March 26, 2013

Manifesto Kelampungan Udo Z. Karzi*

Oleh Febrie Hastiyanto**

SELAMA ini publik telah mengenal sejumlah usaha partikelir-perorangan untuk merawat arsip dan kepustakaan di tanah air. Sebut saja H.B. Jassin yang bertahun-tahun setia mengkliping artikel seni dan budaya di koran untuk kemudian didokumentasikan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Usaha H.B. Jassin ini diikuti pula oleh Korrie Layun Rampan yang mengumpulkan terbitan sastra dan budaya dalam Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) Korrie Layun Rampan. Selain itu perpustakaan pribadi milik sejumlah tokoh yang menghargai buku tak terhitung jumlahnya, sebut saja Fadli Zon Library, yang dirintis Fadli Zon. Masih ada Perpustakaan Bung Hatta yang memuat koleksi buku sang Wakil Presiden pertama kita—yang kini kondisinya merana sebagaimana PDS H.B. Jassin sebelum teman-teman sastrawan bergerak menyelamatkannya dalam gerakan #koin sastra.

Seturut perkembangan dan kebutuhan peradaban, perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi tak hanya memposisikan diri sebagai tempat menyimpan pustaka, dokumen atau arsip belaka. Perpustakaan-perpustakaan yang ada—yang menggembirakan sebagian dikelola anak muda—kini semakin bersemangat  membuka dan menjadikan dirinya sebagai ruang belajar literasi yang lebih kompleks. Perpustakaan-perpustakaan ini menjelma menjadi komunitas yang tidak hanya menjadi rumah baca namun sekaligus menjadi candradimuka, tempat lahirnya (calon) penulis-penulis baru. Sejumlah kegiatan dirintis, seperti workshop menulis, rangkaian lomba, diskusi, hingga penerbitan. Rumah Dunia yang dirintis Gola Gong di Banten, atau Rumah Baca Asma Nadia yang memiliki cabang di sejumlah daerah, termasuk Iboekoe, komunitas pustaka dan penerbitan yang digawangi anak-anak muda Yogyakarta—yang menonjol sebut saja Muhidin M. Dahlan—dapat disebut sebagai contoh.

Usaha merawat buku—termasuk di dalamnya sari pati ilmu dan ingatan kolektif terhadap kebangsaan yang disimpan dalam lembar-lembar buku—umumnya dilakukan dalam bentuk fisiknya, meskipun sejumlah kantong-kantong dokumentasi literasi mulai melakukan usaha digitalisasi. Di era yang semakin mengglobal, di mana kebutuhan akses informasi yang semakin cepat dalam genggaman makin menguat, usaha-usaha mendokumentasikan literasi dalam arsip maya (online) patut diapresiasi. Kehadiran media sosial (social media), utamanya blog membuat demokratisasi pendokumentasian literasi menemukan momentumnya. Namun, kemudahan memproduksi blog-blog di dunia maya berbanding lurus dengan mudahnya blog-blog yang ada berguguran. Mengelola sebuah blog rupanya bukan kerja yang tak melelahkan. Dari situ konsistensi, semangat mendokumentasikan pengetahuan, termasuk keihklasan mewakafkan waktu untuk terus memperbarui isi (content) blog menunjukkan kapasitas literer pengelolanya. Tak salah bila kemudian kehadiran blog dianggap sebagai kegenitan intelektual belaka. Hadir semarak untuk kemudian meredup diam-diam dan dilupakan orang.


Memuliakan Kelampungan dalam Arsip

Adalah Udo Z. Karzi, satu nama yang setia mewakafkan dirinya untuk menjadi penjaga gawang ingatan untuk merawat kelampungan melalui akun blognya: http://ulunlampung.blogspot.com/. Ulunlampung.blogspot.com—selanjutnya disebut ulunlampung saja—secara sadar diniatkan sebagai ruang mendokumentasikan segala sesuatu mengenai Lampung. Ya, Lampung, provinsi paling selatan Sumatera yang paling dekat dengan Jawa. Sebagai sebuah entitas, tulis Udo Z. Karzi dalam “Manifesto Ulunlampung” di halaman muka ulunlampung, Lampung masih penuh misteri karena masih terlampau sedikit kajian yang dilakukan tentangnya. Lampung terlalu sering luput dari perhatian orang pula. Karena itu tak salah bila Udo Z. Karzi—nama sebenarnya Zulkarnain Zubairi—mengelola ulunlampung yang dapat disebut sebagai usaha untuk meminimalkan kelangkaan pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.

Dalam ruang sunyi Udo Z. Karzi mulai mengumpulkan sejumlah dokumentasi mengenai Lampung dan kelampungan paling tidak sejak tahun 2004. Namun baru pada tahun 2007 ulunlampung benar-benar dikelola secara lebih serius, ditinjau dari intensitas artikel yang diunggah. Dalam setiap bulan Udo Z. Karzi—jurnalis yang kini menjabat Redaktur Budaya Lampung Post cum sastrawan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk Sastra Lampung serta editor dan penulis sejumlah buku—mengunggah tidak kurang 20 sampai 50 artikel, bahkan pada bulan-bulan tertentu hingga 100 artikel.

Memang hampir keseluruhan artikel tidak ditulis sendiri oleh Udo Zul—sapaan akrabnya. Sebagian besar artikel dikutip Udo dari sejumlah media massa yang terbit secara nasional maupun regional, termasuk publikasi yang dilakukan media sosial macam blog maupun media online. Artikel-artikel yang diunggah diklasifikasi dengan baik, meliputi kategori adat (51 artikel), arsitektur (14), bahasa (198) , budaya (430), buku (214), film (23), kain (13), kemiskinan (19), kependudukan (2), komunitas (3), kuliner (26), lingkungan (163), masalah sosial (33), mode (4), musik (73), pendidikan (79), pers (45), polemik (12) seni rupa (57), sastra (395), sejarah (176), seni (140), seni tradisi (82), siswa (55), sosok (153), tari (22), teater (123), transmigrasi (11), udo z. karzi (143), dan wisata (543).

Boleh dibilang, seluruh artikel yang dikutip ulunlampung adalah artikel-artikel yang “bergizi,” artikel-artikel yang ditulis oleh media dan penulis yang memiliki kapasitas yang kompeten dalam menulis Lampung dan kelampungan. Belum cukup dengan sajian artikel yang berkualitas, Udo Zul juga taat dalam melengkapi setiap artikel dengan sumber yang ia dikutip, bahkan beberapa artikel disertakan pula jejaring online (pranala) menuju referensi online sumber yang dikutip. Untuk ini Udo Zul mempersilakan pembaca mengutip semua artikel ulunlampung dengan menyebutkan sumbernya, karena hak cipta dan hak siar tetap ada pada penulis dan/atau pihak yang menyiarkan tulisan sebagaimana tertulis dalam “Manifesto Ulunlampung.” Tak hanya itu, ulunlampung juga menyediakan pranala ke sejumlah situs lain mengenai Lampung dan kelampungan, seperti situs online milik pemerintah daerah se-Lampung, media, ataupun tokoh-tokoh perseorangan yang concern pada banyak bidang, utamanya seni, budaya, intelektual dan sastra.

Menjelajah Lampung dan kelampungan melalui ulunlampung dapat menjadi tamasya online yang menyenangkan. Dari ulunlampung pembaca yang tak mengenal Lampung sebelumnya sekalipun dapat mendapat gambaran, tak hanya singkat namun juga seringkali mendalam terhadap Lampung dan kelampungan. Perkenalan saya dengan ulunlampung juga bermula dari persinggahan saya di situs ini ketika saya memulai penulisan manuskrip mengenai etnografi kebuayan (federasi marga) Way Kanan di Lampung—tanah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Melalui mesin pencari google, kata-kata kunci mengenai Lampung dan kelampungan akan segera merujuk pada ulunlampung. Belajar dari ulunlampung saya memperoleh ekstase pustaka yang memuaskan dahaga kelangkaan literasi mengenai Lampung dan kelampungan. Manuskrip saya mengenai etnografi tersebut—pada akhirnya saya beri judul Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Kebuayan Way Kanan Lampung—sebagian di antaranya mendasarkan pada studi pustaka dan dokumen yang disediakan cuma-cuma oleh ulunlampung. Tak hanya itu, setelah banyak melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan antara lain di situs ulunlampung saya mendapatkan kerangka berpikir bagi lebih dari 20 artikel mengenai Lampung dan kelampungan—belakangan saya edit menjadi bunga rampai artikel bertajuk Kronik Budaya Lampung dalam Tafsir. Tak salah bila ulunlampung dapat disebut sebagai salah satu referensi utama yang paling otoritatif bagi siapapun yang ingin melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.

Sesungguhnya usaha-usaha untuk mendokumentasikan literasi mengenai Lampung dan kelampungan tak hanya dilakukan oleh Udo Z. Karzi dan ulunlampung. Sejumlah intelektual Lampung—di antaranya yang menyebutkan diri sebagai penulisnya, Diandra Natakembahang—banyak menulis isu-isu adat dan budaya di situs Wikipedia. Umumnya tulisan-tulisan di Wikipedia—karena karakteristiknya sebagai situs ensiklopedia online—banyak berbentuk resume buku-buku teks atau dokumen mengenai adat dan budaya Lampung ketimbang artikel opini. Selain arsip literer dalam situs Wikipedia, sejumlah intelektual juga mengelola blog-blog layaknya ulunlampung, seperti institutlampungologi.blogspot.com atau budayalampung.blogspot.com. Media-media di Lampung, seperti Lampung Post dan Radar Lampung juga memiliki versi online bahkan e-paper sehingga dapat diakses siapa saja yang ingin mendapat referensi yang memadai soal Lampung. Namun media-media yang ada tidak secara khusus menyediakan rubrikasi mengenai Lampung dan kelampungan sebagaimana ulunlampung. Bahkan media seperti Lampung Post beberapa kali merombak tampilan versi online-nya namun tak menyiapkan back up data dan artikel penerbitan yang lampau. Akibatnya, arsip pemberitaan online Lampung Post menjadi sulit dilacak.

Meski demikian usaha-usaha yang ada cukup membantu bagi siapapun yang ingin menulis mengenai Lampung dan kelampungan. Hanya saja, arsip-arsip literasi mengenai Lampung dan kelampungan selain yang diunggah ulunlampung tidak mampu menjaga konsistensi dalam memperkaya dokumentasi dari frekuensi unggahan artikel setiap bulan. Walhasil, tinggallah ulunlampung sebagai satu-satunya situs yang paling konsisten mengunggah artikel secara kontinu setiap bulannya.


Kaya Informasi

Mengikuti unggahan artikel di ulunlampung membuat pembaca dapat mengikuti isu-isu aktual yang sedang berkembang di Lampung. Melalui ulunlampung misalnya, kita dapat mengikuti sejumlah polemik, misalnya relasi independen (atau dependen?) seni terhadap birokrasi yang melibatkan sejumlah budayawan kenamaan Lampung dalam diskusi sambung-menyambung di media. Juga isu-isu soal sejarah budaya Lampung, semisal pernyataan bila Kerajaan Sriwijaya tidak beribukota di Palembang sebagaimana tertulis dalam buku teks sejarah yang dipelajari di sekolah dan diyakini banyak orang, tetapi hidup di dataran tinggi Sekala Brak Lampung Barat. Masih ada polemik soal bahasa Lampung, termasuk istilah yang tepat apakah ulun Lampung atau tian Lampung untuk menyebut “orang Lampung.”

Melalui ulunlampung pula kita dapat mengikuti tamasya sejarah yang bertutur mengenai penyebaran Islam di Lampung sejak abad pertengahan; korelasi penyebaran Islam di Lampung dengan letusan Krakatau tahun 1883; sejarah pergerakan nasional dan aktivitas cabang-cabang ormas keagamaan nasional seperti Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU); Fatwa 100 Ulama Lampung tahun 1949 dalam mempertahankan kemerdekaan yang ekuivalen dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama tahun 1945 di Surabaya; hingga sari pati nilai-nilai Islam yang mewarnai kehidupan masyarakat Lampung sebagaimana kodifikasi dalam kitab Kuntara Raja Niti, yakni piil-pesanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Polemik soal Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sebagai federasi (atau konfederasi?) buay-buay (marga) di Lampung yang kedudukannya tergeser oleh kelembagaan pemerintahan formal juga dapat dibaca secara utuh dalam ulunlampung. Dalam mengunggah setiap artikel, tampak Udo Zul memposisikan diri sebagai dokumentator. Semua artikel, apa pun perspektifnya akan dipublikasikan-ulang oleh ulunlampung tanpa melalui proses penyuntingan. Bahkan Udo Zul juga bertindak pasif dengan tidak memberi komentar apapun pada setiap artikel yang ditampilkan. Dengan demikian, pembaca diberi kebebasan untuk menafsir, memaknai, menyepakati, atau membantah perspektif artikel-artikel yang ada.

Sebagai ikhtiar kebudayaan, usaha yang dilakukan Udo Z. Karzi nyaris tanpa cela. Ulunlampung berguna bagi siapa saja yang ingin sekedar tahu atau ingin memperdalam pengetahuan mengenai Lampung dan kelampungan. Kalau harus memberikan saran, saya lebih suka menyemangati Udo Z. Karzi dan ulunlampung agar tetap setia dan ikhlas mewakafkan diri dalam merawat dan memuliakan kelampungan melalui literasi maya. Begitu juga bagi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Belajar dari pengalaman ulunlampung, tak keliru rasanya bila digitalisasi arsip yang telah dilakukan ANRI selama ini ditampilkan secara online sehingga mudah diakses siapa saja, di mana saja. Pusat Bahasa misalnya, telah melakukan usaha mendokumentasikan secara online Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring; online) sehingga demokratisasi literasi telah terjadi. Setiap orang kini dapat mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara online, tanpa harus memiliki bukunya yang tebal—yang identik sebagai milik sarjana atau guru Bahasa Indonesia. Kita telah memasuki era online, sehingga sudah seharusnya setiap orang dan lembaga menyesuaikan diri dengan kehendak zaman ini. Tabik.


* Sebuah epilog untuk buku Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan karya Udo Z. Karzi (dalam proses terbit)

** Febrie Hastiyanto. Alumnus Sosiologi FISIP UNS yang kini sedang melanjutkan studi pada Prodi Magister Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya ini pernah tinggal di Lampung, Solo, Tegal, dan Malang serta intim dengan Yogyakarta dan Banjarnegara. Berminat pada Sosiologi, Gerakan Mahasiswa, buku, dan film, termasuk jalan-jalan untuk mengagumi kota, kuliner, sejarah, dan budaya pada umumnya. Artikel, puisi dan cerpennya tersebar di Jawa Pos, Intisari, Pelita (Jakarta), Suara Merdeka, Wawasan, Kompas (Edisi Jateng), Suara Merdeka, Wawasan, Cempaka (Semarang), Lampung Post, Radar Lampung, Dinamikanews (Lampung), Waspada, Jurnal Medan, Analisa (Medan), Joglosemar, Solopos, Bengawan Pos, Bulletin Pawon (Solo), Pikiran Rakyat (Bandung), Radar Tegal, Nirmala Post (Tegal), Annida, Poetikaonline, Horisononline, Sastra Digital, Minggu Pagi (Yogyakarta), dan Horison (Kakilangit). Puisinya Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapan-nya menjadi finalis Krakatau Award 2009. Cerpennya termuat dalam antologi Pentas di atas Mimpi (TBJT, 2008), Tahun-Tahun Penjara (TBJT, 2012). Tahun 2011 mendapat undangan mengikuti Temu Sastra Indonesia (TSI) IV di Ternate. Tulisannya yang telah dimuat media massa diarsipkan di http://hastiyanto.wordpress.com/. Features catatan perjalanannya Kota dalam Ranselku telah diterbitkan (Tigamaha, 2012). Sejumlah naskahnya yang lain belum diterbitkan, diantaranya  Dimensi Kritis dalam Administrasi Publik Kontemporer (manuskrip buku), Laki-Laki Pada Sebuah Hujan (manuskrip novel); Mahasiswa Solo Bergerak: Catatan Strategi dan Taktik Gerakan Mahasiswa Solo 1996-1998 (manuskrip buku); Tegal Prismatik: Esai-Esai tentang Tegal (manuskrip buku); Kronik Budaya Lampung dalam Tafsir (manuskrip buku); Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung (manuskrip buku); Catatan dalam Kamarku: Catatan Anak Kos cum Sosiolog Budiman (manuskrip buku); Tentang Menangis dan Malam Takbiran: Catatan Renyah Sosiolog Budiman (manuskrip buku); dan Pulanglah Nak, Lanang yang Bermata Bulat dan Berambut Ikal (manuskrip novel). Selain menjadi Koordinator Kelompok Studi IdeA (2008-2009) kini hidup bahagia bersama seorang istri dan putri mungilnya yang berusia tiga tahun lebih lebih. Obsesinya: menjadi backpacker di Sumatera Barat.

No comments:

Post a Comment