May 3, 2009

Perjalanan: Decak Pelintas Pesisir Kalianda

SUATU perjalanan panjang, terutama yang melintasi daerah yang belum pernah dikunjungi selalu memberi catatan pengalaman. Maka, cobalah melintas di jalan kecil mulus di pesisir Kalianda. Anda pasti akan berdecak!

Berniat mengintip anak Gunung Krakatau yang konon sedang batuk-batuk, satu trip dijalankan menuju pos pemantau gunung berapi itu di bilangan Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan. Selain untuk konsumsi berita, perjalanan sekaligus melihat fenomena alam yang dahsyat itu.

Rabu (29-4) pagi, cuaca Bandar Lampung cerah. Kondisi ini diasumsikan sebagai kesempatan yang baik untuk meneropong segala sesuatu dari jarak jauh. Lebih-lebih untuk melihat fenomena alam yang amat berbahaya jika didekati.

Perjalanan dengan minibus memakan waktu hampir dua jam sampai ke Kalianda. Namun, sampai ibu kota Kabupaten Lampung Selatan itu, cuaca berubah gerimis. Mendung menggantung sehingga mengganggu pikiran apakah bisa menikmati panorama lava pijar atau debu vulkanik memancar ke udara. Tetapi, kondisi itu tidak menyurutkan niat.

Perjalanan dilanjutkan dengan menerobos Kalianda yang dibuka dengan tatanan kota yang cukup baik. Menembus pasar lama, aroma laut mulai terendus. Berikutnya, jalan tidak lebar yang tampak sudah cukup tua mengantar ke suasana pesisir pantai dengan sebutan Kalianda Bawah.

Melintasi wilayah ini cukup memberi warna etnik. Sebab, meskipun hunian warga tidak lagi berbentuk panggung, wajah bangunan tua cukup mendominasi. Ini menjadi petunjuk bahwa Kalianda Bawah adalah bagian penting sejarah ibu kota Lampung Selatan.

Di sepanjang jalan ini, rumah di sisi kanan (dari arah Bandar Lampung) membelakangi laut. Debur ombak yang cukup deras menjadi pemandangan sekaligus back ground vocal yang tak pernah lelah untuk setiap suara. Otomatis, setiap pelintas semuanya menengok kanan hampir sepanjang perjalanan. Ya, pesona laut dengan batu-batu besar diterpa ombak adalah pemandangan yang dinamis dan menyegarkan.

Belum jauh perjalanan, satu dermaga terbuka bertahta dengan perahu-perahu kayu yang takzim mengelilinginya. Penduduk setempat menyebut pertambatan kapal ini sebagai dermaga bom. Aktivitas nelayan secara berkala terjadi. Namun, tidak setiap saat dapat ditemukan transaksi ikan di tempat ini karena sangat tergantung musim.

Jalan aspal mulus itu terus berada di pinggir pantai, meskipun bukan di bibir laut. Sebab, rumah-rumah penduduk dalam dua saf masih ada yang membatasi jalan dengan pantai. Juga kebun kelapa, belukar, dan hutan batu di pinggir-pinggir laut. Namun, aura laut masih terus mendominasi atmosfer.

Terus melaju dengan lambat, Desa Maja menyambut dengan tugu tapal batasnya. Batu kapal, tempat wisata yang dikelola amatiran ada di sana. Desa-desa nelayan dengan aktivitas penduduknya yang khas menjadi pemandangan lain. Juga bongkah batu-batu besar yang konon berasal dari letusan Gunung Krakatau berserak di sebilang tempat.

Berikutnya adalah Desa Tengkujuh. Batu-batu besar masih banyak dan tidak memilih lokasi. Ada yang berada sekitar 200 meter dari pantai sehingga beberapa nelayan pancing menunggu kedut tarikan ikan dari atasnya. Bahkan, ada warga yang menikmati istirahat sore dengan tidur di ceruk batu di tengah laut, bermusik debur arus laut yang mengempas.

Canti, adalah desa berikutnya. Sekali lagi, meski sudah hampir 20 menit, perjalanan terus menyusuri pinggir laut. Nama Canti memang cukup dikenal sebagai tempat wisata. Beberapa lokasi wisata amatiran mengadang pengunjung dengan portal sederhana. Namun, ada satu resor profesional yang sesungguhnya amat menawan bagi wisatawan. Namanya, Banding Resort.

Tak sempat masuk ke resor yang tampak kurang pengunjung itu. Mungkin karena promosinya yang kurang tepat dan gencar. Mungkin juga karena minimnya event yang digelar. Namun, dari jalan yang membelok cekung membentuk teluk, Banding Resort terlihat bagian dalamnya. Tampak dari kejauhan, Banding Resort membuat selasar boulevard sepanjang lebih satu kilometer.

Bendung laut di sepanjang pantai itu memang tidak menyisakan pasir putih yang lazimnya dikagumi wisatawan untuk berenang atau berjemur. Tetapi, boulevard dengan paving block mulus di bagian atas membuat pengunjung resor itu bisa menikmati pemandangan kedalaman laut dan rasa ombak mengempas dari dekat. Pantai Losari di Makassar dapat memberi gambaran lokasi resor itu.

Terus mengiringi pantai, pohon-pohon kelapa dengan berbagai pose berdirinya melambaikan daunnya yang lembut gemulai bak rambut gadis sampo. Di bawahnya, rumput hijau mengalasi nyiur alami. Angin yang senantiasa deras mengirimkan energi menjadi gerak dinamis alam asri.

Selepas tempat ini, Anda bisa jeda sedikit dari menengok ke sisi kanan dengan lautnya. Menengoklah ke kiri. Selain agar tidak tengeng (tegang), juga karena ada pemandangan yang biasanya hanya ditemukan di gambar-gambar kalender. Gunung Rajabasa yang memulai ketinggian langsung tegak dari lokasi ini menyisakan jembar-lempar sawah dengan tetanam padi. Gubuk-gubuk petani, orang-orangan sawah pengusir burung pipit, pohon gernuk, dan aktivitas para pahlawan pangan dengan cangkul dan sapi bajaknya adalah keluar biasaan pemandangan.

Gunung tertinggi di Lampung itu hijau di bagian dekat, membiru di bagian jauh, dan mengabut di bagian puncak. Alamiah dan kokohnya mengantar pikir kepada keperkasaan Sang Khalik yang menciptakannya. Pemandangan itu terus sampai perjalanan menembus perbukitan yang berkelok-kelok indah. Sementara itu, laut terus memandu pandang di sebelah kanan melintasi Desa Way Muli.

Berikutnya, Desa Kunjir. Kantor kepala desa yang berada di sisi kiri jalan tampaknya sengaja dibuat berhadapan langsung dengan laut lepas. Dari tempat ini, jika cuaca cerah dan tidak ada penguapan (kabut), Gunung Krakatau dapat disaksikan aktivitasnya.

Jalan yang dibuka sejak zaman Belanda itu tampaknya dibangun mengikuti alur pantai yang berliuk-liuk membentuk teluk. Baru, setelah perjalanan sekitar 15 kilometer, jalur mulai menghindari laut. Jalan mulai menanjak, turun tajam, dan berkelok-kelok di punggung bukit.

Sampai di Desa Hargo Pancuran, ada bangunan sederhana di sebelah kanan. Di lokasi itu, Gunung Krakatau dipantau setiap detak jantungnya dengan alat bernama seismograf. Dari view-nya, lokasi ini memang tidak representatif dalam kacamata awam. Tetapi, mungkin ilmu vulkanologi yang menentukan titik koordinat terbaiknya sehingga lokasinya di sini.

Andi, petugas pos pemantau yang sudah mbahurekso sejak 1995, mengatakan tidak setiap hari Krakatau dapat dilihat dari sini. Bahkan, pada bulan-bulan musim kemarau, bisa berbulan-bulan tidak terlihat. "Tetapi, getarannya terekam di alat ini," kata dia.

Alat teropong panjang tersedia di pos ini. Namun, sekali lagi sering tidak bermanfaat karena gunung tertutup awan. "Biasanya Desember sampai Januari lebih banyak terlihat. Sebab, musim hujan tidak terjadi penguapan sehingga kabut tidak ada," kata dia.

Lokasi pantai nan indah, dan pos pemantau Krakatau ini sesungguhnya menjadi cukup dekat dari pusat para pemburu kesegaran alam. Yakni, warga Ibu Kota Jakarta. Sebab, dari Pelabuhan Bakauheni dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Yakni, melalui jalan akses tebusnya yang berada di Perempatan Gayam, Kecamatan Penengahan.

Ya, selayaknya Anda yang sudah jenuh dengan rutinitas untuk mencoba kesegaran alam pesisir Kalianda. Ahhh....... n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Mei 2009

No comments:

Post a Comment