Oleh Budisantoso Budiman
KASUS kekerasan dialami para jurnalis yang masih saja terus terjadi, menimbulkan keprihatinan kalangan organisasi pers dan para wartawan di Indonesia.
Berkaitan tindak kekerasan terhadap para jurnalis itu, organisasi pers seperti PWI, AJI maupun IJTI dan komunitas pers di sejumlah daerah mengecam keras, serta menuntut pelakunya untuk diproses hukum lebih lanjut.
AJI Indonesia mengecam berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia, dan mendesak pihak berwenang segera mengusut pelakunya, sehingga dapat dihukum secara setimpal.
Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni G, dalam pernyataan sikap atas kasus kekerasan terhadap jurnalis itu, menyebutkan sejak Januari hingga Mei, telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Kekerasan terhadap jurnalis itu, menurut Eko, masih terus berulang karena negara juga terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada Selasa (29/5), saat puluhan oknum prajurit TNI Angkatan Laut di Padang, Sumatera Barat memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis di kawasan Bukitlampu, Kelurahan Sungai Baremas, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, Selasa.
Aksi kekerasan itu melukai tujuh jurnalis, yaitu Budi Sunandar (jurnalis Global TV), Sy Ridwan (fotografer Padang Ekspres), Jamaldi (jurnalis Favorit Televisi), Andora Khew (jurnalis SCTV), Julian (jurnalis Trans 7), Afriandi jurnalis Metro TV), dan Deden (jurnalis Trans TV).
Para pelaku yang oknum TNI AL itu, juga merusak dan merampas peralatan kerja para jurnalis dimaksud yang sedang melakukan tugas liputan berkaitan penertiban lokasi yang ditengarai tempat mesum di sana.
Diduga, tempat mesum itu selama ini beroperasi dengan "dibekingi" oknum TNI AL di daerah itu.
Pada hari itu, juga terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Jurnalis Harian Kompas, Reny Sri Ayu, dan jurnalis Harian Mercusuar, Moechtar Mahyuddin, saat meliput antrean warga di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Bungku.
Keduanya dikeroyok sejumlah orang yang diduga ikut antre untuk membeli bahan bakar minyak dengan jeriken.
Sebelumnya, pada Senin (28/5), terjadi perampasan kamera jurnalis Batam TV, Bagong Sastra Negara yang meliput kelangkaan bahan bakar minyak di Kota Batam.
Perampasan kamera oleh seseorang berpakaian berseragam mirip tentara itu, terjadi di SPBU Simpang Tobing, Kota Batam.
Pada Rabu (23/5) lalu, jurnalis Harian Bongkar di Lampung, Darwis Yusuf (52), diduga telah dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Utara, Kadarsyah.
Pembacokan itu, diduga terkait pemberitaan Harian Bongkar mengenai dugaan penipuan proyek dan penyalahgunaan anggaran pembuatan kolam senilai Rp3,4 miliar yang terletak di lahan warga di Kecamatan Abung Surakarta, Kabupaten Lampung Utara.
Bahu Darwis mengalami luka dan mendapatkan 23 jahitan, sehingga harus mendapatkan perawatan di RSUD Ryacudu Kotabumi, Lampung Utara.
Kini, Kadarsyah telah menyerahkan diri ke Polres Lampung Utara, namun dia tidak ditahan karena polisi menilai yang bersangkutan kooperatif dan tidak akan melarikan diri.
Rentetan Kasus Kekerasan Menurut AJI Indonesia, kasus-kasus itu melengkapi deretan panjang tindak kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya dan sampai saat ini masih saja terjadi di negeri ini.
AJI Indonesia mencatat, sejak Januari hingga Mei 2012 telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Para pelakunya, menurut Eko Maryadi, meliputi oknum polisi (lima kasus), anggota dewan perwakilan rakyat daerah (tiga kasus), pegawai negeri sipil pemerintah daerah (tiga kasus), oknum TNI (dua kasus), organisasi kemasyakatan (dua kasus), organisasi kemahasiswaan (satu kasus), massa/warga (dua kasus), petugas keamanan perusahaan (satu kasus), dan pelaku merupakan orang tidak dikenal (satu kasus).
"Kasus kekerasan terhadap jurnalis selalu berulang, karena negara melalui aparat penegak hukumnya terus melakukan praktik impunitas yang membuat para pelaku tidak tersentuh hukum. Akibatnya, tidak ada efek jera. Semakin lama, orang menjadi semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi," kata Aryo Wisanggeni G, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia.
Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi, menurut dia, merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan itu, adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), dan Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003).
Kemudian, Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nanggroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra�is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).
"Jika kasus pembunuhan jurnalis saja diabaikan, apalagi kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kekerasan akan takut memberikan informasi yang utuh kepada masyarakat. Itu berarti mengancam hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi merugikan publik dan setiap warga negara," kata Aryo lagi.
Karena itu, AJI Indonesia mendesak aparat penegak hukum, baik di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia maupun Tentara Nasional Indonesia, untuk menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
AJI Indonesia menuntut para pelaku itu diadili dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum, kata dia pula.
Menurut informasi, sebanyak 11 oknum marinir yang diduga melakukan tindak kekerasan telah ditahan dan diproses oleh pihak Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) II Padang, menyusul aksi aksi para wartawan setempat ke DPRD Sumbar, Rabu siang.
Di Lampung, PWI setempat juga telah melaporkan kasus dugaan penimbunan BBM bersubsidi diduga dilakukan oknum aparat kepolisian dan marinir, berakibat tindak kekerasan dialami jurnalis dari Bandarlampungnews.com di Kabupaten Pesawaran.
PWI dan AJI Bandarlampung juga telah mendesak pihak kepolisian segera mengusut dan memproses hukum pejabat yang diduga melakukan tindak kekerasan, bahkan sampai melukai jurnalis berkaitan dengan tugas jurnalistik yang dilaksanakan para wartawan di daerahnya itu.
Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, menyatakan prihatin atas terus terjadi tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, termasuk yang terjadi di Lampung.
Dia berharap, kalangan jurnalis dapat lebih mengedepankan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik dan mematuhi aturan hukum yang berlaku saat menjalankan tugas sehari-hari, agar tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Namun Wakos juga minta, semua pihak dapat menghargai profesi jurnalis dan menghormati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga setiap kali terjadi dugaan pelanggaran dilakukan para wartawan atau media massa yang merugikan kepentingan para pihak, dapat menggunakan jalur mediasi, memakai hak jawab, menyampaikan somasi, atau mengadukannya ke Dewan Pers untuk diproses lebih lanjut.
"Siapa pun tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan media massa, dengan motif apa pun, tapi bila ada oknum wartawan atau media massa yang dinilai salah atau merugikan, sebaiknya ikuti aturan mekanisme penyelesaian dengan cara yang baik-baik menggunakan hak jawab, menyampaikan keberatan atau somasi, dan atau melaporkannya ke Dewan Pers," kata Wakos lagi.
Dia juga minta pihak lain yang dirugikan oleh ulah oknum wartawan maupun mereka yang mengatasnamakan wartawan, tapi melakukan tindakan pengancaman, bahkan meminta sejumlah uang atau fasilitas, atau memeras narasumber dan pihak lain, hendaknya tidak ragu dan tak perlu takut untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian agar dapat diproses hukum lebih lanjut.
"Wartawan yang melakukan pengancaman, minta uang dan fasilitas tertentu atau memeras, bukanlah jurnalis profesional sehingga tidak bisa berlindung di balik kebebasan pers maupun UU Pokok Pers. Mereka harus diproses oleh polisi karena telah melanggar hukum," ujar Wakos.
Kalangan advokat di Lampung juga mengingatkan pimpinan media massa, organisasi pers maupun jurnalis, agar ketika menghadapi kasus sebagai korban tindak kekerasan itu, tidak mudah begitu saja diajak pihak pelaku untuk berdamai, tanpa kejelasan penyelesaian hukum atas kasus kekerasan itu.
Bila setiap tindak kekerasan nonfisik, fisik, apalagi sampai melukai dan mencederai, bahkan membunuh wartawan, dibiarkan berakhir damai--atau cenderung diabaikan penyelesaian hukumnya--hampir pasti kasus kekerasan terhadap para jurnalis itu masih akan terus terjadi dan terjadi lagi.
Profesi jurnalis kendati sudah 14 tahun menghirup iklim kebebasan pers pada era reformasi di negeri demokratis ini, kenyataannya tetap berisiko tinggi.
Para jurnalis yang menjadi mata dan telinga untuk publik itu, terus saja menghadapi berbagai ancaman dari pihak lain yang tidak menyukai pers yang merdeka, independen, objektif dan kritis.
Pelaku kekerasan terhadap pers, bisa saja individual atau "sekelompok" orang (oknum) dari institusi tertentu yang biasanya memiliki kekuatan kekuasaan, uang atau massa.
Nasib sebagai jurnalis di negeri ini, masih tetap akan dibayang-bayangi ketakutan atas ancaman menjadi korban tindak kekerasan, entah sampai kapan akan dapat berakhir.
Sumber: Antara, Kamis, 31 Mei 2012
KASUS kekerasan dialami para jurnalis yang masih saja terus terjadi, menimbulkan keprihatinan kalangan organisasi pers dan para wartawan di Indonesia.
Berkaitan tindak kekerasan terhadap para jurnalis itu, organisasi pers seperti PWI, AJI maupun IJTI dan komunitas pers di sejumlah daerah mengecam keras, serta menuntut pelakunya untuk diproses hukum lebih lanjut.
AJI Indonesia mengecam berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia, dan mendesak pihak berwenang segera mengusut pelakunya, sehingga dapat dihukum secara setimpal.
Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni G, dalam pernyataan sikap atas kasus kekerasan terhadap jurnalis itu, menyebutkan sejak Januari hingga Mei, telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Kekerasan terhadap jurnalis itu, menurut Eko, masih terus berulang karena negara juga terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada Selasa (29/5), saat puluhan oknum prajurit TNI Angkatan Laut di Padang, Sumatera Barat memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis di kawasan Bukitlampu, Kelurahan Sungai Baremas, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, Selasa.
Aksi kekerasan itu melukai tujuh jurnalis, yaitu Budi Sunandar (jurnalis Global TV), Sy Ridwan (fotografer Padang Ekspres), Jamaldi (jurnalis Favorit Televisi), Andora Khew (jurnalis SCTV), Julian (jurnalis Trans 7), Afriandi jurnalis Metro TV), dan Deden (jurnalis Trans TV).
Para pelaku yang oknum TNI AL itu, juga merusak dan merampas peralatan kerja para jurnalis dimaksud yang sedang melakukan tugas liputan berkaitan penertiban lokasi yang ditengarai tempat mesum di sana.
Diduga, tempat mesum itu selama ini beroperasi dengan "dibekingi" oknum TNI AL di daerah itu.
Pada hari itu, juga terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Jurnalis Harian Kompas, Reny Sri Ayu, dan jurnalis Harian Mercusuar, Moechtar Mahyuddin, saat meliput antrean warga di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Bungku.
Keduanya dikeroyok sejumlah orang yang diduga ikut antre untuk membeli bahan bakar minyak dengan jeriken.
Sebelumnya, pada Senin (28/5), terjadi perampasan kamera jurnalis Batam TV, Bagong Sastra Negara yang meliput kelangkaan bahan bakar minyak di Kota Batam.
Perampasan kamera oleh seseorang berpakaian berseragam mirip tentara itu, terjadi di SPBU Simpang Tobing, Kota Batam.
Pada Rabu (23/5) lalu, jurnalis Harian Bongkar di Lampung, Darwis Yusuf (52), diduga telah dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Utara, Kadarsyah.
Pembacokan itu, diduga terkait pemberitaan Harian Bongkar mengenai dugaan penipuan proyek dan penyalahgunaan anggaran pembuatan kolam senilai Rp3,4 miliar yang terletak di lahan warga di Kecamatan Abung Surakarta, Kabupaten Lampung Utara.
Bahu Darwis mengalami luka dan mendapatkan 23 jahitan, sehingga harus mendapatkan perawatan di RSUD Ryacudu Kotabumi, Lampung Utara.
Kini, Kadarsyah telah menyerahkan diri ke Polres Lampung Utara, namun dia tidak ditahan karena polisi menilai yang bersangkutan kooperatif dan tidak akan melarikan diri.
Rentetan Kasus Kekerasan Menurut AJI Indonesia, kasus-kasus itu melengkapi deretan panjang tindak kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya dan sampai saat ini masih saja terjadi di negeri ini.
AJI Indonesia mencatat, sejak Januari hingga Mei 2012 telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Para pelakunya, menurut Eko Maryadi, meliputi oknum polisi (lima kasus), anggota dewan perwakilan rakyat daerah (tiga kasus), pegawai negeri sipil pemerintah daerah (tiga kasus), oknum TNI (dua kasus), organisasi kemasyakatan (dua kasus), organisasi kemahasiswaan (satu kasus), massa/warga (dua kasus), petugas keamanan perusahaan (satu kasus), dan pelaku merupakan orang tidak dikenal (satu kasus).
"Kasus kekerasan terhadap jurnalis selalu berulang, karena negara melalui aparat penegak hukumnya terus melakukan praktik impunitas yang membuat para pelaku tidak tersentuh hukum. Akibatnya, tidak ada efek jera. Semakin lama, orang menjadi semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi," kata Aryo Wisanggeni G, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia.
Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi, menurut dia, merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan itu, adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), dan Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003).
Kemudian, Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nanggroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra�is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).
"Jika kasus pembunuhan jurnalis saja diabaikan, apalagi kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kekerasan akan takut memberikan informasi yang utuh kepada masyarakat. Itu berarti mengancam hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi merugikan publik dan setiap warga negara," kata Aryo lagi.
Karena itu, AJI Indonesia mendesak aparat penegak hukum, baik di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia maupun Tentara Nasional Indonesia, untuk menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
AJI Indonesia menuntut para pelaku itu diadili dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum, kata dia pula.
Menurut informasi, sebanyak 11 oknum marinir yang diduga melakukan tindak kekerasan telah ditahan dan diproses oleh pihak Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) II Padang, menyusul aksi aksi para wartawan setempat ke DPRD Sumbar, Rabu siang.
Di Lampung, PWI setempat juga telah melaporkan kasus dugaan penimbunan BBM bersubsidi diduga dilakukan oknum aparat kepolisian dan marinir, berakibat tindak kekerasan dialami jurnalis dari Bandarlampungnews.com di Kabupaten Pesawaran.
PWI dan AJI Bandarlampung juga telah mendesak pihak kepolisian segera mengusut dan memproses hukum pejabat yang diduga melakukan tindak kekerasan, bahkan sampai melukai jurnalis berkaitan dengan tugas jurnalistik yang dilaksanakan para wartawan di daerahnya itu.
Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, menyatakan prihatin atas terus terjadi tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, termasuk yang terjadi di Lampung.
Dia berharap, kalangan jurnalis dapat lebih mengedepankan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik dan mematuhi aturan hukum yang berlaku saat menjalankan tugas sehari-hari, agar tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Namun Wakos juga minta, semua pihak dapat menghargai profesi jurnalis dan menghormati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga setiap kali terjadi dugaan pelanggaran dilakukan para wartawan atau media massa yang merugikan kepentingan para pihak, dapat menggunakan jalur mediasi, memakai hak jawab, menyampaikan somasi, atau mengadukannya ke Dewan Pers untuk diproses lebih lanjut.
"Siapa pun tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan media massa, dengan motif apa pun, tapi bila ada oknum wartawan atau media massa yang dinilai salah atau merugikan, sebaiknya ikuti aturan mekanisme penyelesaian dengan cara yang baik-baik menggunakan hak jawab, menyampaikan keberatan atau somasi, dan atau melaporkannya ke Dewan Pers," kata Wakos lagi.
Dia juga minta pihak lain yang dirugikan oleh ulah oknum wartawan maupun mereka yang mengatasnamakan wartawan, tapi melakukan tindakan pengancaman, bahkan meminta sejumlah uang atau fasilitas, atau memeras narasumber dan pihak lain, hendaknya tidak ragu dan tak perlu takut untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian agar dapat diproses hukum lebih lanjut.
"Wartawan yang melakukan pengancaman, minta uang dan fasilitas tertentu atau memeras, bukanlah jurnalis profesional sehingga tidak bisa berlindung di balik kebebasan pers maupun UU Pokok Pers. Mereka harus diproses oleh polisi karena telah melanggar hukum," ujar Wakos.
Kalangan advokat di Lampung juga mengingatkan pimpinan media massa, organisasi pers maupun jurnalis, agar ketika menghadapi kasus sebagai korban tindak kekerasan itu, tidak mudah begitu saja diajak pihak pelaku untuk berdamai, tanpa kejelasan penyelesaian hukum atas kasus kekerasan itu.
Bila setiap tindak kekerasan nonfisik, fisik, apalagi sampai melukai dan mencederai, bahkan membunuh wartawan, dibiarkan berakhir damai--atau cenderung diabaikan penyelesaian hukumnya--hampir pasti kasus kekerasan terhadap para jurnalis itu masih akan terus terjadi dan terjadi lagi.
Profesi jurnalis kendati sudah 14 tahun menghirup iklim kebebasan pers pada era reformasi di negeri demokratis ini, kenyataannya tetap berisiko tinggi.
Para jurnalis yang menjadi mata dan telinga untuk publik itu, terus saja menghadapi berbagai ancaman dari pihak lain yang tidak menyukai pers yang merdeka, independen, objektif dan kritis.
Pelaku kekerasan terhadap pers, bisa saja individual atau "sekelompok" orang (oknum) dari institusi tertentu yang biasanya memiliki kekuatan kekuasaan, uang atau massa.
Nasib sebagai jurnalis di negeri ini, masih tetap akan dibayang-bayangi ketakutan atas ancaman menjadi korban tindak kekerasan, entah sampai kapan akan dapat berakhir.
Sumber: Antara, Kamis, 31 Mei 2012