May 10, 2009

Perjalanan: Berwisata Seru dan Gratis di Pantai Bakauheni

BENTANG pantai yang memagari wilayah Lampung Selatan memang memberi warna wisata amat memukau. Maka, jika Anda dikepung perasaan waswas oleh dana yang terbatas untuk sekadar rekreasi, ini petunjuk sederhana yang dapat dinikmati.

"Ternyata nggak semua tempat berwisata kita mesti bayar ya?" begitulah kalimat yang keluar dari mulut kami, saat tiba di Pantai Tanjung Bani, Desa Pinang Gading, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan.

Sekitar pukul 10.00, saat tiba di lokasi tujuan, kami menemui rombongan pemancing dan belasan remaja yang tengah mandi di pantai. Rombongan pemancing mengambil posisi di depan pegunungan. Sedangkan anak-anak remaja pada hari Minggu itu memilih berwisata di pantai yang menyeberangi kanal.

"Mereka (rombongan pemancing, red) itu dari Merak dan Serang (Provinsi Banten, red), Mas," kata Tono. Sedangkan anak-anak remaja yang seusia SMP dan SMA itu menurut pengakuan mereka berasal dari Kecamatan Penengahan dan Bakauheni.

Perjalanan kami pada hari Minggu itu dimulai dari Bandar Lampung. Dari Bandar Lampung kami bertiga. Tetapi sesampainya di Bakauheni, tempat kami berkumpul, kami berlima, yaitu saya, Edi Prasetyo, Sabar Hartono. Teman kami bertambah dengan adanya Suhartono atau biasa dipanggil Tono dan Siswanto yang menjadi penunjuk jalan.

Awalnya, Tono bercerita kepada saya kalau ada satu lokasi yang sangat baik untuk berwisata. "Semuanya ada di tempat itu. Kecuali orang yang berjualan. Mau mancing ada tempatnya. Mau mandi laut sepuasnya, bisa. Mau lihat lalu lalang kapal feri, bisa. Mau naik gunung juga bisa. Mau merenung di hutan bakau juga boleh," begitu kata Tono, sehingga kami tertarik untuk datang ke tempat itu.

Sebab Tono mengatakan tidak ada orang yang berjualan makanan, maka sebelum menuju lokasi, kami terlebih mampir ke sebuah mini market yang letaknya setelah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) Bakauheni. Dari jalan arah Bandar Lampung, sekitar dua kilometer sebelum gerbang Pelabuhan Bakauheni, kami belok kanan. Orang-orang menyebutnya simpang Jalan Bunut.

Jalan menuju lokasi itu sempit. Selain itu aspalnya juga banyak yang telah mengelupas sehingga banyak lubang. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang penuh tanjakan dan turunan, jadilah perjalanan itu penuh tantangan. "Pake gigi satu aja, Mas," kata Tono yang telah terbiasa melalui jalan itu. Meski kondisi jalannya seperti itu, Tono mengatakan jika jalan itu menjadi jalan alternatif menuju Pelabuhan Bakauheni saat ada perbaikan jalan Trans Sumatera.

Perjalanan sepanjang delapan kilometer itu akhirnya kami tempuh dalam waktu 30 menit. Sepanjang jalan yang kami lalui adalah perladangan penduduk yang menggunakan pola terasiring karena lokasinya yang ada di daerah perbukitan dan rumah-rumah semipermanen. Sementara itu, sekitar dua kilometer menjelang Pantai Tanjung Bani, kami menemui beberapa lokasi tambak udang. Masyarakat sekitar menyebut wilayahnya itu dengan nama Pantai Penubaan.

Tidak Cocok bagi Anak-anak

Pantainya yang berbatu dan dalam adalah ciri khas kawasan itu. Tidak heran, karena 10 kilometer dari tempat itu adalah Pelabuhan Bakauheni yang tentu saja butuh pantai yang dalam. Meski demikian, ada satu tempat yang luasnya sekitar lima hektare, adalah pantai dangkal. Di kiri dan kanannya diapit bukit, sehingga ombak tidak terlalu besar. Hamparan pasir putih, menjadikan tempat itu menjadi lokasi mandi di pantai. Di seberang lokasi pantai dangkal itu tampak tiga pulau.

Jika hendak memancing, pilihannya adalah terlebih dahulu berjalan menyusuri bukit-bukit. Ada satu tempat pemancingan yang sangat ideal, namanya Pantai Tanjung Tua. Ideal, karena jarak pantai yang berbatu dengan laut sekitar dua meter adalah laut dalam. Kedalamannya sekitar 20 hingga 30 meter. Begitu mata kail dilemparkan, ikan kakap atau simba segera menyambar umpan itu.

Disebabkan bibir pantai yang dalam itu, beberapa pemancing memilih memakai pelampung saat memancing. "Untuk keamanan saja, Mas. Saya nggak bisa berenang," kata seorang pemancing yang tengah asyik memasangkan potongan cumi ke dalam mata kail. Sembari memancing, kita bisa melihat lalu lalang kapal feri yang menyeberangi Selat Sunda. Beberapa kapal patroli dari Polairud (Kepolisian Air dan Udara) juga tampak menyusuri kawasan itu.

Sedangkan di pantai yang dangkal itu sendiri masih banyak batu karang yang tajam. Hal itu wajar, karena pantai itu sama sekali belum dikelola sebagai tempat wisata dan lebih sebagai tempat wisata petualangan. Pantai itu sendiri menurut hemat saya belum cocok membawa anak-anak atau keluarga.

Hutan Santigi

Di lokasi itu, ada dua pilihan untuk wisata. Jika ingin memancing, kita menyusuri bukit. Jika hendak mandi, kita memilih pantai yang dangkal. Untuk mencapai pantai dangkal, kita harus menyeberangi kanal. Saat air surut dalamnya kanal adalah semata kaki. Namun saat pasang, kedalaman kanal mencapai pinggang orang dewasa. Kita bisa juga menyeberangi jembatan darurat, tapi tempatnya agak jauh.

Tiga teman kami memilih untuk berwisata di dalam hutan pantai. Di lokasi itu ditemui vegetasi pantai seperti bakau atau mangrove (rhizophora), santigi (pemphis acidula), santigi lanang (lumnitzera racemosa), serut (streblus asper), bunut (L ficus), wahong laut (premna nauseose), waru (hibiscus tiliaceus). Sedangkan beberapa fauna yang kami temui adalah belibis, kacer, dan beberapa burung yang tidak kami ketahui namanya. Di belakang pantai, tampak beberapa tambak udang tradisional yang dikelola warga sekitar.

Potensi

Wisata pantai tidak sepenuhnya alami. Beberapa kawasan, sudah rusak oleh tangan-tangan manusia. Tetapi kawasan hutan yang diisi vegetasi pantai itu tampaknya masih terjaga. Ada beberapa pohon yang tumbang, tetapi itu sepenuhnya karena ombak dan abrasi pantai. Pohon santigi yang tumbang itu oleh beberapa penduduk tetap dimanfaatkan. "Karena kayunya keras, batang santigi ini paling bagus untuk membuat tasbih," kata Tono.

Saat sore menjelang, anak-anak remaja dan para pemancing itu pulang. Tetapi bukan berarti tempat itu menjadi sepi. Beberapa orang justru datang hendak memancing malam hari di tempat itu. "Kami lebih suka mancing malam hari, karena nggak panas," kata seorang pemancing.

Begitulah sekelumit siklus di Pantai Tanjung Bani, yang sebagian sudah rusak dan sebagian tetap terjaga. Apa yang bisa dinikmati dari alam yang sudah rusak? Kerusakan oleh manusia itu dibiarkan secara alami. Atau istilah kawan saya adalah, manusia yang memulai alam yang menyempurnakan. n KRISTIANTO/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009

3 comments:

  1. bisa tolong jelaskan cara menuju tanjung tua dari bandar lampung, trims, tolong kirim ke fb ku di kiki_kemiling@yahoo.com

    ReplyDelete
  2. EndangIndah banget ya pantaiinya.
    sebandinglah sama proses perjalanan yang berliku2 dan melelahkan :D

    ReplyDelete
  3. Kapan kapan ajak aku ya, Satu
    kali aja cukup kayanya

    ReplyDelete