May 24, 2009

Standardisasi Bahasa Lampung: Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi

Oleh Imelda*

PASCAREFORMASI pembicaraan yang mengangkat tema-tema kearifan lokal menjadi pembicaraan yang menarik untuk diikuti. Terlebih lagi ketika kearifan lokal tersebut dianggap menjadi jawaban atas kerusakan alam dan kehidupan sosial untuk menjadi ancangan strategis melakukan pembangunan di daerah, khususnya Lampung.

Salah satu hal yang menjadi polemik dan menarik dalam sebuah seminar di Universitas Lampung beberapa waktu lalu ialah masalah standardisasi bahasa Lampung. Hal ini menjadi perdebatan yang menarik ketika pembicara, baik itu kalangan struktur, pemangku adat, serta akademisi memiliki jawaban yang berbeda.

Inti permasalahannya ialah isoleks Lampung yang mana yang akan dijadikan standar bahasa Lampung yang akan dimunculkan di tingkat nasional dan internasional karena dalam seminar tersebut saya mendengar bahwa Lampung yang harus muncul itu adalah Lampung yang satu.

Lampung yang satu menjadi sebuah kata kunci yang kemudian juga, menurut asumsi saya, menjadi latar kemunculan polemik Sang Bumi Ruwa Jurai atau Sai Bumi Ruwa Jurai. Meski demikian, setakat ini saya tidak ingin mengangkat polemik sai dan sang karena perdebatan mengenai standardisasai bahasa Lampung ini menjadi lebih menarik karena ada pertimbangan-pertimbangan tidak rasional, secara akademik, yang menggelitik ruang pikiran saya sebagai peneliti bahasa sekaligus orang Lampung.

Lampung merupakan sebuah ruang yang saya diami sejak saya lahir dan di sana pula saya tahu bahwa ada berbagai macam isoleks yang menurut peneliti pendahulu yang berasal dari negeri Belanda, disebut dialek a dan o. Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat yang cair, entitas yang berhubungan dengan kebahasaan ini terus berkembang dan makin hari jaraknya makin meluas sehingga memunculkan dialek yang berbeda serta jarak kemengertian yang makin meluas.

Dalam seminar tersebut saya mendengar pula pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu bahasa Lampung itu satu, akan tetapi menjadi berbeda ketika persebaran dan kontak dengan para pendatang menjadikan bahasa Lampung sebagai dua dialek yang berbeda.

Pendapat pertama mengenai standardisasi bahasa Lampung ialah pendapat seorang pejabat struktural yang mengatakan Lampung harus mempunyai satu bahasa standar. Ia menambahkan ragam bahasa yang selayaknya diangkat ialah bahasa "Lampung cadang" yang menurutnya dapat dimengerti orang Lampung dengan berbagai dialeknya.

Pendapat tersebut sekilas terdengar menjembatani perbedaan dialek, tetapi terdengar sangat eksentrik karena orang-orang Lampung yang merasa bahasanya tidak cadang (rusak) tentu keberatan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat dapat menerima ketika ragam Lampung cadang diangkat menjadi bahasa standar?

Pendapat lain ialah pendapat yang dikemukakan pemuka adat yang cukup terkemuka di Lampung. Dia mengatakan tidak perlu melakukan pemilihan bahasa seperti itu karena yang menjadi pengikat bahasa Lampung ialah bahasa tulisnya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk berbahasa dengan dialek apa saja tidak menjadi permasalahan karena beliau cukup mengerti, meskipun berbeda dialek.

Selain pendapat mengenai kemengertian, secara eksplisit dia pun menambahkan berbahasa dengan dialek api lebih disukai karena terdengar lebih halus dan sopan. Apakah kemudian bahasa berdialek a yang seharusnya diangkat? Tentu ini masih menjadi tanda tanya karena, sepanjang pengetahuan saya, egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan pemuka adat tersebut tidaklah keliru, tetapi menjadi bertabrakan ketika pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk pengembangan kebahasaan di Lampung. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan dialek menjadi bahasa tentu menjadi pertimbangan. Persoalan dana kemudian membuat elite birokrat Lampung untuk memilih dialek mana yang akan dikembangkan karena dialek tersebut kemudian akan dibuat menjadi buku pelajaran yang kemudian dengan konsekuensi dikenal dan dimengerti secara luas oleh generasi muda di Lampung.

Pendapat lain ialah pendapat implisit seorang elite ilmu yang dikemukakan peneliti bidang teknologi yang membuat kamus digital bahasa Lampung dengan dialek yang dikuasainya. Tidak menjadi masalah ketika kemudian pembuatan kamus digital tersebut menjadi karya pribadi, tetapi akan menjadi masalah ketika kamus tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat luas akan dialek yang sepantasnya dikembangkan untuk masyarakat.

Pemilihan dialek yang tidak dilakukan secara cermat, tidak hanya mengambur-hamburkan biaya yang besar, tetapi juga menjadi tidak begitu bermanfaat ketika masyarakat luas tidak menerima dialek yang dikembangkan. Dengan kata lain, jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar tersebut berakar pada ketidaktahuan akan action yang seharusnya diambil ketika identitas ke-Lampung-an ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.

Dalam hal pengembangan kebahasaan diperlukan dialog yang egaliter antara pemerintah, adat dan akademisi karena tidak ada salah satu di antaranya yang memiliki kewenangan lebih karena kerja standardisasi ini bukan untuk kepentingan pemerintah, adat atau akademik saja, melainkan lebih jauh, untuk kepentingan generasi muda yang akan memakai dan mengembangkan bahasa Lampung standar.

Catatan:

Isoleks merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam ilmu linguistik untuk mengacu pada suatu ragam wicara kelompok masyarakat yang belum diketahui statusnya sebagai bahasa atau dialek. Sampai kini, dialek yang diketahui secara luas di lampung ialah dialek a dan o.

* Imelda, peneliti bidang Antropologi Linguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI-Jakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009

No comments:

Post a Comment