July 22, 2012

Menghidupkan Kembali Mamak Kenut

Oleh Anastasia Gustiarini


SUATU malam, terjadi perbincangan seru antara Udo Z. Karzi dan beberapa orang tentang tradisi belangir yang baru saja digelar Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).

BUKU 'MAMAK KENUT'. Buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi, jurnalis dan sastrawan Lampung (kiri) diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu (14-7). Buku ini dibahas oleh budayawan Iwan Nurdaya-Djafar (tengah) dan Iswadi Pratama (kanan). ISTIMEWA

Pembicaraan lebih didominasi Udo. Dia langsung mengkritik acara mandi bersama di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, ini. Ia menilai belangir yang digelar "dengan sponsor" itu sudah menyimpang dari esensi tradisi menyucikan diri menjelang Ramadan.

Dia pun mempertanyakan mengapa belangiran dicampur antara perempuan dan laki-laki, padahal bukan muhrim? Orang Lampung dahulu, mandi di kali, memisahkan diri antara perempuan dan laki-laki. Ada tempat sendiri-sendiri.

"Masak perempuan dimandikan laki-laki yang bukan muhrimnya, tradisi apa itu? Bulan puasa yang seharusnya menyucikan rohani justru diisi dengan acara yang jauh dari ajaran Islam yang memang lekat dengan orang Lampung," katanya.

Ocehan dan sindiran khas Udo mengalir begitu saja. Orang sekitarnya pun hanya mendengar. Barangkali jika sindiran tentang belangiran ditulis, sudah bisa menjadi satu esai untuk mengisi kolom di Lampung Post, tempatnya bekerja.

Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi, memang menjadi salah satu jurnalis yang produktif menulis kolom. Dan, baru-baru ini pun dia melahirkan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang berisi 101 kolom yang dimuat di Nuansa Lampung Post 2002—2004. Buku yang yang diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, ini diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, 14 Juli lalu.

Lewat tokoh-tokoh dalam tulisannya, Udo menyampaikan kritik atas berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Lewat karakter Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur; sentilan, candaan, sindiran, hingga kritik yang sangat pedas dan menohok mengalir deras.

Apa yang disampaikan secara lisan oleh Udo, hampir sama dengan apa yang dia sampaikan melalui tulisan kolomnya. Begitulah gaya udo menyampaikan kegelisahan dan kekhawatirannya. Lisan dan tulisannya begitu padat dan hidup.

Seperti apa yang disampaikan Djadjat Sudradjat, membaca Mamak Kenut terasa kental jejak tradisi lisan (orality tradition). Dialog yang ringan dengan bahasa sehari-hari, kebiasaan celoteh yang memang hidup di bumi Sumatera khususnya dan nusantara umumnya.

Kolom Udo yang berisi dialog—terkadang monolog dan senandika—di antara Mamak Kenut dan beberapa rekannya yang lain memang kental dengan tradisi lisan Lampung. Obrolan ringan dan santai tentang permasalahan sosial-politik. "Udo ingin menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung, warahan, yang sudah mulai dilupakan. Udo berupaya untuk menyelamatkan spirit warahan dalam kehidupan saat ini," tulis Djadjat dalam pengantarnya di buku ini.

Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lampung sering diselipkan dalam beberapa dialog guna menunjukkan kekhasan obrolan ringan-ringan kelas bawah orang Lampung. Misalnya, induh mak pandai (entah tidak tahu), api maksudni (apa maksudnya). Sisipan ini untuk menguatkan karakter tokoh yang berdialog dan mengentalkan Lampung-nya.

Tokoh yang dipinjam Udo, Mamak Kenut, pun sebenarnya karakter yang sudah lama dikenal masyarakat Lampung. Tokoh ini seperti Kabayan di Jawa Barat atau Abu Nawas dalam kisah Seribu Satu Malam. Dia ingin menghidupkan kembali tokoh fiktif dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung.

Fachrudin M. Dani dalam blognya menulis, "Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus memopulerkan kembali tokoh khayalan ini."

Djadjat menyebut Udo sebagai generasi yang berkehendak menyelamatkan yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Karena memang ia punya hak.

Kolom Udo memang selalu kontekstual dengan kondisi pada saat tulisan itu dibuat. Peristiwa seputar pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, kasus korupsi, kondisi sosial politik di Lampung dan terkadang juga nasional menjadi bahan celoteh yang asyik di tangannya.

Kesan to the point, sangat kental dalam tulisan penyair yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 ini. Kata-katanya langsung menohok dan tanpa basa-basi. Seperti, "Tapi kok siger? Siger itu bagaimana pun lambang feminisme. Tidak maskulin. Apa enggak ada yang netral yang bisa mewakili kita semua tanpa membedakan pria dan wanita?" (hlm. 187)

Atau, "Gaji anggota DPRD yang berjumlah 45 orang dinaikkan, sementara ratusan orang yang yang biasa hidup mandiri tanpa meminta jatah PAD dan DAU, PKL dan tukang becak harus ditertibkan." (hlm. 23)

Menurut budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, kolom Udo bertolak dari semangat menyindir. Sebagai sindiran, dia tidak menggunakan perumpamaan, tetapi langsung menembak ke pokok masalah.

Seniman Iswadi Pratama menilai buku Udo merupakan bacaan ringan tapi memiliki daya usik. Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan peristiwa di sekitar yang mengusik nurani serta akal sehat. Buku Mamak Kenut ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas.

Iswadi menilai tulisan Udo mencoba menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung yang selama ini kurang mendapat tempat. Budaya lisan yang berkata sesukanya dan apa adanya ini sudah mulai ditinggalkan dan sudah jarang ditemukan di Lampung. Padahal tradisi lisan ketika diangkat dalam sebuah pentas teater banyak mendapat apresiasi.

Kita patut berbangga masih ada beberapa orang yang masih mau berkarya dengan mengangkat khazanah lokal supaya kembali dikenal dan diperbincangkan. Mengenal tradisi sangat penting supaya tahu di mana kita berasal dan apa yang hendak kita lakukan.

Sedikit banyak karakter orang Lampung terekam dalam tingkah polah dan ucapan Mamak Kenut dkk. lewat pena Udo Z. Karzi. Maka, kenalilah Mamak Kenut biar tidak cenat-cenut. n

Anastasia Gustiarini, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012

July 21, 2012

Mengais Jejak Lampung di Negeri Kincir Angin

Oleh S Pujiono dan Aryanto (PUSSbik)


Berangkat dari keinginan untuk mempelajari masa lalu tentang Lampung, Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik) belum lama ini mengirimkan dua orang utusan, Aryanto dan S Pujiono, berkunjung ke Belanda, guna mencari dan mempelajari beberapa foto, naskah, dan petunjuk lain yang berkenaan dengan Lampung tempo dulu. Catatan perjalanan penting itu, ditulis oleh keduanya berikut ini:

Kedua penulis saat di depan gedung wali kota Leiden Belanda (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Dok. PUSSbik)

Budaya Lampung memiliki sebuah medan sosial yang cukup unik dan sangat kompleks yang merupakan perpaduan dari beberapa etnis yang cukup beragam.

Bila ditarik kepada akar inti dari sejarah khususnya Lampung hingga saat ini, masih banyak versi dan misteri berkabut di baliknya.

Jejak sejarah dapat dilihat dari banyaknya peninggalan yang ada, tentunya memerlukan kajian yang lebih mendalam hingga dapat merangkai dan membentuk sebuah cerita yang jelas tentang sejarah Lampung itu. 

Demikian halnya bagi setiap keping sejarah Lampung.

Banyak kalangan, hingga saat ini mengakui tentang berserak jejak sejarah mengenai Lampung, sehingga untuk menggabungkan serpihan-serpihan jejak tersebut kadangkala mengalami kesulitan.

Hingga saat ini Lampung sangat miskin akan data-data mengenai sejarahnya sendiri.

Informasi yang diperoleh, sebagian naskah kuno dari Provinsi Lampung diketahui justru tersimpan di lembaga-lembaga asing di luar negeri.

Seperti halnya petunjuk awal yang diperoleh dari Museum Negeri "Ruwa Jurai" Provinsi Lampung, sebagian naskah-naskah kuno Lampung itu justru berada di luar negeri, seperti di Leiden (Belanda).

Berangkat dari keinginan guna mempelajari masa lalu tentang Lampung, Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik) mengirimkan dua orang utusan berkunjung ke Belanda untuk mencari dan mempelajari beberapa foto, naskah, dan petunjuk lain yang berkenaan dengan Lampung tempo dulu. 

Diharapkan, hasil yang akan diperoleh minimal dapat menyumbang beberapa petunjuk sejarah, sehingga serpihan "puzzle" yang masih kosong dapat terisi dengan adanya petunjuk baru, agar ke depan generasi penerus dapat mengetahui jejak sejarah Provinsi Lampung secara lebih jelas dan utuh.

Di samping itu, berdasarkan data Pemprov Lampung, naskah-naskah kuno ini tersebar di Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman.

Di Amsterdam, Belanda, tercatat disimpan 40 buah naskah kuno dari bahan kulit kayu, rotan, dan kertas.

Di Leiden, setidaknya ada lima buah naskah kuno yang disimpan bersama-sama koleksi dari Sumatera Selatan.

Lalu, di Inggris, disimpan sepuluh buah naskah kuno Lampung yang dikumpulkan penelitinya, MA. Jaspan.

Berbekal informasi awal yang dimiliki dan dana yang tergolong pas-pasan, kami berangkat dengan pilihan negara Belanda, untuk mencari foto Lampung tempo dulu, setelah sebelumnya melakukan korespodensi dengan pihak beberapa perpustakaan dan museum di sana.

Leiden, Belanda, wilayah berpenduduk 118 ribu jiwa yang terletak di antara Kota Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam, memperoleh predikat sebagai kota tahun 1266.

Sesuai namanya, Leiden berasal dari kata "leithon" yang berarti berada pada jalur air.

Bila berbicara mengenai Kota Leiden, hampir selalu kita mengaitkannya dengan Universitas Leiden.

Universitas ini memang menjadi ikon dan aset berharga kota tersebut, merupakan perguruan tinggi tertua di Belanda yang didirikan tahun 1575 oleh Pangeran William Orange yang dikenal sebagai Pemimpin Revolusi.

Adalah Sang Pangeran yang mengusulkan kepada Pemerintah Federal Belanda bahwa sebagai hadiah atas semangat heroik warga kota menentang invasi Spanyol, agar didirikan universitas sebagai simbol kebebasan dan pemerintahan yang berdasarkan tata hukum yang baik.

Beberapa ilmuwan kenamaan yang membawa Universitas Leiden dikenal luas di antaranya Albert Einstein yang pernah beberapa tahun bermukim di universitas tersebut, ada juga Snouck Hurgronje, dan pakar hukum adat Cornelis van Vollenhoven, juga turut mengharumkan nama universitas yang memiliki reputasi Internasional tersebut.

Yang unik dari Universitas Leiden adalah koleksi bacaan dan publikasi tentang Indonesia yang sangat lengkap.

Tidaklah berlebihan jika orang mengatakan bahwa kalau ingin belajar tentang Indonesia seseorang harus pergi ke Leiden.

Di perpustakaan Fakultas Hukum, khususnya di Van Vollenhoven Institute (VVI) dan Perpustakaan The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studie, koleksi tentang Indonesia terawat dan tertata rapi yang bisa dilacak mulai tahun 1811.

Koleksi itu berisi surat kabar pada waktu Pemerintahan Belanda di Indonesia, catatan pemerintahan dan kondisi geografis setiap Pulau (Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan), peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan (yurisprudensi), hukum adat di berbagai daerah, jurnal, tesis, dan disertasi tentang Indonesia.

Begitupula kumpulan kepustakaan sejak Kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang.

Kumpulan peraturan daerah (perda) dari berbagai provinsi di Indonesia, sampai undang-undang terbaru tahun 2007, semuanya sudah terkoleksi di sana.

Publikasi tentang Indonesia yang ada tidak hanya dalam bahasa Belanda, tetapi juga bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, termasuk komik pendidikan politik anggaran PUSSbik dengan judul "Ayoo, partisipasi. Anggaran daerah milik kita" yang dibuat pada tahun 2007, dengan kode buku M 2009 A 3783.

Di perpustakaan ini, kami berhasil menemukan kurang lebih 507 lebih foto tentang Lampung era 1860-1940, termasuk di dalamnya foto koleksi kain tapis dan pernak pernik ornamen Lampung yang dijadikan koleksi di Tropen Museum di Amsterdam. 

Namun semua koleksi tersebut tidak semuanya dapat diambil, mengingat minimnya "sangu" yang kami bawa.

Pihak perpustakaan itu, mengenakan harga untuk setiap foto yang akan diambil dan dipergunakan. Untuk satu foto dikenakan harga sebesar 6 Euro (sekitar Rp72.000).

Beberapa foto yang menarik itu, antara lain foto Teloek Betoeng tempo dulu (sekarang menjadi Kota Tanjungkarang-Telukbetung/Bandarlampung, ibu kota Provinsi Lampung) yang dimiliki perpustakaan di Leiden, menggambarkan sebuah jembatan melengkung (dikenal dengan Jembatan Beton, di kawasan Kecamatan Telukbetung Barat, Bandarlampung), dan hingga kini jembatan ini masih kokoh berdiri.

Adapula foto udara wilayah Teluk Lampung yang diabadikan tahun tahun 1930-1933, tampak tempat pelengan ikan (Ujung Bom, saat ini) masih dikelilingi dengan hamparan sawah dan Pulau Pasaran di kejauhan.

Lalu, foto kendaraan yang digunakan dengan plat nomor BE 46, digunakan oleh JH Brinkgreve Van Ir, salah satu petinggi Belanda yang bertanggungjawab dalam "proyek" daerah trasmigrasi Metro di  Lampung tahun 1935--dikenal dengan Kolonisasi.

Tersimpan pula foto sebuah sebuah keluarga di Menggala, Tulangbawang yang menggunakan pakain adat Lampung, tahun 1900.

Selain itu, salah satu contoh informasi yang diperoleh adalah tentang keterangan pembagian wilayah di daerah Lampung, berikut pengaturan tata administratifnya.

Beberapa wilayah di Provinsi Lampung pada zaman Pemerintahan Penjajah Belanda itu, dijadikan Onder Distrik.

Masing-masing Onder Distrik dikepalai oleh seorang Asisten Demang, sedangkan Distrik dikepalai oleh seorang Demang.

Sedangkan atasan dari Distrik adalah Onder Afdeling yang dikepalai oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda.

Tugas dari Asisten Demang mengkoordinir Marga yang dikepalai oleh Pesirah, dan di dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh seorang Pembarap (Wakil Pesirah), seorang juru tulis dan seorang pesuruh (opas).

Pesirah selain berkedudukan sebagai kepala marga, juga sebagai Ketua Dewan Marga.

Pesirah itu dipilih oleh Penyimbang-penyimbang Kampung dalam marganya masing-masing.

Marga terdiri dari beberapa kampung, yaitu dikepalai oleh Kepala Kampung, dan dibantu oleh beberapa Kepala Suku.

Kepala Suku diangkat dari tiap-tiap suku di kampung itu.

Sedangkan Kepala Kampung dipilih oleh penyimbang-penyimbang dalam kampung.

Pada waktu itu Kepala Kampung harus penyimbang kampung, dan kalau bukan penyimbang kampung tidak bisa diangkat, serta Kepala Kampung adalah anggota Dewan Marga.

                              Tropen Museum
Selain di Leiden, "sarang" tentang beberapa koleksi benda-benda sejarah Indonesia dan juga Lampung berada, adalah di Tropen Museum yang terletak di Amsterdam Oost [Amsterdam Timur] yang dapat dijangkau menggunakan angkutan umum, dengan jumlah tempat parkir di sekitar terbatas. Pilih antara: tram 3, 7, 9, 10, 14, bus 22 atau Canal Bus.

Museumnya terletak di salah satu gedung bersejarah yang paling bagus di Amsterdam.

Di museum ini, disimpan benda-benda yang khas dan menakjubkan dari pelosok nusantara: objek-objek etnologis, seni populer, dan seni kontemporer.

Kami sempat "ternganga" (baca: takjub) melihat koleksi yang dimiliki oleh museum ini, dari yang berbentuk kecil hingga perahu milik Suku Asmat (Papua) yang panjang ada di dalamnya.

Belum lagi beberapa keris dan mahkota raja-raja Jawa yang terbuat dari emas asli terpampang rapi di dalam kaca.

Dari museum ini, "oleh-oleh" yang kami peroleh adalah peta kuno Bandarlampung (Telok Betong) yang dibuat pada tahun 1912, dan Provinsi Lampung (1860).

Berdasarkan peta ini, kita bisa mengetahui desa-desa asli Lampung (sebelum adanya transmigrasi/kolonisasi) pada masa itu, termasuk informasi tentang kondisi demografisnya.

Sedihnya, peta-peta ini tidak dapat diperoleh secara percuma alias gratis, namun harus dibeli dengan uang sebesar 6–15 Euro (atau setara dengan Rp72.000 – Rp180.000) tergantung dengan ukuran dan usia peta tersebut.

Walaupun dalam kondisi bekal "pas-pasan", tetap kami beli beberapa peta itu, mengingat langkanya koleksi tersebut, dan tentunya informasi yang ada dapat dijadikan petunjuk lebih lanjut, guna mengurai benang merah sejarah Lampung masa lalu hingga menjadi seperti sekarang ini

Sumber: Antaranews.com/Lampung, Sabtu, 21 Juli 2012


July 18, 2012

Menetaskan Telur di Ujung Tanduk

Oleh Hardi Hamzah


TRANSFORMASI sosial bagi seorang Udo Z. Karzi, tampaknya bukanlah sekadar fenomenal, melainkan ia lebih banyak memandangnya sebagai ruas kehidupan yang mengasyikkan.

Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.

Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.


Promosi Lampung

Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.

Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.

Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.

Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.

Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.

Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.

Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.

Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.


Telur Kebudayaan

Kendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.

Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.

Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.

Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.

Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.

Hardi Hamzah, Peneliti Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012

July 17, 2012

Sisindiran ala Udo Z Karzi

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

(Buku: Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh, karya Udo Z Karzi-Zulkarnain Zubairi, telah diluncurkan dan dibahas oleh Iwan Nurdaya-Djafar/sastrawan Lampung, dan Iswadi Pratama/seniman teater, di Bandarlampung, Sabtu, 14 Juli 2012 lalu. Berikut adalah bahasan Iwan Nurdaya-Djafar mengupas buku tersebut)


Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, 2012) adalah nonbook (nirbuku), alih-alih buku. Karena dia berisi kumpulan karangan berupa kolom (column) sebanyak 101 tulisan, yang ditulis wartawan (jurnalis) Udo Z. Karzi selama kurun waktu tiga tahun (2002-2004), dengan rincian 34 judul (2002), 33 judul (2003), 34 judul (2004), yang semula muncul di rubrik “Nuansa” harian Lampung Post. Dia tak bisa disebut buku, karena buku mengharuskan adanya benang merah antarbagian (bab) mulai dari pendahuluan sampai dengan penutup yang terjalin secara sistematis dan isinya menguraikan secara mendalam masalah tertentu di dalam suatu ranah ilmu.

Sebagai sindiran, Udo tidak menggunakan perumpamaan, melainkan langsung menembak ke pokok masalah.

Menurut thefree.dictionary.com, book (buku) adalah “the total amount of experience, knowledge, understanding, and skill that can be used in solving a problem or performing a task” (jumlah total dari pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan yang bisa dipergunakan dalam memecahkan suatu masalah atau melaksanakan suatu tugas).

Adapun nonbook (nirbuku) adalah katabenda (noun) yang didefinisikan oleh www.yourdictionary.com sebagai “a book produced quickly and cheaply, tipically a scissors-and-paste compilation of facts, photographs, etc., often published merely to take advantage of some current vogue, fad, etc.” (sebuah buku yang diproduksi secara cepat dan murah, secara tipikal suatu kompilasi guntingan-dan-tempelan dari fakta-fakta, foto-foto, dll., sering diterbitkan hanya untuk keuntungan dari suatu mode mutakhir, dll.). Di sini, saya ingin menggarisbawahi sifat khas dari nonbook yaitu berupa kompilasi, dalam hal ini bisa juga berupa kompilasi kolom.

Demikianlah, sejatinya Udo menulis kolom (column), yaitu bagian khusus yang utama di surat kabar atau majalah.[KBBI: 581]. Oleh karena itu, Udo adalah seorang kolomnis (kolumnis), yaitu orang yang secara tetap menulis artikel di surat kabar atau majalah.[KBBI: 581]. Sebagai bandingan, The Concise Oxford Dictionary of Current English halaman 234 mengartikan kolom (column), “in newspaper (also part  of newspaper, sometimes more or less than column, devoted to special subject; di surat kabar (juga bagian dari surat kabar, kadangkala lebih atau kurang daripada kolom, yang difokuskan kepada pokok-soal tertentu).

Kamus yang sama pada halaman yang sama mengartikan columnist (kolomnis, kolumnis), sebagai “journalist who regularly contributes  to a newspaper a column of miscellany comment on people and events (wartawan yang menyumbangkan kepada sebuah surat kabar sebuah kolom berisi aneka komentar mengenai orang atau peristiwa).

Kolom agaknya sama dengan esei nonformal, yaitu karangan prosa dengan bahasa dan cara menarik. Karangan ini biasanya membahas sebuah masalah secara sepintas lalu dari sudut pribadi penulisnya. Di dalam perkembangannya kemudian, orang membedakan antara esei formal dan esei nonformal. Esei formal, yaitu karangan yang membahas suatu tema atau topik secara panjang lebar dan mendalam, dengan tinjauan yang cukup obyektif. (Panuti Sudjiman (ed), Kamus Istilah Sastra, hlm 27). Berdasarkan uraian ini, Udo Z. Karzi boleh disebut kolumnis atau eseis. Udo sendiri dengan enteng dalam ragam bahasa lisan menyebut dirinya “tukang tulis.”

Pada bagian persembahan Udo menyebut kolom-kolomnya sebagai warahan, yang dalam bahasa Lampung secara leksikal berarti cerita atau kisah; dan sebagai istilah sastra Lampung berarti prosa berirama yang galibnya mengisahkan suatu kejadian sejarah secara kronologis. Terhadap hal ini, saya justru ingin menyebutnya sebagai sisindiran, karena bertolak dari semangat menyindir itulah Udo menulis kolom-kolomnya. Sebagai sindiran, Udo tidak menggunakan perumpamaan, melainkan langsung menembak ke pokok masalah seperti tampak pada kolom bertajuk “Politisi Olahraga” (hlm 6-8) -- lebih tepat: Politisasi Olahraga -- yang menyoal ihwal salah urus olahraga di ‘Negeribatin’ Lampung.

Contoh lain, kita pergoki pada kolom “Kok Bisa?” (hlm 204-206) yang menyindir pembangunan Menara Siger. Yang disindir di sini bukan hanya pembangunan Menara Siger itu sendiri seperti ditulis Udo pada penutup kolom, “Tugu Siger, dalam pikiran Mamak Kenut dkk., bukan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak di tengah berbagai kesulitan yang tengah melanda daerah ini”; tapi juga pemberitaan di harian tempatnya bekerja seperti ditulis Udo pada pembuka kolom, “Mat Puhit tertegun membaca koran. “SBY tak Dukung Pembangunan Tugu Siger” (Lampung Post, 26 Oktober 2004 halaman 3),” begitu judul berita yang membuatnya tertawa. Soalnya, sebelumnya (Lampung Post, 20 Oktober 2004) di koran yang sama di halaman yang sama terdapat judul yang mirip “SBY Dukung Pembangunan Tugu Siger.”    

Gaya ‘tembak langsung’ model begini agaknya khas Sumatra, seperti dicermati peneliti senior LIPI Dr. Taufik Abdullah yang berujar “Dari sejumlah etnik yang humornya canggih ada pada masyarakat Jawa. Pada masyarakat Minang umpamanya, baru terlahir sindiran langsung. Di Jawa, sudah menjadi humor dalam pengertian menyatakan realitas tanpa mengatakannya.”

Jika kolom yang ditulis Udo boleh diibaratkan sebagai permainan, maka saya ingin berpesan melalui renungan filsuf Driyarkara berikut ini:

Bermainlah dalam permainan
Tetapi jangan main-main
Sungguh-sungguhlah dalam permainan
Tetapi jangan dipersungguh

Pesan ini sejatinya sudah dilakoni Udo melalui 101 esainya dalam nirbuku ini, namun kiranya boleh juga Udo lebih memperdalamnya sehingga bisa tiba pada sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu, tapi jangan begitu).

Esei pengantar yang ditulis Djadjat Sudradjat bertajuk “101 Celoteh, Potret Masyarakat Tradisi Lisan” kiranya telah mendedahkan karakter esei-esei Udo dan karenanya amat bermanfaat buat menyelami segabung esei yang terhimpun dalam nirbuku ini. Sebegitu mendalam dan meluasnya esei Kang Djadjat ini, nyaris membuat saya kehilangan celah untuk menyelisik kolom-kolom Udo. 

Jika Udo piawai berbahasa lisan dengan memperlakukan bahasa lisan sebagai milik om dan tantenya sendiri (kata mendiang kolumnis Mahbub Djunaedi), namun saya memergoki satu-dua kesalahan dalam bahasa tulisan, semisal ‘pewaris’ [orang yang mewariskan] (hlm 3) mestinya ‘ahli waris (orang yang mewarisi); ‘eksak’ (hlm 4) mestinya ‘eksakta’ (bidang ilmu tentang hal-hal yang bersifat konkret yang dapat diketahui dan diselidiki berdasarkan percobaan serta dapat dibuktikan dengan pasti). Lain ungkapan, meskipun Udo menggunakan bahasa lisan, tapi perlu juga sesekali merujuk kepada kamus sehingga dapat terhindar dari kesalahan yang tidak perlu.

Akhirulkalam, saya ingin mengapresiasi terbitnya nirbuku ini yang kian memperkaya warna-warni Udo sebagai penulis. Sebagai wartawan tentu Udo memiliki ‘anak rohani’ berujud berita; sebagai penyair, Udo yang petah berbahasa Lampung dialek A telah menghasilkan puisi modern dalam bahasa Lampung melalui antologi Manifesto (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) yang memenangi Hadiah Sastra Rancage pada 2008. Dan kini sebagai kolumnis atau eseis, Udo telah pula menggenapi dirinya dengan menerbitkan Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh yang berusaha bersikap kritis dan analitis terhadap berbagai fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi di sekeliling tokoh Mamak Kenut, Minan Tunja, Pithagiras, Radin Mak Iwoh, Paman Takur, Udien, dan nama-nama lain dari negeri ini yang sering menghiasi pemberitaan media massa atau orang biasa yang melintas dalam kehidupan senyatanya. 

Alhasil, Udo adalah wartawan, penyair, sekaligus kolumnis. Kapasitas begini tentu saja patut diacungi jempol sebagaimana dikatakan kolumnis kesohor mendiang Mahbub Djunaedi, “Seorang wartawan yang menghayati sastra akan lebih baik ketimbang wartawan yang tidak. Seorang sastrawan yang mengikuti perkembangan sosial politik, dan menuangkannya ke dalam hasil sastranya, akan lebih baik ketimbang sastrawan yang melulu memperhatikan angin atau daun-daun yang berguguran. Menghayati politik tidak kudu berarti masuk partai politik, atau menghamba kepadanya, walaupun mendiang Pablo Neruda bisa tetap dianggap penyair dan Marxis serta Dubes sekaligus.” (H. Mahbub Djunaidi, “Dunia Sastra bagi Saya,” dalam Ridwan Saidi & Hussein Badjerei [ed], Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi, LSIP, 1996, hlm 142-152).

Akhir-berakhir, supaya Udo tidak iseng sendiri, maka celoteh atau ocehan (obrolan atau percakapan yang tidak keruan) Udo perlu didengarkan dan direnungkan. Meminjam sesanti majalah Tempo, celoteh Udo “enak dibaca dan perlu” (sesanti ini agaknya terjemahan bebas dari dulce et utile; indah dan berguna, dalam bahasa Yunani) tak ubahnya tempe, yang kata Gus Dur, enak dibacem dan perlu.

Sumber: Antaranews.com/Lampung, Selasa, 17 Juli 2012

July 16, 2012

Tradisi Menulis Terus Tumbuh di Lampung

google.com
Ilustrasi

BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com--Tradisi menulis di Lampung terus tumbuh, dan diharapkan dapat semakin berkembang sebagai tradisi intelektual yang produktif.

Penilaian itu mengemuka dan menjadi benang merah, seperti disampaikan berbagai kalangan di Bandarlampung, Senin, berkaitan dengan penerbitan sejumlah buku karya para penulis dari Lampung akhir-akhir ini yang semakin banyak bermunculan.

Pada Sabtu (14/7), dua buku baru karya penulis di Lampung secara bergantian diluncurkan dan dibedah bersama-sama.

Buku karya Juniardi, Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung periode 2011-2014 berjudul "Hak Anda Mendapatkan Informasi" diluncurkan, ditandai pembahasan oleh Heri Wardoyo, jurnalis Harian Umum Lampung Post yang kini mencalonkan sebagai wakil bupati di Tulangbawang, Lampung.

Beberapa jam kemudian, buku "Mamak Kenut Orang Lampung Punya Celoteh" karya Udo Z Karzi (Zulkarnain Zubairi) juga diluncurkan, dibahas oleh dua sastrawan dan seniman pegiat teater kondang asal Lampung, Iwan Nurdaya Djafar dan Iswadi Pratama.

Menyusul kemudian peluncuran dan pembahasan buku karya Oki Hajiansyah Wahab berjudul "Terasing di Negeri Sendiri" yang menurut penulisnya, terinspirasi dari kenyataan sosial dan juga pengalaman penulis selama membantu masyarakat Moro Moro, Register 45 di Mesuji, Lampung.

Beberapa waktu sebelumnya, telah diluncurkan pula buku "Menulis dengan Telinga" karya Adian Saputra yang merupakan buku resep faktual untuk menjadi penulis profesional.

Menurut sastrawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar, tradisi menulis di Lampung saat ini semakin tumbuh dengan baik dan diharapkan dapat kian banyak melahirkan para penulis dari berbagai kalangan, tidak terbatas para jurnalis, akademisi, sastrawan maupun seniman semata.

Padahal beberapa tahun lalu, kata dia, nyaris tidak ada dan tidak dihitung keberadaan penulis terkemuka dari Lampung, kecuali hanya segelintir orang saja.

"Sekarang, makin banyak penulis lahir dari Lampung," ujar Iwan yang juga birokrat di Pemerintah Kabupaten Lampung Timur itu pula.

Iswadi Pratama, pegiat teater di Lampung, berpendapat bahwa tradisi menulis akan membuat karya seseorang menjadi semakin berarti, tidak akan hilang dan meninggalkan bekas jelas yang dapat dibaca orang lain.

"Tradisi menulis ini perlu ditumbuhkan terus, sehingga tidak ada yang hilang ketika seseorang sudah meninggal dunia," ujar dia.

Menurut Wakil Pemimpin Umum Harian Lampung Post, Djadjat Sudradjat, tradisi menulis di Lampung saat ini semakin baik dan tumbuh subur, diharapkan dapat melahirkan banyak karya tulis berkualitas yang berguna untuk masyarakat banyak.

Ia berharap tradisi itu juga menumbuhkan pusat-pusat kajian seni dan budaya maupun kajian kemasyarakatan lainnya, sehingga tradisi intelektual di Lampung memberi warna dan memberi arti untuk daerah dan masyarakatnya.

Oki Hajiansyah, penulis yang juga merintis usaha penerbitan di Lampung berpendapat, dengan membaca makan manusia akan menemukan harta berharga, minimal untuk dirinya sendiri.

Karena itu, ujar mahasiswa pasca sarjana program doktoral ilmu hukum Undip-Unila ini, pihaknya akan terus mendorong lahir penulis-penulis berkualitas di Lampung serta mendorong para penulis yang sudah ada menjadi semakin produktif berkarya.

Pimpinan Harian Umum Lampung Ekspres Plus, Adolf Ayatullah Indrajaya, menyatakan tradisi menulis di kalangan penulis di Lampung selain harus terus ditumbuhkan juga diharapkan para penulisnya semakin meningkatkan kualitas karyanya.

"Pada saatnya para penulis di Lampung dapat muncul di level nasional dan tingkat yang lebih tinggi dari hasil karyanya yang dapat dinikmati pembaca dimana-mana," ujar Adolf pula. (SUMBER: ANT)

Editor: Jodhi Yudono

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 16 Juli 2012

Pengenalan Budaya Tingkatkan Daya Saing Lampung

WAY KANAN - Dosen FKIP Program Studi Musik dan Tari Universitas Lampung (Unila), Hasyimkan, menyebutkan pengenalan budaya Lampung melalui kerja sama pendidikan dengan perguruan tinggi luar negeri akan mampu meningkatkan daya saing daerah itu.
  
"Dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman antara Unila dan Monash University Australia beberapa waktu lalu, ada harapan Lampung semakin bisa bersaing baik di tingkat nasional atau internasional," ujar dosen Unila itu, di Waykanan, Senin.
  
Ia mengatakan, sejalan peningkatan kompetensi perguruan tinggi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Unila telah mencanangkan mencapai peringkat 10 di Indonesia tahun 2025.
  
"Syarat untuk meraih peringkat yang dimaksud tersebut antara lain berapa banyak pengajar bergelar profesor, berapa banyak kerja sama dengan negara lain dan berapa banyak mahasiswa asing yang mau belajar di perguruan tinggi tersebut," katanya.
  
Ia mengatakan lebih lanjut, nota kesepahaman Unila dan Monash University itu meliputi berbagai hal, seperti kemudahan dosen kuliah di perguruan tinggi negeri kanguru tersebut, lalu pertukaran kebudayaan, penerbitan jurnal ilmiah hasil penelitian dan lain-lain.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, ujar Hasyimkan pula, program studi yang termasuk ke dalam kelompok ilmu-ilmu budaya banyak mahasiswa asingnya untuk mempelajari kebudayaan setempat, misalnya seni dan bahasa Jawa.
  
"Lampung juga memiliki khazanah budaya dan peradaban beragam yang bisa dipelajari mahasiwa asing, seperti alat musik gamolan, kerajaan Tulangbawang, Skala Brak dan Kenali," katanya pula.
  
Suatu daerah, menurutnya, bisa diungkap dengan pendekatan antropologi, seni dan budaya selain dengan pendekatan arkelogi. "Dan jurnal ilmiah membutuhkan hal tersebut," katanya.

Terkait pola pembelajaran mahasiswa asing yang akan dilakukan Unila terkait kerjasama yang telah dilakukan dengan Monash University Australia itu, ia mengatakan perguruan tinggi hanya fasilitator dan administratif saja.

Mahasiswa asing, menurut Hasyimkan, nantinya akan diperkenalkan dengan program studi yang berhubungan dengan jurusan yang mereka ambil lalu diarahkan ke daerah-daerah yang berhubungan dengan jurusan mereka.
  
"Misalnya mengenai antropologi dan sejarah gamolan, mahasiswa asing tersebut diarahkan untuk dapat mengunjungi Lampung Barat dan Waykanan juga daerah lain sebagai tempat keberadaan gamolan Lampung," katanya.
  
Karena itu, semakin banyak kerjasama dengan negara lain dan semakin banyak mahasiswa asing yang mempelajari kebudayaan Lampung akan semakin bagus, kata Hasyimkan.

Sumber: Antara, Senin, 16 Juli 2012

Pustaka: Udo Karzi Luncurkan ‘Mamak Kenut’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mamak Kenut merupakan salah satu tokoh dalam kumpulan tulisan Udo Z. Karzi yang diluncurkan  di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, (14-7). Buku terbitan Indepth Publishing ini merupakan kumpulan kolom yang sebelumnya dimuat di rubrik Nuansa surat kabar harian Lampung Post.

BUKU "MAMAK KENUT". Buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh  karya Udo Z. Karzi (kiri) diluncurkan dengan pembahas budayawan Iwan Nurdaya-Djafar (tengah) dan sastrawan Iswadi Pratama. (FOTO: M. REZA)

Dalam kesempatan tersebut, juga digelar diskusi buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh yang memuat 101 tulisan ini. “Mamak Kenut saya angkat dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung. Mamak Kenut dkk saya pakai untuk mengkritisi, mengkitik-kitik, dan mengingatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya, tidak sesuai norma umum, atau perbuatan yang tidak etis,” kata Udo.

Wartawan ini tergerak menyatukan tulisannya dalam satu buku agar memudahkan masyarakat yang ingin membaca buah pikirannya itu. “Tulisan di koran biasanya hanya dibaca pada saat terbit. Tapi, kalau buku bisa lebih enak dibaca dan lebih mudah didokumentasikan,” kata dia.

Diskusi tersebut menghadirkan pembahas budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dan sastrawan Iswadi Pratama dengan moderator Tri Purna Jaya dari Indepth Publishing.

Iwan berpendapat buku Mamak Kenut lebih tepat disebut nirbuku atau nonbook karena harus terdapat benang merah pada setiap tulisan dari awal sampai akhir. “Saya ingin menggarisbawahi, sifat khas nonbook yaitu berupa kompilasi, dalam hal ini bisa juga berupa kompilasi kolom,” kata Iwan.

Ia menilai tulisan-tulisan kolom Udo tersebut lahir dari semangat menyindir yang tidak menggunakan perumpamaan, tapi langsung pada pokok masalah khas Sumatera.

“Saya mengapresiasi buku ini karena kritis dan analitis terhadap masalah ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang terjadi di sekitar tokoh Mamak Kenut, Minan Tinja, Pithagiras, Radin Mak Iwoh, Paman Takur, Udien, dan nama-nama lainnya,” ujar Iwan.

Menutup pemaparannya, Iwan meminjam istilah Gus Dur yang menyebut tempe enak dibacem dan perlu, demikian pula tulisan Udo Z. Karzi tersebut yang enak dibaca dan perlu.

Sementara itu, Iswadi mengatakan buku ini adalah bacaan ringan tapi memiliki daya usik. “Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan semua hal yang terjadi terutama masalah politik,” kata Iswadi.

Ia mengibaratkan buku ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas. (MG4/S-3)

Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Juli 2012

Buku "Mamak Kenut"

Buku "Mamak Kenut"
Peluncuran Buku "Mamak Kenut Orang Lampung Punya Celoteh" karya Udo Z Karzi (Zulkarnain Zubairi), jurnalis dan sastrawan Lampung (sebelah kiri), dibahas oleh Iwan Nurdaya Djafar (tengah) dan Iswadi Pratama (kanan), di Bandarlampung, Sabtu (14/7). (FOTO: ANTARA/Budisantoso Budiman)


Hak Mendapatkan Informasi
Peluncuran Buku "Hak Anda Mendapatkan Informasi" karya Juniardi (tengah), Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung, dibahas oleh Heri Wardoyo (kiri), wartawan yang kini mencalon wakil bupati di Tulangbawang, di Toko Buku Fajar Agung Bandarlampung, Sabtu (14/7). 
(FOTO: ANTARA/Budisantoso Budiman)


Calon Wakil Bupati
Heri Wardoyo (kiri), calon Wakil Bupati Tulangbawang, Lampung, meminta tanda tangan buku karya Juniardi (kanan), Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung yang menulis buku "Hak Anda Mendapatkan Informasi", usai peluncuran dan dialog di Bandarlampung, Sabtu (14/7). 
(FOTO: ANTARA/Budisantoso Budiman)

Sumber: Lampung.Antaranews.com, Senin, 16 Juli 2012

Indepth Publishing Terbitkan Sejumlah Buku

BANDARLAMPUNG News - Indepth Publishing, sebuah penerbit yang terdiri dari kumpulan jurnalis di Bandar Lampung menerbitkan sejumlah buku. Penerbitan buku ini dimaksudkan meningkatkan untuk memotivasi masyarakat agar semakin senang membaca buku. Sebab bila minat membaca masyarakat tinggi maka dapat melahirkan generasi yang berkualitas.

Buku-buku terbitan Indepth Publishing. (IST)

Dua buku  yang diterbitkan Indepth Publish, yaitu Hak Anda Mendapatkan Informasi karya Juniardi dan Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi diluncurkan secara bergantian di Toko Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu (14/07).

Pada awalnya, Indpeth menerbitkan buku berjudul Terasing di Negeri Sendiri yang  ditulis oleh Oki Hajiansyah Wahab. Pembuatan buku ini terinspirasi dari kenyataan sosial dan juga pengalaman penulis selama membantu masyarakat Moro-Moro Register 45.

Konflik di kawasan Hutan Register 45 adalah salah satu konflik terpanjang di Provinsi Lampung. Konflik di kawasan ini telah berlangsung selama belasan tahun dan telah melahirkan banyak korban.

Selain buku tadi, Adian Saputra, seorang Jurnalis Lampung Post juga ikut serta menerbitkan buku Menulis dengan Telinga. Adian percaya menulis adalah membangun kebudayaan. Bhkan, tak jarang kebudayaan juga hancur hanya karena sebuah tulisan.

“Ungkapan yang biasa terdengar ini mungkin ada benarnya. Jatuh bangunnya sebuah kebudayaan ditentukan oleh tulisan,” kata Adian.

Indepth juga menerbitkan buku berjudul Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Udo Z Karzi yang dimuat di Lampung Post dalam kolom Nuansa.

Udo, kelahiran Lampung Barat, adalah nama pena dari Zulkarnain Zubairi, wartawan Lampung Post yang juga penyair, penerima Hadiah Sastra Rancage pada tahun 2008 atas kumpulan puisi berbahasa Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi. Seorang generasi kini yang hendak “menyelamatkan” tradisi dan budaya lokal untuk bisa bersanding dengan yang budaya mondial.

Terakhir Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung Juniardi menulis buku tentang hak atas informasi publik. Buku ini diharapkan dapat semakin menggugah kesadaran badan publik untuk memenuhi hak masyarakat atas Informasi. Dalam buku ini disebutkan bahwa hak memperoleh informasi publik sesungguhnya merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dapat memunculkan partisipasi dalam masyarakat. (jun/wan/bln)

Sumber: Bandar Lampung News, Senin, 16 Juli 2012

July 15, 2012

[Perjalanan] ‘Belangiran’ di Kali Akar

LAMPUNG punya cerita. Tradisi yang sempat tinggal kisah itu dihidupkan lagi. Belangiran namanya. Ini tradisi mandi, menyucikan diri menjelang bulan puasa. Di Kali Akar, Sukadanaham, cerita itu semarak kembali.

Puluhan muli (gadis) dan mekhanai (bujang) berjalan beriringan menuju Kali Akar. Mereka membawa satu baskom kecil berisi bunga, jeruk nipis, air bersih, dan merang atau tangkai padi. Suara riak air yang mengalir kecil mengiringi langkah para muli dan mekhanai.

Sebagian muli menyeberang sungai dan lainnya duduk berjajar di sepanjang sungai. Muli yang menyeberang membuat sesaji dari bunga, air, dan jeruk nipis. Kemudian merang dibakar dan abunya dicampur dengan racikan bunga tadi. Bahan inilah yang dijadikan pengganti sabun untuk mandi di kali.

Satu per satu muli dan mekhanai yang duduk di sungai disiram dengan racikan bunga tadi. Setelah semua sesaji habis, barulah mereka memasukkan seluruh badan ke sungai. Mereka berendam sampai semuan bagian tubuh terkena air, tanpa terkecuali.

Mandi di kali menjelang Ramadan ini adalah tradisi orang Lampung yang dinamakan belangiran atau bulangekhan. Tradisi yang dipercaya sudah dimulai ketika Islam masuk ke Lampung. Mandi menjelang masuknya bulan puasa ini bertujuan supaya manusia bersih, jasmani dan rohani, dan siap menjalankan salah satu kewajiban sebagai umat Islam, puasa.

Anggota Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Nashrun Ratai menilai tradisi belangiran ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian warga Lampung. Namun, masih ada yang tetap mempertahankannya hingga kini.

Tradisi belangiran ini pun memang masih ditemukan di Bandar Lampung. Biasanya sebagian warga Bandar Lampung mandi bersama di Kali Akar, sehari menjelang puasa. Meskipun lebih sederhana dan hanya sekadar mandi membersihkan badan di sungai, tanpa ada upacara khusus.

Belangiran yang dihelat di Kali Akar, Selasa (10-7), ini bukan hanya sebatas untuk mempertahankan tradisi. Tapi juga untuk mempromosikan budaya Lampung ke wisatawan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Gatot Hudi Utomo mengungkapkan belangiran perlu dilestarikan sebagai warisan budaya yang bisa dipromosikan kepada wisatawan.

Menurut Nashrun, dahulu belum dikenal sabun dan bahan pembersih lain. Masyarakat Lampung ketika itu memakai bunga, jeruk nipis, abu merang, dicampur dengan air bersih yang memang bisa dipakai untuk berwudu, suci dan menyucikan. Campuran bunga inilah sebagai pengganti sabun.

Merang atau tangkai padi yang dipakai memiliki makna tersendiri. Menurut Nashrun, padi adalah bahan pangan utama. Ada harapan kepada Tuhan supaya selama puasa diberi kecukupan rezeki dan tetap dalam lindungan Allah.

Setelah membasuh badan dengan campuran bunga tadi, barulah mandi dan berendam di kali. Nashrun menjelaskan orang yeng melakukan belangiran harus menyelam di kali. Supaya semua bagian tubuhnya terkena air dan semua kotoran pun hanyut.

“Dengan harapan semua dosa dan kotoran hanyut bersama air sungai yang mengalir. Setelah belangiran, kondisi badan pun suci dan bersih dan siap menjalankan ibadan puasa. Bulangekhan harus dilakukan di air sungai yang mengalir agar dosa dan kotoran hanyut terbawa air,” ujar Nashrun yang bergelar Dalom Kelabai ini.

Belangiran menjadi tradisi yang sengat menyenangkan dan penuh sukacita. Muli dan mekhanai serta masyarakat begitu menikmati mandi di kali yang sudah sangat jarang dilakukan. Mereka saling menyibakkan air dan bercanda dengan yang lain. Sukacita ini juga berarti rasa senang menyambut kadatangan Ramadan. Puasa menjadi bulan yang sangat dinanti, khususnya untuk umat Islam.

Tradisi bulangekhan memang kental dengan nuansa Islam. Kesenian yang disajikan pun kesenian islami, hadrah. Berselawat diiring musik dan tari yang semuanya dilakukan laki-laki. Para penari atau rodat pun menampilkan tarian ceria yang lucu. Mereka bergerak jenaka dan memakai kacamata hitam, menambah kesan kocak.

Bagi Nashrun, belangiran ini perlu kembali menjadi tradisi di semua kabupaten dan kota di Lampung. Adat mandi menjelang puasa ini bisa menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Mereka yang ingin menyaksikan belangiran bisa berkunjung ke Lampung menjelang Ramadan.

Belangiran yang digelar MPAL dan Pemprov Lampung kali ini memang dijadikan sebagai bagian dari promosi budaya. Belangiran dipadukan dengan berbagai tradisi Lampung yang lain, seperti pepancokhan dan bubandung, semacam pantun dan syair. Tidak hanya itu, acara juga dimeriahkan dengan tari kreasi dan lagu Lampung.

Sebagai promosi budaya untuk wisata, belangiran dikemas lebih meriah. Kemariahan itu ditunjukkan dengan panjat pinang serta pembagian ayam dan ikan. Penglepasan ikan dan ayam ini memancing animo masyarakat turun ke sungai. Ribuan masyarakat menyaksikan belangiran. Sebagian turun ke sungai menunggu penglepasan ikan dan ayam. Masyarakat sekitar yang menyaksikan belangiran mendapat bantuan sembako dari Pemprov Lampung.

Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., yang turut hadir dalam belangiran, mengatakan tradisi mandi ini divariasikan dengan pembagian ikan dan ayam. Ini untuk menyemarakkan kegiatan dan sebagai bentuk sukacita menjelang puasa.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gatot Hudi Utomo menggelar belangiran bukan hanya sekadar menegakkan budaya adat, sekaligus promosi budaya. Tradisi ini perlu menjadi kebiasaan yang mengakar karena banyak nilai-nilai kebaikan di dalamnya, salah satunya sedekah menjelang puasa. Pembagian ikan, ayam, dan sembako ini merupakan bagian dari kebaikan untuk mengisi tradisi belangiran.

Promosi tradisi belangiran ini juga disaksikan beberapa orang dari Korea Selatan yang kebetulan sedang berkunjung ke Lampung. Bahkan Sjachroedin pun mengucapkan kata apa kabar dalam bahasa Korea.

Sebagai bagian dari promosi wisata, belangiran dipadukan dengan tradisi yang lain. Misalnya berbalas pantun, saat penyerahan sesaji. Berbalas pantun ini yang tidak kalah meriah.

Ucapan pun yang dibaca panjang “puuuuuuuuuunnnnnn” menggema di Kali Akar dan diikuti orang yang menyaksikan belangiran.

“Sengaja sikam ngsung alat belangekh mandi
Ajoya alat mandi terima Kuntara Rajaniti
Jemoh khadu puasa.
Ganta bulangekh
puuuuuuuuuunnnnnnnn”

Ayo sambutlah tradisi mandi di sungai ini. Pun! (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012


Mamak Kenut Yang Saya Kenal Dahulu.

Oleh Fachruddin M. Dani


BISA dibilang saya mengenal Mamak kenut sejak masa kanak-kanak. Nama itu selalu saja menjadi dalih gelar bagi perilaku yang relatif konyol, walau terkadang nampak cerdas tapi usil.

Meskipun tokoh itu tokoh khayalan, selalu saja dihadirkan oleh mereka pada berbagai peristiwa dan perilaku seseorang yang sedikit nyeleneh.

Ada sebait syair bagi Mamak Kenut yang dapat menggambar sosok khayalan itu:

Mamak Kenut,
ali-ali kelumbai
setahun mawat ngudut
mana nihalang bebbai


Syair tersebut di atas menggambarkan bahwa Mamak Kenut bukanlah manusia kebanyakan.

Mamak Kenut menjadi sosok yang pantas untuk membicarakan sesuatu yang orang lain tak sanggup membicarakannya. Mamak Kenut adalah orang yang sanggup mempertanyakan sesuatu yang orang lain tak sanggup mempertanyakannya. Mamak Kenut adalah orang yang sanggup berpendapat ketika orang lain tak sanggup berpendapat, Mamak Kenut suka pada makanan yang orang lain tak menyukainya. Mamak Kenut orang yang malu berbuat sesuatu tatkala orang lain suka melakukannya. Tapi Mamak Kenut juga yang menjadi orang yang paling bodoh pada saat yang lainnya pintar. Itulah antara lain gambaran tentang sosok Mamak kenut.

Ketika ada pekerjaan yang demikian sulit dan tak ada yang mampu melaksanakannya, tiba-tiba ada orang yang sanggup melaksanakannya. Lalu orang bertanya siapa yang telah menyelesaikan pekerjaan sulit ini, maka orang lain akan mengatakan siapa lagi kalau bukan Mamak Kenut.

Itulah sosok Mamak Kenut yang saya kenal sejak masa kanak-kanak itu. Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus mempopulerkan kembali tokoh khayalan ini. Yang dilakukan oleh Udo Z. Karzi adalah langkah awal bagi siapa pun yang ingin memperkenalkan Mamak Kenut kepada generasi sekarang.

Cerita Mamak Kenut selalu saja hadir dalam berbagai aspek kehidupan dan masyarakat. Oleh karena itu, Mamak Kenut akan memiliki kemampuan untuk menceritakan suasana batin sosok masyarakat Lampung. Atau kita dapat berbicara tentang lampung dan masyarakatnya dengan cara mengeksploitasi tokoh Mamak Kenut.

Sumber: Wewarah Blog (http://wewarahblog.blogspot.com), Minggu, 15 Juli 2012

July 14, 2012

Udo Luncurkan Buku Mamak Kenut

TRIBUNLAMPUNG.co.id - Udo Z Karzi meluncurkan buku yang berjudul "Mamak Kenut Orang Lampung punya Celoteh" di toko buku Fajar Agung, Sabtu (14/7). Pada peluncuran buku ini hadir sebagai pembahas dua orang budayawan Lampung Iswadi Pratama dan Iwan Nurdaya-Djafar.

Peluncuran buku ini juga dihadiri bakal calon wakil bupati Tulangbawang Heri Wardoyo dan Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat. Menurut Udo, buku ini mengangkat tokoh budaya Lampung Mamak Kenut. "Mamak kenut ini cerminan tradisi bertutur budaya Lampung," ujar dia.

Buku Mamak Kenut ini merupakan terbitan dari penerbit independen Indepth Publishing. Ini adalah buku ketiga dari empat buku yang sudah diterbitkan Indepth Publishing. (Wakos)

Editor : soni

Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 14 Juli 2012

July 13, 2012

Ketua Komisi Informasi Lampung akan Luncurkan Buku

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID-Ketua Komisi Informasi (KI) Provinsi Lampung Juniardi akan meluncurkan bukunya pada Sabtu (14/7/2012) di Toko Buku Fajar Agung.

Ketua Komisi Informasi (KI) Provinsi Lampung Juniardi akan meluncurkan bukunya pada Sabtu (14/7/2012) di Toko Buku Fajar Agung. (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/WAKOS REZA)

Buku tersebut berjudul "Hak Anda Mendapatkan Informasi". Jurnalis senior Heri Wardoyo direncanakan akan menjadi pembahas dalam peluncuran buku ini.

Berbagai apresiasi terhadap buku ini bermunculan. Salah satunya dari Ketua KI Pusat Abdul Rakhman Ma'Mun.

Ia mengatakan buku ini mempertegas bahwa hak memperoleh informasi publik sesungguhnya merupakan hak asasi manusia yang dapat memunculkan partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara.

Juniardi mengatakan, dari setiap penjualan buku ini, Rp 5.000 akan disumbangkan untuk membantu operasional KI. (wakos reza)

Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 13 Juli 2012

July 10, 2012

'Belangiran' Tradisi Mandi Sucikan Diri Sambut Ramadhan

BANDARLAMPUNG -- "Belangiran" merupakan tradisi turun temurun warga Lampung, untuk menyucikan diri menjelang Ramadhan yang perlu dilestarikan agar tidak punah.

PROSESI BELANGIRAN. Seorang muli (gadis) Lampung menjalani prosesi "belangiran" guna mensucikan diri menyambut Bulan Suci Ramadhan, di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandarlampung, Selasa (10/7). "Belangiran" merupakan tradisi masyarakat Lampung dalam rangka menyambut Bulan Suci Ramadhan. (ANTARA/TAUFIK HIDAYAT)

Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, saat acara "Belangiran" di Kali Akar, Kelurahan Sumur Putri, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandarlampung, Selasa siang, mengatakan bahwa tradisi ini merupakan salah satu cara yang dilakukan umat Islam di daerah itu dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
   
Berbagai ritual dan tradisi menyambut Ramadhan itu pun dilakukan, salah satunya "Belangiran" atau mandi untuk menyucikan diri," kata Sjachroedin.

Selain itu, lanjut dia, masih banyak cara lainnya yang dilakukan oleh umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadhan di antaranya menziarahi makam keluarga dan kerabat yang telah meninggal dunia, tradisi memukul bedug, dan mandi untuk menyucikan diri.

Tradisi itu, bagi masyarakat di Jawa menyebutnya dengan "padasan", sedangkan orang Minang "mandi balimau", dan orang Lampung menamakannya "belangiran".
   
"Belangiran yang kita laksanakan hari ini merupakan kedua kalinya, mengingat tahun sebelumnya kita melaksanakannya di kolam renang Pahoman Bandarlampung, dan tahun ini kita laksanakan di Kali Akar, Sumur Putri Telukbetung," kata dia lagi.

BAKAR MERANG. Muli-Mekhanai (muda-mudi) Lampung membakar merang sebagai salah satu proses ritual "belangiran" di Kali Akar Telukbetung Utara, Bandarlampung, Selasa (10/7). "Belangiran" merupakan tradisi masyarakat Lampung dalam rangka menyambut Bulan Suci Ramadhan. (ANTARA/TAUFIK HIDAYAT)


Menurut Gubernur, menyucikan diri menyambut bulan suci Ramadan tidak hanya membersihkan badaniah saja, tapi lebih berorientasi kepada menyucikan diri dan hati, seperti rasa iri, dengki, benci dan sombong, juga rasa dendam pada  seseorang.
   
"Untuk menyucikan harta yang kita miliki, yaitu dengan mengeluarkan zakat fitrah dan sedekah," kata Sjachroedin pula.
   
Dia mengharapkan, ritual dan tradisi seperti "belangiran" tidak dimaknai macam-macam, karena hanya merupakan bentuk ucapan syukur menyambut kedatangan bulan Ramadan, sekaligus  dalam rangka melestarikan budaya Lampung agar tidak punah dimakan zaman.
   
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Lampung, Gatot Hudi Utomo, selaku pelaksana acara itu, mengatakan bahwa "belangiran" itu dilaksanakan untuk menyambut bulan suci Ramadan 1433 Hijriah.
   
Selain itu, menurut dia, pelaksanaan "belangiran" itu juga sebagai upaya untuk melindungi dan mengembangkan budaya daerah Lampung serta mempromosikannya sebagai daya tarik wisata.
   
Rangkaian acara itu, selain "belangiran", juga pembagian sembako, penaburan benih ikan, pemberian bibit ayam, dan dimeriahkan pula dengan "Sekura cakak pesta" (Sekura naik panjat pinang) .sebagai wujud kepedulian pemerintah kepada masyarakat.
   
Gatot mengharapkan dengan terselengara "belangiran" akan terjalin silaturahmi yang baik dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat di daerah ini.
   
"Diharapkan "belangiran" menjadi tradisi yang kembali mengakar di masyarakat," kata dia pula.
   
Pada acara "belangiran" itu, terlihat masyarakat yang antusias memadati tempat prosesi pelaksanaan kegiatan itu.
   
Tidak hanya masyarakat lokal, turis asing yang berasal dari Korea juga antusias menyaksikan prosesi tradisi budaya masyarakat Lampung tersebut.


Sumber: Antara, Selasa, 10 Juli 2012





July 9, 2012

Kata K.H. M. Arief Mahya mengenai Mamak Kenut*

Kritikus yang Cermat

Oleh K.H. M. Arief Mahya**


SAYA melihat Harian Umum Lampung Post kini sangat indah, stijl, dan opmaakt. Di sisi kiri atas halaman muka ada "Buras" yang ditulis khusus oleh penulis kawakan yang Pemimpin Umum harian tersebut, Bapak H. Bambang Eka Wijaya.

Di salah satu halaman bagian dalam Lampung Post, di bawah Tajuk, ada kolom "Nuansa". Banyak di antaranya ditulis Zulkarnain Zubairi yang sering menggunakan nama samaran Udo Z. Karzi.

Saya kenal Udo Z. Karzi karena kami berdua sama kelahiran Liwa, Lampung Barat.

Buras dan Nuansa tersebut bermuatan kritikan segar, kritik membangun (opbouuwen-critik) atas hal ilwal yang terjadi di daerah (lokal). Ada pula isu nasional yang memang patut dikritisi, terutama oleh para penulis dan wartawan "angkatan berpena".

Dalam kaidah budaya Lampung Barat, jika umpamanya si A anak laki-laki tertetua seseorang, dia mempunyai adik kandung satu orang atau lebih (B atau juga ada C dan D) laki-laki atau juga perempuan, maka B, C, dan D tersebut harus memanggil (bertutur) Udo terhadap si A. Dan, C, D memanggil Abang untuk si B. Si D memanggil Kakak untuk si C. Budaya tutur ini tidak boleh kacau. Ini diajarkan sejak seseorang masih kecil.

Bertutur Udo begitu berlaku pula untuk keturunan A, B, C, dan D. Untuk anak laki-laki tertua si A (AA), maka semua anak dari B, C, dan D, baik laki-laki maupun perempuan yang umurnya di bawah AA, semua harus memanggil Udo, terhadap AA. Demikian berlanjut pada cucu dan cicit A, B, C, dan D selanjutnya.

Maka, mengertilah kita bahwa Udo Z. Karzi adalah anak laki-laki tertua dari ayahnya. Di lingkungan struktur kerabatnya, Udo Z. Karzi sedikit banyak mempunyai "anak buah". Artinya, bagaimana pun Udo Z. Karzi berfungsi sebagai pemimpin di kerabatnya.

Saya kagum pada kemampuan Udo Z. Karzi menulis. Dalam kurun waktu tiga tahun (2002-2004), setidaknya ia telah menulis 101 tulisan untuk kolom Nuansa Lampung Post. Rinciannya, 34 judul tahun 2002, 33 judul tahun 2003, dan 34 judul tahun 2004.

Tulisannya, komprehensif dan teliti. Maka, saya dengan ini memberinya predikat "kritikus yang cermat".

Jika Buras mengandung kritikan dengan sistem "kelakar", maka Nuansa, terutama yang ditulis Udo Z. Karzi berisi kritikan dengan sistem "ratapan" (bahasa Lampung Barat: buhiwang).

Keberadaan Buras dan Nuansa di media cetak menurut saya memang diperlukan. Tulisan semacam ini bisa menjadi semacam dialog atau obrolan Gareng, Petruk, Semar di pewayangan. Kadangkala, dalam percakapan mereka pun mengkritisi bendoro (penguasa) mereka sendiri.

Kritik yang dikemas dengan sistem seperti itu, pernah ada pula di media elektronik. Dulu, pernah ada segmentasi "Obrolan Pak Besut" di RRI Perjuangan Yogyakarta (1945-1948) dengan Asmuni dan Asmunah sebagai kelompok yang diperankan dalam obrolan. Isi acara ini bernada kritikan menyejukkan yang membuat masyarakat pendengar mendapat pesan dan kesan yang benar tentang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan segala hal yang berkaitan dengannya.

Ketika membaca Buras dan Nuansa di Lampung Post, saya terkenang kritikan Pak Besut di RRI Yogya. Tapi di balik itu, ada rasa "sedih" saya melihat telah 60 tahun Indonesia merdeka, masih saja banyak keadaan belum berpisah dari apa yang dikritik. Namun demikian, kritik tetap harus ada dari semua pihak.

Saya mendorong Udo Z. Karzi agar dapat terus-menerus menjadi aktivis pengemban tugas berat, tetapi mulia tersebut. Terus perankan Mamak Kenut dan Minan Tunja.

Semoga!

* Buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi diterbitkan Indepth Pubishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xxii + 126 hlm.

** K.H. M. Arief Mahya, intelektual muslim, tinggal di Bandar Lampung

July 8, 2012

Promosi Wisata Lampung Belum Maksimal

BANDAR LAMPUNG -- Pengamat kepariwisataan Sutarman Sutar menilai promosi potensi wisata yang ada di daerah Lampung masih kurang maksimal sehingga masih sedikit jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke provinsi tersebut.
   
"Kalau ditanya Dinas Pariwisata selalu menjawab terkendala anggaran, jadi selama ini yang ada anggaran apa," ujarnya di Bandarlampung, Minggu, saat ditanya komentarnya berkaitan pengembangan pariwisata di Lampung saat ini.
   
Menurut dia, banyak cara untuk mempromosikan keunggulan objek wisata di Lampung, dan dinas terkait harus bekerjasama dengan para pemangku kepentingan (stakeholder).
   
Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera, ujar dia, sangat disayangkan bila potensi wisata yang ada tidak dipromosikan dengan  baik agar dapat menarik minat wisatawan untuk mampir dan berkunjung ke tempat wisata yang ada di daerah ini.
   
"Orang yang hanya lewat dan sekadar beristirahat sejenak di Lampung tidak bisa disebut wisatawan, dan itu juga tidak bisa dicantumkan dalam statistik pengunjung wisata di daerah ini," kata pria yang kini menjadi wartawan itu pula.
   
Sutarman yang pernah bekerja sebagai pemandu wisata selama 20 tahun itu, juga mengharapkan adanya pembekalan informasi wisata kepada generasi muda dan pelajar di daerahnya.
   
"Tujuannya agar ketika generasi muda itu keluar dari Lampung, mereka diharapkan dapat bercerita tentang potensi wisata yang ada di daerah asalnya," kata dia lagi.
   
Selain itu, lanjut dia, upaya tersebut juga dapat digunakan sebagai promosi wisata secara tidak langsung.
   
General Manager Wisma Belerang Kalianda, Lampung Selatan, Deddy Satya, saat dihubungi secara terpisah menilai, promosi wisata Lampung tidak terkemas dengan baik sehingga terkesan membosankan.
   
"Kalau kita lihat pada acara TIME  atau Tourism Indonesia Mart and Expo 2011, kemasan promosi wisata kita terlalu monoton, sehingga orang mudah menjadi bosan," kata Deddy.
   
Sedangkan Akademisi Universitas Lampung (Unila), Hasyimkan menyayangkan, kebudayaan dan kesenian Lampung tidak terpublikasi dengan baik, sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengenalnya.
   
"Jika seni dan budaya Lampung sudah terpublikasi dengan tepat, akan menjadi aset pariwisata bagi daerah ini, karena dapat mengundang para wisatawan baik domestik maupun mancanegara berdatangan," kata dia.
   
Ia juga berharap masyarakat Lampung untuk mandiri, dan tidak terlalu bergantung kepada pemerintah dalam mempromosikan potensi wisata yang ada di daerahnya masing-masing.
   
"Kalau tempat wisata itu maju, secara otomatis akan mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar," ujar dia pula.
   
Putri Indonesia 2011, Maria Selena, saat jumpa pers Pemilihan Putri Indonesia Lampung 2012, di Bandarlampung, beberapa waktu lalu, menyatakan Lampung harus berani menonjolkan ciri khas untuk menarik perhatian nasional maupun dunia.
   
"Untuk memajukan pariwisata di Lampung harus ada terobosan besar sekaligus pembenahan infrastruktur, baik sarana prasarana maupun akses menuju tempat wisata. Selain itu, juga perlu bersikap terbuka terhadap investor pengembang wisata," kata dia.
   
Lampung memiliki objek wisata sejarah kepurbakalaan di Taman Purbakala Pugung Raharjo di Kabupaten Lampung Timur, juga objek wisata alam, seperti di Taman Nasional Way Kambas Lampung Timur dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus.
   
Sejumlah objek wisata budaya dan alam juga tersimpan di Provinsi Lampung, antara lain peninggalan adat tradisi budaya tradisional turun temurun yang masih dilestarikan masyarakat, maupun potensi alam yang ada di sejumlah tempat di daerah ini.

Sumber: Antara, Minggu, 8 Juli 2012

[Buku] Resep Faktual Menjadi Penulis

Data buku

Menulis dengan Telinga. Adian Saputra. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xvi + 138 hlm.


DALAM dunia kepenulisan dan jurnalisme umumnya, kerap muncul penulis dadakan yang jejak karyanya tidak begitu jelas dalam dunia tulis-menulis, tiba-tiba muncul buku karyanya yang kemudian ternyata malah bisa menjadi best seller, laris manis terjual di pasaran dan diburu untuk dibaca habis oleh para pembacanya.

Tapi, banyak pula di antara para penulis itu ternyata memiliki rekam jejak yang sangat jelas dan terukur dalam aktivitas kepenulisan sehingga layak mendapatkan predikat sebagai penulis yang sesungguhnya.

Adian Saputra adalah salah satu penulis asal Lampung yang berupaya menapaki jejak karier kepenulisannya ke tingkat lebih tinggi, secara bersungguh-sungguh telah memperjuangkannya. Rekam jejaknya yang mulai aktif menulis sejak masih sekolah di SMA Negeri 2 Bandar Lampung dengan menulis di majalah sekolahnya, Derap Pelajar.

Aktif di pers mahasiswa Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (Unila) dengan jabatan terakhir redaktur pelaksana. Ia sempat pula menjadi Pemimpin Redaksi Buletin Median Post, Isyhad, dan Cakrawala, serta aktif menulis di surat kabar mahasiswa (SKM) Teknokra. Lalu, bergabung dan menjadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, setelah bekerja di harian Lampung Post-hingga sekarang.

Rekam jejak kepenulisan, berbagai pengalaman, dan prestasi di bidang jurnalistik dan lomba kepenulisan, menjadikannya seorang penulis yang sebenar-benarnya.

Pengalaman praktis faktual dan empirik (empirical experience) inilah yang lebih banyak dipaparkan secara apik, runtut, dan dialogis oleh Adian Saputra dalam buku ini. Buku ini bernas, berbobot, tapi "tidak berat" dicerna pembacanya.

Menulis dengan Telinga boleh dibilang sebagai sebuah karya buku individual, pengalaman nyata (empirical experience-book story).

Pengalaman suka dan duka, jerih payah, pahit getir, trial and error, mencoba-salah-dikembalikan, tapi terus mencoba lagi sampai berhasil, secara gamblang disampaikan kepada para pembacanya.

Tulisan dalam buku ini malah akan mampu menjadi pemandu dan pedoman serta guru yang sebenarnya, terutama bagi peminat dunia tulis menulis.

Dalam buku ini Adian menuturkan urut-urutan pengalaman empirik kepenulisan tersebut. Mulai dari soal bakat, mood, daily activity, berpikir kritis, tulisan opini, pasarkan tulisan, kiat "merayu" redaktur agar tulisan dimuat, teknik blitzkrieg opini, tulisan spesialis kontra generalis, cerita anak hingga resensi buku.

Penulis juga membagi resep jitu menampung ide-ide segar yang seakan tiada kering, pedoman menggunakan bahasa jurnalistik yang resik dan asyik, serta sejumlah kiat kepenulisan.

Gaya bertutur (naratif-deskriptif) dengan pilihan kata dan kalimat yang sesuai dengan cara bertutur bahasa lisan umumnya- tapi mampu ditranskripsikan dalam bentuk bahasa tulis oleh penulisnya—menjadi keunggulan tersendiri.

Menarik pula dalam setiap pergantian bab pokok bahasan (20 bab) buku ini, juga ditampilkan ilustrasi gambar karikaturis, dengan bahasa pergaulan sehari-hari anak muda yang sejalan dengan topik telah dibahas penulisnya.

Nyaris tiada cacat dan cela terdapat dalam buku ini. Namun, pada setiap awal topik (bab), masih terdapat jeda halaman kosong yang lumayan longgar, dan boleh jadi sebenarnya terlalu lebar, tanpa apa-apa. Padahal di bagian bawah setiap halamannya tampak menjadi terasa menyempit dalam beberapa halaman di dalamnya yang terasakan menjadi gangguan keindahan tata letak dan ilustrasi yang sudah lumayan apik dalam buku ini.

Mengingat sebagian besar materi dalam buku ini merupakan pengalaman empiris penulisnya, akhirnya tidak bisa tidak, buku ini pun menjadi karya tulis yang sangat "individualis" dari sudut pandang penulis bersangkutan, kendati dalam setiap topik bahasan selalu disisipkan panduan teoritikal, berbagai referensi, dan pedoman kiat serta panduan menulis dari berbagai sumber di dalamnya.

Semua itu, lagi-lagi, bukan menunjukkan kekurangan buku ini, tapi sekaligus membuktikan kekuatannya.

Namun, betapa pun juga, karya tulis berupa buku yang dinilai sebaik apa pun—oleh pembaca dan para kritikus—tetaplah belum sempurna dan selalu memiliki catatan kekurangan tersendiri untuk bahan mengevaluasi diri bagi karya pembuatan dan penerbitan buku selanjutnya.

Buku Menulis dengan Telinga ini menjadi sangat penting untuk dibaca, khususnya untuk para peminat dunia tulis-menulis. Kendati diterbitkan dan ditulis dari Lampung, buku ini tak kalah bergengsi dan berbobot, dibandingkan buku tentang kepenulisan yang pernah diterbitkan di negeri ini, seperti halnya karya Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa penulis (buku) terkenal lainnya, seperti Andrea Hirata (tetralogi Laskar Pelangi) atau Habiburrahman El Shirazy (novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih).

Boleh jadi, buku ini akan juga menjadi buku yang termasuk laris di pasaran dan banyak dibaca orang.

Budisantoso Budiman, jurnalis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

[Fokus] Hoki dan Solidaritas di Tengah Laut

MEMANCING di laut tidak melulu bergantung pada peralatan dan kemahiran memainkan joran. Adakalanya hoki yang menentukan. Dan, ada solidaritas dan kebersamaan.

Angin laut yang terus menampar daun telinga Khairul sudah tak lagi ia dengar. Meskipun sesungguhnya bising, berada di tengah laut menunggu umpan dimangsa ikan menjadi momen yang terus hening.

Namun, saat kedutan kuat menyendal di tangan, suasana jadi berbeda. “Nah, strike gua. Ada yang mau bayar? Ayo, Rp20 ribu?” canda Khairul kepada beberapa rekannya yang masih terus manyun menunggu ikan tertipu.

Candaan itu lahir saat spot pancingnya tidak terlalu galak. Jika ada salah satu pancing yang disambar ikan, ada canda transaksi untuk saling menggoda.

Rombongan pemancing yang biasa mengail ikan di Tanjungputus, Teluk Lampung, memang tidak pernah absen mengajak Khairul. Khairul dianggap bawa hoki dan selalu ikut jika memancing. “Saya selalu diajak kalau teman-teman mancing. Kata mereka, saya sering bawa hoki kalau mancing. Kalau ada saya, dapat banyak ikan,” kata Khairul, warga Kemiling, yang hobi memancing di laut ini.

Menurutnya, memancing tidak hanya mengandalkan alat dan keahlian, tapi juga perlu hoki. Orang yang hoki mancing, selalu saja bisa mendapat ikan, di saat yang lain tidak. “Walaupun ikan yang didapat kecil, ada saja yang didapat sama orang yang punya tangan hoki mancing,” kata dia.

Toto Subiantoro mengatakan saat memancing bersama rekan yang lain, tidak boleh egois dan menurutkan ego. Saat kail seorang pemancing dimangsa ikan, maka pemancing yang lain harus menarik tali pancing dan kailnya. Hal ini penting agar kail yang dimangsa ikan tidak mengenai kail pemancing lain. “Kalau kail yang lain tidak diangkat, bisa kusut terkena kail yang lain yang sedang dimangsa ikan. Jika kusut, tali bisa putus,” katanya.

Khairul pun tidak kalah solidaritas kepada sesama pemancing. Ada rekannya yang tidak tidur dan memancing hingga pagi hari. Khairul yang merasa mengantuk ini pun tetap menemani temannya memancing. “Ya walaupun sambil ngantuk-ngantuk, saya temenin yang mancing sampe pagi,” kata dia.

Kesetiakawanan muncul ketika sesama pemancing berada di tengah lautan. Kondisi laut yang sulit ditebak dan kapal pun bisa saja tenggelam dan karam. Guna mengantisipasi korban, sesama kapal yang sedang memancing saling berkomunikasi melalui marine radio.

Toto mengatakan setiap kapal saling menjaga komunikasi. Bila kapal pemancing berpindah lokasi, selalu memberi kabar dengan kapal terdekat. Komunikasi pun terhubung dengan komunitas pancing yang ada di daratan. “Ada relawan di darat yang juga memantau. Kapal terdekat akan memberi pertolongan jika ada kapal lain yang berada dalam bahaya. Masing-masing kapal selalu berkomunikasi tiap 30 menit untuk mengetahui kondisi terakhir,” kata Toto.

Pemancing pun memiliki aturan-aturan tidak tertulis, tapi disepakati dan dijalankan. Selain aturan menjaga komunikasi sesama pemancing di laut lepas, pemancing juga dituntut untuk melepaskan ikan langka. Pemancing hanya diperbolehkan mengambil ikan konsumsi, seperti kerapu, eskolar, dan kakap. Ikan yang tidak boleh dikonsumi, antara lain ikan layaran, todak, dan marlyn.

“Kalau dapat ikan yang memang dilindungi, maka harus dilepaskan kembali ke habitatnya,” kata Toto. Menurutnya, ada ikan jenis tertentu yang hanya boleh diambil ketika beratnya melebihi 50 kg. Ukuran tersebut dinilai sudah menjadi ikan dewasa dan boleh dikonsumsi.

Musim Memancing

Berbeda dengan nelayan yang menghindari terang bulan karena dianggap tidak banyak ikan, para pemancing tidak bergantung pada bulan. Toto menilai memancing tidak bergantung pada bulan. Meskipun terang bulan, pemancing tetap bisa mendapat ikan. “Pada saat terang bulan, ikan bisa berada di kedalaman tertentu yang tetap bisa dicapai dengan tali pancing,” kata PNS Pemprov Lampung ini.

Dalam setahun, ada satu waktu menjadi masa emas nelayan dan pemancing. Pada saat itu ikan yang berada di Teluk Lampung lebih banyak dibandingkan biasanya. Menurut Khairul, pada saat ikan bermigrasi, banyak ikan yang terdampar di Teluk Lampung. Pada saat itulah tangkapan nelayan dan pemancing melimpah.

Migrasi ikan ini ditandai bila jumlah ikan di Gudanglelang melimpah. “Migrasi ikan hanya terjadi sekali dalam setahun, dan itu pun tidak lama, hanya satu minggu. Selama satu minggu itulah ikan melimpah dan mudah untuk dipancing. Kebanyakan jenis ikan simba berbagai ukuran. Ada yang beratnya mencapai 5 kg per ekornya,” ujar Khairul.

Hampir setiap minggu, Khairul bersama teman-temannya memancing dengan menyewa kapal nelayan. Dia bersama delapan temannya memancing di sekitar Teluk Lampung, tidak terlalu jauh dari pesisir Bandar Lampung. “Kami yang dekat-dekat seja. Pagi berangkat, sore pulang,” kata dia.

Khairul menilai keasyikan memancing adalah saat umpan ditarik ikan. Perasaan senang dan bangga yang tidak ada nilainya menikmati saat-saat menarik ikan yang memakan umpan. “Apalagi jika hanya kita yang dapat ikan, senangnya minta ampun,” kata dia.

Lokasi yang sering dikunjungi Khairul untuk memancing masih di Teluk Lampung, Tanjungputus, atau di dekat Pantai Marina, Lampung Selatan. Dia menilai ada rasa dan nuansa berbeda antara memancing di kolam dan di tengah laut.

“Kalau mancing di kolam, kita sudah tahu jenis dan besarnya ikan. Kalau di laut, kita dibuat penasaran karena enggak tahu ikan apa yang memakan kail kita,” ujar PNS di Pemrov Lampung ini.

Apalagi jika ikan yang dipancing lepas. Khairul pun makin penasaran dan merasa tertantang untuk mendapatkan buruannya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

[Fokus] Hobi Memancing, Harapan Rezeki Nelayan

TELUK Lampung menjadi salah satu lokasi favorit bagi para pemancing. Para pemancing yang menyalurkan hobinya di Teluk Lampung juga tidak sedikit. Banyaknya pemancing ini menjadi sumber penghasilan bagi para nelayan pemilik kapal. Terutama nelayan di pesisir Bandar Lampung yang hampir tiap minggu kebanjiran tawaran dari para pemancing untuk menyewa kapal.

Masdulhaq adalah salah satu pemancing yang selalu menyewa kapal nelayan di sekitar Telukbetung. Kapal inilah yang membawanya ke perairan Teluk Lampung yang berjarak hingga 4 mil dari pantai. “Kalau mau dapat kapal, kita harus pesan satu bulan sebelumnya. Kepala nelayan selalu disewa untuk memancing. Kalau tidak dipesan satu bulan sebelumnya, jangan harap bisa memancing ke tangah laut,” kata dia.

Menurut Khairul, pemancing yang tinggal di Kemiling, tempat sewa kapal untuk keperluan memancing banyak dijumpai di Telukbetung Selatan. Tapi, jangan harap bisa langsung mendapatkan kapal bila tidak memesan dari pekan sebelumnya. “Hampir tiap minggu, kapal langganan sewa pemancing. Terutama di akhir pekan. Pada hari kerja pun ada orang yang menyewa untuk memancing,” kata Khairul.

Masdulhaq memang memiliki langganan tempat menyewa kapal, milik nelayan di Kelurahan Ketapang. Kapal bisa disewa sehari atau beberapa hari sesuai kebutuhan. Biaya sewa kapal nelayan tergolong murah. Apalagi bila ditanggung bersama rekan sesama pemancing. “Biasanya satu kapal bisa angkut sampai 10 penumpang. Jadi bisa dibagi 10, lebih murah,” katanya.

Menurutnya, makin banyak orang yang memancing maka akan menambah penghasilan nelayan. Sekali mengantarkan rombongan pemancing, nelayan yang menyewakan kapal bisa mendapat penghasilan Rp1,2 juta. “Belum tentu nelayan bisa mendapatkan uang Rp1,2 juta dalam sehari hanya dengan mengail ikan,” kata Masdulhaq.

Biaya sewa kapal nelayan ini sebesar Rp900 ribu untuk sehari semalam. Kapal berukuran sedang ini bisa menampung 10 orang, tidak termasuk anak buah kapal. Namun, bila menginginkan pelayanan plus, makan dan umpan, harus mengeluarkan biaya tambahan. Nelayan mematok harga Rp1,2 juta sewa kapal plus makan. Untuk sewa kapal kecil yang cukup menampung empat orang, hanya dikenakan sewa Rp250 ribu sampai Rp350 ribu.

Menurut Khairul, pemilik kapal besar memberikan layanan plus-plus kepada para pemancing. Selain memasak makanan, anak buah kapal juga akan menyelam untuk memeriksa titik yang akan dipancing. Hal ini untuk memastikan apakah ada tidak ada di spot yang akan dijadikan lokasi memancing.

Toto Subiantoro menyewa kapal cepat dan besar untuk menuju lokasi ikan. Kapal yang mampu bergerak 10 knot per jam ini memang jauh lebih mahal. Fasilitas lengkap dan canggih membuat biaya sewa juga besar.

Menurutnya, banyak kapal-kapal besar yang bisa disewa untuk memancing di laut lepas hingga 12 mil dari pantai. Harga sewa antara Rp13 juta dan Rp15 juta untuk tiga hari.

Kapal yang dipakai dilengkapi fish finder, marine radio, dan flare. Fasilitas lainnya ada kamar tidur dan kamar mandi.

Dengan kapal dan peralatan yang lebih canggih, lokasi yang banyak ikan mudah ditemukan. Berbeda dengan kapal tradisional yang hanya mengandalkan indera.

Ada Pemerintah di Laut?

Jumlah ikan di Teluk Lampung makin berkurang. Faktor pemakaian bom ikan dan pukat menjadi penyebab rusaknya dasar laut dan membuat populasi ikan berkurang. Nelayan makin sulit mendapat ikan hingga 4 mil dari pantai, yang menjadi daerah tangkapan nelayan kecil.

Masdulhaq mengatakan pemerintah kabupaten dan kota yang memiliki wilayah luat harus berbuat sesuatu guna mengembalikan populasi ikan di Teluk Lampung. Yang perlu dilakukan adalah dengan membangun rumpon-rumpon di laut sebagai tempat berkumpul ikan. Rumpon ini akan berkembang menjadi tempat ikan berkembang biak karena banyak makanan.

Menurutnya, tidak sulit dan mahal membangun rumpon di laut. Cukup dengan membuat tempat dari semen dan ditambah pelepah kelapa. Semen dan pelepah ini, lama-kelamaan akan menjadi tempat makan ikan dan ikan pun mulai datang. Ikan kecil dan ikan besar akan berkumpul jika ada makanan. “Kalau dibuat banyak rumpon, ikan pun makin banyak. Tidak perlu waktu lama, 1 tahun setelah rumpon dibangun, ikan akan banyak berkumpul,” kata dia.

Makin banyak ikan di Teluk Lampung, kata dia, makin banyak pemancing dari luar daerah dan luar negeri yang datang. Hal ini akan menunjang pariwisata Lampung sekaligus menjadi sumber penghasilan baru bagi n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

[Fokus] Berfilsafat dengan Laut dan Pancing

MEMANCING bukan sekadar kesenangan mendapatkan ikan. Hobi ini dipercaya mampu melepas stres. Apalagi di tengah laut, kita bisa kontemplasi tentang kehidupan.

Sabtu pagi, pekan lalu, kapal nelayan ukuran sedang itu melancong membelah laut Teluk Lampung. Tak tanggung, dengan kecepatan 10 knot per jam, perahu berisi 10 penghobi memancing itu berlayar selama 10 jam. Tujuannya, perairan Gosong Pasir.

Lokasi ini diyakini sebagai tempat (spot) yang along, istilah nelayan, untuk memancing. Ikannya melimpah dan besar-besar. Setelah sampai, perjalanan melelahkan itu seolah hilang ketika mata pancing sudah dilepaskan.

Toto Subiantoro, satu dari penghobi mancing, menuturkan pengalaman dan suka dukanya tentang memancing di laut. Gosong Pasir dan sekitarnya, kata dia, sangat dikenal karena laut yang memiliki kontur gunung yang menjadi tempat idola ikan-ikan besar berkumpul. Daerah ini mencapai 12 mil dari pesisir Bandar Lampung dan hanya bisa ditempuh dengan kapal besar. “Hanya kapal besar saja yang bisa ke sana,” ujar Toto.

Hampir setiap bulan, Toto dan beberapa rekannya yang lain pergi ke Gosong Pasir dan sekitarnya. Mereka pun bisa memancing selama tiga hari di perairan yang sudah masuk ke Selat Sunda tersebut. “Di situ memang tempat memancing yang sudah terkenal hingga ke luar negeri. Yang memancing banyak dari Kalimantan dan ada juga dari luar negeri. Mereka membawa kapal yang lebih besar,” kata dia.

Warga Kemiling, Bandar Lampung, ini memang sangat suka memancing. Hobi yang sudah ia geluti selagi masih muda. Toto adalah pemancing kelas kakap. Dia dan rekannya tidak main di perairan nelayan, tapi lebih jauh ke lokasi ikan-ikan yang disebut monster. Ikan yang beratnya bisa lebih dari 50 kg.

“Saya pernah dapat ikan yang beratnya 90 kg di lokasi Gosong Pasir dan sekitarnya. Nariknya aja perlu waktu hingga 2 jam,” kata Kasubbid Keanekaragaman Pangan Badan Ketahanan Pangan Lampung ini.

Dia mengaku mendapat kesenangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata saat memancing ikan di laut lepas. Kebahagian yang didapat saat memancing tidak dapat dinilai dengan uang.

Pengalaman Masdulhaq tampaknya lebih dalam. Pensiunan PNS ini menganggap memancing bukan hanya pelepas stres dan rekreasi yang murah meriah. Namun, dia mendapat banyak pengalaman hidup dari kegiatan memancing.

“Orang memancing bukan hanya sekadar mendapat ikan. Memaknai setiap bagian dari proses memancing yang bisa menjadi pelajaran hidup,” kata dia.

Menurutnya, banyak filsafat kehidupan yang bisa diambil dari memancing. Mulai dari rasa syukur hingga mengerti tentang kekuasaan Sang Maha Pencipta. Dia mencontohkan ketika ada dua orang memancing, yang berpengalaman dan yang baru pertama kali memancing duduk bersebelahan. Ternyata yang lebih dahulu mendapat ikan, bahkan memperoleh tangkapan yang lebih banyak adalah orang yang baru pertama kali memancing.

“Artinya, rezeki dari Tuhan bisa diberikan kepada siapa saja. Tidak harus kepada orang yang sudah berpengalaman. Di sini kita bisa legawa jika ternyata di kantor, ada rekan kerja yang bisa mendapat banyak rezeki,” kata pria 61 tahun ini.

Saat seseorang memancing seharian dan hanya mendapat dua ikan, itu pun yang ukuran kecil. Dari pengalaman itu, kata dia, kita diajarkan untuk mensyukuri apa yang sudah didapat. Dengan mendapat ikan kecil itulah kita menghidupi keluarga di rumah. “Bagaimana kita menyikapi bila ternyata kita mendapat ikan sedikit untuk keluarga di rumah. Itulah salah satu pengalaman baru yang lain,” kata dia.

Masdulhaq pernah mengalami kejadian yang tidak pernah dia lupakan. Ketika memancing di perairan Labuhanmaringgai pada 1994, kapal yang ditumpanginya dan beberapa rekannya mengalami kerusakan mesin. Dia pun terapung selama empat hari di laut lepas.

“Dalam kondisi inilah kita langsung ingat Tuhan. Kita pun langsung menghitung kebaikan dan kejahatan yang sudah dilakukan,” kata Masdulhaq.

Mantan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Lampung ini menjadikan kejadian itu sebagai pengalaman pahit adi lautan itu dan sebuah renungan. Terkadang dia sengaja pergi memancing saat malam hari. Memancing sekaligus untuk mendekatkan diri pada kuasa Tuhan.

“Malam-malam kita di tengah lautan, ini makin membuat kita selalu ingat Tuhan. Bahkan menjadi renungan tentang keterbatasan manusia. Manusia hanya seperti dasar kapal yang mudah tenggelam. Malah kalah dengan ikan teri yang bisa berenang lincah di lautan luas,” ujarnya berfilosofi. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012