November 9, 2015

Keberaksaraan dan Eksistensi Manusia

Oleh Tjahjono Widarmanto

KEBERAKSARAAN sudah lama membedakan diri dengan ketertinggalan melalui tradisi aksara. Kelisanan dianggap sebagai hal yag tidak ideal dan menutup berbagai akses komunikasi dan pengetahuan. Adapun, keberaksaran membukakan peluang tak hanya bagi kata, kalimat atau informasi pengetahuan namun juga menguatkan eksistensi manusia yang membedakannya dengan mahluk lain. Tak bisa terbayangkan bagaimanakah wujud eksistensi manusia tanpa tradisi keberaksaraan.

Sungguh pun demikian bukan berarti kelisanan merupakan kehinaan. Kelisanan dapat menghasilkan karya dan renungan-renungan diluar jangkauan orang melek aksara, misalnya Odyssey. Namun, keberaksaraan membantu mendorong permata-permata kelisanan menjadi lebih dikenal, menjadi lebih luas penyebarannya, menjadi mudah diakses, dan yang lebih penting menjadi lebih terbuka dan memungkinan ditafsir ulang.

Salah satu penanda eksistensi manusia adalah kebutuhannya untuk saling berkomunikasi.Setiap bentuk komunikasi manusia, baik verbal maupun bukan, membutuhkan model ‘medium” agar bisa berlangsung dengan baik dan terjadi proses umpan balik umpan balik. Model medium yang paling tepat bagi umpan balik itu adalah keberaksaraan. Melalui aksara, pesan bergulir dari posisi pengirim ke posisi penerima. Dalam proses penerimaan itulah terjadi penafsiran, reka ulang dan penawaran-penawaran. Keberaksaraan menjadi tidak lagi sekedar wadah komunikasi namun menjadi sebuah ruang dialektika. Budaya keberaksaraan tidak hanya menghasilkan teks atau informasi namun menghadirkan juga kesediaan menerima dan membongkar. Informasi yang melalui tradisi keberaksaraan tidak berhenti sebagai sebuah informasi namun melahirkan tanggapan-tanggapan, tafsiran-tafsiran bahkan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bibit informasi-informasi baru.

***

Yang menjadi ciri eksistensi manusia lainnya adalah keinginannya untuk merdeka. Merdeka secara individual mauun komunal. Secara individual, berarti menjadi individu otonom, personal yang bebas dan berhak untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Secara komunal berarti merupakan individu-indidu dalam status kebangsaan yang merdeka dan tidak terjajah, yang merdeka.

Sejarah telah mencatat bahwa kebangkitan suatu bangsa untuk merdeka diawali dengan kegandrungan dan keterpesonaan pada dunia intelektualitas. Dunia intelektualitas bercirikan dan mensyaratkan adanya tradisi keberaksaraan. Melalui tradisi keberaksaraanlah sebuah wacana diproduksi, dieksprsikan, ditawarkan dan diperdebatkan dalam ranah publik. Termasuk wacana untuk tentang kebangsaan. Dengan kata lain melalui keberaksaraanlah perjuangan kebangkitan kebangsaan dimunculkan. Sejarah kebangkingatan kebangsaan merupakan gelombang sejarah yang bergulir melalui fase permulaan (persiapan), fase pembentukan dan fase pematangan. Di sepanjang fase itulah peran keberaksaraan tampak jelas:amatlah penting.

Jurgen Harbemas meriwayatkan bahwa pembentukan tradisi intelektualitas modern di Eropa Barat dimulai dengan hadirnya berbagai jurnal, kelompok-kelompok studi, perbincangan di kedai kopi yang ternyata mustahil muncul tanpa adanya keberaksaraan. Munculnya Budi Oetomo, Indische Party, Sarikat Islam, dan sebagainya di Indonesia karena tumbuhnya tradisi keberaksaraan.

Tradisi keberaksaraan membuka peluang kesadaran kebangsaan semaikin terbuka dan dikenali publik. Majalah-majalah seperti Soeloeh Pengadjar (1887), Taman Pengadjar (1899-1914), Bintang Hindia (1902), Sinar Djawa (1914), Jurnal  Indonesia Merdeka, Indonesia Moeda, Majlah Bendera Islam, Daulat Rakjat, dan Balai Pustaka telah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa tradisi keberaksaraan menjadi tulang punggung kesadaran bangkitnya kebangsaan. Melalui kerja aksara dan bahasalah perjuangan kebangsaan bermula.

***

Menulis merupakan kerja mencipta yang harus terangkai dengan kerja membaca. Membaca dan menulis merupakan persyaratan tradisi keberaksaraan. Menulis dan membaca tak boleh direduksi sebagai sekedar kemampuan untuk melek huruf saja.    

Keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban dan pencapaian tertinggi dalam evolusi budaya, Keberaksaraan merupakan instrumen budaya, organ kemajuan sosial dan sarana penguasaan dan pengembangan sains. Melalui tradis keberaksaraan titik sentral perubahan dimulai, oleh karena itulah harus dibangun dan dikuatkan masyarakat keberaksaraan. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah karena keberaksaraan menghadapi berbagai ancaman. Ancaman yang paling besar adalah dari dari dua hal yaitu tantangan pertama yaitu membanjirnya kebudayaan populer yang melahirkan kedangkalan yang instan (contoh televisi) yang melahirkan kelisanan kedua dan yang kedua adalah munculnya vokasional baru (new focationalism) yaitu konsep pendidikan yang menekankan ketrampilan teknis, yang oleh Frank Fueredi disebutnya sebagai the cut of philistinism---pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.

Tradisi keberaksaraan harus dibangun melalui gerakan kebudayaan yang harus secara konstan dikembangkan yang harus melibatkan seluruh aktor dalam tradisi keberaksaraan yaitu penulis, pembaca, penerbit, sekolah, masyarakat luas dan lembaga berwenang. Semoga!

Tjahjono Widarmanto, Sastrawan dan esais


Sumber: Fajar Sumatera, Senin, 9 November 2015






1 comment: