May 16, 2009

Perjalanan: Menyuguhkan 'Bonbin Mini' TWBK ke 'Urang' Bandung

KALAU Anda kedatangan tamu jauh yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Kota Tapis, jangan khawatir mengajaknya berwisata ria. Sebab, beberapa tempat di kota ini memiliki lokasi yang asyik buat dijadikan sarana rekreasi maupun sekadar meluruskan benang kusut dalam pikiran.

***

"Muter-muter di Bandar Lampung asyik nggak nih?" tanya seorang rekan dari pulau seberang di ujung telepon beberapa waktu lalu. "Soalnya Ci, aku cuma sebentar nih ke sana (Bandar Lampung, red)," kata dia lagi.

"Oho...so pasti asyiklah. Jangan khawatir Kang, nanti aku ajak muter-muter deh," ucap saya menerima tantangan teman lama di telepon.

Dan benar, hanya sekitar tiga jam dari waktu kami bicara, rekan saya dari Bandung sudah menginjakkan kaki di Kota Tapis tercinta.

"Wah...Lampung kotanya cantik ya...," ucap Telak, rekan dari Bandung tadi, begitu kami sampai di Jalan Raden Intan, Tanjungkarang.

Ini merupakan pertama kali Kang Telak datang ke Lampung. Ya, kami berteman sejak tahun 1998, ketika ada kegiatan konservasi di Cisarua. Dan beberapa kali ada kegiatan di Lampung, Kang Telak tak bisa hadir karena kesibukan yang menyita waktu.

"Dari sejak 10 tahun lalu ya saya mau ke Lampung, tapi baru sempat kali ini. Duh, padahal Lampung kan dekat ya dari Bandung," ujarnya sedikit menyesal.

Kang Telak hanya punya waktu dua hari di Kota Tapis. Hari pertama kami berdiskusi tentang banyak hal, termasuk tentang konservasi di Lampung yang memiliki banyak persoalan. Diskusi ini jadi menarik karena saya juga mengajak beberapa rekan dari Bandar Lampung bergabung, untuk sekadar urun rembuk.

Lalu saya mengajaknya melihat "kemeriahan" mal dan pusat perbelanjaan di seputar Bandar Lampung, maklum, mungkin rekan saya ini masih capai menempuh perjalanan sehingga saya tak membawanya jauh-jauh.

Hari kedua, saya mengajak Kang Telak ke lokasi wisata yang ada di Kota Tapis, yakni Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) di Batu Putu, Telukbetung Barat.

Pemilihan lokasi ini karena memang berada di tengah kota dan juga tak jauh dari topik diskusi kami, yakni konservasi. Apalagi di TWBK ini ada semacam kebun binatang mini.

Akses menuju Taman Wisata Bumi Kedaton ini tidak sulit, cuma sekitar setengah jam berkendara dari pusat Kota Bandar Lampung. Selama dalam perjalanan menuju objek wisata itu pasti disuguhi panorama alam pegunungan dan lembah yang hijau dan udara yang sejuk mengingat kawasan ini terletak di ketinggian antara 700 meter dan 900 meter.

Meskipun saya tahu bahwa di Jawa Barat itu memang gudangnya tempat wisata, saya percaya kalau di tanah kelahiran saya ini memiliki potensi yang tak kalah menariknya dengan di Jabar. Ya, walaupun sedikit, pasti adalah yang membekas. Begitu pikir saya.

Dan ternyata benar. "Wah, topografi Lampung bagus juga ya Ci, ada lembah dan bukit, juga dekat dengan laut. Menarik dan indah," ucap Kang Telak.

Mendengar itu, saya makin gencar menerangkan berbagai hal tentang potensi di Kota Tapis ini bak tour guide. Tapi saya juga fair, ketika bicara soal fasilitas dan sarana pendukung yang memang kurang memadai atau belum digarap secara maksimal.

Sesampai di gerbang TWBK, kami langsung disapa petugas untuk menarik retribusi. Kami bertiga dikutip Rp24 ribu plus parkir kendaraan.

Semua kendaraan parkir di sisi kanan pintu masuk. Lumayan luas juga lahan parkir yang ada, bisa menampung sekitar 50--100 kendaraan roda empat. Dari sini kami mulai berjalan kaki menyusuri lembah karena letak TWBK ini meliputi bukit dan lembah.

Taman wisata yang dibuka akhir Oktober 2004 itu berada di bagian barat Kota Bandar Lampung ini, memang menarik dan unik sehingga cocok sebagai tempat untuk rileks bagi keluarga dan wisatawan setelah berkelana di Lampung.

Menariknya lantaran nuansa alam perbuktian, lembah, perkampungan hijau, dan gemercik sungai begitu kental. Memang taman wisata ini sejak dulu sampai kini dikenal sebagai daerah penghasil buah-buahan segar seperti durian, pisang, dan lainnya. Karena struktur di tanah ini daerah ini memang subur, hijau, dan lumayan sejuk karena masih banyak pepohonan.

Beberapa hewan menghiasi taman ini, mirip kebun binatang (bonbin) mini. Beberapa koleksi satwa seperti harimau Sumatera, gajah sumatera, buaya, siamang, beruk, kera ekor panjang, kijang, ayam hutan, elang, biawak dan berbagai jenis ayam dari China, Arab, dan Australia, menjadi penghuni tetap.

Kebun binatang mini inilah yang pertama kali kami singgahi. Dimulai dari kandang unggas. Saya sempat berlama-lama di depan kandang ayam jambul. Lucu dan unik. Itulah yang membuat saya berlama-lama di depan kandang ini sambil membidikkan kamera. Konon, ayam jambul ini berasal dari luar Indonesia.

Di kandang harimau, kami agak kecewa karena si Aum sedang tertidur pulas dalam kandang isolasi. Teriakan suara kami tidak membuat Aum bergerak dari PW-nya (posisi wuenak-nya). "Uh...sombong bener nih si Aum," kata saya sambil melanjutkan ke kandang buaya.

"Buayanya banyak, mereka lagi berjemur. Tapi kok kandangnya tidak dikunci sih. Duh, kalau ada pengunjung yang iseng melepas kan kunci ini bagaimana ya. Wah tidak aman nih," kata Kang Telak sambil mengaitkan gembok yang terpasang.

"Iya ya, mungkin petugas baru kasih makan, trus lupa mengunci," ucap saya memberikan alasan.

"Tapi kan tetap tidak aman, kalau ada pengunjung yang usil atau anak-anak yang tidak mengerti akan bahaya ini," balas Kang Telak.

Saya cuma menyengir dan menyayangkan hal itu.

Ketika berada di deretan kandang burung elang, rekan saya langsung berujar "Lo, inikan elang jawa. Wah ini satwa yang dilindungi lo. Dapat koleksi dari mana ya," tanyanya.

Aku cuma menggeleng. "Nanti kita tanyakan saja sama petugas," jawab saya.

Kami terus berpindah dari satu kandang ke kandang lain, sambil menuruni lembah dan sampailah di tepi sungai. "Ada flying fox juga, mau main?" tanya saya. Rekan saya menggeleng. Malahan ia ingin melihat gajah, kalau bisa menungganginya.

Atraksi gajah memang ada, bahkan pengunjung dapat menunggang gajah dengan rute khusus, memberi makan gajah bahkan foto bersama hewan berbelalai panjang ini. Untuk naik gajah ini, pengunjung dikutip Rap15 ribu--Rp20 ribu/orang.

Sayangnya atraksi ini hanya ada pada hari libur/Minggu saja. Karena kami ke TWBK pada hari Kamis, atraksi gajah tidak ada.

Bumi Kedaton juga dilengkapi lahan perkemahan yang ada di bagian utara di sisi sungai yang mengalir dari lereng Gunung Betung. Juga tersedia fasilitas rekreasi keluarga, rumah khas Lampung bertiang, bungalo dengan panorama lembah dan perbukitan yang cocok untuk rileks, lokasi outbound, trek joging, wisata kano di sungai nan jernih dan bersih.

Setelah puas keliling TWBK, kami kembali ke parkiran. Kami harus berjalan kaki menggunakan gigi satu, maklum jalannya menanjak. Untungnya dalam beberapa pekan ini saya rajin treadmill, so jalan menanjak tak membuat ngos-ngosan meskipun keringat mulai mengalir.

"Lokasinya bagus kok Ci, lebih terawat dibanding dengan kebun binatang Bandung. Bumi Kedaton ini kalau dikelolah lebih intens lagi, pasti bisa banyak mengundang wisatawan dari luar," papar Kang Telak.

Dari TWNK, saya mengajak urang Bandung ini ke Pantai Mutun, di Lempasing. Sebab, rekan saya ini kepengin sekali melihat "kehebohan" pantai di Lampung yang cukup terkenal.

Decak kagum juga terlontar begitu melihat Pantai Mutun yang masih "alami" dan lokasinya tak jauh dari pusat kota. "Sayang saya tak bawa celana pendek untuk mandi nih," ucap Kang Telak. n SRI AGUSTINA/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009

No comments:

Post a Comment