March 17, 2013

[Fokus] Jejak Bali di Kota Tapis Berseri

WARGA Bali di Bandar Lampung membentuk komunitas-komunitas kecil yang dinamakan banjar. Setidaknya ada empat banjar di ibu kota Provinsi Lampung ini, yaitu Banjar Satria di Garuntang, Banjar Buana Santi di Way Halim, Banjar Tengah di Sukabumi, dan Banjar Satya Dharma di Perumahan Cendana.

Jumlah warga Bali di Bandar Lampung mencapai 700 kepala keluarga. Untuk ikut dalam satu banjar, diharuskan untuk mendaftar dan dikenakan iuran. Orang Bali yang akan masuk banjar menyampaikan keinginannnya tersebut dalam rapat banjar.


Menurut Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bandar Lampung I Putu Soertha Adnyana, sudah menjadi tradisi bila perkumpulan orang Bali sudah mencapai 50 kepala keluarga (KK) dibentuklah banjar. Namun, bila memang memungkinkan, 25 KK sudah bisa membentuk satu banjar. Satu banjar dikepalai seorang ketua.

Dia mengatakan kelompok banjar merupakan perkumpulan warga Bali dalam kegiatan suka dan duka. ?Warga Bali memiliki tradisi sendiri. Misalnya ngaben, acara potong gigi yang hanya bisa dikerjakan oleh orang Bali sendiri. Banjar inilah yang nantinya saling membantu dalam acara-acara yang dilakukan salah satu keluarga,? kata dia.

Dari empat banjar yang ada diketuai oleh seorang bendesa adat. ?Bendesa adat wajib hadir bila ada acara di semua banjar,? katanya.

Putu menambahkan bila ada anggota banjar yang meninggal, anggota yang lain akan membantu untuk meringankan beban keluarga hingga prosesi ngaben dan mengumpul dana.

Tidak hanya anggota dari satu banjar saja yang hadir, anggota dari banjar yang lain juga turut hadir. Begitu juga bila ada acara gembira, berupa potong gigi untuk anak yang masuk pada masa balig atau dewasa, anggota banjar yang lain akan membantu menyiapkan sajen dan aneka makanan.

Putu menceritakan banjar di Bandar Lampung sudah ada sejak 1975. Banjar yang usianya sudah tua adalah Banjar Satria dan Banjar Buana Santi. Sedangkan Banjar Tengah dan Banjar Satya Dharma tergolong perkumpulan yang baru dibentuk.

Setiap banjar memiliki acara pertemuan rutin yang digelar pada minggu pertama tiap bulan. Pertemua dilangsungkan di banjar masing-masing. Setiap banjar memiliki gedung banjar yang menjadi pusat berkumpul bagi anggota. Acara bulanan meliputi arisan dan evaluasi program banjar.

Menurut Putu, terkadang ada pesan-pesan dari PHDI yang disampaikan dalam pertemuan banjar.

Orang Bali dalam banjar juga merayakan ulang tahun banjarnya. Dalam perayaan ulang tahun inilah semangat keberagaman dan toleransi itu terlihat. Komunitas Bali tidak sungkan untuk mengundang suku lain yang ada di sekitar banjar untuk hadir. Dalam peringatan ulang tahun inilah kesenian Bali kerap dipertontonkan. Orang yang beragama di luar Hindu diundang untuk ikut dalam ulang tahun banjar.

Keempat banjar berkumpul bersama pada perayaan Dharmasanti yang dilakukan tiap tahun. Dharmasanti yang disebut Putu seperti acara halalbihalal umat muslim, dilakukan setelah perayaan Nyepi. Dharmasanti dilangsungkan di salah satu gedung banjar.

Transmigran Gunung Agung

Putu memperkirakan orang Bali pertama kali datang ke Lampung sekitar 1957 untuk merantau dan ingin bertani. Terutama orang Bali yang berasal dari daerah Tabanan. Orang Bali tahap awal ini menempati wilayah Seputihraman.

Kedatangan selanjutnya karena ada program transmigrasi sekitar 1963. Menurutnya, transmigrasi dilakukan karena ada musibah meletusnya Gunung Agung. Penempatan warga Bali lewat program transmigrasi di daerah Seputihbanyak, Rumbia, Way Jepara, dan Seputihmataram.

Putu adalah salah satu keluarga yang datang ke Lampung melalui program transmigrasi. ?Saat itu usia saya masih 5 tahun. Perjalanan dari Bali ke Lampung dilakukan selama tiga hari tiga malam melalui jalur laut,? kenangnya.

Anak transmigrasi, I Wayan Mustika, menceritakan ayahnya pertama kali datang ke Lampung pada 1963 dan menempati lahan di Seputihbanyak, Lampung Tengah. Saat itu kondisi daerah yang ditempati masih hutan lebat. Ayah dan beberapa transmigran asal Bali lainnya membuka lahan dan memulai kehidupan sebagai petani.

Orang tua Wayan kembali lagi ke Bali dan membawa keluarganya pada 1979. Ketika itu usai Wayan masih 4 tahun. Kini Wayan sebagai generasi kedua pertama dari orang tua transmigran ini tinggal dan menetap di Bandar Lampung.

Identitas Etnis

Wayan menilai identitas etnis tidak dapat ditinggalkan ke mana pun orang yang bersangkutan pergi. Mereka akan membawa identitas tersebut ke mana pun etnis tersebut tinggal. Tidak hanya Bali, suku lain seperti Jawa dan Minang pun mememiliki pembawaan yang sama. Hal inilah yang membuat orang Bali membuat simbol kedaerahan di rumah dan di desa yang ditempati.

?Identitas inilah yang membawa keberagaman. Dan hal ini perlu disyukuri sebagai bentuk toleransi,? kata dosen seni tari FKIP Unila ini.

Ketua PHDI Lampung Nengah Maharta mengatakan orang Bali juga memiliki falsafah hidup seperti suku Lampung, saling menghargai, bertoleransi pada pendatang. Orang di Bali akan sangat menghargai pendatang yang kemudian menetap di Pulau Dewata ini.

?Suku Bali pun suka berbaur dengan suku lain, tidak tertutup dengan kehidupan di luar sukunya,? kata Nengah yang sudah hidup berbaur dengan suku lain di Bandar Lampung.  (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

No comments:

Post a Comment