Oleh Y. Wibowo
TAHUN 2009 ini, Pemerintah Provinsi Lampung mencanangkan tema Visit Lampung Years. Gebrakan dan upaya positioning Lampung sebagai daerah tujuan pariwisata layak diacungi dua ibu jari. Perlu didukung dengan semangat proaktif masyarakat luas, perlu disokong pendanaan yang memadai guna menyambut "tamu" domestik dan wisatawan asing.
Sejatinya, konsep Visit Lampung Years 2009 merupakan upaya mematenkan Lampung sebagai daerah tujuan wisata, menjadi daerah yang tidak saja dilirik, tapi juga harus "dijamah". Pertanyaannya kemudian, positioning Lampung sebagai daerah pariwisata macam apa yang dimaksud dalam Visit Lampung Years 2009?
Apakah embel-embel daerah tujuan wisata selanjutnya diartikan sebagai objek wisata yang mengedepankan berbagai produk atraksi kesenian tradisional yang dipadatkan penyajiannya sebagai unggulan daya tarik wisata? Atau para pelaku pariwisata diwajibkan menggenakan busana tradisional Lampung yang terdiri dari kain tapis dan pakai mahkota siger?
Lampung sampai hari ini masih belum "tergarap" baik itu peninggalan bangunan heritage-nya, kesenian tradisi-nya, olahan culinary atau adat istiadat yang adiluhung dengan nilai-nilai kultur sebagai mahakarya nenek moyang. Sedangkan sebagai daerah wisata prasyarat dasarnya juga belum tergarap; mentalitas masyarakat yang berbudaya dan bermartabat sehingga tamu merasa kerasan dan kangen karena keramah-tamahannya.
Untuk menjadi berbudaya dan bermartabat, Lampung mesti hadir sebagai "masyarakat yang terdidik" dan teruji dalam dimensi ruang dan waktu yang berhasil menghantarkan masyarakat didiknya menjadi masyarakat intelektual tulen yang religius, humanis, berbudaya, dan bermartabat.
Lalu bagaimana dengan kondisi penyajian objek wisata itu sendiri? Kumuh, kotor penuh coretan graffiti liar, ala kadarnya, bersih, unik, menarik, menawan? Bagaimana pula dengan pola pelayanan dan citra kenyamanan yang didedikasikan kepada para wisatawan?
Sudah siapkah Pemprov Lampung menyediakan sarana prasarana, SDM, dan lingkungan yang menunjang keberadaan objek wisata tersebut?
Terlepas dari berbagai pertanyaan di atas, seyogianya sebelum mencanangkan kembali Lampung sebagai daerah pariwisata, lebih dahulu perlu mempersiapkan berbagai objek wisata di seantero Lampung lengkap dengan sarana prasarana yang memadai, nyaman, aman, ngangeni, dan khas Lampung.
Langkah yang dilakukan: Membuat zonasi atas objek wisata yang ada di Lampung. Zona satu, terdiri dari: Wisata pendidikan dan konferensi, wisata culinary sajian beragam jenis makanan khas Lampung dan sekitarnya. Wisata belanja kerajinan di sepanjang kawasan jalan-jalan perkampungan budaya.
Wisata heritage yang terdiri dari bangunan peninggalan nenek-moyang seperti Kepaksian Buay Pernong, bangunan arsitek kolonial yang ada dan mengandung "story" yang masih berdiri megah hingga sekarang, seperti beberapa benteng Jepang di Kalianda, arsitektur Masjid Agung yang unik dan indah. Selain itu juga bangunan yang sengaja dijadikan ikon Lampung; menara siger, dengan ditunjang sarana dan prasarananya hingga memadai.
Serta wisata seni rupa, seni pertunjukan tradisional dan kontempoter dilengkapi museum, galeri, ruang pamer, gedung pertunjukan dengan dukungan kreativitas seniman yang berjibun jumlahnya.
Zona dua, wisata sejarah, dan wisata religius. Semuanya itu bisa didapatkan di daerah Lampung Timur: Pugung Raharjo dan sekitarnya dengan berbagai bangunan kuno dan makam leluhur peninggalan kerajaan. Kalianda, dengan bangunan peninggalan Radin Intan, Liwa yang menyimpan riwayat agung Paksi Phak juga alamnya nan molek sehingga menunjang wisata Bumi Kedaton dan Lembah Hijau dengan atraksi wisata dan koleksi berbagai binatang dan tumbuhan langka.
Konsep zonasi objek wisata ini akan menjadi pedoman dalam mempromosikan objek wisata kepada masyarakat luas lewat berbagai media komunikasi visual dan memudahkan pelaku pariwisata untuk mengagendakan berbagai atraksi unggulan di setiap zonasi objek wisata daerah Lampung. Dengan demikian, para wisatawan akan tersebar ke berbagai objek wisata sesuai dengan minat masing-masing tanpa harus menumpuk dan terkonsetrasi di kawasan Kota Bandar Lampung yang dari hari ke hari wajahnya pun mulai cemberut.
Zonasi objek wisata semacam itu menjadi penting bagi wisatawan yang akan mengunjungi Lampung. Dengan zonasi objek wisata seperti itu lebih memudahkan wisatawan mengunjungi objek wisata di Lampung sesampainya mereka turun dari kereta api, pesawat terbang, bus pariwisata atau kendaraan pribadi.
Mereka tidak akan kebingungan karena memiliki panduan dalam bentuk buku objek wisata Lampung atau denah lokasi, sistem pertandaan yang dengan cermat dan unik akan memandu wisatawan menuju objek wisata yang diinginkan.
Identitas Visual Kota
Setelah zonasi objek wisata ditentukan, sekarang gilirannya memanjakan para pelancong dengan menyuguhkan identitas visual yang representatif sebagai pengeling-eling pernah mengunjungi objek pariwisata Lampung.
Dalam konteks ini, sejatinya para pelancong sangat memerlukan media informasi yang menggunakan simbol-simbol desain grafis dalam menggambarkan posisi suatu tempat, arah menuju ke objek wisata, petunjuk atau instruksi tentang suatu agenda acara. Para wisatawan itu memerlukan misalnya: Peta lokasi keberadaan potensi kultural Lampung lengkap dengan sign system yang unik dan artistik agar mampu menuntun mereka menuju lokasi yang diinginkan. Serta memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan objek wisata tersebut.
Melihat kebutuhan identitas visual dan infografis lingkungan semacam itu, sudah selayaknya Pemprov Lampung memelopori pembuatan identitas visual, sistem pertandaan yang terintegrasi antarlokasi wisata yang ada di seantero Lampung. Sebab, dengan adanya identitas visual dan sistem pertandaan yang dirancang secara terpadu akan meningkatkan citra Lampung sebagai sebuah daerah yang memiliki keunikan objek pariwisata berbasis budaya.
Desain sistem pertandaan yang dibutuhkan untuk mewujudkan identitas visual kawasan wisata kota dan daerah Lampung adalah desain grafis lingkungan dan infografis berwujud tanda-tanda komunikasi visual yang komunikatif.
Setiap unsur tersebut, baik teks verbal ataupun citra visual dihubungkan sedemikian rupa dengan memanfaatkan konsep gestalt (sosok, latar, bentuk positif dan negatif) yang dikemas secara dekoratif dengan ramuan komposisi, ritme dan kontras yang senantiasa terjaga keseimbangannya.
Kesadaran Pelaku Pariwisata
Konsentrasi berikutnya adalah mempersiapkan, menata, dan mendidik SDM pelaku pariwisata, pejabat publik, dan masyarakat luas agar memiliki kesadaran akan pentingnya dunia pariwisata bagi kota dan daerah Lampung dengan mengedepankan aspek historis dan produk kebudayaan mutakhir.
Wujud nyata yang dapat segera diejawantahkan salah satunya dengan memberikan jaminan kepada wisatawan untuk mendapatkan kemudahan dalam hal sirkulasi keluar-masuk objek wisata, rasa aman dan nyaman, serta menemukan suasana khas yang bersifat rekreatif.
Selain itu perlu pula dilakukan penataan rute jalan wisata yang nyaman, kendaraan yang dirancang khusus untuk mengangkut wisatawan keliling Lampung, street furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah, tempat parkir yang tertata rapi, membunuh premanisme juru parkir nakal, membersihkan sampah, menata PKL dan taman kota lengkap dengan patung-patung kota yang dapat menimbulkan kesan indah, bersih, nyaman, dan ngangeni. Semuanya itu sangat didambakan wisatawan dalam rangka mendapatkan pengalaman dan kenangan khusus ketika mereka melancong di kawasan tersebut.
Implementasi Identitas Visual Kota
Kesadaran masyarakat luas, pejabat publik, dan SDM pelaku pariwisata perlu senantiasa ditumbuhkan dengan mengedepankan aspek budaya local yang menjadi saka guru bagi perkembangan emosi dan intelektualitas masyarakat Lampung. Budaya Lampung piil pesenggiri, (Rizani Puspawijaya) dapat terwujud sebagai karakter building yang sosialisasinya atau pengajarannya dapat diajarkan dalam kegiatan keluarga dan sosial, melalui upacara daur hidup yang dimulai dari masa kanak, remaja, dewasa, perkawinan, upacara kehamilan, kelahiran, sampai kematian.
Manakala implementasi konsep identitas visual kota dan daerah Lampung sudah mangejawantah, maka mewujudkan pariwisata Lampung berbasis budaya dengan serta-merta akan mulus menancap di benak dan sanubari para pelancong yang mengunjungi Lampung. Kesemua konsepsi tersebut mengajarkan kepada kita untuk menjunjung harga diri dan kesetaraan, bersedia melayani dan menolong siapa pun yang membutuhkan. Sabar, ramah tamah, dan murah senyum. Memelihara dan menjaga lingkungannya agar senantiasa teduh, nyaman, aman, bersih, serta sehat. Senantiasa memelihara keberagaman dengan selalu memunculkan keunikan-keunikan khas masyarakat Lampung.
* Y. Wibowo, arsitek-penyair, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Mei 2009
May 31, 2009
Perjalanan: Mampir 'Nyeger' di Wira Garden
KAWASAN Batu Putu, daerah perbukitan di barat Bandar Lampung, kini menjadi antero wisata. Belasan taman yang memadukan eksotisnya alam dengan view Gunung Betung dan laut Teluk Lampung dengan fasilitas modern bertakhta. Salah satunya adalah Wira Garden.
Menyusuri Jalan Wan Abdurrahman, Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung, memang menyegarkan. Ditembus dari Jalan Pangeran Emir M. Noer, suasana alam pegunungan dengan jalan hotmix meliuk-liuk mendaki dan menurun bukit. Kanan-kiri jalan yang masih didominasi kebun dan belukar dengan pohon-pohon besar menyejukkan perjalanan.
Memasuki daerah ini, perbedaan hawa yang menyejuk seiring dakian kendaraan terus terasa. Di sepanjang perjalanan, kontur lahan yang berlekuk-liku membiak pemandangan kepada alam di seberangnya. Pandangan ke arah barat, mata terantuk dengan megahnya Gunung Betung yang masih cukup lestari.
Ke arah selatan, laut Teluk Lampung membiru dalam bingkai bangunan-bangunan pasar, toko, dan hunian nelayan yang rapat. Juga menara-menara seluler yang menjulang. Jika malam, suasana itu seperti suar-suar yang tak henti gemerlap memberi sinyal tentang adanya kehidupan.
Di beberapa lipatan curam tebing di sepanjang jalan itu, tampak mulai dibangun vila-vila dan lokasi-lokasi yang sepertinya akan dibuat taman wisata. Pemasangan pagar, penataan tanah, dan pengaturan tanaman mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Investasi cukup besar rupanya sedang mengepung kawasan ini. Batu Putu tampaknya akan menjadi kawasan "Puncak"-nya Kota Bandar Lampung.
'Nyeger' di Wira Garden
Salah satu lokasi ngadem yang cukup eksotik di jalur ini adalah Wira Garden. Meski pintu masuknya diformat sederhana dan tidak terlihat glamor, di lokasi seluas 10 hektare yang mulai dibangun tahun 2001 itu memiliki view yang eksotik dan punya sepotong sungai berbatu dan berair jernih sebagai keunggulan. Juga ada tebing batu setinggi 30 meter yang berdiri 90 derajat dan dimungkinkan sebagai ajang adu keahlian olahraga panjang tebing (climbing).
Penanda Wira Garden tidak mencolok. Ini dipengaruhi oleh penampang luar lokasi yang hanya selebar kira-kira 40 meter. Berpagar beton warna hijau muda, mahkota gapura terdapat plang cukup besar dengan tulisan Wira Garden dengan grafis jernihnya air kali di antara bukit batu dengan pohon kelapa.
Langkah berikutnya, jalan berbatu putih menurun menelusup rimbunnya kebun rambutan. Samar-samar mulai terlihat gedung utama taman wisata alam yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan indoor. Bangunan perpaduan arsitektur kayu-beton dua lantai ini diset tertutup di lantai dasar dan teater di lantai atas. Dari balkon dua ruangan ini, pemandangan laut Teluk Lampung dan gunung di kanan-kirinya terlihat benderang saat cuaca cerah.
Untuk mengakses lantai dua tidak harus melewati lantai satu. Sebab, kontur tanah bukit dengan alas batu itu dirancang menjadi tangga naik.
Di tempat ini, berbagai acara dapat digelar. Rapat, seminar, diskusi, dan pertemuan lain untuk kapasitas di bawah 100 orang masih dapat ditampung. Pengelola juga menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. Listrik PLN, air jet pump, dan peranti elektronik juga tersedia.
Sementara sang ayah rapat, istri dan anak-anak dapat menikmati alam dan pemandangan dari beberapa tempat bersantai. Rumput hijau di antara pohon-pohon alamiah khas kebun tropis seperti dunia teletubies. Jalan-jalan dari bebatuan dapat mengantar pengunjung ke fasilitas-fasilitas lainnya.
Di bagian punggung bukit, bertakhta dua rumah peristirahatan mandiri (cottage) dua lantai. Dua kamar dalam satu cottage dengan fasilitas memadai. Di teras, selain bangku-bangku minimalis, ada juga kursi malas yang siap meninabobokan penyandarnya. Di ruang tengah, ada satu set sofa, satu unit televisi, dan beberapa perangkat.
"Di lantai bawah ada ruang keluarga, meja makan set, dan pantry. Pengunjung dapat memasak dan makan bersama dengan leluasa. Fasilitas masak lengkap ada di pantry," kata Tri Wibowo, pengelola taman itu.
Sejajar dengan posisi cottage, ada seunit bangunan putih bersih dan terbuka berupa musala. Hanya semilir angin dan desah gesekan antardedaunan yang dapat mengganggu konsentrasi di lokasi ini.
Terus menuruni lereng bukit dengan tataran-tataran dari semen, di sisi kiri terlihat tebing batu tegak berdiri 90 derajat. Tekstur tebing yang berbatu cadas sangat cocok bagi penggila olahraga panjang tebing untuk menjajal kemampuan. Kondisinya yang alamiah dan belum dijamah bisa menjadi tantangan tersendiri.
Terus ke bawah, gemericik air sungai di bawah rimbunnya pepohonan lestari mendominasi. Membelasak dan menyibak pohon-pohon itu, tampak batu-batu hitam besar bergelimpangan acak berpadu dengan yang kecil. Air yang jernih dari hulu seolah menjadi pengikat bersatunya batu-batu itu.
Untuk menikmati pemandangan dan suara alamiah dinamisnya aliran sungai itu, pihak taman membangun cottage di atas sungai. Cottage yang berfungsi seperti saung itu juga terdiri dari dua lantai. Lantai bawah merupakan lantai terbuka dan menjadi rumah panggung di atas air kali. Sedangkan lantai atas terdapat tempat tidur yang dapat dipergunakan untuk istirahat.
Ke arah hulu, pengelola juga membendung sungai itu dengan batu-batu yang dibentangkan. Hasilnya, lokasi bagian atas bendungan itu menjadi waduk yang jernih dan berfungsi sebagai kali berenang. "Anak-anak bisa berenang di sini dengan aman di air kali yang jernih dan tidak lengket. Dijamin masih sangat bersih," kata Tri.
Di atas kali ini, ada tiga unit kolam yang berisi ikan mas dan nila. Jika sedang terisi, pengunjung dapat memanfaatkan kolam ini untuk hobi memancing.
Di bagian lain, Wira Garden juga terdapat padang selasar rumput yang biasa digunakan untuk perkemahan. Pramuka dan pencinta alam, kata Tri, biasa menggunakan tanah lapang ini untuk berbagai kegiatan outdoor. Pohon-pohon besar dan kemiringan alan yang menantang juga biasa digunakan untuk kegiatan outbound.
Berbagai instansi sudah memanfaatkan taman seluas 10 hektare ini. "Kebanyakan untuk acara orientasi dan outbound. Kami juga menyediakan tenaga profesional pemandu outbound. Baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Namanya Proactive," kata dia.
Ari, Manajer Proactive Adventure Learning School, mengatakan berbagai pelatihan yang berkait dengan kecerdasan, emosi, dan keterampilan menjadi spesialisasinya. Pihaknya siap melayani anak-anak dan keluarga untuk memberikan suatu program rekreasi edukatif dan inovatif di alam terbuka. "Berbagai permainan sesungguhnya hanya sebagai pengantar untuk menyampaikan materi. Intinya, layanan kami adalah untuk rekreasi bermuatan pendidikan, pembangunan karakter, dan terapi tertentu," kata Ari. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Mei 2009
Menyusuri Jalan Wan Abdurrahman, Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung, memang menyegarkan. Ditembus dari Jalan Pangeran Emir M. Noer, suasana alam pegunungan dengan jalan hotmix meliuk-liuk mendaki dan menurun bukit. Kanan-kiri jalan yang masih didominasi kebun dan belukar dengan pohon-pohon besar menyejukkan perjalanan.
Memasuki daerah ini, perbedaan hawa yang menyejuk seiring dakian kendaraan terus terasa. Di sepanjang perjalanan, kontur lahan yang berlekuk-liku membiak pemandangan kepada alam di seberangnya. Pandangan ke arah barat, mata terantuk dengan megahnya Gunung Betung yang masih cukup lestari.
Ke arah selatan, laut Teluk Lampung membiru dalam bingkai bangunan-bangunan pasar, toko, dan hunian nelayan yang rapat. Juga menara-menara seluler yang menjulang. Jika malam, suasana itu seperti suar-suar yang tak henti gemerlap memberi sinyal tentang adanya kehidupan.
Di beberapa lipatan curam tebing di sepanjang jalan itu, tampak mulai dibangun vila-vila dan lokasi-lokasi yang sepertinya akan dibuat taman wisata. Pemasangan pagar, penataan tanah, dan pengaturan tanaman mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Investasi cukup besar rupanya sedang mengepung kawasan ini. Batu Putu tampaknya akan menjadi kawasan "Puncak"-nya Kota Bandar Lampung.
'Nyeger' di Wira Garden
Salah satu lokasi ngadem yang cukup eksotik di jalur ini adalah Wira Garden. Meski pintu masuknya diformat sederhana dan tidak terlihat glamor, di lokasi seluas 10 hektare yang mulai dibangun tahun 2001 itu memiliki view yang eksotik dan punya sepotong sungai berbatu dan berair jernih sebagai keunggulan. Juga ada tebing batu setinggi 30 meter yang berdiri 90 derajat dan dimungkinkan sebagai ajang adu keahlian olahraga panjang tebing (climbing).
Penanda Wira Garden tidak mencolok. Ini dipengaruhi oleh penampang luar lokasi yang hanya selebar kira-kira 40 meter. Berpagar beton warna hijau muda, mahkota gapura terdapat plang cukup besar dengan tulisan Wira Garden dengan grafis jernihnya air kali di antara bukit batu dengan pohon kelapa.
Langkah berikutnya, jalan berbatu putih menurun menelusup rimbunnya kebun rambutan. Samar-samar mulai terlihat gedung utama taman wisata alam yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan indoor. Bangunan perpaduan arsitektur kayu-beton dua lantai ini diset tertutup di lantai dasar dan teater di lantai atas. Dari balkon dua ruangan ini, pemandangan laut Teluk Lampung dan gunung di kanan-kirinya terlihat benderang saat cuaca cerah.
Untuk mengakses lantai dua tidak harus melewati lantai satu. Sebab, kontur tanah bukit dengan alas batu itu dirancang menjadi tangga naik.
Di tempat ini, berbagai acara dapat digelar. Rapat, seminar, diskusi, dan pertemuan lain untuk kapasitas di bawah 100 orang masih dapat ditampung. Pengelola juga menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. Listrik PLN, air jet pump, dan peranti elektronik juga tersedia.
Sementara sang ayah rapat, istri dan anak-anak dapat menikmati alam dan pemandangan dari beberapa tempat bersantai. Rumput hijau di antara pohon-pohon alamiah khas kebun tropis seperti dunia teletubies. Jalan-jalan dari bebatuan dapat mengantar pengunjung ke fasilitas-fasilitas lainnya.
Di bagian punggung bukit, bertakhta dua rumah peristirahatan mandiri (cottage) dua lantai. Dua kamar dalam satu cottage dengan fasilitas memadai. Di teras, selain bangku-bangku minimalis, ada juga kursi malas yang siap meninabobokan penyandarnya. Di ruang tengah, ada satu set sofa, satu unit televisi, dan beberapa perangkat.
"Di lantai bawah ada ruang keluarga, meja makan set, dan pantry. Pengunjung dapat memasak dan makan bersama dengan leluasa. Fasilitas masak lengkap ada di pantry," kata Tri Wibowo, pengelola taman itu.
Sejajar dengan posisi cottage, ada seunit bangunan putih bersih dan terbuka berupa musala. Hanya semilir angin dan desah gesekan antardedaunan yang dapat mengganggu konsentrasi di lokasi ini.
Terus menuruni lereng bukit dengan tataran-tataran dari semen, di sisi kiri terlihat tebing batu tegak berdiri 90 derajat. Tekstur tebing yang berbatu cadas sangat cocok bagi penggila olahraga panjang tebing untuk menjajal kemampuan. Kondisinya yang alamiah dan belum dijamah bisa menjadi tantangan tersendiri.
Terus ke bawah, gemericik air sungai di bawah rimbunnya pepohonan lestari mendominasi. Membelasak dan menyibak pohon-pohon itu, tampak batu-batu hitam besar bergelimpangan acak berpadu dengan yang kecil. Air yang jernih dari hulu seolah menjadi pengikat bersatunya batu-batu itu.
Untuk menikmati pemandangan dan suara alamiah dinamisnya aliran sungai itu, pihak taman membangun cottage di atas sungai. Cottage yang berfungsi seperti saung itu juga terdiri dari dua lantai. Lantai bawah merupakan lantai terbuka dan menjadi rumah panggung di atas air kali. Sedangkan lantai atas terdapat tempat tidur yang dapat dipergunakan untuk istirahat.
Ke arah hulu, pengelola juga membendung sungai itu dengan batu-batu yang dibentangkan. Hasilnya, lokasi bagian atas bendungan itu menjadi waduk yang jernih dan berfungsi sebagai kali berenang. "Anak-anak bisa berenang di sini dengan aman di air kali yang jernih dan tidak lengket. Dijamin masih sangat bersih," kata Tri.
Di atas kali ini, ada tiga unit kolam yang berisi ikan mas dan nila. Jika sedang terisi, pengunjung dapat memanfaatkan kolam ini untuk hobi memancing.
Di bagian lain, Wira Garden juga terdapat padang selasar rumput yang biasa digunakan untuk perkemahan. Pramuka dan pencinta alam, kata Tri, biasa menggunakan tanah lapang ini untuk berbagai kegiatan outdoor. Pohon-pohon besar dan kemiringan alan yang menantang juga biasa digunakan untuk kegiatan outbound.
Berbagai instansi sudah memanfaatkan taman seluas 10 hektare ini. "Kebanyakan untuk acara orientasi dan outbound. Kami juga menyediakan tenaga profesional pemandu outbound. Baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Namanya Proactive," kata dia.
Ari, Manajer Proactive Adventure Learning School, mengatakan berbagai pelatihan yang berkait dengan kecerdasan, emosi, dan keterampilan menjadi spesialisasinya. Pihaknya siap melayani anak-anak dan keluarga untuk memberikan suatu program rekreasi edukatif dan inovatif di alam terbuka. "Berbagai permainan sesungguhnya hanya sebagai pengantar untuk menyampaikan materi. Intinya, layanan kami adalah untuk rekreasi bermuatan pendidikan, pembangunan karakter, dan terapi tertentu," kata Ari. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Mei 2009
May 30, 2009
Teater: Membangun Surga Kita Sendiri di Rumah
BANDAR LAMPUNG--"Kita bisa membangun surga kita sendiri di rumah," kata seorang aktor setelah hampir capai menunggu seumpama Godot. Harapan, cita-cita, mimpi, dan apa pun sebenarnya tak harus jauh-jauh dicari.
PUKAU PENONTON. Komunitas Berkat Yakin (Kober) memukau penonton dengan lakon Rumah dalam di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Jumat 27-5). Lakon ini sekaligus penutup pergelaran teater Kala Sumatera yang diselenggarakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos Belanda. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Barangkali inilah yang hendak disampaikan Komunitas Berkat Yakin (Kober) yang mementaskan Rumah atawa Berkunjung ke Rumah Nenek dalam Pementasan Teater Kala Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Jumat (29-5). Pentas ini sekaligus menutup pergelaran yang diadakan Teater Satu bekerja sama dengan Hivos.
Dahsyat! Meminjam ucapan seorang aktor dalam lakon, memang tidak berlebihan untuk menyebut pentas Kober ini. Ditulis keroyokan (tim Kober) dan disutradarai Ari Pahala Hutabarat, Kober mampu menyajikan pementasan yang hidup, meskipun terasa lambat.
Pada awal pentas penonton sudah dibuat terkesima gerakan aktor/aktris yang berlarian di atas panggung. Pengekspresian perasaan muram dan kebingungan dari masing-masing aktor/aktris patut diacungi jempol.
Set panggung yang minimalis membuat akting aktor/aktris terlihat menonjol, baik itu yang berperan sebagai latar ataupun yang berperan sebagai peran utama dari masing-masing adegan. Pergantian antaradegan pun berlangsung sangat mulus, seperti efek fadeout dalam film.
Rumah adalah sebuah lakon yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyoalkan tentang pulang dan pergi. Sebuah persoalan yang setiap hari kita alami dan diterima begitu saja. Seperti adegan pembuka dan penutupnya yang menggambarkan "kepergian dan kepulangan" tersebut.
Menonton lakon ini seperti membaca puisi. Dalam tiap-tiap adegan mengandung metafora tersendiri. "Seperti puisi. Abstrak. Tiap-tiap orang yang menonton dapat dengan bebas menafsirkannya, tergantung pengalamannya masing-masing," ujar Sitok Srengenge (Kurator Komunitas Salihara Jakarta) ketika ditemui seusai pentas. "Bisa menimbulkan perasaan utopis bagi yang mengalaminya, yaitu sesuatu yang tidak sia-sia jika dilakukan apabila diyakini, seperti agama contohnya."
Kekuatan kata-kata merupakan daya magis dari lakon Rumah ini. Seperti puisi, setiap gerakan dan kata-kata dari masing-masing aktor/aktris merupakan sesuatu yang berkesinambungan. Saling terikat antara yang satu dengan yang lain, tetapi juga dapat berdiri sendiri atau mempuyai makna sendiri tergantung cara pandang individu yang menontonnya. "Mungkin, bisa juga disebut Teater Puisi, di mana kata-kata adalah unsur yang sangat diperhatikan. Dan, oleh Teater Berkat Yakin dikemas dengan cemerlang," kata Sitok.
Ada yang menarik pada ending cerita saat seorang tokoh berkata, "Kita harus mencarinya, kalau tidak, kita akan kehilangan alasan untuk berjalan".
Artinya, apa pun yang akan kita lakukan harus diyakini dengan sebenar-benarnya agar tidak hilang arah dalam melakukan sesuatu karena dapat dipastikan, sesuatu itu akan selalu berhubungan dengan diri dan lingkungan sekitar kita.
Puluhan penonton yang didominasi anak sekolah memenuhi setiap kursi yang tersedia. Penutupan pentas teater se-Sumatera yang ditandai kesan salah satu pengamat, Ratna Riantiarno dari Teater Koma, Jakarta, dan sambutan penutup Pemimpin Umum Teater Satu Iswadi Pratama sebagai pemrakarsa pergelaran tersebut. n MG13/P-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Mei 2009
PUKAU PENONTON. Komunitas Berkat Yakin (Kober) memukau penonton dengan lakon Rumah dalam di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Jumat 27-5). Lakon ini sekaligus penutup pergelaran teater Kala Sumatera yang diselenggarakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos Belanda. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Barangkali inilah yang hendak disampaikan Komunitas Berkat Yakin (Kober) yang mementaskan Rumah atawa Berkunjung ke Rumah Nenek dalam Pementasan Teater Kala Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Jumat (29-5). Pentas ini sekaligus menutup pergelaran yang diadakan Teater Satu bekerja sama dengan Hivos.
Dahsyat! Meminjam ucapan seorang aktor dalam lakon, memang tidak berlebihan untuk menyebut pentas Kober ini. Ditulis keroyokan (tim Kober) dan disutradarai Ari Pahala Hutabarat, Kober mampu menyajikan pementasan yang hidup, meskipun terasa lambat.
Pada awal pentas penonton sudah dibuat terkesima gerakan aktor/aktris yang berlarian di atas panggung. Pengekspresian perasaan muram dan kebingungan dari masing-masing aktor/aktris patut diacungi jempol.
Set panggung yang minimalis membuat akting aktor/aktris terlihat menonjol, baik itu yang berperan sebagai latar ataupun yang berperan sebagai peran utama dari masing-masing adegan. Pergantian antaradegan pun berlangsung sangat mulus, seperti efek fadeout dalam film.
Rumah adalah sebuah lakon yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyoalkan tentang pulang dan pergi. Sebuah persoalan yang setiap hari kita alami dan diterima begitu saja. Seperti adegan pembuka dan penutupnya yang menggambarkan "kepergian dan kepulangan" tersebut.
Menonton lakon ini seperti membaca puisi. Dalam tiap-tiap adegan mengandung metafora tersendiri. "Seperti puisi. Abstrak. Tiap-tiap orang yang menonton dapat dengan bebas menafsirkannya, tergantung pengalamannya masing-masing," ujar Sitok Srengenge (Kurator Komunitas Salihara Jakarta) ketika ditemui seusai pentas. "Bisa menimbulkan perasaan utopis bagi yang mengalaminya, yaitu sesuatu yang tidak sia-sia jika dilakukan apabila diyakini, seperti agama contohnya."
Kekuatan kata-kata merupakan daya magis dari lakon Rumah ini. Seperti puisi, setiap gerakan dan kata-kata dari masing-masing aktor/aktris merupakan sesuatu yang berkesinambungan. Saling terikat antara yang satu dengan yang lain, tetapi juga dapat berdiri sendiri atau mempuyai makna sendiri tergantung cara pandang individu yang menontonnya. "Mungkin, bisa juga disebut Teater Puisi, di mana kata-kata adalah unsur yang sangat diperhatikan. Dan, oleh Teater Berkat Yakin dikemas dengan cemerlang," kata Sitok.
Ada yang menarik pada ending cerita saat seorang tokoh berkata, "Kita harus mencarinya, kalau tidak, kita akan kehilangan alasan untuk berjalan".
Artinya, apa pun yang akan kita lakukan harus diyakini dengan sebenar-benarnya agar tidak hilang arah dalam melakukan sesuatu karena dapat dipastikan, sesuatu itu akan selalu berhubungan dengan diri dan lingkungan sekitar kita.
Puluhan penonton yang didominasi anak sekolah memenuhi setiap kursi yang tersedia. Penutupan pentas teater se-Sumatera yang ditandai kesan salah satu pengamat, Ratna Riantiarno dari Teater Koma, Jakarta, dan sambutan penutup Pemimpin Umum Teater Satu Iswadi Pratama sebagai pemrakarsa pergelaran tersebut. n MG13/P-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Mei 2009
May 29, 2009
Pergelaran Teater: Jalanan, Istana Manusia Baja
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Jalanan adalah tempat kita bisa belajar banyak tentang kehidupan, tempat segala apa pun dapat terjadi. Di jalanan, mental kita dapat ditempa. Jalanan adalah istana bagi manusia dengan mental baja.
Hal tersebut tersirat dalam lakon Di Pertigaan Rumahhitam karya/sutradra Tarmizi Matihamur yang dimainkan oleh Teater Rumahhitam, Batam, pada hari kelima pergelaran teater se-Sumatera di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (28-5).
Lakon ini ber-setting pada sebuah pertigaan jalan yang dipenuhi spanduk-spanduk calon anggota legislatif (caleg)--yang tentunya fiktif. Beragam dialog dan ekspresi ditampilkan sebagaimana kondisi jalanan sesungguhnya. Ada seseorang yang menunggu bus, ada pengamen yang biasa ditemui di jalanan, bahkan ada orang gila.
Pada awalnya, lakon berjalan menarik dengan monolog si orang gila yang mengomentari spanduk-spanduk caleg tersebut atau ketika seorang penyair yang menunggu bus meneriaki rombongan kampanye. Seakan mengkritisi kondisi pemilihan umum sekarang.
Tetapi kemudian cerita berjalan monoton, terkunci dalam kisah-kisah percintaan tipikal ala sinetron, hanya pada lakon ini dibawakan dengan nada melankolis.
Ada seorang perempuan yang dianggap misterius oleh sang penyair, yang entah mengapa tiba-tiba terlihat menjadi seorang yang sangat arogan akan kepenyairannya. Lalu kisah pun berjalan dengan perbincangan kedua tokoh yang saling menceritakan pengalaman masing-masing mengenai kisah cinta mereka.
Terlepas dari hal-hal tersebut di atas, lakon unik yang bergaya brechtian atau gaya pertunjukan dimana sutradara ikut berperan dalam pentas untuk menyadarkan penonton bahwa ini hanyalah sekadar pertunjukan ini konsisten dalam hal tema.
Dan pesan yang ditangkap mungkin adalah hidup ini tidak ubahnya jalanan, akan ada banyak hal yang tidak terduga yang mungkin saja terjadi dan mengubah hidup kita. Kita harus kuat mental untuk bisa bersaing dalam kehidupan jalanan yang kadang kala terlalu kejam untuk bisa ditalar dengan logika manusia yang terbatas. n MG13/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Mei 2009
Hal tersebut tersirat dalam lakon Di Pertigaan Rumahhitam karya/sutradra Tarmizi Matihamur yang dimainkan oleh Teater Rumahhitam, Batam, pada hari kelima pergelaran teater se-Sumatera di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (28-5).
Lakon ini ber-setting pada sebuah pertigaan jalan yang dipenuhi spanduk-spanduk calon anggota legislatif (caleg)--yang tentunya fiktif. Beragam dialog dan ekspresi ditampilkan sebagaimana kondisi jalanan sesungguhnya. Ada seseorang yang menunggu bus, ada pengamen yang biasa ditemui di jalanan, bahkan ada orang gila.
Pada awalnya, lakon berjalan menarik dengan monolog si orang gila yang mengomentari spanduk-spanduk caleg tersebut atau ketika seorang penyair yang menunggu bus meneriaki rombongan kampanye. Seakan mengkritisi kondisi pemilihan umum sekarang.
Tetapi kemudian cerita berjalan monoton, terkunci dalam kisah-kisah percintaan tipikal ala sinetron, hanya pada lakon ini dibawakan dengan nada melankolis.
Ada seorang perempuan yang dianggap misterius oleh sang penyair, yang entah mengapa tiba-tiba terlihat menjadi seorang yang sangat arogan akan kepenyairannya. Lalu kisah pun berjalan dengan perbincangan kedua tokoh yang saling menceritakan pengalaman masing-masing mengenai kisah cinta mereka.
Terlepas dari hal-hal tersebut di atas, lakon unik yang bergaya brechtian atau gaya pertunjukan dimana sutradara ikut berperan dalam pentas untuk menyadarkan penonton bahwa ini hanyalah sekadar pertunjukan ini konsisten dalam hal tema.
Dan pesan yang ditangkap mungkin adalah hidup ini tidak ubahnya jalanan, akan ada banyak hal yang tidak terduga yang mungkin saja terjadi dan mengubah hidup kita. Kita harus kuat mental untuk bisa bersaing dalam kehidupan jalanan yang kadang kala terlalu kejam untuk bisa ditalar dengan logika manusia yang terbatas. n MG13/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Mei 2009
May 28, 2009
Teater Lorong Usung Tema Utama Lingkungan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Isu lingkungan menjadi tema utama yang diusung Teater Lorong Sumatera Barat pada hari ketiga pergelaran teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Rabu (27-5).
WARNING. Teater Lorong, Sumatera Barat mementaskan lakon Warming pada Pagelaran Teater se-Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Rabu (27-5). Lakon karya Husin dan disutradarai Hasan ini mengangkat isu lingkungan. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Lakon yang berjudul Warning karya Husin dan disutradarai Hasan ini bercerita keadaan alam yang mulai hancur dan menderita akibat eksploitasi yang berlebihan.
Lakon dibuka dengan pidato seorang tokoh yang berbicara tentang pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa saat kemudian sang tokoh berbalik 180 derajat menjadi seseorang yang dengan keji menghancurkan alam.
Suatu sindiran kepada "orang-orang besar" yang selama ini berkata tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi tetap memberikan izin usaha kepada perusahaan yang menghasilkan limbah yang tidak bisa didaur ulang.
Simbol lingkungan yang terluka dan tercemar diperankan sempurna aktor-aktor yang berperan sebagai rerimbunan hutan. Emosi kesakitan, ketakutan, dan penderitaan sangat terasa dari tarian yang dinamakan Tari Buto, yaitu tari yang mengeksplorasi tubuh sedemikian rupa sehingga menampilkan suasana gelap dan mistis yang eksotis.
Warning menyentil sanubari kita untuk menjaga agar alam tetap harmonis. Pemanfaatan sumber daya alam tidak diharamkan, tetapi tidak secara berlebihan. Hormati alam sebagaimana mestinya karena manusia dan alam harus saling mengisi.
Kemudian pada pertunjukan kedua--pukul 16.00--Teater Petak Rumbia Bengkulu melakonkan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E.Soewandi yang disutradrai sendiri.
Lakon ini bercerita tentang pemberontakan perempuan yang tidak pernah usai terhadap kondisi sosial budaya masyarakat tradisional yang selalu berada sebagai pihak yang "inferior" pada konsep takdir. Perempuan adalah tubuh yang tidak boleh sekalipun menang terhadap supremasi laki-laki.
Laki-laki dalam kehidupan tradisional terkonsep sebagai "superman", yang mempunyai darah yang lebih pekat dan berharga dibanding dengan perempuan. Kesuperioritasan laki-laki dalam lakon ini disimbolkan dengan kelebatan jubah hitam yang lebar menjuntai ke tanah dan menutupi seluruh tubuh tokoh perempuan pada saat mereka saling melempar dialog tentang waktu.
Waktu pada lakon ini adalah analogi dari takdir atau mungkin lebih tepatnya peran sosial yang dibentuk kebudayaan patrilineal, sehingga peran perempuan menjadi lebih rendah di bawah laki-laki.
Suasana dan aura yang gelap, menambah kesan keinferoran sang tokoh perempuan. Musik latar yang kadang berganti dari nada tradisional Melayu dan musik modern seakan ingin menyampaikan kondisi diskriminasi gender sudah berlangsung sejak zaman kuno dan masih berjalan sampai zaman modern sekarang tanpa bisa diubah secara keseluruhan karena sudah mengakar dalam masyarakat.
Ada gugatan yang hendak disampaikan dalam lakon ini, yaitu gugatan kepada perempuan untuk berani mengambil keputusan menurut hati sanubarinya terhadap kekuatan yang menekan mereka. Karena dalam konsep masyarakat tradisional, laki-laki akan kalah terhadap perempuan hanya jika dihukum waktu, yakni kematian. n MG-13/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Mei 2009
WARNING. Teater Lorong, Sumatera Barat mementaskan lakon Warming pada Pagelaran Teater se-Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Rabu (27-5). Lakon karya Husin dan disutradarai Hasan ini mengangkat isu lingkungan. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Lakon yang berjudul Warning karya Husin dan disutradarai Hasan ini bercerita keadaan alam yang mulai hancur dan menderita akibat eksploitasi yang berlebihan.
Lakon dibuka dengan pidato seorang tokoh yang berbicara tentang pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa saat kemudian sang tokoh berbalik 180 derajat menjadi seseorang yang dengan keji menghancurkan alam.
Suatu sindiran kepada "orang-orang besar" yang selama ini berkata tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi tetap memberikan izin usaha kepada perusahaan yang menghasilkan limbah yang tidak bisa didaur ulang.
Simbol lingkungan yang terluka dan tercemar diperankan sempurna aktor-aktor yang berperan sebagai rerimbunan hutan. Emosi kesakitan, ketakutan, dan penderitaan sangat terasa dari tarian yang dinamakan Tari Buto, yaitu tari yang mengeksplorasi tubuh sedemikian rupa sehingga menampilkan suasana gelap dan mistis yang eksotis.
Warning menyentil sanubari kita untuk menjaga agar alam tetap harmonis. Pemanfaatan sumber daya alam tidak diharamkan, tetapi tidak secara berlebihan. Hormati alam sebagaimana mestinya karena manusia dan alam harus saling mengisi.
Kemudian pada pertunjukan kedua--pukul 16.00--Teater Petak Rumbia Bengkulu melakonkan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E.Soewandi yang disutradrai sendiri.
Lakon ini bercerita tentang pemberontakan perempuan yang tidak pernah usai terhadap kondisi sosial budaya masyarakat tradisional yang selalu berada sebagai pihak yang "inferior" pada konsep takdir. Perempuan adalah tubuh yang tidak boleh sekalipun menang terhadap supremasi laki-laki.
Laki-laki dalam kehidupan tradisional terkonsep sebagai "superman", yang mempunyai darah yang lebih pekat dan berharga dibanding dengan perempuan. Kesuperioritasan laki-laki dalam lakon ini disimbolkan dengan kelebatan jubah hitam yang lebar menjuntai ke tanah dan menutupi seluruh tubuh tokoh perempuan pada saat mereka saling melempar dialog tentang waktu.
Waktu pada lakon ini adalah analogi dari takdir atau mungkin lebih tepatnya peran sosial yang dibentuk kebudayaan patrilineal, sehingga peran perempuan menjadi lebih rendah di bawah laki-laki.
Suasana dan aura yang gelap, menambah kesan keinferoran sang tokoh perempuan. Musik latar yang kadang berganti dari nada tradisional Melayu dan musik modern seakan ingin menyampaikan kondisi diskriminasi gender sudah berlangsung sejak zaman kuno dan masih berjalan sampai zaman modern sekarang tanpa bisa diubah secara keseluruhan karena sudah mengakar dalam masyarakat.
Ada gugatan yang hendak disampaikan dalam lakon ini, yaitu gugatan kepada perempuan untuk berani mengambil keputusan menurut hati sanubarinya terhadap kekuatan yang menekan mereka. Karena dalam konsep masyarakat tradisional, laki-laki akan kalah terhadap perempuan hanya jika dihukum waktu, yakni kematian. n MG-13/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Mei 2009
May 26, 2009
Pergelaran Teater se-Sumatera: Kawula Muda Apresiatif Saksikan Pementasan
BANDAR LAMPUNG--Apresiatif. Kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan animo kawula muda Bandar Lampung terhadap kesenian teater. Terlihat dari sebagian besar tempat duduk yang tersedia diisi anak-anak SMA pada hari pertama (Senin, 25 Mei) dan kedua (Selasa, 26 Mei) Pergelaran Teater se-Sumatera di Taman Budaya Lampung.
OPERA JIWA. Teater Topeng Palembang mementaskan lakon Opera Jiwa pada hari kedua Pergelaran Teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Selasa (26-5). (LAMPUNG POST/M. REZA)
"Saya memang suka nonton teater, apalagi pentas kali ini dimainkan oleh komunitas-komunitas dari luar Lampung yang jarang bisa ditonton," kata Riska, siswa kelas XI SMA yang menonton pergelaran teater tersebut.
Pembukaan Pergelaran Teater se-Sumatera ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Iswadi Pratama dari Teater Satu dan komunitas-komunitas teater yang mengikuti pergelaran teater itu. Kemudian dilanjutkan dengan pementasan teater dari Teater Oranye Jambi dengan lakon Gentile karya Muh. Husairi dan disutradarai oleh Ari C. Gue pada hari pertama, Senin (25-5), pukul 13.30.
Hari kedua, Selasa (26-5), pukul 13.30, Lab. Teater Pekan Baru, Riau, mementaskan lakon Rumah Tak Berdinding karya Marhalim Zaini dan disutradrai Jefri Al Malay. Kemudian pada pukul 16.00, Teater Topeng Palembang dengan lakon Opera Jiwa karya Ical dan sutradara Erwin Azhari.
Gentile bercerita tentang sepasang suami-istri dengan setting perumahan kumuh yang terlihat dari bilik kardus pada panggung yang berfungsi sebagai rumah. Tema yang sederhana, tema cinta, interaksi dengan penonton, dan lagu latar yang merdu menjadi keunggulan dari Teater Oranye Jambi ini. Cerita diawali oleh monolog dari tokoh Gen yang dibawakannya dengan ringan, seakan-akan sedang berbicara langsung dengan penonton. Bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi istrinya (Tile).
Kemudian, cerita berjalan dengan masing-masing tokoh saling bercerita, sampai pada inti cerita (klimaks) yaitu tentang perasaan dari kedua tokoh yang merasa sangat kehilangan anak pertamanya karena Tile keguguran. Perasaan sedih digambarkan dengan sangat baik oleh kedua tokoh yang berlari di tempat seakan-akan ingin mengejar dan mendekap kembali anak mereka yang telah keguguran tersebut.
Sayang, ada beberapa kekurangan dalam lakon Gentile ini, yaitu minimnya eksplorasi gerak dari tokoh-tokoh dalam lakon tersebut. Sehingga, membuat jalan cerita menjadi sedikit monoton karena terlalu didominasi oleh bahasa verbal.
Pertunjukan kedua yang dipentaskan pada pukul 16.00 oleh Teater Mara Pekan Baru Riau berjudul Sang Kitab karya Hang Kafrawi dan disutradarai oleh Saharudin.
Sang Kitab bercerita tentang asal mula kejayaan Kerajaan Melayu. Pentas Sang Kitab ini unik, jalan cerita kadang-kadang berubah di tengah jalan seakan bukan pentas teater yang sesungguhnya, padahal sebenarnya memang bagian dari lakon tersebut.
Seorang pencerita yang pada mula pertunjukan bermonolog atau bercerita tentang cerita yang akan dimainkan. Di tengah pentas tiba-tiba seakan menjadi seorang sutradara. Hal ini yang menjadi keunggulan dari lakon Sang Kitab ini, selain tata pencahayaan yang luar biasa, kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi, bahkan ending-nya membuat penasaran.
Selain kedua komunitas tersebut, ada delapan komunitas lain yang ikut serta dalam Pergelaran Teater se-Sumatera ini. Hari ini (27-5), Komunitas Lorong Sumatera Barat akan mementaskan lakon Warning karya Husin dan sutradara Hasan pada pukul 13.30. Pada pukul 16.00, Teater Petak Rumbia Bengkulu dengan lakon Suatu Senja di Taman Bungaku karya dan disutradarai oleh E. Soewandi.
Kamis (28-5), pukul 13.30, Teater Generasi Medan dengan lakon Cublis karya dan disutradarai oleh Hasan Al Banna. Pukul 16.00, Teater Rumah Hitam Batam dengan lakon Di Pertigaan Rumah Hitam karya dan disutradarai oleh Tarmizi Matihamur.
Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung dengan lakon Rumah karya Tim Kober dengan sutradara Ari Pahala Hutabarat akan tampil pada Jumat (29-5), pukul 13.30. Dan pada pukul 16.00, Teater Alam Nangroe Aceh dengan lakon Wolman Kowitzs karya terjemahan dari W.S. Rendra dan sutradara Din Saja. n MG13/L-2
Jadwal Pementasan Hari ini (Rabu, 27-5):
Pukul 13.30--14.30
Komunitas Lorong Sumatera Barat mementaskan Warning karya Husin, sutradara Hasan.
Pukul 16.00--17.00
Teater Petak Rumbia Bengkulu mementaskan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E. Soewandi, sutradara Emong Soewandi.
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Mei 2009
OPERA JIWA. Teater Topeng Palembang mementaskan lakon Opera Jiwa pada hari kedua Pergelaran Teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Selasa (26-5). (LAMPUNG POST/M. REZA)
"Saya memang suka nonton teater, apalagi pentas kali ini dimainkan oleh komunitas-komunitas dari luar Lampung yang jarang bisa ditonton," kata Riska, siswa kelas XI SMA yang menonton pergelaran teater tersebut.
Pembukaan Pergelaran Teater se-Sumatera ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Iswadi Pratama dari Teater Satu dan komunitas-komunitas teater yang mengikuti pergelaran teater itu. Kemudian dilanjutkan dengan pementasan teater dari Teater Oranye Jambi dengan lakon Gentile karya Muh. Husairi dan disutradarai oleh Ari C. Gue pada hari pertama, Senin (25-5), pukul 13.30.
Hari kedua, Selasa (26-5), pukul 13.30, Lab. Teater Pekan Baru, Riau, mementaskan lakon Rumah Tak Berdinding karya Marhalim Zaini dan disutradrai Jefri Al Malay. Kemudian pada pukul 16.00, Teater Topeng Palembang dengan lakon Opera Jiwa karya Ical dan sutradara Erwin Azhari.
Gentile bercerita tentang sepasang suami-istri dengan setting perumahan kumuh yang terlihat dari bilik kardus pada panggung yang berfungsi sebagai rumah. Tema yang sederhana, tema cinta, interaksi dengan penonton, dan lagu latar yang merdu menjadi keunggulan dari Teater Oranye Jambi ini. Cerita diawali oleh monolog dari tokoh Gen yang dibawakannya dengan ringan, seakan-akan sedang berbicara langsung dengan penonton. Bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi istrinya (Tile).
Kemudian, cerita berjalan dengan masing-masing tokoh saling bercerita, sampai pada inti cerita (klimaks) yaitu tentang perasaan dari kedua tokoh yang merasa sangat kehilangan anak pertamanya karena Tile keguguran. Perasaan sedih digambarkan dengan sangat baik oleh kedua tokoh yang berlari di tempat seakan-akan ingin mengejar dan mendekap kembali anak mereka yang telah keguguran tersebut.
Sayang, ada beberapa kekurangan dalam lakon Gentile ini, yaitu minimnya eksplorasi gerak dari tokoh-tokoh dalam lakon tersebut. Sehingga, membuat jalan cerita menjadi sedikit monoton karena terlalu didominasi oleh bahasa verbal.
Pertunjukan kedua yang dipentaskan pada pukul 16.00 oleh Teater Mara Pekan Baru Riau berjudul Sang Kitab karya Hang Kafrawi dan disutradarai oleh Saharudin.
Sang Kitab bercerita tentang asal mula kejayaan Kerajaan Melayu. Pentas Sang Kitab ini unik, jalan cerita kadang-kadang berubah di tengah jalan seakan bukan pentas teater yang sesungguhnya, padahal sebenarnya memang bagian dari lakon tersebut.
Seorang pencerita yang pada mula pertunjukan bermonolog atau bercerita tentang cerita yang akan dimainkan. Di tengah pentas tiba-tiba seakan menjadi seorang sutradara. Hal ini yang menjadi keunggulan dari lakon Sang Kitab ini, selain tata pencahayaan yang luar biasa, kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi, bahkan ending-nya membuat penasaran.
Selain kedua komunitas tersebut, ada delapan komunitas lain yang ikut serta dalam Pergelaran Teater se-Sumatera ini. Hari ini (27-5), Komunitas Lorong Sumatera Barat akan mementaskan lakon Warning karya Husin dan sutradara Hasan pada pukul 13.30. Pada pukul 16.00, Teater Petak Rumbia Bengkulu dengan lakon Suatu Senja di Taman Bungaku karya dan disutradarai oleh E. Soewandi.
Kamis (28-5), pukul 13.30, Teater Generasi Medan dengan lakon Cublis karya dan disutradarai oleh Hasan Al Banna. Pukul 16.00, Teater Rumah Hitam Batam dengan lakon Di Pertigaan Rumah Hitam karya dan disutradarai oleh Tarmizi Matihamur.
Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung dengan lakon Rumah karya Tim Kober dengan sutradara Ari Pahala Hutabarat akan tampil pada Jumat (29-5), pukul 13.30. Dan pada pukul 16.00, Teater Alam Nangroe Aceh dengan lakon Wolman Kowitzs karya terjemahan dari W.S. Rendra dan sutradara Din Saja. n MG13/L-2
Jadwal Pementasan Hari ini (Rabu, 27-5):
Pukul 13.30--14.30
Komunitas Lorong Sumatera Barat mementaskan Warning karya Husin, sutradara Hasan.
Pukul 16.00--17.00
Teater Petak Rumbia Bengkulu mementaskan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E. Soewandi, sutradara Emong Soewandi.
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Mei 2009
May 25, 2009
Hari Ini, Pergelaran Teater Se-Sumatera Dimulai
BANDAR LAMPUNG--Teater Oranye Jambi dan Teater Mara Riau, hari ini (25-9), akan tampil mengawali Pergelaran Teater se-Sumatera yang diprakarsai Teater Satu bekerja sama dengan HiVOS, Belanda, di Taman Budaya Lampung mulai hari ini hingga Jumat (29-9).
Teater Oranye mengusung lakon Gentile karya dan disutradarai Muhamad Khusairi tampil pukul 15.30. Sedangkan Teater Mara dari Akademi Kebudayaan Melayu Riau membawakan lakon Sang Kitab karya Hangkaprawi dan disutradarai Saho pentas pukul 16.00.
Selain kedua komunitas teater tersebut, ada delapan kelompok teater lain yang siap meramaikan event bertajuk Jaringan Teater Sumatera tersebut yakni, Teater Alam (Aceh), Teater Rumahitam (Kepulauan Riau), Komunitas Lorong (Sumatera Barat), Teater Generasi (Medan), Teater Topeng (Palembang), Teater Petak Rumbia (Bengkulu), Lab Teater (Riau), dan Komunitas Berkat Yakin (Lampung).
"Seluruh grup yang tampil dalam event ini merupakan kelompok teater yang sudah cukup dikenal dan berpengalaman di daerah masing-masing. Selain itu, para sutradara, penata artistik, pimpinan, dan manajer setiap kelompok sebelumnya sudah mengikuti program pelatihan dan diskusi yang diselenggarakan pada Januari lalu," kata Kepala Bidang Operasional Teater Satu, Imas Sobariah.
Selain pementasan, panitia juga menggelar diskusi setiap hari untuk mengevaluasi penampilan setiap kelompok. Adapun narasumber yang diundang panitia untuk memberikan ulasan pertunjukan tersebut adalah Ratna Riantiarno dari Teater Koma Jakarta, Sitok Srengenge dari Dewan Kurator Komunitas Salihara Jakarta, Yudi Ahmad Tadjudin (Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta), dan Iswadi Pratama, sutradara di Teater Satu Lampung.
"Dengan adanya diskusi dan evaluasi dari para narasumber tersebut, kami berharap ada feedback bagi kawan-kawan yang pentas sehingga bisa dijadikan bahan perbaikan bagi setiap kelompok ke depan," ujar Imas lagi.
Sedangkan, menurut Direktur Artistik Teater Satu Lampung, Ahmad Jusmar, dari seluruh kelompok yang tampil diperkirakan menyajikan bentuk pertunjukan yang sangat beragam. "Ada yang menyajikan bentuk pertunjukan realisme konvensional, eksploratif/kontemporer, mengelaborasi teater modern dan tradisi, juga monolog. Demikian juga tema yang diangkat sangat beragam. Mulai konflik internal dalam sebuah keluarga hingga persoalan ideologisme dan spiritualisme. Jadi, penonton bisa mendapatkan sajian tontonan yang sangat menarik," tambah Jusmar.
Melihat animo komunitas-komunitas teater di Sumatera terhadap program ini, panitia optimistis kehidupan teater di Sumatera akan mampu menyejajarkan diri dengan komunitas-komunitas teater lain yang ada di Pulau Jawa. "Sebenaranya banyak sekali kelompok-kelompok teater yang bagus di Sumatera. Namun, keberadaan mereka selama ini kurang tersosialisasi secara baik dalam konstelasi teater di Indonesia," jelas Ahmad Jusmar. n AST/*/L-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Mei 2009
Teater Oranye mengusung lakon Gentile karya dan disutradarai Muhamad Khusairi tampil pukul 15.30. Sedangkan Teater Mara dari Akademi Kebudayaan Melayu Riau membawakan lakon Sang Kitab karya Hangkaprawi dan disutradarai Saho pentas pukul 16.00.
Selain kedua komunitas teater tersebut, ada delapan kelompok teater lain yang siap meramaikan event bertajuk Jaringan Teater Sumatera tersebut yakni, Teater Alam (Aceh), Teater Rumahitam (Kepulauan Riau), Komunitas Lorong (Sumatera Barat), Teater Generasi (Medan), Teater Topeng (Palembang), Teater Petak Rumbia (Bengkulu), Lab Teater (Riau), dan Komunitas Berkat Yakin (Lampung).
"Seluruh grup yang tampil dalam event ini merupakan kelompok teater yang sudah cukup dikenal dan berpengalaman di daerah masing-masing. Selain itu, para sutradara, penata artistik, pimpinan, dan manajer setiap kelompok sebelumnya sudah mengikuti program pelatihan dan diskusi yang diselenggarakan pada Januari lalu," kata Kepala Bidang Operasional Teater Satu, Imas Sobariah.
Selain pementasan, panitia juga menggelar diskusi setiap hari untuk mengevaluasi penampilan setiap kelompok. Adapun narasumber yang diundang panitia untuk memberikan ulasan pertunjukan tersebut adalah Ratna Riantiarno dari Teater Koma Jakarta, Sitok Srengenge dari Dewan Kurator Komunitas Salihara Jakarta, Yudi Ahmad Tadjudin (Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta), dan Iswadi Pratama, sutradara di Teater Satu Lampung.
"Dengan adanya diskusi dan evaluasi dari para narasumber tersebut, kami berharap ada feedback bagi kawan-kawan yang pentas sehingga bisa dijadikan bahan perbaikan bagi setiap kelompok ke depan," ujar Imas lagi.
Sedangkan, menurut Direktur Artistik Teater Satu Lampung, Ahmad Jusmar, dari seluruh kelompok yang tampil diperkirakan menyajikan bentuk pertunjukan yang sangat beragam. "Ada yang menyajikan bentuk pertunjukan realisme konvensional, eksploratif/kontemporer, mengelaborasi teater modern dan tradisi, juga monolog. Demikian juga tema yang diangkat sangat beragam. Mulai konflik internal dalam sebuah keluarga hingga persoalan ideologisme dan spiritualisme. Jadi, penonton bisa mendapatkan sajian tontonan yang sangat menarik," tambah Jusmar.
Melihat animo komunitas-komunitas teater di Sumatera terhadap program ini, panitia optimistis kehidupan teater di Sumatera akan mampu menyejajarkan diri dengan komunitas-komunitas teater lain yang ada di Pulau Jawa. "Sebenaranya banyak sekali kelompok-kelompok teater yang bagus di Sumatera. Namun, keberadaan mereka selama ini kurang tersosialisasi secara baik dalam konstelasi teater di Indonesia," jelas Ahmad Jusmar. n AST/*/L-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Mei 2009
May 24, 2009
Tong Tong Fair: Kain Khas Lampung Terjual Habis
DEN HAAG (Lampost): Beragam kerajinan khas Kota Bandar Lampung, seperti kain tapis, batik sebagi, sulaman usus, dan manik-manik, serta penganan khas Lampung laris-manis diborong duta besar negara-negara Eropa untuk Belanda dan peserta pada Tong Tong Fair Ke-51 Tahun 2009, Den Haag, yang dibuka Kamis (21-5), waktu setempat.
Tong Tong Fair merupakan ajang promosi produk-produk unggulan Indonesia yang dilaksanakan setiap tahunnya di Kota Den Haag, Belanda. Dahulu, festival ini terkenal dengan nama Pasar Malam Besar yang terbatas hanya pada promosi makanan. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Pasar Malam Besar berubah nama menjadi Tong Tong Fair, yang tidak hanya untuk promosi makanan, tetapi lebih luas sebagai ajang promosi budaya, seni, kerajinan, dan produk unggulan lainnya yang berasal dari Indonesia.
Tong Tong Fair yang berlangsung dari 21 Mei--1 Juni 2009 mengambil tempat di pusat Kota Den Haag, sebagai ibu kota Negeri Kincir Angin (Belanda). Acara pembukaan yang berlangsung pukul 17.30 waktu Den Haag, berlangsung meriah dengan beragam acara hiburan yang menyuguhkan aneka tarian yang berasal dari Indonesia.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung melalui Sangar Tapis Berseri mendapat kesempatan pertama tampil dengan mempersembahkan tarian pembuka dalam kegiatan hiburan yang digelar di panggung utama.
Tak pelak, tepukan antusias bergema ketika para penari dengan gerakan dinamis menyuguhkan tari Bedana Kreasi hasil garapan Sanggar Tapis Berseri dan tari Melinting pada bagian kedua. Begitu pun ketika Indra Pradya tampil sebagai penyanyi yang membawakan lagu khas Lampung, yang berjudul Teluk Lampung.
Fashion show yang menyuguhkan busana dengan corak khas Lampung yang telah dimodifikasi apik desainer Kota Bandar Lampung Raswan dan Rahayu, semakin menambah kagum peserta Tong-Tong Fair 2009. "Ini penghormatan bagi kita, Bandar Lampung. Bahkan, saat tari Bedana, peserta diajak penari ikut berjoget mengikuti gerak dan langkah," kata Dra. Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno yang hadir dalam kegiatan itu penuh bangga, Jumat (22-5).
Sementara, Sekretaris Dekranasda Kota Bandar Lampung Zaidirina menjelaskan setelah acara pembukaan dan hiburan berakhir, Menteri Kebudayan dan Pariwisata RI Jero Wacik pun berkenan mengunjungi stan pameran Indonesia. Ikut pula beberapa duta besar negara-negara Eropa. Selama berada di stan kota Bandar Lampung yang termasuk dalam stan Indonesia, Jero Wacik menyampaikan kekaguman serta penghargaan tinggi atas keikutsertaan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam ajang pameran tersebut.
Di ajang tingkat dunia itu, Indonesia diwakili salah satunya adalah Kota Bandar Lampung dan Kalimantan. Sedangkan Bandar Lampung mengikutsertakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) dan Sanggar Tapis Berseri.
Pada kesempatan itu pula Menteri Pariwisata dan Kebudayaan dan duta besar negara-negara Eropa melakukan percakapan bisnis secara langsug dengan Ketua Dekransda Kota Bandar Lampung, Hj. Nurpury Eddy Sutrisno. "Hasilnya, pesanan dan penjualan produk khas Kota Bandar Lampung habis diborong," kata Zaidirina.
Satu hal yang menggembirakan, kata Zaidirina, dalam pelaksanaan pameran produk unggulan Kota Bandar Lampung pada kegiatan Tong Tong Fair, adanya komunikasi perdagangan dengan beberapa pengusaha Eropa yang tertarik dengan produk unggulan Indonesia, terutama dari Bandar Lampung. "Ini kesempatan kita mengenalkan Bandar Lampung ke kancah internasional," kata Sekretaris Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung itu. n HRW/D-3
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
Tong Tong Fair merupakan ajang promosi produk-produk unggulan Indonesia yang dilaksanakan setiap tahunnya di Kota Den Haag, Belanda. Dahulu, festival ini terkenal dengan nama Pasar Malam Besar yang terbatas hanya pada promosi makanan. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Pasar Malam Besar berubah nama menjadi Tong Tong Fair, yang tidak hanya untuk promosi makanan, tetapi lebih luas sebagai ajang promosi budaya, seni, kerajinan, dan produk unggulan lainnya yang berasal dari Indonesia.
Tong Tong Fair yang berlangsung dari 21 Mei--1 Juni 2009 mengambil tempat di pusat Kota Den Haag, sebagai ibu kota Negeri Kincir Angin (Belanda). Acara pembukaan yang berlangsung pukul 17.30 waktu Den Haag, berlangsung meriah dengan beragam acara hiburan yang menyuguhkan aneka tarian yang berasal dari Indonesia.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung melalui Sangar Tapis Berseri mendapat kesempatan pertama tampil dengan mempersembahkan tarian pembuka dalam kegiatan hiburan yang digelar di panggung utama.
Tak pelak, tepukan antusias bergema ketika para penari dengan gerakan dinamis menyuguhkan tari Bedana Kreasi hasil garapan Sanggar Tapis Berseri dan tari Melinting pada bagian kedua. Begitu pun ketika Indra Pradya tampil sebagai penyanyi yang membawakan lagu khas Lampung, yang berjudul Teluk Lampung.
Fashion show yang menyuguhkan busana dengan corak khas Lampung yang telah dimodifikasi apik desainer Kota Bandar Lampung Raswan dan Rahayu, semakin menambah kagum peserta Tong-Tong Fair 2009. "Ini penghormatan bagi kita, Bandar Lampung. Bahkan, saat tari Bedana, peserta diajak penari ikut berjoget mengikuti gerak dan langkah," kata Dra. Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno yang hadir dalam kegiatan itu penuh bangga, Jumat (22-5).
Sementara, Sekretaris Dekranasda Kota Bandar Lampung Zaidirina menjelaskan setelah acara pembukaan dan hiburan berakhir, Menteri Kebudayan dan Pariwisata RI Jero Wacik pun berkenan mengunjungi stan pameran Indonesia. Ikut pula beberapa duta besar negara-negara Eropa. Selama berada di stan kota Bandar Lampung yang termasuk dalam stan Indonesia, Jero Wacik menyampaikan kekaguman serta penghargaan tinggi atas keikutsertaan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam ajang pameran tersebut.
Di ajang tingkat dunia itu, Indonesia diwakili salah satunya adalah Kota Bandar Lampung dan Kalimantan. Sedangkan Bandar Lampung mengikutsertakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) dan Sanggar Tapis Berseri.
Pada kesempatan itu pula Menteri Pariwisata dan Kebudayaan dan duta besar negara-negara Eropa melakukan percakapan bisnis secara langsug dengan Ketua Dekransda Kota Bandar Lampung, Hj. Nurpury Eddy Sutrisno. "Hasilnya, pesanan dan penjualan produk khas Kota Bandar Lampung habis diborong," kata Zaidirina.
Satu hal yang menggembirakan, kata Zaidirina, dalam pelaksanaan pameran produk unggulan Kota Bandar Lampung pada kegiatan Tong Tong Fair, adanya komunikasi perdagangan dengan beberapa pengusaha Eropa yang tertarik dengan produk unggulan Indonesia, terutama dari Bandar Lampung. "Ini kesempatan kita mengenalkan Bandar Lampung ke kancah internasional," kata Sekretaris Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung itu. n HRW/D-3
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
Standardisasi Bahasa Lampung: Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi
Oleh Imelda*
PASCAREFORMASI pembicaraan yang mengangkat tema-tema kearifan lokal menjadi pembicaraan yang menarik untuk diikuti. Terlebih lagi ketika kearifan lokal tersebut dianggap menjadi jawaban atas kerusakan alam dan kehidupan sosial untuk menjadi ancangan strategis melakukan pembangunan di daerah, khususnya Lampung.
Salah satu hal yang menjadi polemik dan menarik dalam sebuah seminar di Universitas Lampung beberapa waktu lalu ialah masalah standardisasi bahasa Lampung. Hal ini menjadi perdebatan yang menarik ketika pembicara, baik itu kalangan struktur, pemangku adat, serta akademisi memiliki jawaban yang berbeda.
Inti permasalahannya ialah isoleks Lampung yang mana yang akan dijadikan standar bahasa Lampung yang akan dimunculkan di tingkat nasional dan internasional karena dalam seminar tersebut saya mendengar bahwa Lampung yang harus muncul itu adalah Lampung yang satu.
Lampung yang satu menjadi sebuah kata kunci yang kemudian juga, menurut asumsi saya, menjadi latar kemunculan polemik Sang Bumi Ruwa Jurai atau Sai Bumi Ruwa Jurai. Meski demikian, setakat ini saya tidak ingin mengangkat polemik sai dan sang karena perdebatan mengenai standardisasai bahasa Lampung ini menjadi lebih menarik karena ada pertimbangan-pertimbangan tidak rasional, secara akademik, yang menggelitik ruang pikiran saya sebagai peneliti bahasa sekaligus orang Lampung.
Lampung merupakan sebuah ruang yang saya diami sejak saya lahir dan di sana pula saya tahu bahwa ada berbagai macam isoleks yang menurut peneliti pendahulu yang berasal dari negeri Belanda, disebut dialek a dan o. Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat yang cair, entitas yang berhubungan dengan kebahasaan ini terus berkembang dan makin hari jaraknya makin meluas sehingga memunculkan dialek yang berbeda serta jarak kemengertian yang makin meluas.
Dalam seminar tersebut saya mendengar pula pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu bahasa Lampung itu satu, akan tetapi menjadi berbeda ketika persebaran dan kontak dengan para pendatang menjadikan bahasa Lampung sebagai dua dialek yang berbeda.
Pendapat pertama mengenai standardisasi bahasa Lampung ialah pendapat seorang pejabat struktural yang mengatakan Lampung harus mempunyai satu bahasa standar. Ia menambahkan ragam bahasa yang selayaknya diangkat ialah bahasa "Lampung cadang" yang menurutnya dapat dimengerti orang Lampung dengan berbagai dialeknya.
Pendapat tersebut sekilas terdengar menjembatani perbedaan dialek, tetapi terdengar sangat eksentrik karena orang-orang Lampung yang merasa bahasanya tidak cadang (rusak) tentu keberatan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat dapat menerima ketika ragam Lampung cadang diangkat menjadi bahasa standar?
Pendapat lain ialah pendapat yang dikemukakan pemuka adat yang cukup terkemuka di Lampung. Dia mengatakan tidak perlu melakukan pemilihan bahasa seperti itu karena yang menjadi pengikat bahasa Lampung ialah bahasa tulisnya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk berbahasa dengan dialek apa saja tidak menjadi permasalahan karena beliau cukup mengerti, meskipun berbeda dialek.
Selain pendapat mengenai kemengertian, secara eksplisit dia pun menambahkan berbahasa dengan dialek api lebih disukai karena terdengar lebih halus dan sopan. Apakah kemudian bahasa berdialek a yang seharusnya diangkat? Tentu ini masih menjadi tanda tanya karena, sepanjang pengetahuan saya, egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan pemuka adat tersebut tidaklah keliru, tetapi menjadi bertabrakan ketika pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk pengembangan kebahasaan di Lampung. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan dialek menjadi bahasa tentu menjadi pertimbangan. Persoalan dana kemudian membuat elite birokrat Lampung untuk memilih dialek mana yang akan dikembangkan karena dialek tersebut kemudian akan dibuat menjadi buku pelajaran yang kemudian dengan konsekuensi dikenal dan dimengerti secara luas oleh generasi muda di Lampung.
Pendapat lain ialah pendapat implisit seorang elite ilmu yang dikemukakan peneliti bidang teknologi yang membuat kamus digital bahasa Lampung dengan dialek yang dikuasainya. Tidak menjadi masalah ketika kemudian pembuatan kamus digital tersebut menjadi karya pribadi, tetapi akan menjadi masalah ketika kamus tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat luas akan dialek yang sepantasnya dikembangkan untuk masyarakat.
Pemilihan dialek yang tidak dilakukan secara cermat, tidak hanya mengambur-hamburkan biaya yang besar, tetapi juga menjadi tidak begitu bermanfaat ketika masyarakat luas tidak menerima dialek yang dikembangkan. Dengan kata lain, jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar tersebut berakar pada ketidaktahuan akan action yang seharusnya diambil ketika identitas ke-Lampung-an ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.
Dalam hal pengembangan kebahasaan diperlukan dialog yang egaliter antara pemerintah, adat dan akademisi karena tidak ada salah satu di antaranya yang memiliki kewenangan lebih karena kerja standardisasi ini bukan untuk kepentingan pemerintah, adat atau akademik saja, melainkan lebih jauh, untuk kepentingan generasi muda yang akan memakai dan mengembangkan bahasa Lampung standar.
Catatan:
Isoleks merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam ilmu linguistik untuk mengacu pada suatu ragam wicara kelompok masyarakat yang belum diketahui statusnya sebagai bahasa atau dialek. Sampai kini, dialek yang diketahui secara luas di lampung ialah dialek a dan o.
* Imelda, peneliti bidang Antropologi Linguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI-Jakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
PASCAREFORMASI pembicaraan yang mengangkat tema-tema kearifan lokal menjadi pembicaraan yang menarik untuk diikuti. Terlebih lagi ketika kearifan lokal tersebut dianggap menjadi jawaban atas kerusakan alam dan kehidupan sosial untuk menjadi ancangan strategis melakukan pembangunan di daerah, khususnya Lampung.
Salah satu hal yang menjadi polemik dan menarik dalam sebuah seminar di Universitas Lampung beberapa waktu lalu ialah masalah standardisasi bahasa Lampung. Hal ini menjadi perdebatan yang menarik ketika pembicara, baik itu kalangan struktur, pemangku adat, serta akademisi memiliki jawaban yang berbeda.
Inti permasalahannya ialah isoleks Lampung yang mana yang akan dijadikan standar bahasa Lampung yang akan dimunculkan di tingkat nasional dan internasional karena dalam seminar tersebut saya mendengar bahwa Lampung yang harus muncul itu adalah Lampung yang satu.
Lampung yang satu menjadi sebuah kata kunci yang kemudian juga, menurut asumsi saya, menjadi latar kemunculan polemik Sang Bumi Ruwa Jurai atau Sai Bumi Ruwa Jurai. Meski demikian, setakat ini saya tidak ingin mengangkat polemik sai dan sang karena perdebatan mengenai standardisasai bahasa Lampung ini menjadi lebih menarik karena ada pertimbangan-pertimbangan tidak rasional, secara akademik, yang menggelitik ruang pikiran saya sebagai peneliti bahasa sekaligus orang Lampung.
Lampung merupakan sebuah ruang yang saya diami sejak saya lahir dan di sana pula saya tahu bahwa ada berbagai macam isoleks yang menurut peneliti pendahulu yang berasal dari negeri Belanda, disebut dialek a dan o. Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat yang cair, entitas yang berhubungan dengan kebahasaan ini terus berkembang dan makin hari jaraknya makin meluas sehingga memunculkan dialek yang berbeda serta jarak kemengertian yang makin meluas.
Dalam seminar tersebut saya mendengar pula pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu bahasa Lampung itu satu, akan tetapi menjadi berbeda ketika persebaran dan kontak dengan para pendatang menjadikan bahasa Lampung sebagai dua dialek yang berbeda.
Pendapat pertama mengenai standardisasi bahasa Lampung ialah pendapat seorang pejabat struktural yang mengatakan Lampung harus mempunyai satu bahasa standar. Ia menambahkan ragam bahasa yang selayaknya diangkat ialah bahasa "Lampung cadang" yang menurutnya dapat dimengerti orang Lampung dengan berbagai dialeknya.
Pendapat tersebut sekilas terdengar menjembatani perbedaan dialek, tetapi terdengar sangat eksentrik karena orang-orang Lampung yang merasa bahasanya tidak cadang (rusak) tentu keberatan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat dapat menerima ketika ragam Lampung cadang diangkat menjadi bahasa standar?
Pendapat lain ialah pendapat yang dikemukakan pemuka adat yang cukup terkemuka di Lampung. Dia mengatakan tidak perlu melakukan pemilihan bahasa seperti itu karena yang menjadi pengikat bahasa Lampung ialah bahasa tulisnya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk berbahasa dengan dialek apa saja tidak menjadi permasalahan karena beliau cukup mengerti, meskipun berbeda dialek.
Selain pendapat mengenai kemengertian, secara eksplisit dia pun menambahkan berbahasa dengan dialek api lebih disukai karena terdengar lebih halus dan sopan. Apakah kemudian bahasa berdialek a yang seharusnya diangkat? Tentu ini masih menjadi tanda tanya karena, sepanjang pengetahuan saya, egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan pemuka adat tersebut tidaklah keliru, tetapi menjadi bertabrakan ketika pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk pengembangan kebahasaan di Lampung. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan dialek menjadi bahasa tentu menjadi pertimbangan. Persoalan dana kemudian membuat elite birokrat Lampung untuk memilih dialek mana yang akan dikembangkan karena dialek tersebut kemudian akan dibuat menjadi buku pelajaran yang kemudian dengan konsekuensi dikenal dan dimengerti secara luas oleh generasi muda di Lampung.
Pendapat lain ialah pendapat implisit seorang elite ilmu yang dikemukakan peneliti bidang teknologi yang membuat kamus digital bahasa Lampung dengan dialek yang dikuasainya. Tidak menjadi masalah ketika kemudian pembuatan kamus digital tersebut menjadi karya pribadi, tetapi akan menjadi masalah ketika kamus tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat luas akan dialek yang sepantasnya dikembangkan untuk masyarakat.
Pemilihan dialek yang tidak dilakukan secara cermat, tidak hanya mengambur-hamburkan biaya yang besar, tetapi juga menjadi tidak begitu bermanfaat ketika masyarakat luas tidak menerima dialek yang dikembangkan. Dengan kata lain, jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar tersebut berakar pada ketidaktahuan akan action yang seharusnya diambil ketika identitas ke-Lampung-an ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.
Dalam hal pengembangan kebahasaan diperlukan dialog yang egaliter antara pemerintah, adat dan akademisi karena tidak ada salah satu di antaranya yang memiliki kewenangan lebih karena kerja standardisasi ini bukan untuk kepentingan pemerintah, adat atau akademik saja, melainkan lebih jauh, untuk kepentingan generasi muda yang akan memakai dan mengembangkan bahasa Lampung standar.
Catatan:
Isoleks merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam ilmu linguistik untuk mengacu pada suatu ragam wicara kelompok masyarakat yang belum diketahui statusnya sebagai bahasa atau dialek. Sampai kini, dialek yang diketahui secara luas di lampung ialah dialek a dan o.
* Imelda, peneliti bidang Antropologi Linguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI-Jakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
Perjalanan: Travellers, Mahkota Merak Belantung
ANDA mengenal Kalianda Resort? Nama itu sudah amat terkenal. Sebab, sejak 1998 merek dagang pariwisata terkemuka di Lampung itu sudah diperkenalkan. Sebelumnya, resort yang berada di Desa Merak Belantung ini bernama Kalianda Petualangan.
Kini, nama Kalianda Resort secara perlahan ditarik dan diganti dengan sebutan Travellers Krakatoa Nirwana Resort. Nama ini dicanangkan Januari 2009 seiring bergantinya manajemen usaha pariwisata di bawah bendera Kelompok Usaha Bakrie ini kepada Core Hospitality International. Kini, kibaran Travellers makin silir dengan manajemen baru dan penambahan fasilitas kelas wahid di Lampung.
Travellers yang menguasai kawasan seluas 350 hektare dan baru mengusahakan 20 hektare untuk resort dan hotel ini memang mapan. Memasuki gerbang masuk area berpagar itu, petugas keamanan sudah menyambut dengan senyum ramahnya. Dari selasar rumput hijau, di sela-sela pohon-pohon kelapa tinggi yang memayungi, terintip laut di balik bangunan-bangunan terbuka yang menjadi pusat layanan. Lobi yang luas berarsitektur alamiah dengan bahan utama kayu, menguasai atmosfer resort.
Travellers menyediakan fasilitas liburan yang cukup bagi pengunjung. Di belakang lobi, ada area teater yang multifungsi. Restoran resort berada di area sebelum turun ke pantai. Dapur restoran yang dikelilingi meja pengunjung menguatkan eksistensi resort.
Belasan cottage berpencar di beberapa lokasi seperti kebun yang bersih dalam area berpayung pohon kelapa. Jalur atau Trek terbuat dari bebatuan meliuk-liuk mengampiri setiap cottage. Jalur-jalur paving block juga mengunjungi fasilitas-fasilitas lain. Dari hotel, kolam renang, dermaga jet sky dan banana boat, restoran, masjid, dan fasilitas lain.
Ada fasilitas outbound mini yang secara tentatif dipasang di area. Ada lapangan bola voli pantai, futsal pasir, basket gravel, dan lainnya.
Memang, fasilitas ini hanya jadi tontonan bagi warga kelas bawah. Meski tiket masuk kawasan hanya Rp20 ribu dan ada diskon bagi pelajar atau mahasiswa (rombongan), hampir seluruh fasilitas yang disediakan di dalam dikenai charge (biaya). "Ya, hampir tidak ada yang free. Dari main voli dan lain-lain semua dikenakan biaya," kata Lukman, sales manager�MDBU� Travellers Krakatoa Nirwana Resort, Rabu (20-5).
Meski tergolong mahal, Lukman mengaku tingkat kunjungan dan hunian resor dan hotelnya cukup tinggi. Jika akhir pekan (weekend), hunian 40 kamar hotelnya mencapai 80--100 persen. Mereka kebanyakan datang dari Bandar Lampung. "Untuk dari Jakarta, baru sekitar 20 persen," kata dia.
Ke depan, kata Lukman, pihaknya akan membangun lapangan golf tiga hole dan kolam renang air laut yang berada di pantai. "Mudah-mudahan pertengahan 2010 sudah dapat digunakan," kata dia.
Tawaran menarik lain dari eks Kalianda Resort ini adalah perjalanan ke Gunung Anak Krakatau. Dengan biaya Rp3,5 juta (lima orang dalam satu speed boat), pengunjung dapat menapakkan kaki hingga ke second hill Gunung Anak Krakatau. "Tentu jika kondisi sedang aman. Kami bekerja sama dengan BKSDA dan syahbandar untuk memantau kondisi," kata Lukman. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009>
Kini, nama Kalianda Resort secara perlahan ditarik dan diganti dengan sebutan Travellers Krakatoa Nirwana Resort. Nama ini dicanangkan Januari 2009 seiring bergantinya manajemen usaha pariwisata di bawah bendera Kelompok Usaha Bakrie ini kepada Core Hospitality International. Kini, kibaran Travellers makin silir dengan manajemen baru dan penambahan fasilitas kelas wahid di Lampung.
Travellers yang menguasai kawasan seluas 350 hektare dan baru mengusahakan 20 hektare untuk resort dan hotel ini memang mapan. Memasuki gerbang masuk area berpagar itu, petugas keamanan sudah menyambut dengan senyum ramahnya. Dari selasar rumput hijau, di sela-sela pohon-pohon kelapa tinggi yang memayungi, terintip laut di balik bangunan-bangunan terbuka yang menjadi pusat layanan. Lobi yang luas berarsitektur alamiah dengan bahan utama kayu, menguasai atmosfer resort.
Travellers menyediakan fasilitas liburan yang cukup bagi pengunjung. Di belakang lobi, ada area teater yang multifungsi. Restoran resort berada di area sebelum turun ke pantai. Dapur restoran yang dikelilingi meja pengunjung menguatkan eksistensi resort.
Belasan cottage berpencar di beberapa lokasi seperti kebun yang bersih dalam area berpayung pohon kelapa. Jalur atau Trek terbuat dari bebatuan meliuk-liuk mengampiri setiap cottage. Jalur-jalur paving block juga mengunjungi fasilitas-fasilitas lain. Dari hotel, kolam renang, dermaga jet sky dan banana boat, restoran, masjid, dan fasilitas lain.
Ada fasilitas outbound mini yang secara tentatif dipasang di area. Ada lapangan bola voli pantai, futsal pasir, basket gravel, dan lainnya.
Memang, fasilitas ini hanya jadi tontonan bagi warga kelas bawah. Meski tiket masuk kawasan hanya Rp20 ribu dan ada diskon bagi pelajar atau mahasiswa (rombongan), hampir seluruh fasilitas yang disediakan di dalam dikenai charge (biaya). "Ya, hampir tidak ada yang free. Dari main voli dan lain-lain semua dikenakan biaya," kata Lukman, sales manager�MDBU� Travellers Krakatoa Nirwana Resort, Rabu (20-5).
Meski tergolong mahal, Lukman mengaku tingkat kunjungan dan hunian resor dan hotelnya cukup tinggi. Jika akhir pekan (weekend), hunian 40 kamar hotelnya mencapai 80--100 persen. Mereka kebanyakan datang dari Bandar Lampung. "Untuk dari Jakarta, baru sekitar 20 persen," kata dia.
Ke depan, kata Lukman, pihaknya akan membangun lapangan golf tiga hole dan kolam renang air laut yang berada di pantai. "Mudah-mudahan pertengahan 2010 sudah dapat digunakan," kata dia.
Tawaran menarik lain dari eks Kalianda Resort ini adalah perjalanan ke Gunung Anak Krakatau. Dengan biaya Rp3,5 juta (lima orang dalam satu speed boat), pengunjung dapat menapakkan kaki hingga ke second hill Gunung Anak Krakatau. "Tentu jika kondisi sedang aman. Kami bekerja sama dengan BKSDA dan syahbandar untuk memantau kondisi," kata Lukman. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009>
Perjalanan: Ke Kawasan Wisata Merak Belantung
SATU kawasan wisata andalan di Lampung Selatan adalah Merak Belantung. Travellers Krakatoa Nirwana Resort menjadi mahkota kawasan itu. Namun, beberapa tempat rekreasi rakyat juga tersedia.
Ceruk Teluk Merak Belantung itu seperti keinginan laut biru mendekatkan diri dengan penduduk. Air jernih itu menggantung di wilayah itu dengan garis pantai berpasir putih. Sayang, di ujung ceruk terdapat bangunan tambak yang merangsek pantai sehingga memutus bentuk oval pantai yang indah.
Kawasan ini menjadi daerah pariwisata utama di Lampung. Berada di Kilometer 45 jalinsum Kalianda, area ini berada di sisi kanan dari arah Bandar Lampung. Jarak dari jalinsum sekitar tiga kilometer dengan jalan aspal mulus membelasak belukar nan asri.
Tanda-tanda bahwa daerah itu sebagai kawasan wisata adalah beberapa papan nama tempat berlibur dan berwisata, juga slogan-slogan pemerintah tentang pariwisata. Ada beberapa media outdoor yang mengingatkan tentang tujuh sikap pokok menyambut wisatawan Saptapesona. Juga logo-logo penyambutan atas pencanangan tahun 2009 sebagai tahun kunjungan wisata ke Lampung (Visit Lampung Year 2009) dengan slogan your second home-nya.
Memasuki jalan itu, beberapa pantai untuk rekreasi keluarga (leasure) sudah menyambut sejak kilometer pertama jalan masuk. Di antaranya Pantai Bagus, Pantai Merak Belantung, Pantai Sapenan, dan beberapa lagi. Ada pula beberapa resort yang dimiliki pribadi kalangan berpunya. Dan, Travelers Nirwana Krakatoa Resort menjadi "menu" utama kawasan itu. Dulu, resort dengan hotel setara bintang empat ini bernama Kalianda Resort milik pengusaha asal Kalianda, Aburizal Bakrie melalui Bakrie Group.
Keberadaan beberapa tempat wisata ini mengakomodasi semua kalangan masuk kawasan. Bagi warga yang hanya ingin menikmati debur ombak, bermain pasir, menadah belai angin laut, makan bersama di pondok-pondok atau di bawah pohon, atau berenang (leasure), bisa masuk ke beberapa tempat hiburan rakyat dengan beberapa pilihan di sepanjang jalan.
Keceriaan permainan itu dapat dinikmati karena alam di lokasi itu menyediakan dengan indahnya. Posisinya yang berada di ceruk teluk membuat air laut di pantai ini relatif aman untuk anak-anak berenang. Meskipun tetap harus dalam pengawasan orang dewasa.
Laut yang berhadapan dengan pulau-pulau menjadikan alun besar sudah ditaklukkan sebelum mengempas pantai. Namun, kejernihan air di pantai ini masih cukup terjaga.
Pemandangan ke arah laut juga tidak selepas pantai yang berhadapan dengan samudera. Di depan posisi pantai, terlihat kelebat Kota Kalianda melalui pemancar-pemancar alat komunikasi dan beberapa gedung yang tampak. Ke arah kanan, meski tidak terlihat langsung, Gunung Anak Krakatau bisa diakses mata jika cuaca sedang baik. Jika berminat, ada misi perjalanan menuju gunung yang aktif sepanjang tahun itu dengan speedboat.
Tarif untuk masuk ke lokasi-lokasi pelesiran di pantai itu relatif murah. Yakni, antara Rp5.000--Rp10 ribu. Di dalam lokasi yang dikelola sederhana itu umumnya membiarkan suasana alamiah sebagai keunggulan. Namun, beberapa pondokan dan fasilitas penunjang juga disiapkan pengelola.
Pada momen-momen tertentu, terutama saat-saat pergantian tahun dan hari raya, pengelola mengemas beberapa paket hiburan dengan unsur kemeriahan sebagai jualan. Tak heran jika pada hari-hari libur seperti itu, kawasan wisata andalan Lampung Selatan ini dibanjir pengunjung dari luar kota, bahkan dari luar provinsi. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
Ceruk Teluk Merak Belantung itu seperti keinginan laut biru mendekatkan diri dengan penduduk. Air jernih itu menggantung di wilayah itu dengan garis pantai berpasir putih. Sayang, di ujung ceruk terdapat bangunan tambak yang merangsek pantai sehingga memutus bentuk oval pantai yang indah.
Kawasan ini menjadi daerah pariwisata utama di Lampung. Berada di Kilometer 45 jalinsum Kalianda, area ini berada di sisi kanan dari arah Bandar Lampung. Jarak dari jalinsum sekitar tiga kilometer dengan jalan aspal mulus membelasak belukar nan asri.
Tanda-tanda bahwa daerah itu sebagai kawasan wisata adalah beberapa papan nama tempat berlibur dan berwisata, juga slogan-slogan pemerintah tentang pariwisata. Ada beberapa media outdoor yang mengingatkan tentang tujuh sikap pokok menyambut wisatawan Saptapesona. Juga logo-logo penyambutan atas pencanangan tahun 2009 sebagai tahun kunjungan wisata ke Lampung (Visit Lampung Year 2009) dengan slogan your second home-nya.
Memasuki jalan itu, beberapa pantai untuk rekreasi keluarga (leasure) sudah menyambut sejak kilometer pertama jalan masuk. Di antaranya Pantai Bagus, Pantai Merak Belantung, Pantai Sapenan, dan beberapa lagi. Ada pula beberapa resort yang dimiliki pribadi kalangan berpunya. Dan, Travelers Nirwana Krakatoa Resort menjadi "menu" utama kawasan itu. Dulu, resort dengan hotel setara bintang empat ini bernama Kalianda Resort milik pengusaha asal Kalianda, Aburizal Bakrie melalui Bakrie Group.
Keberadaan beberapa tempat wisata ini mengakomodasi semua kalangan masuk kawasan. Bagi warga yang hanya ingin menikmati debur ombak, bermain pasir, menadah belai angin laut, makan bersama di pondok-pondok atau di bawah pohon, atau berenang (leasure), bisa masuk ke beberapa tempat hiburan rakyat dengan beberapa pilihan di sepanjang jalan.
Keceriaan permainan itu dapat dinikmati karena alam di lokasi itu menyediakan dengan indahnya. Posisinya yang berada di ceruk teluk membuat air laut di pantai ini relatif aman untuk anak-anak berenang. Meskipun tetap harus dalam pengawasan orang dewasa.
Laut yang berhadapan dengan pulau-pulau menjadikan alun besar sudah ditaklukkan sebelum mengempas pantai. Namun, kejernihan air di pantai ini masih cukup terjaga.
Pemandangan ke arah laut juga tidak selepas pantai yang berhadapan dengan samudera. Di depan posisi pantai, terlihat kelebat Kota Kalianda melalui pemancar-pemancar alat komunikasi dan beberapa gedung yang tampak. Ke arah kanan, meski tidak terlihat langsung, Gunung Anak Krakatau bisa diakses mata jika cuaca sedang baik. Jika berminat, ada misi perjalanan menuju gunung yang aktif sepanjang tahun itu dengan speedboat.
Tarif untuk masuk ke lokasi-lokasi pelesiran di pantai itu relatif murah. Yakni, antara Rp5.000--Rp10 ribu. Di dalam lokasi yang dikelola sederhana itu umumnya membiarkan suasana alamiah sebagai keunggulan. Namun, beberapa pondokan dan fasilitas penunjang juga disiapkan pengelola.
Pada momen-momen tertentu, terutama saat-saat pergantian tahun dan hari raya, pengelola mengemas beberapa paket hiburan dengan unsur kemeriahan sebagai jualan. Tak heran jika pada hari-hari libur seperti itu, kawasan wisata andalan Lampung Selatan ini dibanjir pengunjung dari luar kota, bahkan dari luar provinsi. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
May 22, 2009
KBRI Belanda Undang Tim Kesenian Bandar Lampung
DEN HAAG (Lampost): Tim kesenian dan budaya Kota Bandar Lampung yang dimotori Dekranasda dan Sanggar Tapis Berseri diundang khusus Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda dalam kegiatan temu bisnis, Rabu (20-5), sekitar pukul 17.00, waktu setempat.
Kegiatan ini menjadi rangkaian awal dari keikutsertaan Indonesia, termasuk di dalamnya Pemerintah Kota Bandar Lampung pada ajang Tong Tong Fair ke-51 tahun 2009. Dalam kegiatan Business Dialogue yang dihadiri 200 undangan khusus, terdiri dari duta-duta besar negara Eropa, perwakilan tour operator dan travel yang ada di kawasan Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia.
Tujuan dari pertemuan itu untuk memberikan gambaran secara nyata kepada para tour operator dan travel terhadap kepariwisataan Indonesia secara keseluruhan. Kegiatan yang berlangsung pukul 17.00, waktu setempat atau pukul 22.00, waktu Indonesia, diawali dengan tarian kreasi baru Sanggar Tapis Berseri, Sumur Puteri.
"Kebahagiaan kami, penampilan awal itu mendapatkan aplaus dari semua yang hadir di di aula Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belanda," kata Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno kepada Lampung Post, kemarin.
Dalam sambutannya, H. Junus Effendi Habibie, adik kandung mantan Presiden Indonesia B.J. Habibie, Duta Besar Indonesia untuk Belanda, menginginkan agar para tour operator dan travel turut memberikan gambaran menyeluruh tentang potensi seni, budaya, dan pariwisata yang dimiliki Indonesia, khususnya Bandar Lampung.
Pada kesempatan itu, Junus Effendi Habibie memperkenalkan Dr. Sapta Nirwandar, Direktur Marketing Bidang Promosi dan Pemasaran Kepariwisataan dari Depatemen Kebudayan Republik Indonesia.
Sapta Nirwandar pun sempat memaparkan banyak hal tentang kepariwisatan Indonesia saat ini, khususnya Bandar Lampung. Beragam fakta dan data-data lengkapnya suguhkan melalui tayangan slide termasuk melakukan dialog dan tanya jawab bersama audiens. n RLS/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Mei 2009
Kegiatan ini menjadi rangkaian awal dari keikutsertaan Indonesia, termasuk di dalamnya Pemerintah Kota Bandar Lampung pada ajang Tong Tong Fair ke-51 tahun 2009. Dalam kegiatan Business Dialogue yang dihadiri 200 undangan khusus, terdiri dari duta-duta besar negara Eropa, perwakilan tour operator dan travel yang ada di kawasan Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia.
Tujuan dari pertemuan itu untuk memberikan gambaran secara nyata kepada para tour operator dan travel terhadap kepariwisataan Indonesia secara keseluruhan. Kegiatan yang berlangsung pukul 17.00, waktu setempat atau pukul 22.00, waktu Indonesia, diawali dengan tarian kreasi baru Sanggar Tapis Berseri, Sumur Puteri.
"Kebahagiaan kami, penampilan awal itu mendapatkan aplaus dari semua yang hadir di di aula Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belanda," kata Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno kepada Lampung Post, kemarin.
Dalam sambutannya, H. Junus Effendi Habibie, adik kandung mantan Presiden Indonesia B.J. Habibie, Duta Besar Indonesia untuk Belanda, menginginkan agar para tour operator dan travel turut memberikan gambaran menyeluruh tentang potensi seni, budaya, dan pariwisata yang dimiliki Indonesia, khususnya Bandar Lampung.
Pada kesempatan itu, Junus Effendi Habibie memperkenalkan Dr. Sapta Nirwandar, Direktur Marketing Bidang Promosi dan Pemasaran Kepariwisataan dari Depatemen Kebudayan Republik Indonesia.
Sapta Nirwandar pun sempat memaparkan banyak hal tentang kepariwisatan Indonesia saat ini, khususnya Bandar Lampung. Beragam fakta dan data-data lengkapnya suguhkan melalui tayangan slide termasuk melakukan dialog dan tanya jawab bersama audiens. n RLS/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Mei 2009
May 19, 2009
Kawasan Wisata Danau Ranau Lampung Terbengkalai
BANDAR LAMPUNG -- Sebuah tempat wisata yang baru diresmikan dua tahun lalu, bernama Kawasan Wisata Lumbok berada di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, kondisinya terbengkalai saat ini. Bangunan hotel, sarana dan prasarana lainnya, tampak kumuh serta ditumbuhi alang-alang yang makin meninggi.
Pemantauan Republika Senin (30/3), kawasan wisata yang berada sekitar 250 kilometer dari kota Bandar Lampung ini, sepi senyap tak berpenghuni. Sejumlah hotel dan tempat pertemuan (convention centre) tertutup dan mulai rusak. Sarana hiburan anak-anak seperti roda berputar dan sebagainya, tidak berfungsi dan berkarat dibiarkan di halaman.
Selain itu, tempat penginapan VIP room, juga tidak terawat dengan baik. Kolam renang yang berada di sekitar kamar tersebut, airnya kosong dan dipenuhi kotoran. Sementara jalan menuju tepi Danau Ranau, tidak terlihat lagi jalan atau pintu masuknya.
Kondisi ini berbeda saat kawasan Wisata Lumbok berlatar belakang Danau Ranau diresmikan Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, pertengahan Mei 2007. Saat itu, suasana penginapan tampak 'hidup' dan asri, serta indah, dan menarik untuk dikunjungi wisatawan.
Menurut Sardinan (62 tahun), warga Desa Lumbok sekitar kawasan Wisata Danau Ranau, saat ini kawasan wisatanya sepi pengunjung, tidak terawat sama sekali.
"Gedung penginapannya juga tidak terurus lagi. Yang jelas, kawasan wisatanya ditumbuhi alang-alang, tak ada yang mau lah tinggal disana," jelasnya.
Ia mengatakan kawasan wisata ini setelah diresmikan sepertinya tidak dirawat lagi oleh pemerintah kabupaten. "Saya tidak tahu kenapa tempat wisata yang sudah dibangun dengan uang rakyat miliaran rupiah ini, sekarang dibiarkan terbengkalai," tanya dia.
Menurutnya, kawasan perlu ditingkatkan sektor pariwisatanya agar pengunjung lokal dan asing tertarik dengan kawasan danau ini. Kalau dibiarkan seperti ini, ungkapnya, siapa yang mau dan berani berkunjung ke Danau Ranau, lagi pula sarana penginapan dan makanan tidak ada sama sekali. - mur/ahi
Sumber: Republika Online, Selasa, 31 Maret 2009
Pemantauan Republika Senin (30/3), kawasan wisata yang berada sekitar 250 kilometer dari kota Bandar Lampung ini, sepi senyap tak berpenghuni. Sejumlah hotel dan tempat pertemuan (convention centre) tertutup dan mulai rusak. Sarana hiburan anak-anak seperti roda berputar dan sebagainya, tidak berfungsi dan berkarat dibiarkan di halaman.
Selain itu, tempat penginapan VIP room, juga tidak terawat dengan baik. Kolam renang yang berada di sekitar kamar tersebut, airnya kosong dan dipenuhi kotoran. Sementara jalan menuju tepi Danau Ranau, tidak terlihat lagi jalan atau pintu masuknya.
Kondisi ini berbeda saat kawasan Wisata Lumbok berlatar belakang Danau Ranau diresmikan Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, pertengahan Mei 2007. Saat itu, suasana penginapan tampak 'hidup' dan asri, serta indah, dan menarik untuk dikunjungi wisatawan.
Menurut Sardinan (62 tahun), warga Desa Lumbok sekitar kawasan Wisata Danau Ranau, saat ini kawasan wisatanya sepi pengunjung, tidak terawat sama sekali.
"Gedung penginapannya juga tidak terurus lagi. Yang jelas, kawasan wisatanya ditumbuhi alang-alang, tak ada yang mau lah tinggal disana," jelasnya.
Ia mengatakan kawasan wisata ini setelah diresmikan sepertinya tidak dirawat lagi oleh pemerintah kabupaten. "Saya tidak tahu kenapa tempat wisata yang sudah dibangun dengan uang rakyat miliaran rupiah ini, sekarang dibiarkan terbengkalai," tanya dia.
Menurutnya, kawasan perlu ditingkatkan sektor pariwisatanya agar pengunjung lokal dan asing tertarik dengan kawasan danau ini. Kalau dibiarkan seperti ini, ungkapnya, siapa yang mau dan berani berkunjung ke Danau Ranau, lagi pula sarana penginapan dan makanan tidak ada sama sekali. - mur/ahi
Sumber: Republika Online, Selasa, 31 Maret 2009
May 16, 2009
Esai: Penyair yang Paripurna?
Oleh Fitri Yani
KARENA cermin itu merefleksikan apa yang dicerminkannya, pada dasarnya sastra dianggap sebagai tiruan yang bisa menampilkan sisi lain dari kenyataan.
Sastra tercipta karena kebutuhan untuk menampilkan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tak kita ketahui di dunia nyata ini, kehendak untuk memasuki sesuatu yang tak dapat kita ketahui dan kehendak itulah yang saya kira membuat kita tergerak untuk tetap menghasilkan karya sastra.
Sebagaimana cermin yang merefleksikan apa yang dicerminkannya, sastra pun berupaya menampilkan sisi lain kenyataan. Sapardi Djoko Damono mengatakan sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan. Artinya, ada sebuah proses dialektika dari pergulatan serta penafsiran pengarang akan realitas kehidupan yang menurut Umar Kayam (1988) bakal memberi roh dan membuat sebuah karya sastra hidup abadi.
Penciptaan karya sastra--seperti juga penciptaan karya seni lain--memang memerlukan sebuah proses dan waktu untuk mencapai kedalaman.
Media cetak (koran), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya.
Saya tergerak sedikit menanggapi lontaran Budi P. Hatees dalam esainya Puisi dari dan untuk Ruang Sunyi di Lampung Post, Minggu, 19 April 2009: "Saya berbicara tentang penyair-penyair di Lampung, yang merasa sudah paripurna sebagai penyair setelah karya-karyanya muncul di Kompas. Padahal menulis sajak bagi mereka tidak didorong hal-hal berbau kesenian, tetapi lebih tepat karena desakan ekonomi."
Pertanyaannya, penulis yang telah "memeram" karyanya selama beberapa waktu sampai layak untuk diakui kehadiran serta wujudnya sebagai sebuah karya, apakah tak didorong hal-hal berbau kesenian? Apakah tak berhasrat untuk mencapai yang estetik itu? Batasan seperti apakah yang dimaksudkan dengan penyair yang paripurna? Apakah penyair itu sendiri adalah sebuah gelar akademis?
Jika penyair adalah sebuah gelar akademis, barangkali ada beberapa jenjang yang mesti dilewati secara akademik, dan setiap orang bisa menjadi penyair. Namun apakah benar demikian? Atau apakah dengan dimuatnya karya seseorang di Kompas, ia akan mendapatkan gelar penyair yang paripurna?
Merasa paripurna penyair setelah dimuat koran, ah, saya rasa itu tudingan yang berlebihan. Tidak ada argumen yang kuat untuk menyebut "penyair Lampung merasa paripurna". Bahwa dimuatnya karya seseorang di koran merupakan tolok ukur penguasaan estetik adalah benar dan mendapatkah honor sebagai hadiah kecil merupakan hal yang wajar.
Penyair Lampung menulis karena desakan ekonomi? Saya berharap tidak karena setiap Penyair tentu memiliki sikap dalam berkarya dan saya kira gambaran Budi P. Hatees terlalu berlebihan.
Kematangan berkarya tidak lepas dari kerja keras dan tuntutan pada diri sendiri yang keras jika ingin mendaki ketinggian demi ketinggian tanpa puncak. Nama hanyalah dampak atau hasil dari suatu pekerjaan bukan menjadi tujuan. Apalagi jika kita sepakat bahwa sesungguhnya penyair tidak lain dari suatu nama dari profesi dan tanggung jawab serta komitmen berdasar pada suatu pandangan hidup yang diwujudkan dalam bentuk puitik bernama puisi.
Kemuliaan dan kehormatan menjadi penyair saya kira terletak pada kadar artistik dan sumbangan pemikiran bagi usaha memanusiawikan diri, manusia, kehidupan dan masyarakat bukan terletak pada tujuan-tujuan narsistik. Prestasi seorang penyair, seperti kata Ignas Kleden, diukur berdasar pada pendalaman makna yang sanggup diserap dan diendapkannya, sehingga (dalam hal ini) pembaca mampu menghayati tulisannya dengan lebih intens.
Kreativitas bukan semata-mata masalah estetika, melainkan tak mungkin lepas dari intelektual. Seniman yang baik adalah intelektual yang baik, yang menurut Budi Darma, adalah selalu mencari, belajar, dan berkembang secara jujur. Bukan pura-pura mencari, pura-pura belajar atau pura-pura berkembang. Seniman yang baik juga memiliki daya serap, daya seleksi dan daya susun yang tinggi.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat kita jadikan indikasi untuk melihat tingkat keseriusan kita dalam menekuni bidang penulisan; apakah dalam berkarya kita hanya sekadar ingin menjadi seorang penggembira atau lebih terdorong lagi untuk menjadi seorang ahli? Seperti halnya seorang koki, banyak orang bisa memasak atau sekadar bisa memasak, tapi menjadi seorang chef di hotel berbintang lima tentu dibutuhkan keahlian khusus.
Kegelisahan seorang tukang becak tentu berbeda dengan kegelisahan seorang penyair, tukang becak hanya menghadapi fakta sebagai persoalan, sedangkan penyair, seperti kata Budi Darma, menghadapi fakta sebagai gejala dari sesuatu yang lebih hakiki.
Menyedihkan sekali sekiranya benar ada penyair yang merasa telah paripurna (telah mencapai titik-sampai) sebagai penyair. Padahal, masih banyak hal yang perlu terus dicari dan dipelajari dari kehidupan dan alam semesta ini. Ke mana lagi akan melangkah jika tujuan terasa telah sampai? Sementara itu, dunia kian mengalami gerakan di berbagai bidang dan manusia sebagai gerak itu sendiri tak dapat menghindar.
Kita digerakkan dan menggerakkan. Kita objek sekaligus subjek, berada di antara tahu dan tidak tahu. Kita penentu pilihan, tetapi juga penerima pilihan yang bukan pilihan kita. Pilihan kita pada suatu saat dianggap benar, pada lain saat dianggap salah. Begitu pula sebaliknya.
Segalanya berubah dan berkembang terus. Yang tidak mengalami perubahan dan perkembangan adalah hukum perubahan dan perkembangan itu sendiri, yang merupakan kemutlakan. Barang siapa mencapai idealnya, kata Nietzche, sekaligus dengan itu sudah melewatinya. Proses berkesenian saya ibaratkan seperti menjadi sysiphus yang tak pernah mencapai puncak pendakian, tetapi kemudian kembali lagi untuk mendaki dan terus mendaki.
Puncak bukanlah suatu kepastian. Bahkan, tak pernah terlihat ketika harus kembali mendaki lagi dari bawah, suasana baru yang tak henti berkembang dan berganti. Barangkali titik-sampai bagi pengarang adalah kematian. Atau mungkin juga ada pilihan lain, yaitu merasa cukup, dan itu juga berarti "kematian".
Apakah paripurna yang dimaksudkan Budi P. Hatees adalah penyair yang menggagap karyanya sejajar dengan kitab suci, tak boleh dikritik, harus disanjung, tak ada cela pada para penyair, mereka paripurna. Memangnya, ada penyair yang besar tanpa kritik?
Di Lampung khususnya, mereka yang telah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan di khazanah perpuisian Indonesia dan dunia tentunya tak pernah luput dari kritik. Dari kritik itulah penyair bisa melihat hasil capaian dan tempatnya dalam standar yang lebih luas. Sulit saya bayangkan bagaimana sastra bisa berkembang sehat tanpa kritik.
Pada akhirnya, lagi-lagi saya mengutip Budi Darma, sastra yang baik dapat meledakkan imajinasi pengarang lain, dan menggelindingkan pengarang tersebut untuk menyelesaikan karya sastra. Dan karya sastra yang baik pula dapat membius kritikus untuk menulis kritik terhadap karya tersebut.
Dan kritik sastra yang baik mau tidak mau juga inspiratif. Manusia (dalam hal ini penyair), meminjam istilah Nietzsche, merupakan makhluk yang tidak selesai dan harus berusaha menyelesaikan penyempurnaan kemampuan dan perkembangan diri sendiri.
* Fitri Yani, aktif berkesenian di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung Divisi Teater dan Sastra.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009
KARENA cermin itu merefleksikan apa yang dicerminkannya, pada dasarnya sastra dianggap sebagai tiruan yang bisa menampilkan sisi lain dari kenyataan.
***
Sastra tercipta karena kebutuhan untuk menampilkan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tak kita ketahui di dunia nyata ini, kehendak untuk memasuki sesuatu yang tak dapat kita ketahui dan kehendak itulah yang saya kira membuat kita tergerak untuk tetap menghasilkan karya sastra.
Sebagaimana cermin yang merefleksikan apa yang dicerminkannya, sastra pun berupaya menampilkan sisi lain kenyataan. Sapardi Djoko Damono mengatakan sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan. Artinya, ada sebuah proses dialektika dari pergulatan serta penafsiran pengarang akan realitas kehidupan yang menurut Umar Kayam (1988) bakal memberi roh dan membuat sebuah karya sastra hidup abadi.
Penciptaan karya sastra--seperti juga penciptaan karya seni lain--memang memerlukan sebuah proses dan waktu untuk mencapai kedalaman.
Media cetak (koran), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya.
Saya tergerak sedikit menanggapi lontaran Budi P. Hatees dalam esainya Puisi dari dan untuk Ruang Sunyi di Lampung Post, Minggu, 19 April 2009: "Saya berbicara tentang penyair-penyair di Lampung, yang merasa sudah paripurna sebagai penyair setelah karya-karyanya muncul di Kompas. Padahal menulis sajak bagi mereka tidak didorong hal-hal berbau kesenian, tetapi lebih tepat karena desakan ekonomi."
Pertanyaannya, penulis yang telah "memeram" karyanya selama beberapa waktu sampai layak untuk diakui kehadiran serta wujudnya sebagai sebuah karya, apakah tak didorong hal-hal berbau kesenian? Apakah tak berhasrat untuk mencapai yang estetik itu? Batasan seperti apakah yang dimaksudkan dengan penyair yang paripurna? Apakah penyair itu sendiri adalah sebuah gelar akademis?
Jika penyair adalah sebuah gelar akademis, barangkali ada beberapa jenjang yang mesti dilewati secara akademik, dan setiap orang bisa menjadi penyair. Namun apakah benar demikian? Atau apakah dengan dimuatnya karya seseorang di Kompas, ia akan mendapatkan gelar penyair yang paripurna?
Merasa paripurna penyair setelah dimuat koran, ah, saya rasa itu tudingan yang berlebihan. Tidak ada argumen yang kuat untuk menyebut "penyair Lampung merasa paripurna". Bahwa dimuatnya karya seseorang di koran merupakan tolok ukur penguasaan estetik adalah benar dan mendapatkah honor sebagai hadiah kecil merupakan hal yang wajar.
Penyair Lampung menulis karena desakan ekonomi? Saya berharap tidak karena setiap Penyair tentu memiliki sikap dalam berkarya dan saya kira gambaran Budi P. Hatees terlalu berlebihan.
Kematangan berkarya tidak lepas dari kerja keras dan tuntutan pada diri sendiri yang keras jika ingin mendaki ketinggian demi ketinggian tanpa puncak. Nama hanyalah dampak atau hasil dari suatu pekerjaan bukan menjadi tujuan. Apalagi jika kita sepakat bahwa sesungguhnya penyair tidak lain dari suatu nama dari profesi dan tanggung jawab serta komitmen berdasar pada suatu pandangan hidup yang diwujudkan dalam bentuk puitik bernama puisi.
Kemuliaan dan kehormatan menjadi penyair saya kira terletak pada kadar artistik dan sumbangan pemikiran bagi usaha memanusiawikan diri, manusia, kehidupan dan masyarakat bukan terletak pada tujuan-tujuan narsistik. Prestasi seorang penyair, seperti kata Ignas Kleden, diukur berdasar pada pendalaman makna yang sanggup diserap dan diendapkannya, sehingga (dalam hal ini) pembaca mampu menghayati tulisannya dengan lebih intens.
Kreativitas bukan semata-mata masalah estetika, melainkan tak mungkin lepas dari intelektual. Seniman yang baik adalah intelektual yang baik, yang menurut Budi Darma, adalah selalu mencari, belajar, dan berkembang secara jujur. Bukan pura-pura mencari, pura-pura belajar atau pura-pura berkembang. Seniman yang baik juga memiliki daya serap, daya seleksi dan daya susun yang tinggi.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat kita jadikan indikasi untuk melihat tingkat keseriusan kita dalam menekuni bidang penulisan; apakah dalam berkarya kita hanya sekadar ingin menjadi seorang penggembira atau lebih terdorong lagi untuk menjadi seorang ahli? Seperti halnya seorang koki, banyak orang bisa memasak atau sekadar bisa memasak, tapi menjadi seorang chef di hotel berbintang lima tentu dibutuhkan keahlian khusus.
Kegelisahan seorang tukang becak tentu berbeda dengan kegelisahan seorang penyair, tukang becak hanya menghadapi fakta sebagai persoalan, sedangkan penyair, seperti kata Budi Darma, menghadapi fakta sebagai gejala dari sesuatu yang lebih hakiki.
Menyedihkan sekali sekiranya benar ada penyair yang merasa telah paripurna (telah mencapai titik-sampai) sebagai penyair. Padahal, masih banyak hal yang perlu terus dicari dan dipelajari dari kehidupan dan alam semesta ini. Ke mana lagi akan melangkah jika tujuan terasa telah sampai? Sementara itu, dunia kian mengalami gerakan di berbagai bidang dan manusia sebagai gerak itu sendiri tak dapat menghindar.
Kita digerakkan dan menggerakkan. Kita objek sekaligus subjek, berada di antara tahu dan tidak tahu. Kita penentu pilihan, tetapi juga penerima pilihan yang bukan pilihan kita. Pilihan kita pada suatu saat dianggap benar, pada lain saat dianggap salah. Begitu pula sebaliknya.
Segalanya berubah dan berkembang terus. Yang tidak mengalami perubahan dan perkembangan adalah hukum perubahan dan perkembangan itu sendiri, yang merupakan kemutlakan. Barang siapa mencapai idealnya, kata Nietzche, sekaligus dengan itu sudah melewatinya. Proses berkesenian saya ibaratkan seperti menjadi sysiphus yang tak pernah mencapai puncak pendakian, tetapi kemudian kembali lagi untuk mendaki dan terus mendaki.
Puncak bukanlah suatu kepastian. Bahkan, tak pernah terlihat ketika harus kembali mendaki lagi dari bawah, suasana baru yang tak henti berkembang dan berganti. Barangkali titik-sampai bagi pengarang adalah kematian. Atau mungkin juga ada pilihan lain, yaitu merasa cukup, dan itu juga berarti "kematian".
Apakah paripurna yang dimaksudkan Budi P. Hatees adalah penyair yang menggagap karyanya sejajar dengan kitab suci, tak boleh dikritik, harus disanjung, tak ada cela pada para penyair, mereka paripurna. Memangnya, ada penyair yang besar tanpa kritik?
Di Lampung khususnya, mereka yang telah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan di khazanah perpuisian Indonesia dan dunia tentunya tak pernah luput dari kritik. Dari kritik itulah penyair bisa melihat hasil capaian dan tempatnya dalam standar yang lebih luas. Sulit saya bayangkan bagaimana sastra bisa berkembang sehat tanpa kritik.
Pada akhirnya, lagi-lagi saya mengutip Budi Darma, sastra yang baik dapat meledakkan imajinasi pengarang lain, dan menggelindingkan pengarang tersebut untuk menyelesaikan karya sastra. Dan karya sastra yang baik pula dapat membius kritikus untuk menulis kritik terhadap karya tersebut.
Dan kritik sastra yang baik mau tidak mau juga inspiratif. Manusia (dalam hal ini penyair), meminjam istilah Nietzsche, merupakan makhluk yang tidak selesai dan harus berusaha menyelesaikan penyempurnaan kemampuan dan perkembangan diri sendiri.
* Fitri Yani, aktif berkesenian di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung Divisi Teater dan Sastra.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009
Perjalanan: Menyuguhkan 'Bonbin Mini' TWBK ke 'Urang' Bandung
KALAU Anda kedatangan tamu jauh yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Kota Tapis, jangan khawatir mengajaknya berwisata ria. Sebab, beberapa tempat di kota ini memiliki lokasi yang asyik buat dijadikan sarana rekreasi maupun sekadar meluruskan benang kusut dalam pikiran.
***
"Muter-muter di Bandar Lampung asyik nggak nih?" tanya seorang rekan dari pulau seberang di ujung telepon beberapa waktu lalu. "Soalnya Ci, aku cuma sebentar nih ke sana (Bandar Lampung, red)," kata dia lagi.
"Oho...so pasti asyiklah. Jangan khawatir Kang, nanti aku ajak muter-muter deh," ucap saya menerima tantangan teman lama di telepon.
Dan benar, hanya sekitar tiga jam dari waktu kami bicara, rekan saya dari Bandung sudah menginjakkan kaki di Kota Tapis tercinta.
"Wah...Lampung kotanya cantik ya...," ucap Telak, rekan dari Bandung tadi, begitu kami sampai di Jalan Raden Intan, Tanjungkarang.
Ini merupakan pertama kali Kang Telak datang ke Lampung. Ya, kami berteman sejak tahun 1998, ketika ada kegiatan konservasi di Cisarua. Dan beberapa kali ada kegiatan di Lampung, Kang Telak tak bisa hadir karena kesibukan yang menyita waktu.
"Dari sejak 10 tahun lalu ya saya mau ke Lampung, tapi baru sempat kali ini. Duh, padahal Lampung kan dekat ya dari Bandung," ujarnya sedikit menyesal.
Kang Telak hanya punya waktu dua hari di Kota Tapis. Hari pertama kami berdiskusi tentang banyak hal, termasuk tentang konservasi di Lampung yang memiliki banyak persoalan. Diskusi ini jadi menarik karena saya juga mengajak beberapa rekan dari Bandar Lampung bergabung, untuk sekadar urun rembuk.
Lalu saya mengajaknya melihat "kemeriahan" mal dan pusat perbelanjaan di seputar Bandar Lampung, maklum, mungkin rekan saya ini masih capai menempuh perjalanan sehingga saya tak membawanya jauh-jauh.
Hari kedua, saya mengajak Kang Telak ke lokasi wisata yang ada di Kota Tapis, yakni Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) di Batu Putu, Telukbetung Barat.
Pemilihan lokasi ini karena memang berada di tengah kota dan juga tak jauh dari topik diskusi kami, yakni konservasi. Apalagi di TWBK ini ada semacam kebun binatang mini.
Akses menuju Taman Wisata Bumi Kedaton ini tidak sulit, cuma sekitar setengah jam berkendara dari pusat Kota Bandar Lampung. Selama dalam perjalanan menuju objek wisata itu pasti disuguhi panorama alam pegunungan dan lembah yang hijau dan udara yang sejuk mengingat kawasan ini terletak di ketinggian antara 700 meter dan 900 meter.
Meskipun saya tahu bahwa di Jawa Barat itu memang gudangnya tempat wisata, saya percaya kalau di tanah kelahiran saya ini memiliki potensi yang tak kalah menariknya dengan di Jabar. Ya, walaupun sedikit, pasti adalah yang membekas. Begitu pikir saya.
Dan ternyata benar. "Wah, topografi Lampung bagus juga ya Ci, ada lembah dan bukit, juga dekat dengan laut. Menarik dan indah," ucap Kang Telak.
Mendengar itu, saya makin gencar menerangkan berbagai hal tentang potensi di Kota Tapis ini bak tour guide. Tapi saya juga fair, ketika bicara soal fasilitas dan sarana pendukung yang memang kurang memadai atau belum digarap secara maksimal.
Sesampai di gerbang TWBK, kami langsung disapa petugas untuk menarik retribusi. Kami bertiga dikutip Rp24 ribu plus parkir kendaraan.
Semua kendaraan parkir di sisi kanan pintu masuk. Lumayan luas juga lahan parkir yang ada, bisa menampung sekitar 50--100 kendaraan roda empat. Dari sini kami mulai berjalan kaki menyusuri lembah karena letak TWBK ini meliputi bukit dan lembah.
Taman wisata yang dibuka akhir Oktober 2004 itu berada di bagian barat Kota Bandar Lampung ini, memang menarik dan unik sehingga cocok sebagai tempat untuk rileks bagi keluarga dan wisatawan setelah berkelana di Lampung.
Menariknya lantaran nuansa alam perbuktian, lembah, perkampungan hijau, dan gemercik sungai begitu kental. Memang taman wisata ini sejak dulu sampai kini dikenal sebagai daerah penghasil buah-buahan segar seperti durian, pisang, dan lainnya. Karena struktur di tanah ini daerah ini memang subur, hijau, dan lumayan sejuk karena masih banyak pepohonan.
Beberapa hewan menghiasi taman ini, mirip kebun binatang (bonbin) mini. Beberapa koleksi satwa seperti harimau Sumatera, gajah sumatera, buaya, siamang, beruk, kera ekor panjang, kijang, ayam hutan, elang, biawak dan berbagai jenis ayam dari China, Arab, dan Australia, menjadi penghuni tetap.
Kebun binatang mini inilah yang pertama kali kami singgahi. Dimulai dari kandang unggas. Saya sempat berlama-lama di depan kandang ayam jambul. Lucu dan unik. Itulah yang membuat saya berlama-lama di depan kandang ini sambil membidikkan kamera. Konon, ayam jambul ini berasal dari luar Indonesia.
Di kandang harimau, kami agak kecewa karena si Aum sedang tertidur pulas dalam kandang isolasi. Teriakan suara kami tidak membuat Aum bergerak dari PW-nya (posisi wuenak-nya). "Uh...sombong bener nih si Aum," kata saya sambil melanjutkan ke kandang buaya.
"Buayanya banyak, mereka lagi berjemur. Tapi kok kandangnya tidak dikunci sih. Duh, kalau ada pengunjung yang iseng melepas kan kunci ini bagaimana ya. Wah tidak aman nih," kata Kang Telak sambil mengaitkan gembok yang terpasang.
"Iya ya, mungkin petugas baru kasih makan, trus lupa mengunci," ucap saya memberikan alasan.
"Tapi kan tetap tidak aman, kalau ada pengunjung yang usil atau anak-anak yang tidak mengerti akan bahaya ini," balas Kang Telak.
Saya cuma menyengir dan menyayangkan hal itu.
Ketika berada di deretan kandang burung elang, rekan saya langsung berujar "Lo, inikan elang jawa. Wah ini satwa yang dilindungi lo. Dapat koleksi dari mana ya," tanyanya.
Aku cuma menggeleng. "Nanti kita tanyakan saja sama petugas," jawab saya.
Kami terus berpindah dari satu kandang ke kandang lain, sambil menuruni lembah dan sampailah di tepi sungai. "Ada flying fox juga, mau main?" tanya saya. Rekan saya menggeleng. Malahan ia ingin melihat gajah, kalau bisa menungganginya.
Atraksi gajah memang ada, bahkan pengunjung dapat menunggang gajah dengan rute khusus, memberi makan gajah bahkan foto bersama hewan berbelalai panjang ini. Untuk naik gajah ini, pengunjung dikutip Rap15 ribu--Rp20 ribu/orang.
Sayangnya atraksi ini hanya ada pada hari libur/Minggu saja. Karena kami ke TWBK pada hari Kamis, atraksi gajah tidak ada.
Bumi Kedaton juga dilengkapi lahan perkemahan yang ada di bagian utara di sisi sungai yang mengalir dari lereng Gunung Betung. Juga tersedia fasilitas rekreasi keluarga, rumah khas Lampung bertiang, bungalo dengan panorama lembah dan perbukitan yang cocok untuk rileks, lokasi outbound, trek joging, wisata kano di sungai nan jernih dan bersih.
Setelah puas keliling TWBK, kami kembali ke parkiran. Kami harus berjalan kaki menggunakan gigi satu, maklum jalannya menanjak. Untungnya dalam beberapa pekan ini saya rajin treadmill, so jalan menanjak tak membuat ngos-ngosan meskipun keringat mulai mengalir.
"Lokasinya bagus kok Ci, lebih terawat dibanding dengan kebun binatang Bandung. Bumi Kedaton ini kalau dikelolah lebih intens lagi, pasti bisa banyak mengundang wisatawan dari luar," papar Kang Telak.
Dari TWNK, saya mengajak urang Bandung ini ke Pantai Mutun, di Lempasing. Sebab, rekan saya ini kepengin sekali melihat "kehebohan" pantai di Lampung yang cukup terkenal.
Decak kagum juga terlontar begitu melihat Pantai Mutun yang masih "alami" dan lokasinya tak jauh dari pusat kota. "Sayang saya tak bawa celana pendek untuk mandi nih," ucap Kang Telak. n SRI AGUSTINA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009
***
"Muter-muter di Bandar Lampung asyik nggak nih?" tanya seorang rekan dari pulau seberang di ujung telepon beberapa waktu lalu. "Soalnya Ci, aku cuma sebentar nih ke sana (Bandar Lampung, red)," kata dia lagi.
"Oho...so pasti asyiklah. Jangan khawatir Kang, nanti aku ajak muter-muter deh," ucap saya menerima tantangan teman lama di telepon.
Dan benar, hanya sekitar tiga jam dari waktu kami bicara, rekan saya dari Bandung sudah menginjakkan kaki di Kota Tapis tercinta.
"Wah...Lampung kotanya cantik ya...," ucap Telak, rekan dari Bandung tadi, begitu kami sampai di Jalan Raden Intan, Tanjungkarang.
Ini merupakan pertama kali Kang Telak datang ke Lampung. Ya, kami berteman sejak tahun 1998, ketika ada kegiatan konservasi di Cisarua. Dan beberapa kali ada kegiatan di Lampung, Kang Telak tak bisa hadir karena kesibukan yang menyita waktu.
"Dari sejak 10 tahun lalu ya saya mau ke Lampung, tapi baru sempat kali ini. Duh, padahal Lampung kan dekat ya dari Bandung," ujarnya sedikit menyesal.
Kang Telak hanya punya waktu dua hari di Kota Tapis. Hari pertama kami berdiskusi tentang banyak hal, termasuk tentang konservasi di Lampung yang memiliki banyak persoalan. Diskusi ini jadi menarik karena saya juga mengajak beberapa rekan dari Bandar Lampung bergabung, untuk sekadar urun rembuk.
Lalu saya mengajaknya melihat "kemeriahan" mal dan pusat perbelanjaan di seputar Bandar Lampung, maklum, mungkin rekan saya ini masih capai menempuh perjalanan sehingga saya tak membawanya jauh-jauh.
Hari kedua, saya mengajak Kang Telak ke lokasi wisata yang ada di Kota Tapis, yakni Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) di Batu Putu, Telukbetung Barat.
Pemilihan lokasi ini karena memang berada di tengah kota dan juga tak jauh dari topik diskusi kami, yakni konservasi. Apalagi di TWBK ini ada semacam kebun binatang mini.
Akses menuju Taman Wisata Bumi Kedaton ini tidak sulit, cuma sekitar setengah jam berkendara dari pusat Kota Bandar Lampung. Selama dalam perjalanan menuju objek wisata itu pasti disuguhi panorama alam pegunungan dan lembah yang hijau dan udara yang sejuk mengingat kawasan ini terletak di ketinggian antara 700 meter dan 900 meter.
Meskipun saya tahu bahwa di Jawa Barat itu memang gudangnya tempat wisata, saya percaya kalau di tanah kelahiran saya ini memiliki potensi yang tak kalah menariknya dengan di Jabar. Ya, walaupun sedikit, pasti adalah yang membekas. Begitu pikir saya.
Dan ternyata benar. "Wah, topografi Lampung bagus juga ya Ci, ada lembah dan bukit, juga dekat dengan laut. Menarik dan indah," ucap Kang Telak.
Mendengar itu, saya makin gencar menerangkan berbagai hal tentang potensi di Kota Tapis ini bak tour guide. Tapi saya juga fair, ketika bicara soal fasilitas dan sarana pendukung yang memang kurang memadai atau belum digarap secara maksimal.
Sesampai di gerbang TWBK, kami langsung disapa petugas untuk menarik retribusi. Kami bertiga dikutip Rp24 ribu plus parkir kendaraan.
Semua kendaraan parkir di sisi kanan pintu masuk. Lumayan luas juga lahan parkir yang ada, bisa menampung sekitar 50--100 kendaraan roda empat. Dari sini kami mulai berjalan kaki menyusuri lembah karena letak TWBK ini meliputi bukit dan lembah.
Taman wisata yang dibuka akhir Oktober 2004 itu berada di bagian barat Kota Bandar Lampung ini, memang menarik dan unik sehingga cocok sebagai tempat untuk rileks bagi keluarga dan wisatawan setelah berkelana di Lampung.
Menariknya lantaran nuansa alam perbuktian, lembah, perkampungan hijau, dan gemercik sungai begitu kental. Memang taman wisata ini sejak dulu sampai kini dikenal sebagai daerah penghasil buah-buahan segar seperti durian, pisang, dan lainnya. Karena struktur di tanah ini daerah ini memang subur, hijau, dan lumayan sejuk karena masih banyak pepohonan.
Beberapa hewan menghiasi taman ini, mirip kebun binatang (bonbin) mini. Beberapa koleksi satwa seperti harimau Sumatera, gajah sumatera, buaya, siamang, beruk, kera ekor panjang, kijang, ayam hutan, elang, biawak dan berbagai jenis ayam dari China, Arab, dan Australia, menjadi penghuni tetap.
Kebun binatang mini inilah yang pertama kali kami singgahi. Dimulai dari kandang unggas. Saya sempat berlama-lama di depan kandang ayam jambul. Lucu dan unik. Itulah yang membuat saya berlama-lama di depan kandang ini sambil membidikkan kamera. Konon, ayam jambul ini berasal dari luar Indonesia.
Di kandang harimau, kami agak kecewa karena si Aum sedang tertidur pulas dalam kandang isolasi. Teriakan suara kami tidak membuat Aum bergerak dari PW-nya (posisi wuenak-nya). "Uh...sombong bener nih si Aum," kata saya sambil melanjutkan ke kandang buaya.
"Buayanya banyak, mereka lagi berjemur. Tapi kok kandangnya tidak dikunci sih. Duh, kalau ada pengunjung yang iseng melepas kan kunci ini bagaimana ya. Wah tidak aman nih," kata Kang Telak sambil mengaitkan gembok yang terpasang.
"Iya ya, mungkin petugas baru kasih makan, trus lupa mengunci," ucap saya memberikan alasan.
"Tapi kan tetap tidak aman, kalau ada pengunjung yang usil atau anak-anak yang tidak mengerti akan bahaya ini," balas Kang Telak.
Saya cuma menyengir dan menyayangkan hal itu.
Ketika berada di deretan kandang burung elang, rekan saya langsung berujar "Lo, inikan elang jawa. Wah ini satwa yang dilindungi lo. Dapat koleksi dari mana ya," tanyanya.
Aku cuma menggeleng. "Nanti kita tanyakan saja sama petugas," jawab saya.
Kami terus berpindah dari satu kandang ke kandang lain, sambil menuruni lembah dan sampailah di tepi sungai. "Ada flying fox juga, mau main?" tanya saya. Rekan saya menggeleng. Malahan ia ingin melihat gajah, kalau bisa menungganginya.
Atraksi gajah memang ada, bahkan pengunjung dapat menunggang gajah dengan rute khusus, memberi makan gajah bahkan foto bersama hewan berbelalai panjang ini. Untuk naik gajah ini, pengunjung dikutip Rap15 ribu--Rp20 ribu/orang.
Sayangnya atraksi ini hanya ada pada hari libur/Minggu saja. Karena kami ke TWBK pada hari Kamis, atraksi gajah tidak ada.
Bumi Kedaton juga dilengkapi lahan perkemahan yang ada di bagian utara di sisi sungai yang mengalir dari lereng Gunung Betung. Juga tersedia fasilitas rekreasi keluarga, rumah khas Lampung bertiang, bungalo dengan panorama lembah dan perbukitan yang cocok untuk rileks, lokasi outbound, trek joging, wisata kano di sungai nan jernih dan bersih.
Setelah puas keliling TWBK, kami kembali ke parkiran. Kami harus berjalan kaki menggunakan gigi satu, maklum jalannya menanjak. Untungnya dalam beberapa pekan ini saya rajin treadmill, so jalan menanjak tak membuat ngos-ngosan meskipun keringat mulai mengalir.
"Lokasinya bagus kok Ci, lebih terawat dibanding dengan kebun binatang Bandung. Bumi Kedaton ini kalau dikelolah lebih intens lagi, pasti bisa banyak mengundang wisatawan dari luar," papar Kang Telak.
Dari TWNK, saya mengajak urang Bandung ini ke Pantai Mutun, di Lempasing. Sebab, rekan saya ini kepengin sekali melihat "kehebohan" pantai di Lampung yang cukup terkenal.
Decak kagum juga terlontar begitu melihat Pantai Mutun yang masih "alami" dan lokasinya tak jauh dari pusat kota. "Sayang saya tak bawa celana pendek untuk mandi nih," ucap Kang Telak. n SRI AGUSTINA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009
May 13, 2009
Lomba Cerpen Remaja
BANDAR LAMPUNG--Kantor Bahasa Provinsi Lampung mengadakan sayembara penulisan cerpen remaja se-Provinsi Lampung.
Ketua Panitia Ferdinandus Moses, S.S. menyatakan tema lomba cerpen ini bebas, sesuai dunia remaja, tidak mengandung nuansa sara dan pornografi.
Selain itu, cerpen harus asli (bukan saduran atau terjemahan), belum pernah dipublikasikan di majalah, surat kabar, atau media massa lainnya, serta belum pernah diikutkan dalam sayembara apa pun.
Persyaratan lainnya adalah peserta remaja usia 13--19 tahun. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah cerpen dan maksimal tiga cerpen, cerpen diketik dengan komputer, panjang cerpen 7--12 halaman.
Pengumpulan naskah dimulai tanggal 4 Mei 2009--27 Juli 2009. Tim penilai, antara lain Drs. Agus Sri Danardana, M. Hum. (Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung), Isbedy Setiawan Z.S., Oyos Suroso H.N., dan A.M. Zulkarnaen. Dan pemenang akan mendapat hadiah uang tunai. n TRI/K-4
Kirim ke:
Panitia Sayembara Penulisan Cerpen Remaja se-Provinsi Lampung
Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Jalan Beingin II No. 40
Kompleks Gubernuran
Telukbetung, Bandarlampung
Telp. (0721) 486408, 480705 Faksimile (0721) 486407
Pos-el (e-mail): kbpl_2006@yahoo.com
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
Ketua Panitia Ferdinandus Moses, S.S. menyatakan tema lomba cerpen ini bebas, sesuai dunia remaja, tidak mengandung nuansa sara dan pornografi.
Selain itu, cerpen harus asli (bukan saduran atau terjemahan), belum pernah dipublikasikan di majalah, surat kabar, atau media massa lainnya, serta belum pernah diikutkan dalam sayembara apa pun.
Persyaratan lainnya adalah peserta remaja usia 13--19 tahun. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah cerpen dan maksimal tiga cerpen, cerpen diketik dengan komputer, panjang cerpen 7--12 halaman.
Pengumpulan naskah dimulai tanggal 4 Mei 2009--27 Juli 2009. Tim penilai, antara lain Drs. Agus Sri Danardana, M. Hum. (Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung), Isbedy Setiawan Z.S., Oyos Suroso H.N., dan A.M. Zulkarnaen. Dan pemenang akan mendapat hadiah uang tunai. n TRI/K-4
Kirim ke:
Panitia Sayembara Penulisan Cerpen Remaja se-Provinsi Lampung
Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Jalan Beingin II No. 40
Kompleks Gubernuran
Telukbetung, Bandarlampung
Telp. (0721) 486408, 480705 Faksimile (0721) 486407
Pos-el (e-mail): kbpl_2006@yahoo.com
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
Musik: Gamolan Peghing Bisa Menasional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Musik tradisional Lampung yang dikenal bambu cetik atau gamolan peghing bisa go national bila dikemas dan dipromosikan dengan baik oleh masyarakat dan dinas terkait. Karena musik ini tidak kalah menarik dengan musik gamelan dari Jawa ataupun Bali.
Optimistis tersebut disampaikan Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani saat membuka Pelatihan Gamolan Peghing yang digelar Penggiat Gomolan Peghing Lampung, di Jalan Cendana No. 12, Rawa Laut, Bandar Lampung.
Pelatihan yang diikuti 20 guru kesenian sekolah dasar (SD) Kota Bandar Lampung itu dihadiri Kabid Kebudayaan dan Kesenian Dinas Pariwisata Lampung Suwandi, Kabid Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Marsitho, Pembina Penggiat Gamolan Peghing Lampung May Sari Berty Mogni.
Kherlani mengungkapkan gamolan cetik yang terbuat dari bambu tersebut merupakan salah satu hasil budaya dan karya seni masyarakat Lampung yang harus dipelajari, dikembangkan, dilestarikan, dipasarkan, dan menjadi komoditas yang bisa dijual untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ia mencontohkan di Bali tidak memiliki sumber daya alam yang menonjol. Namun, di Pulau Dewata ini daya pesona luar biasa baik pantai, budaya, serta ritual keagamaan. Budaya tersebut tetap langgeng dan mampu menarik jutaan turis baik lokal maupun mancanegara.
Dengan "pesona" tersebut mampu mendatangkan banyak devisa sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal, Lampung juga memiliki laut dan kebudayaan yang tak kalah menariknya. Namun kita belum bisa menjualnya karena rakyat belum bergerak ke sana untuk mengembangkan hasil kebudayaan sebagai sebuah komoditi.
Untuk itu, berangkat dari hal, ia mengajak seluruh elemen masyarakat agar tergerak hatinya untuk berupaya maksimal mempromosikan daerah ini. Salah satunya dengan terus-menerus mengali potensi budaya menjadi komoditas yang bisa menghasilkan devisa daerah. Seperti cetik, ia mengajak seluruh kepala sekolah terus-menerus memperkenalkan dan mengembangkan kesenian ini kepada anak didik.
Sementara Kabid Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung optimistis gamolan cetik bisa berkembang hingga tingkat nasional bahkan go internasional. Karena laras cetik yang dinamakan Laras Pelog Enam Nada, mempunyai laras yang unik dan berbeda dengan gamelan yang ada di Indonesia.
"Kami juga berupaya maksimal mengenalkan dan menyosialisasikan alat musik khas Lampung kepada seluruh mesyarakat. Dan mengenalkan kepada sekolah-sekolah. Hal ini sangat efektif guna membangkitkan minat generasi muda mencintai sekaligus melestarikan kesenian tradisional," kata dia.
Apalagi, harganya juga tidak mahal, hanya Rp200 ribu. Sekolah bisa memiliki alat tersebut dengan memanfaatkan dana BOS. Karena selain untuk biaya SPP, dana BOS juga diperuntukkan mendanai kegiatan-kegiatan guna meningkatkan belajar dan mengajar di sekolah. n AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
Optimistis tersebut disampaikan Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani saat membuka Pelatihan Gamolan Peghing yang digelar Penggiat Gomolan Peghing Lampung, di Jalan Cendana No. 12, Rawa Laut, Bandar Lampung.
Pelatihan yang diikuti 20 guru kesenian sekolah dasar (SD) Kota Bandar Lampung itu dihadiri Kabid Kebudayaan dan Kesenian Dinas Pariwisata Lampung Suwandi, Kabid Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Marsitho, Pembina Penggiat Gamolan Peghing Lampung May Sari Berty Mogni.
Kherlani mengungkapkan gamolan cetik yang terbuat dari bambu tersebut merupakan salah satu hasil budaya dan karya seni masyarakat Lampung yang harus dipelajari, dikembangkan, dilestarikan, dipasarkan, dan menjadi komoditas yang bisa dijual untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ia mencontohkan di Bali tidak memiliki sumber daya alam yang menonjol. Namun, di Pulau Dewata ini daya pesona luar biasa baik pantai, budaya, serta ritual keagamaan. Budaya tersebut tetap langgeng dan mampu menarik jutaan turis baik lokal maupun mancanegara.
Dengan "pesona" tersebut mampu mendatangkan banyak devisa sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal, Lampung juga memiliki laut dan kebudayaan yang tak kalah menariknya. Namun kita belum bisa menjualnya karena rakyat belum bergerak ke sana untuk mengembangkan hasil kebudayaan sebagai sebuah komoditi.
Untuk itu, berangkat dari hal, ia mengajak seluruh elemen masyarakat agar tergerak hatinya untuk berupaya maksimal mempromosikan daerah ini. Salah satunya dengan terus-menerus mengali potensi budaya menjadi komoditas yang bisa menghasilkan devisa daerah. Seperti cetik, ia mengajak seluruh kepala sekolah terus-menerus memperkenalkan dan mengembangkan kesenian ini kepada anak didik.
Sementara Kabid Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung optimistis gamolan cetik bisa berkembang hingga tingkat nasional bahkan go internasional. Karena laras cetik yang dinamakan Laras Pelog Enam Nada, mempunyai laras yang unik dan berbeda dengan gamelan yang ada di Indonesia.
"Kami juga berupaya maksimal mengenalkan dan menyosialisasikan alat musik khas Lampung kepada seluruh mesyarakat. Dan mengenalkan kepada sekolah-sekolah. Hal ini sangat efektif guna membangkitkan minat generasi muda mencintai sekaligus melestarikan kesenian tradisional," kata dia.
Apalagi, harganya juga tidak mahal, hanya Rp200 ribu. Sekolah bisa memiliki alat tersebut dengan memanfaatkan dana BOS. Karena selain untuk biaya SPP, dana BOS juga diperuntukkan mendanai kegiatan-kegiatan guna meningkatkan belajar dan mengajar di sekolah. n AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
Buku 'Berkah Hati' segera Terbit
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penerbit Mata Kata segera menerbitkan dua buku karya Nilla Nargis, dosen Fakultas Hukum Unila yang juga mantan anggota KPU Lampung.
"Buku pertama berjudul Berkah Hati dan saat ini sedang dalam proses editing," ujar Direktur Penerbit PT Mata Kata, Budi Hutasuhut, di Bandar Lampung, Selasa (12-5).
Menurut Budi, buku Berkah Hati bertema agama dan humaniora. Sebagai lulusan pascasarjana humaniora, Nilla Nargis memang memiliki basis cukup kuat menulis dengan tema tersebut.
Selain pendekatan agama, unsur keluarga dan hati sangat lekat dengan isi buku tersebut. Melihat isinya, buku yang merupakan kumpulan tulisan Nilla Nargis di berbagai media massa, khususnya Lampung Post itu, memang sangat layak diterbitkan dan dibaca.
Kelayakan itu sangat terasa dalam situasi moral masyarakat yang cukup memprihatinkan dan degradatif. "Lewat tulisan-tulisannya, Nilla mengingatkan kita semua bahwa ada hal-hal yang harus dijaga agar terjadi keseimbangan baik diri pribadi, keluarga, maupun masyarakat," kata dia.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, mudah dipahami, dan langsung ke pokok persoalan. Buku ini bersama buku ke dua menurut rencana diluncurkan pada Juni, dalam sebuah diskusi dengan teman yang relevan dengan buku.
Menurut Budi, selaras dengan karakter penulisnya, buku didesain sedemikian rupa sehingga tergambar kelembutan isi dan kekuatan rasa yang terkandung dalam buku.
Buku ini sengaja didesain tidak terlalu tebal, huruf agak besar, dan tampilan menarik sehingga memudahkan siapa pun membaca dan membawanya dalam situasi apa pun.
Nilla Nargis sendiri mengakui unsur dakwah lebih kental dalam penerbitan buku ini. "Jika kita bisa memberi masukan atau nasihat kepada orang lain melalui buku, mengapa tidak kita lakukan," ujar Nilla. n HES/K-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
"Buku pertama berjudul Berkah Hati dan saat ini sedang dalam proses editing," ujar Direktur Penerbit PT Mata Kata, Budi Hutasuhut, di Bandar Lampung, Selasa (12-5).
Menurut Budi, buku Berkah Hati bertema agama dan humaniora. Sebagai lulusan pascasarjana humaniora, Nilla Nargis memang memiliki basis cukup kuat menulis dengan tema tersebut.
Selain pendekatan agama, unsur keluarga dan hati sangat lekat dengan isi buku tersebut. Melihat isinya, buku yang merupakan kumpulan tulisan Nilla Nargis di berbagai media massa, khususnya Lampung Post itu, memang sangat layak diterbitkan dan dibaca.
Kelayakan itu sangat terasa dalam situasi moral masyarakat yang cukup memprihatinkan dan degradatif. "Lewat tulisan-tulisannya, Nilla mengingatkan kita semua bahwa ada hal-hal yang harus dijaga agar terjadi keseimbangan baik diri pribadi, keluarga, maupun masyarakat," kata dia.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, mudah dipahami, dan langsung ke pokok persoalan. Buku ini bersama buku ke dua menurut rencana diluncurkan pada Juni, dalam sebuah diskusi dengan teman yang relevan dengan buku.
Menurut Budi, selaras dengan karakter penulisnya, buku didesain sedemikian rupa sehingga tergambar kelembutan isi dan kekuatan rasa yang terkandung dalam buku.
Buku ini sengaja didesain tidak terlalu tebal, huruf agak besar, dan tampilan menarik sehingga memudahkan siapa pun membaca dan membawanya dalam situasi apa pun.
Nilla Nargis sendiri mengakui unsur dakwah lebih kental dalam penerbitan buku ini. "Jika kita bisa memberi masukan atau nasihat kepada orang lain melalui buku, mengapa tidak kita lakukan," ujar Nilla. n HES/K-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Mei 2009
May 11, 2009
Sanggar Tapis Berseri Gelar Demo Lukis
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sanggar Tapis Berseri mengadakan demo lukis, demo graffiti, dan demo lukis menggunakan air brush di Taman Budaya, Jumat (8-5).
Demo lukis dan graffiti diikuti puluhan seniman yang berasal dari Bandar Lampung, Pringsewu, dan Bandarjaya. Pentas seni juga dimeriahkan dengan teater dengan lakon Labu Handak dan musik Lampung.
Para seniman melukis objek yang telah disediakan panitia, muli Lampung mengenakan pakaian adat. Sementara itu, tema graffiti adalah Hari Pendidikan Nasional. Pentas seni tersebut dilangsungkan untuk memperingati Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional.
Panitia pelaksana, Arifin, mengatakan demo lukis dan demo graffiti menjadi wadah apresiasi bagi para seniman. Panitia sudah mengundang semua pelukis Lampung, tapi tidak semuanya bisa hadir dalam demo lukis.
Menurut Arifin, ada 22 pelukis Lampung yang ikut dalam pergelaran seni rupa. Sedangkan demo graffiti diikuti 18 peserta.
Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengatakan pergelaran seni dan budaya sebagai sarana untuk melestarikan budaya Lampung sekaligus memperkaya khazanah budaya. Pergelaran budaya juga akan menyemarakkan agenda Lampung Visit Year 2009. Menurut Eddy, seni dan budaya penting untuk pembangunan Bandar Lampung.
Peserta demo graffiti, David Irwandi, mengapresiasi pergelaran seni rupa yang diadakan Sanggar Tapis Berseri dan Pemerintah Kota Bandar Lampung. Pemkot telah memberi ruang bagi komunitas graffiti untuk berekspresi. "Baru pertama kali ini, komunitas graffiti difasilitas oleh Pemkot," kata David yang merupakan Ketua Komunitas Graffiti Lampung Street Art (LSA).
Menurut David, sebelumnya para seniman graffiti harus sembunyi-sembunyi dalam mengekpresikan karyanya. Tempat berekspresi para seniman hanya di tembok-tembok.
David mengungkapkan seniman graffiti berharap agar ada perhatian dari Pemkot. Selama ini belum ada dukungan dari pemerintah terhadap komunitas-komunitas graffiti. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, komunitas graffiti bisa berkembang dan bisa mengajarkan seni graffiti kepada siswa.
"Lebih baik Bandar Lampung dihiasi dengan graffiti daripada dipenuhi iklan," ujarnya. Dukungan Pemkot, lanjut David, bisa berupa ruang ekspresi dan fasilitas lain seperti ruang galeri.
Graffiti, kata David, sudah mulai masuk ke sekolah-sekolah. Ada dua sekolah yang telah memiliki ekstrakurikuler graffiti, yakni SMUN 1 Bandar Lampung dan SMU Al Azhar Bandar Lampung.
Pentas seni dihadiri Asisten III Bidang Administrasi Pembangunan Ishak, Kepala Dinas Pariwisata Bandar Lampung Fachruddin, Kepala Dinas Kesehatan Reihana, Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Adi Erlansyah, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sidik Ayogo, Kepala Satuan Polisi Pamongpraja Akmal Nesal, dan Pembina Sanggar Tapis Berseri Nurpuri Eddy Sutrisno. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 Mei 2009
Demo lukis dan graffiti diikuti puluhan seniman yang berasal dari Bandar Lampung, Pringsewu, dan Bandarjaya. Pentas seni juga dimeriahkan dengan teater dengan lakon Labu Handak dan musik Lampung.
Para seniman melukis objek yang telah disediakan panitia, muli Lampung mengenakan pakaian adat. Sementara itu, tema graffiti adalah Hari Pendidikan Nasional. Pentas seni tersebut dilangsungkan untuk memperingati Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional.
Panitia pelaksana, Arifin, mengatakan demo lukis dan demo graffiti menjadi wadah apresiasi bagi para seniman. Panitia sudah mengundang semua pelukis Lampung, tapi tidak semuanya bisa hadir dalam demo lukis.
Menurut Arifin, ada 22 pelukis Lampung yang ikut dalam pergelaran seni rupa. Sedangkan demo graffiti diikuti 18 peserta.
Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengatakan pergelaran seni dan budaya sebagai sarana untuk melestarikan budaya Lampung sekaligus memperkaya khazanah budaya. Pergelaran budaya juga akan menyemarakkan agenda Lampung Visit Year 2009. Menurut Eddy, seni dan budaya penting untuk pembangunan Bandar Lampung.
Peserta demo graffiti, David Irwandi, mengapresiasi pergelaran seni rupa yang diadakan Sanggar Tapis Berseri dan Pemerintah Kota Bandar Lampung. Pemkot telah memberi ruang bagi komunitas graffiti untuk berekspresi. "Baru pertama kali ini, komunitas graffiti difasilitas oleh Pemkot," kata David yang merupakan Ketua Komunitas Graffiti Lampung Street Art (LSA).
Menurut David, sebelumnya para seniman graffiti harus sembunyi-sembunyi dalam mengekpresikan karyanya. Tempat berekspresi para seniman hanya di tembok-tembok.
David mengungkapkan seniman graffiti berharap agar ada perhatian dari Pemkot. Selama ini belum ada dukungan dari pemerintah terhadap komunitas-komunitas graffiti. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, komunitas graffiti bisa berkembang dan bisa mengajarkan seni graffiti kepada siswa.
"Lebih baik Bandar Lampung dihiasi dengan graffiti daripada dipenuhi iklan," ujarnya. Dukungan Pemkot, lanjut David, bisa berupa ruang ekspresi dan fasilitas lain seperti ruang galeri.
Graffiti, kata David, sudah mulai masuk ke sekolah-sekolah. Ada dua sekolah yang telah memiliki ekstrakurikuler graffiti, yakni SMUN 1 Bandar Lampung dan SMU Al Azhar Bandar Lampung.
Pentas seni dihadiri Asisten III Bidang Administrasi Pembangunan Ishak, Kepala Dinas Pariwisata Bandar Lampung Fachruddin, Kepala Dinas Kesehatan Reihana, Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Adi Erlansyah, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sidik Ayogo, Kepala Satuan Polisi Pamongpraja Akmal Nesal, dan Pembina Sanggar Tapis Berseri Nurpuri Eddy Sutrisno. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 Mei 2009
May 10, 2009
Atmosfer 'Mak Dawah Mak Dibingi' dalam Transformasi Kebudayaan Global
Oleh Hardi Hamzah
BUKU puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi, sesungguhnya telah meletakkan pilar budaya daerah dalam bentuk sastra.
Pakem-pakem kesusastraan yang diselimuti secara naratif tentu banyak terdapat dalam buku ini. Namun, penulis tidak berniat meresensi buku ini dalam pengertian yang konstan. Sebab, telah banyak proyeksi universal tentang buku ini melalui resensi.
Penulis lebih ingin melihat komparasi sosial dan kebudayaan dengan nilai-nilai westernisasi. Kita, kata Sutan Takdir Alisjahbana, lebih baik memilih westernisasi. Sedangkan Sutan Syahrir lebih ingin memilih diri kita sendiri. Kita semua tentu masih ingat polemik kebudayaan di tahun 30-an yang dimulai dari dua tokoh ini.
Maka, dalam koridor yang lain, Mak Dawah Mak Dibingi mengajak kita beringsut pada pakem-pakem kesusasteraan yang tidak terlalu gamblang, tapi berisi. Mungkin, itulah diskursus ke-Lampungan yang terlihat dalam buku spektakuler ini. Saya katakan spektakuler, karena selain penulisnya masih muda, Lampung yang dijuluki Indonesia mini, pun terwakili dalam buku ini.
Ada semangat filsafat Auf Klarung, ketika kita membaca Rik Renglaya Maseh Mekejung. Dalam Rik Renglaya Maseh Mekejung terdapat anasir-anasir interelasi antara keinginan untuk bervisi besar tapi dijegal misi kebudayaan daerah itu sendiri. Bukankah, fraksis filsafat Auf Klarung membuat paradoksnya tersendiri ketika Turki ingin memperkenalkan sekulerisme, Eropa ingin memperkenalkan human material dan spiritualitas yang tak kunjung padam dari para funding father kita.
Concern-nya Udo Z. Karzi terekam dalam pakem-pakem fraksis Auf Klarung, juga terlihat dalam dua term-term besar dalam Kehaga I dan Kehaga II. Modal sosial Mak Dawah Mak Dibingi juga dapat dikomparasikan dalam Nietzsche. Filsuf ini menggemakan ruang publik dalam kaca mata yang vulgar, ini kita dapat dikomparasikan dengan Bibas (hal. 5).
Kendati Bibas belum memberikan atmosfer baru buat kedaerahan, tapi Bibas, juga seperti yang diasumsikan Nietzsche dalam berbagai karyanya, ternyata Udo Z. Karzi tidak keluar dari pakem-pakem kebudayaan yang impersonal. Dalam koridor yang lain, impitan ruang gerak kesusasteraaan, baik yang dimainkan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono sampai penyair mantra Sutardji Calzoum Bachri, rasanya Udo Z. Karzi ingin keluar dari platform keniscayaan. Dalam arti, sebuah karya kesusasteraan sesungguhnya meluruskan kebudayaan itu sendiri, sehingga dalam atmosfer lain, semisal, Renglaya sai Tehampar, mengingatkan kita pada keinginan Socrates untuk berkeliling ke pasar publik pemuda di Athena untuk menyosialisasikan dan membongkar pemikiran pemuda yang terhampar ketika itu. Yang pada gilirannya, Alexander Agung juga ikut bergumul dalam siklus keterhamparan untuk mencari eksistensi dirinya.
Di sini, Udo Z. Karzi barangkali tidak terlalu keliru bila hamparan itu ditumbuhkembangkannya dalam lingkup konvergensi yang faktual, yakni keinginan untuk memberi tiang pancang kebudayaan daerah yang relevan dalam kebudayaan global.
Presesi dalam Sareh, memberi ingatan pada kita, bahwa ketika renaisans muncul di abad XV yang muaranya mendinamisasi bangsa-bangsa Eropa untuk mengentalkan apa saja demi eksistensi mereka. Sareh (hal. 7), memang sepertinya memberdayakan kekuatan lama dan baru agar muncul suatu kekuatan alternatif. Namun Udo Z. Karzi, agaknya terganjal dalam konsepsi perbenturan nilai-nilai Timur-Barat, terutama ketika kita membaca Kusepok (hal. 11).
Kusepok, lebih memberikan durasi yang tidak terlalu gagal dalam naratif, teristimewa dalam kesusasteraan daerah itu sendiri. Tetapi terlalu besarkah kita bila nuansa Kusepok kita komparasikan dengan sajak-sajak Jallaludin Rumi yang notabene dicintai oleh seluruh agama, meski karyanya lebih mematangkan religi. Nah, komparasi Kusepok dalam ruang lingkup ini, kiranya bertenden pada regionalisasi sebagai elemen dari pembentukan peradaban masyarakat Lampung.
Pagi Ga (hal. 9) yang mendahului Kusepok, seakan mentransformasikan transformasi kematian spiritualitas kebudayaan. Ini kita bisa membandingkan dengan Daniel Bell, yang mengatakan: Tuhan telah mati. Dan, bagi Udo Z. Karzi kekhawatirannya terhadap kematian kebudayaan daerah Lampung, tidak terlepas dari rujukan Daniel Bell tersebut.
Udo Z. Karzi memang lari dari lini kesibukan untuk berasik mansyuk enggan melankolisme dramatik cinta, dalam arti cinta tidak dinafikannya. Tapi ia tidak mendorong ke muka, kiranya ia takut tergelincir dalam interaksi sosial yang multikultural.
Di sinilah, justifikasi terhadap nilai-nilai Mak Dawah Mak Dibingi, menemukan rujukan barunya untuk dibandingkan dengan karya-karya sastrawan Belanda yang muncul dari Universitas Neimehen, seperti rangka-rangka karya Zeneth Dahem, bahkan karya klasik Eropa lainnya.
Gugusan baru yang diintroduksi lewat kabut pemikiran yang tertulis dalam item Kukejar Halinumu (hal. 66). Kembali memproyeksikan deskripsi baru, seolah kita sedang mengejar apa yang tak dapat kita kejar. Barangkali masih kita ingat, ketika Plato di dalam goa menunjukkan bayang-bayang yang simultan dengan identifikasi kehidupan manusia yang hakiki. Udo Z. Karzi berhenti pada titik pesimpangan jalan, yang pada akhirnya: "Hamper tejebak rik tejerat" atas nama pakem-pekem kedaerahan itu sendiri. Ini tidak dapat dipahami secara baik manakala kita tidak membaca buku Bagawat Githa yang spektakuler itu.
Terlalu sumir memang membandingkannya dengan idiom di atas, tetapi setidaknya dalam konteks kedaerahan, di mana provinsi ini yang notabene multikultural sedang membangun kontroversi baru melalui pertanyaan bergunakah muatan lokal itu. Udo Z. Karzi mengekplainasikannya secara baik dalam resonansi Dang Urau Ya Kuli.
Ruang lingkup kesusasteraan daerah sungguh memang sulit diimplementasikan dalam provinsi yang tidak berbahasa ibunya ini, maka keseriusan membangun bahasa daerah, agaknya tidak dipedulikan oleh penulis Mak Dawah Mak Dibingi.
Mak Dawah Mak Dibingi mengajak kita untuk mengenali jati diri, mengaktualisasikan hidup dalam kebudayaan sendiri. Dan, hebatnya Mak Dawah Mak Dibingi, jauh dari nilai-nilai disintegrasi. Padahal, Yahana, ketika membuat puisi ketertelanjangan dan ketertutupan female di Iran, ia concern terhadap female itu dan banyak masyarakat Timur Tengah seakan tereduksi semangat maskulinnya.
Penulis sungguh sangat sukar memahami ruas apa, lingkup apa, ruang publik yang mana dan sederet lagi pertanyaan yang mungkin saja lahir. Tetapi, kawah candra di muka untuk menegakkan eksistensi kebudayaan daerah telah dibuka pintu hatinya dalam Mak Dawah Mak Dibingi.
Lalu, pertanyaannya, terlalu arogankah kalau kita membandingkan karya Udo Z. Karzi ini dengan penulis-penulis sastra dunia yang menyihir rakyatnya dengan fiksi, dus, anomali berada pada titik ini. Mak Dawah Mak Dibingi menyambar titik sentral dari kekuatan pusaran budaya global, sehingga menyikapi dan menyifati Mak Dawah Mak Dibingi, seyogianya legowo dalam pakem-pakem kebudayaan barat yang tak terbendung, sebagaimana disinggung di muka.
Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, yang mungkin Udo Z. Karzi memang tertatih-tatih dalam Mak Dawah Mak Dibingi, mampu memberi makna baru. Sebab, kebudayaan daerah yang heterogen di Provinsi Lampung memang "tidak siang tidak malam". Artinya, dilema kita untuk menjunjung gugusan baru tidak inheren dengan siang (matahari) dan malam (bulan). Ini mengingatkan kita pada karya Khalil Gibran, Sang Nabi yang merefleksikan mengawinkan dua spektrum bintang dan bulan, siang dan malam, dan yang hak serta yang batil.
Hitam putih kesusastraan Lampung, memang masih embrio bila dibandingkan dengan Serat-Serat Kalitida pada era Amangkurat, mocopat Sinom dalam Babat Niti dan atau implisit dalam Babat Tanah Jawa. Ruang inilah yang tidak dimasuki karya ini, mungkin keterbatasan berbagai hal teknis, membuat sekelumit karya spektakuler ini, kiranya tidak terlalu naif bila mengomparasikannya dengan para penggagas filsuf di muka.
Kalaulah dipertanyakan siapa sebenarnya yang membangun kebudayaan daerah itu, apakah mulok yang rigit itu? Ataukah agem-agem lima pasal yang sarat pesan moral atau perspektif baru di titik anasir-anasir kebuadayaan lokal lainnya. Sebutlah di sini carok, siri, dan berbagai tradisi kontemporer masyarakat Bali. Seminimal apa pun karya yang telah mendapat Hadiah Sastra Rancage 2008 ini, setidaknya Udo Z. Karzi telah membangunkan masyarakat Lampung dari mimpi buruknya yang enggan meracik budayanya sendiri. Ini tidak dibenarkan, karena kebudayaan sendiri, sebagaimana berkali-kali diintroduksi Abdul Hadi W.M. harus terus-menerus dikembangkan, meski sekecil biji zara sekalipun. Bukankah Rasulullah berkata: Sampaikan meski satu ayat. Dan, Udo Z. Karzi telah memulainya.
* Hardi Hamzah, Peneliti madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Science
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009
BUKU puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi, sesungguhnya telah meletakkan pilar budaya daerah dalam bentuk sastra.
Pakem-pakem kesusastraan yang diselimuti secara naratif tentu banyak terdapat dalam buku ini. Namun, penulis tidak berniat meresensi buku ini dalam pengertian yang konstan. Sebab, telah banyak proyeksi universal tentang buku ini melalui resensi.
Penulis lebih ingin melihat komparasi sosial dan kebudayaan dengan nilai-nilai westernisasi. Kita, kata Sutan Takdir Alisjahbana, lebih baik memilih westernisasi. Sedangkan Sutan Syahrir lebih ingin memilih diri kita sendiri. Kita semua tentu masih ingat polemik kebudayaan di tahun 30-an yang dimulai dari dua tokoh ini.
Maka, dalam koridor yang lain, Mak Dawah Mak Dibingi mengajak kita beringsut pada pakem-pakem kesusasteraan yang tidak terlalu gamblang, tapi berisi. Mungkin, itulah diskursus ke-Lampungan yang terlihat dalam buku spektakuler ini. Saya katakan spektakuler, karena selain penulisnya masih muda, Lampung yang dijuluki Indonesia mini, pun terwakili dalam buku ini.
Ada semangat filsafat Auf Klarung, ketika kita membaca Rik Renglaya Maseh Mekejung. Dalam Rik Renglaya Maseh Mekejung terdapat anasir-anasir interelasi antara keinginan untuk bervisi besar tapi dijegal misi kebudayaan daerah itu sendiri. Bukankah, fraksis filsafat Auf Klarung membuat paradoksnya tersendiri ketika Turki ingin memperkenalkan sekulerisme, Eropa ingin memperkenalkan human material dan spiritualitas yang tak kunjung padam dari para funding father kita.
Concern-nya Udo Z. Karzi terekam dalam pakem-pakem fraksis Auf Klarung, juga terlihat dalam dua term-term besar dalam Kehaga I dan Kehaga II. Modal sosial Mak Dawah Mak Dibingi juga dapat dikomparasikan dalam Nietzsche. Filsuf ini menggemakan ruang publik dalam kaca mata yang vulgar, ini kita dapat dikomparasikan dengan Bibas (hal. 5).
Kendati Bibas belum memberikan atmosfer baru buat kedaerahan, tapi Bibas, juga seperti yang diasumsikan Nietzsche dalam berbagai karyanya, ternyata Udo Z. Karzi tidak keluar dari pakem-pakem kebudayaan yang impersonal. Dalam koridor yang lain, impitan ruang gerak kesusasteraaan, baik yang dimainkan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono sampai penyair mantra Sutardji Calzoum Bachri, rasanya Udo Z. Karzi ingin keluar dari platform keniscayaan. Dalam arti, sebuah karya kesusasteraan sesungguhnya meluruskan kebudayaan itu sendiri, sehingga dalam atmosfer lain, semisal, Renglaya sai Tehampar, mengingatkan kita pada keinginan Socrates untuk berkeliling ke pasar publik pemuda di Athena untuk menyosialisasikan dan membongkar pemikiran pemuda yang terhampar ketika itu. Yang pada gilirannya, Alexander Agung juga ikut bergumul dalam siklus keterhamparan untuk mencari eksistensi dirinya.
Di sini, Udo Z. Karzi barangkali tidak terlalu keliru bila hamparan itu ditumbuhkembangkannya dalam lingkup konvergensi yang faktual, yakni keinginan untuk memberi tiang pancang kebudayaan daerah yang relevan dalam kebudayaan global.
Presesi dalam Sareh, memberi ingatan pada kita, bahwa ketika renaisans muncul di abad XV yang muaranya mendinamisasi bangsa-bangsa Eropa untuk mengentalkan apa saja demi eksistensi mereka. Sareh (hal. 7), memang sepertinya memberdayakan kekuatan lama dan baru agar muncul suatu kekuatan alternatif. Namun Udo Z. Karzi, agaknya terganjal dalam konsepsi perbenturan nilai-nilai Timur-Barat, terutama ketika kita membaca Kusepok (hal. 11).
Kusepok, lebih memberikan durasi yang tidak terlalu gagal dalam naratif, teristimewa dalam kesusasteraan daerah itu sendiri. Tetapi terlalu besarkah kita bila nuansa Kusepok kita komparasikan dengan sajak-sajak Jallaludin Rumi yang notabene dicintai oleh seluruh agama, meski karyanya lebih mematangkan religi. Nah, komparasi Kusepok dalam ruang lingkup ini, kiranya bertenden pada regionalisasi sebagai elemen dari pembentukan peradaban masyarakat Lampung.
Pagi Ga (hal. 9) yang mendahului Kusepok, seakan mentransformasikan transformasi kematian spiritualitas kebudayaan. Ini kita bisa membandingkan dengan Daniel Bell, yang mengatakan: Tuhan telah mati. Dan, bagi Udo Z. Karzi kekhawatirannya terhadap kematian kebudayaan daerah Lampung, tidak terlepas dari rujukan Daniel Bell tersebut.
Udo Z. Karzi memang lari dari lini kesibukan untuk berasik mansyuk enggan melankolisme dramatik cinta, dalam arti cinta tidak dinafikannya. Tapi ia tidak mendorong ke muka, kiranya ia takut tergelincir dalam interaksi sosial yang multikultural.
Di sinilah, justifikasi terhadap nilai-nilai Mak Dawah Mak Dibingi, menemukan rujukan barunya untuk dibandingkan dengan karya-karya sastrawan Belanda yang muncul dari Universitas Neimehen, seperti rangka-rangka karya Zeneth Dahem, bahkan karya klasik Eropa lainnya.
Gugusan baru yang diintroduksi lewat kabut pemikiran yang tertulis dalam item Kukejar Halinumu (hal. 66). Kembali memproyeksikan deskripsi baru, seolah kita sedang mengejar apa yang tak dapat kita kejar. Barangkali masih kita ingat, ketika Plato di dalam goa menunjukkan bayang-bayang yang simultan dengan identifikasi kehidupan manusia yang hakiki. Udo Z. Karzi berhenti pada titik pesimpangan jalan, yang pada akhirnya: "Hamper tejebak rik tejerat" atas nama pakem-pekem kedaerahan itu sendiri. Ini tidak dapat dipahami secara baik manakala kita tidak membaca buku Bagawat Githa yang spektakuler itu.
Terlalu sumir memang membandingkannya dengan idiom di atas, tetapi setidaknya dalam konteks kedaerahan, di mana provinsi ini yang notabene multikultural sedang membangun kontroversi baru melalui pertanyaan bergunakah muatan lokal itu. Udo Z. Karzi mengekplainasikannya secara baik dalam resonansi Dang Urau Ya Kuli.
Ruang lingkup kesusasteraan daerah sungguh memang sulit diimplementasikan dalam provinsi yang tidak berbahasa ibunya ini, maka keseriusan membangun bahasa daerah, agaknya tidak dipedulikan oleh penulis Mak Dawah Mak Dibingi.
Mak Dawah Mak Dibingi mengajak kita untuk mengenali jati diri, mengaktualisasikan hidup dalam kebudayaan sendiri. Dan, hebatnya Mak Dawah Mak Dibingi, jauh dari nilai-nilai disintegrasi. Padahal, Yahana, ketika membuat puisi ketertelanjangan dan ketertutupan female di Iran, ia concern terhadap female itu dan banyak masyarakat Timur Tengah seakan tereduksi semangat maskulinnya.
Penulis sungguh sangat sukar memahami ruas apa, lingkup apa, ruang publik yang mana dan sederet lagi pertanyaan yang mungkin saja lahir. Tetapi, kawah candra di muka untuk menegakkan eksistensi kebudayaan daerah telah dibuka pintu hatinya dalam Mak Dawah Mak Dibingi.
Lalu, pertanyaannya, terlalu arogankah kalau kita membandingkan karya Udo Z. Karzi ini dengan penulis-penulis sastra dunia yang menyihir rakyatnya dengan fiksi, dus, anomali berada pada titik ini. Mak Dawah Mak Dibingi menyambar titik sentral dari kekuatan pusaran budaya global, sehingga menyikapi dan menyifati Mak Dawah Mak Dibingi, seyogianya legowo dalam pakem-pakem kebudayaan barat yang tak terbendung, sebagaimana disinggung di muka.
Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, yang mungkin Udo Z. Karzi memang tertatih-tatih dalam Mak Dawah Mak Dibingi, mampu memberi makna baru. Sebab, kebudayaan daerah yang heterogen di Provinsi Lampung memang "tidak siang tidak malam". Artinya, dilema kita untuk menjunjung gugusan baru tidak inheren dengan siang (matahari) dan malam (bulan). Ini mengingatkan kita pada karya Khalil Gibran, Sang Nabi yang merefleksikan mengawinkan dua spektrum bintang dan bulan, siang dan malam, dan yang hak serta yang batil.
Hitam putih kesusastraan Lampung, memang masih embrio bila dibandingkan dengan Serat-Serat Kalitida pada era Amangkurat, mocopat Sinom dalam Babat Niti dan atau implisit dalam Babat Tanah Jawa. Ruang inilah yang tidak dimasuki karya ini, mungkin keterbatasan berbagai hal teknis, membuat sekelumit karya spektakuler ini, kiranya tidak terlalu naif bila mengomparasikannya dengan para penggagas filsuf di muka.
Kalaulah dipertanyakan siapa sebenarnya yang membangun kebudayaan daerah itu, apakah mulok yang rigit itu? Ataukah agem-agem lima pasal yang sarat pesan moral atau perspektif baru di titik anasir-anasir kebuadayaan lokal lainnya. Sebutlah di sini carok, siri, dan berbagai tradisi kontemporer masyarakat Bali. Seminimal apa pun karya yang telah mendapat Hadiah Sastra Rancage 2008 ini, setidaknya Udo Z. Karzi telah membangunkan masyarakat Lampung dari mimpi buruknya yang enggan meracik budayanya sendiri. Ini tidak dibenarkan, karena kebudayaan sendiri, sebagaimana berkali-kali diintroduksi Abdul Hadi W.M. harus terus-menerus dikembangkan, meski sekecil biji zara sekalipun. Bukankah Rasulullah berkata: Sampaikan meski satu ayat. Dan, Udo Z. Karzi telah memulainya.
* Hardi Hamzah, Peneliti madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Science
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009
Perjalanan: Berwisata Seru dan Gratis di Pantai Bakauheni
BENTANG pantai yang memagari wilayah Lampung Selatan memang memberi warna wisata amat memukau. Maka, jika Anda dikepung perasaan waswas oleh dana yang terbatas untuk sekadar rekreasi, ini petunjuk sederhana yang dapat dinikmati.
"Ternyata nggak semua tempat berwisata kita mesti bayar ya?" begitulah kalimat yang keluar dari mulut kami, saat tiba di Pantai Tanjung Bani, Desa Pinang Gading, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan.
Sekitar pukul 10.00, saat tiba di lokasi tujuan, kami menemui rombongan pemancing dan belasan remaja yang tengah mandi di pantai. Rombongan pemancing mengambil posisi di depan pegunungan. Sedangkan anak-anak remaja pada hari Minggu itu memilih berwisata di pantai yang menyeberangi kanal.
"Mereka (rombongan pemancing, red) itu dari Merak dan Serang (Provinsi Banten, red), Mas," kata Tono. Sedangkan anak-anak remaja yang seusia SMP dan SMA itu menurut pengakuan mereka berasal dari Kecamatan Penengahan dan Bakauheni.
Perjalanan kami pada hari Minggu itu dimulai dari Bandar Lampung. Dari Bandar Lampung kami bertiga. Tetapi sesampainya di Bakauheni, tempat kami berkumpul, kami berlima, yaitu saya, Edi Prasetyo, Sabar Hartono. Teman kami bertambah dengan adanya Suhartono atau biasa dipanggil Tono dan Siswanto yang menjadi penunjuk jalan.
Awalnya, Tono bercerita kepada saya kalau ada satu lokasi yang sangat baik untuk berwisata. "Semuanya ada di tempat itu. Kecuali orang yang berjualan. Mau mancing ada tempatnya. Mau mandi laut sepuasnya, bisa. Mau lihat lalu lalang kapal feri, bisa. Mau naik gunung juga bisa. Mau merenung di hutan bakau juga boleh," begitu kata Tono, sehingga kami tertarik untuk datang ke tempat itu.
Sebab Tono mengatakan tidak ada orang yang berjualan makanan, maka sebelum menuju lokasi, kami terlebih mampir ke sebuah mini market yang letaknya setelah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) Bakauheni. Dari jalan arah Bandar Lampung, sekitar dua kilometer sebelum gerbang Pelabuhan Bakauheni, kami belok kanan. Orang-orang menyebutnya simpang Jalan Bunut.
Jalan menuju lokasi itu sempit. Selain itu aspalnya juga banyak yang telah mengelupas sehingga banyak lubang. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang penuh tanjakan dan turunan, jadilah perjalanan itu penuh tantangan. "Pake gigi satu aja, Mas," kata Tono yang telah terbiasa melalui jalan itu. Meski kondisi jalannya seperti itu, Tono mengatakan jika jalan itu menjadi jalan alternatif menuju Pelabuhan Bakauheni saat ada perbaikan jalan Trans Sumatera.
Perjalanan sepanjang delapan kilometer itu akhirnya kami tempuh dalam waktu 30 menit. Sepanjang jalan yang kami lalui adalah perladangan penduduk yang menggunakan pola terasiring karena lokasinya yang ada di daerah perbukitan dan rumah-rumah semipermanen. Sementara itu, sekitar dua kilometer menjelang Pantai Tanjung Bani, kami menemui beberapa lokasi tambak udang. Masyarakat sekitar menyebut wilayahnya itu dengan nama Pantai Penubaan.
Tidak Cocok bagi Anak-anak
Pantainya yang berbatu dan dalam adalah ciri khas kawasan itu. Tidak heran, karena 10 kilometer dari tempat itu adalah Pelabuhan Bakauheni yang tentu saja butuh pantai yang dalam. Meski demikian, ada satu tempat yang luasnya sekitar lima hektare, adalah pantai dangkal. Di kiri dan kanannya diapit bukit, sehingga ombak tidak terlalu besar. Hamparan pasir putih, menjadikan tempat itu menjadi lokasi mandi di pantai. Di seberang lokasi pantai dangkal itu tampak tiga pulau.
Jika hendak memancing, pilihannya adalah terlebih dahulu berjalan menyusuri bukit-bukit. Ada satu tempat pemancingan yang sangat ideal, namanya Pantai Tanjung Tua. Ideal, karena jarak pantai yang berbatu dengan laut sekitar dua meter adalah laut dalam. Kedalamannya sekitar 20 hingga 30 meter. Begitu mata kail dilemparkan, ikan kakap atau simba segera menyambar umpan itu.
Disebabkan bibir pantai yang dalam itu, beberapa pemancing memilih memakai pelampung saat memancing. "Untuk keamanan saja, Mas. Saya nggak bisa berenang," kata seorang pemancing yang tengah asyik memasangkan potongan cumi ke dalam mata kail. Sembari memancing, kita bisa melihat lalu lalang kapal feri yang menyeberangi Selat Sunda. Beberapa kapal patroli dari Polairud (Kepolisian Air dan Udara) juga tampak menyusuri kawasan itu.
Sedangkan di pantai yang dangkal itu sendiri masih banyak batu karang yang tajam. Hal itu wajar, karena pantai itu sama sekali belum dikelola sebagai tempat wisata dan lebih sebagai tempat wisata petualangan. Pantai itu sendiri menurut hemat saya belum cocok membawa anak-anak atau keluarga.
Hutan Santigi
Di lokasi itu, ada dua pilihan untuk wisata. Jika ingin memancing, kita menyusuri bukit. Jika hendak mandi, kita memilih pantai yang dangkal. Untuk mencapai pantai dangkal, kita harus menyeberangi kanal. Saat air surut dalamnya kanal adalah semata kaki. Namun saat pasang, kedalaman kanal mencapai pinggang orang dewasa. Kita bisa juga menyeberangi jembatan darurat, tapi tempatnya agak jauh.
Tiga teman kami memilih untuk berwisata di dalam hutan pantai. Di lokasi itu ditemui vegetasi pantai seperti bakau atau mangrove (rhizophora), santigi (pemphis acidula), santigi lanang (lumnitzera racemosa), serut (streblus asper), bunut (L ficus), wahong laut (premna nauseose), waru (hibiscus tiliaceus). Sedangkan beberapa fauna yang kami temui adalah belibis, kacer, dan beberapa burung yang tidak kami ketahui namanya. Di belakang pantai, tampak beberapa tambak udang tradisional yang dikelola warga sekitar.
Potensi
Wisata pantai tidak sepenuhnya alami. Beberapa kawasan, sudah rusak oleh tangan-tangan manusia. Tetapi kawasan hutan yang diisi vegetasi pantai itu tampaknya masih terjaga. Ada beberapa pohon yang tumbang, tetapi itu sepenuhnya karena ombak dan abrasi pantai. Pohon santigi yang tumbang itu oleh beberapa penduduk tetap dimanfaatkan. "Karena kayunya keras, batang santigi ini paling bagus untuk membuat tasbih," kata Tono.
Saat sore menjelang, anak-anak remaja dan para pemancing itu pulang. Tetapi bukan berarti tempat itu menjadi sepi. Beberapa orang justru datang hendak memancing malam hari di tempat itu. "Kami lebih suka mancing malam hari, karena nggak panas," kata seorang pemancing.
Begitulah sekelumit siklus di Pantai Tanjung Bani, yang sebagian sudah rusak dan sebagian tetap terjaga. Apa yang bisa dinikmati dari alam yang sudah rusak? Kerusakan oleh manusia itu dibiarkan secara alami. Atau istilah kawan saya adalah, manusia yang memulai alam yang menyempurnakan. n KRISTIANTO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009
"Ternyata nggak semua tempat berwisata kita mesti bayar ya?" begitulah kalimat yang keluar dari mulut kami, saat tiba di Pantai Tanjung Bani, Desa Pinang Gading, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan.
Sekitar pukul 10.00, saat tiba di lokasi tujuan, kami menemui rombongan pemancing dan belasan remaja yang tengah mandi di pantai. Rombongan pemancing mengambil posisi di depan pegunungan. Sedangkan anak-anak remaja pada hari Minggu itu memilih berwisata di pantai yang menyeberangi kanal.
"Mereka (rombongan pemancing, red) itu dari Merak dan Serang (Provinsi Banten, red), Mas," kata Tono. Sedangkan anak-anak remaja yang seusia SMP dan SMA itu menurut pengakuan mereka berasal dari Kecamatan Penengahan dan Bakauheni.
Perjalanan kami pada hari Minggu itu dimulai dari Bandar Lampung. Dari Bandar Lampung kami bertiga. Tetapi sesampainya di Bakauheni, tempat kami berkumpul, kami berlima, yaitu saya, Edi Prasetyo, Sabar Hartono. Teman kami bertambah dengan adanya Suhartono atau biasa dipanggil Tono dan Siswanto yang menjadi penunjuk jalan.
Awalnya, Tono bercerita kepada saya kalau ada satu lokasi yang sangat baik untuk berwisata. "Semuanya ada di tempat itu. Kecuali orang yang berjualan. Mau mancing ada tempatnya. Mau mandi laut sepuasnya, bisa. Mau lihat lalu lalang kapal feri, bisa. Mau naik gunung juga bisa. Mau merenung di hutan bakau juga boleh," begitu kata Tono, sehingga kami tertarik untuk datang ke tempat itu.
Sebab Tono mengatakan tidak ada orang yang berjualan makanan, maka sebelum menuju lokasi, kami terlebih mampir ke sebuah mini market yang letaknya setelah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) Bakauheni. Dari jalan arah Bandar Lampung, sekitar dua kilometer sebelum gerbang Pelabuhan Bakauheni, kami belok kanan. Orang-orang menyebutnya simpang Jalan Bunut.
Jalan menuju lokasi itu sempit. Selain itu aspalnya juga banyak yang telah mengelupas sehingga banyak lubang. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang penuh tanjakan dan turunan, jadilah perjalanan itu penuh tantangan. "Pake gigi satu aja, Mas," kata Tono yang telah terbiasa melalui jalan itu. Meski kondisi jalannya seperti itu, Tono mengatakan jika jalan itu menjadi jalan alternatif menuju Pelabuhan Bakauheni saat ada perbaikan jalan Trans Sumatera.
Perjalanan sepanjang delapan kilometer itu akhirnya kami tempuh dalam waktu 30 menit. Sepanjang jalan yang kami lalui adalah perladangan penduduk yang menggunakan pola terasiring karena lokasinya yang ada di daerah perbukitan dan rumah-rumah semipermanen. Sementara itu, sekitar dua kilometer menjelang Pantai Tanjung Bani, kami menemui beberapa lokasi tambak udang. Masyarakat sekitar menyebut wilayahnya itu dengan nama Pantai Penubaan.
Tidak Cocok bagi Anak-anak
Pantainya yang berbatu dan dalam adalah ciri khas kawasan itu. Tidak heran, karena 10 kilometer dari tempat itu adalah Pelabuhan Bakauheni yang tentu saja butuh pantai yang dalam. Meski demikian, ada satu tempat yang luasnya sekitar lima hektare, adalah pantai dangkal. Di kiri dan kanannya diapit bukit, sehingga ombak tidak terlalu besar. Hamparan pasir putih, menjadikan tempat itu menjadi lokasi mandi di pantai. Di seberang lokasi pantai dangkal itu tampak tiga pulau.
Jika hendak memancing, pilihannya adalah terlebih dahulu berjalan menyusuri bukit-bukit. Ada satu tempat pemancingan yang sangat ideal, namanya Pantai Tanjung Tua. Ideal, karena jarak pantai yang berbatu dengan laut sekitar dua meter adalah laut dalam. Kedalamannya sekitar 20 hingga 30 meter. Begitu mata kail dilemparkan, ikan kakap atau simba segera menyambar umpan itu.
Disebabkan bibir pantai yang dalam itu, beberapa pemancing memilih memakai pelampung saat memancing. "Untuk keamanan saja, Mas. Saya nggak bisa berenang," kata seorang pemancing yang tengah asyik memasangkan potongan cumi ke dalam mata kail. Sembari memancing, kita bisa melihat lalu lalang kapal feri yang menyeberangi Selat Sunda. Beberapa kapal patroli dari Polairud (Kepolisian Air dan Udara) juga tampak menyusuri kawasan itu.
Sedangkan di pantai yang dangkal itu sendiri masih banyak batu karang yang tajam. Hal itu wajar, karena pantai itu sama sekali belum dikelola sebagai tempat wisata dan lebih sebagai tempat wisata petualangan. Pantai itu sendiri menurut hemat saya belum cocok membawa anak-anak atau keluarga.
Hutan Santigi
Di lokasi itu, ada dua pilihan untuk wisata. Jika ingin memancing, kita menyusuri bukit. Jika hendak mandi, kita memilih pantai yang dangkal. Untuk mencapai pantai dangkal, kita harus menyeberangi kanal. Saat air surut dalamnya kanal adalah semata kaki. Namun saat pasang, kedalaman kanal mencapai pinggang orang dewasa. Kita bisa juga menyeberangi jembatan darurat, tapi tempatnya agak jauh.
Tiga teman kami memilih untuk berwisata di dalam hutan pantai. Di lokasi itu ditemui vegetasi pantai seperti bakau atau mangrove (rhizophora), santigi (pemphis acidula), santigi lanang (lumnitzera racemosa), serut (streblus asper), bunut (L ficus), wahong laut (premna nauseose), waru (hibiscus tiliaceus). Sedangkan beberapa fauna yang kami temui adalah belibis, kacer, dan beberapa burung yang tidak kami ketahui namanya. Di belakang pantai, tampak beberapa tambak udang tradisional yang dikelola warga sekitar.
Potensi
Wisata pantai tidak sepenuhnya alami. Beberapa kawasan, sudah rusak oleh tangan-tangan manusia. Tetapi kawasan hutan yang diisi vegetasi pantai itu tampaknya masih terjaga. Ada beberapa pohon yang tumbang, tetapi itu sepenuhnya karena ombak dan abrasi pantai. Pohon santigi yang tumbang itu oleh beberapa penduduk tetap dimanfaatkan. "Karena kayunya keras, batang santigi ini paling bagus untuk membuat tasbih," kata Tono.
Saat sore menjelang, anak-anak remaja dan para pemancing itu pulang. Tetapi bukan berarti tempat itu menjadi sepi. Beberapa orang justru datang hendak memancing malam hari di tempat itu. "Kami lebih suka mancing malam hari, karena nggak panas," kata seorang pemancing.
Begitulah sekelumit siklus di Pantai Tanjung Bani, yang sebagian sudah rusak dan sebagian tetap terjaga. Apa yang bisa dinikmati dari alam yang sudah rusak? Kerusakan oleh manusia itu dibiarkan secara alami. Atau istilah kawan saya adalah, manusia yang memulai alam yang menyempurnakan. n KRISTIANTO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)