-rata 900 kilogram per hektar. Hasil itu diperoleh dari tingkat produksi sebesar 0,46-0,97 kilogram atau sekitar 0,748 kilogram per pohon.
Produktivitas yang kurang optimal itu disebabkan jumlah tegakan per hektar masih dianggap kurang. Per pohon hanya terdapat sembilan hingga 26 cabang produktif, dengan jumlah dompolan buah berkisar antara tiga hingga 14 dompol buah. Rata-rata tiap dompol buah berisi 5-28 butir buah kopi.
Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Lampung Suryono mengungkapkan, tanaman kopi yang dimiliki rakyat rata-rata bukanlah tanaman utama. Mereka kebanyakan memiliki pohon kopi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, dan berada di tempat yang jauh dari pemukiman.
"Mereka kadang-kadang saja menjenguk kebun itu. Tentu saja mereka mengelolanya dengan kurang optimal, apalagi harga kopi saat ini kurang bagus sehingga membuat mereka lebih enggan untuk mengolahnya," papar Suryono.
Hal serupa juga terjadi pada para petani lada. Hasil bumi yang menjadi bagian dari lambang Provinsi Lampung itu kini perlahan-lahan kehilangan pamornya. Sebagai gambaran perbandingan, tempo dulu petani lada yang memiliki lebih dari 5.000 batang atau sekitar tiga hektar lada termasuk kategori warga berkecukupan.
Mereka dikenal sebagai orang kaya dan diperhitungkan di kampungnya. Dengan 5.000 batang lada mereka juga mampu menyekolahkan anak ke HIS, sekolah dasar lanjutan pada masa Kolonial Belanda. Artinya 5.000 batang lada membuat gengsi mereka di mata masyarakat naik.
"Mereka mampu membeli sepatu kulit merek Robinson dengan setelan jas putih, yang tiap kali harus dijinjing ketika melewati jalan desa yang berlumpur," tutur Anshori Djausal, pemerhati budaya Lampung. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2003
Transmigrasi dan Kearifan Tradisional Lampung
TUTUR, petani asal Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus, Lampung, mengungkapkan, sudah tidak ada lagi para pendahulu mereka yang merupakan bagian awal proyek kolonisasi Belanda. "Generasi itu sudah punah," papar Tutur.
KALAUPUN masih ada, sulit untuk menemukannya lagi. Bahkan, tampaknya sudah tidak ada lagi jejak-jejak fisik dari sejarah kolonisasi tersebut. Kalaupun ada yang tersisa adalah kota kecamatan dan wilayah bekas kolonisasi yang dinamai dengan nama-nama daerah asal peserta kolonisasi itu. Ada Desa Yogyakarta, Mataram, Bantul, Sidodadi, Sidomulyo, Surabaya, Purbolinggo, dan Jembrana.
Tak sulit menemukan para anak keturunan mereka. Sayangnya, mereka sudah tidak mengingat lagi masa-masa awal itu. Tutur misalnya, tak lagi ingat masa kecilnya. Setahunya, ia lahir di Lampung dan menganggap Lampung sebagai kampung halamannya, bukan Kedu di Jawa Tengah, tempat asal bapaknya.
Mereka pun masih fasih berbahasa Jawa, karena bahasa itu masih terus dipakai. Hingga di desa-desa di pelosok Lampung masih mudah ditemukan orang menggunakan bahasa itu. Meskipun demikian, mereka pun cukup fasih berbicara dalam bahasa Lampung.
Proses pertemuan dua budaya itu rupanya sudah berlangsung ratusan tahun. Bahkan, jauh sebelum Belanda mendatangkan penduduk baru ke Lampung di masa kolonisasi tahun 1905.
Ketika masa kejayaan bahari Nusantara ratusan tahun silam, Lampung telah menjadi tempat berlabuh bagi pelaut-pelaut asal Majapahit, Malaka, Banten, dan Bugis. Di Bandar Lampung ada sebuah kawasan yang bernama Bone, lantaran kawasan itu turun-temurun ditempati oleh warga Bugis, selain warga Lampung sendiri.
Transmigrasi paling masif di Lampung diselenggarakan pada masa Kolonial Belanda. Kala itu, Belanda hendak memperluas wilayah perkebunannya ke luar Jawa.
Tahun 1905, kala itu Lampung masih berstatus karesidenan, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan sebanyak 155 keluarga asal desa Bagelen, Kedu, Jawa Tengah, ke Lampung. Mereka ditempatkan di kawasan Gedongtataan, Lampung Selatan.
Pemindahan pertama yang dilakukan hingga tahun 1911 itu sepenuhnya dibiayai oleh Belanda. Para transmigran memperoleh bahan makanan dan berbagai perabot rumah tangga seperti piring, mangkuk, meja, dan kursi dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Program yang merupakan bagian dari politik balas budi Belanda itu, sebenarnya diarahkan untuk mendukung upaya Belanda mengelola tanah perkebunan di Lampung. Program itu dilanjutkan hingga tahun 1942. Para transmigran awal itu ditempatkan di kawasan Gedongtataan, Gadingrejo, Wonosobo di Lampung Selatan, serta di kawasan Metro, Sekampung, Trimurjo, dan Batanghari di Lampung Tengah.
"Belajar dari pengalaman di Deli dan Medan, Belanda mulai mengirim orang Jawa ke Lampung. Wilayah ini memiliki potensi dan luas, tetapi penduduknya sedikit," papar Anshori Djausal, seorang pemerhati budaya dan adat Lampung.
Kala itu jumlah penduduk di Medan sudah mencapai lebih dari satu juta orang, sedangkan di Lampung masih kurang dari 150.000 orang. "Sejak dulu orang Lampung memang sedikit, padahal Lampung ini luas sekali," papar Anshori.
Untuk mengelola tanah yang luas itulah program transmigrasi Belanda diarahkan juga ke Lampung. Ketika Jepang berkuasa, mereka mengirim warga asal Jawa ke kawasan yang dinamakan Toyosawa yang kini dikenal sebagai Kecamatan Purbolinggo di Kabupaten Lampung Tengah. Proses yang disebut dengan kokuminggakari itu merupakan proses pengiriman romusa yang dimanfaatkan sebagai kuli kerja paksa.
Proses pengiriman itu kemudian berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1950 mulai menggalakkan transmigrasi, salah satunya ke Lampung. Kawasan yang dipandang berpotensi dan sedikit penduduknya itu patut dikembangkan dengan mengirimkan warga baru ke sana.
Dengan pola pendekatan pembangunan, Pemerintah Indonesia mengirim sebanyak 23 keluarga asal Kedu, Jawa Tengah, dan ditempatkan di Sukadana, Lampung Tengah. Penyelenggara transmigrasi awal itu juga beraneka rupa mulai dari Polri dan TNI, Dinas Sosial dengan program Trans Tuna Karya dan Trans Bencana Alam serta Trans Pramuka. Pada periode tahun 1950-1969 perpindahan penduduk ke Lampung mencapai 53.263 keluarga atau sebanyak 221.035 jiwa.
Memasuki era Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Lampung mendapat lagi tambahan penduduk sebanyak 22.362 kepala keluarga asal Jawa, Madura, dan Bali. Salah satu efek samping proses pengiriman itu adalah migrasi berantai yang menyebabkan ledakan pendatang.
Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2003