March 3, 2013

KIM Tanggamus dan Budaya Lampung (2-Habis)

Oleh Jauhari Zailani

MENGELILINGI rumah-rumah (kantor) kabupaten dan kota yang ada di Lampung. Saya menyaksikan sebuah tafsir pada budaya Lampung dan air. Secara umum terdapat dua ornamen yang bersinggungan, tarik-menarik, saling melengkapi antara jung sebagai alat transportasi, payung sebagai simbol keagungan adat, dan siger sebagai simbol keagungan kekuasaan. Tecermin dalam lambang dan logo daerah kabupaten dan kota, ornamen pagar, dinding bangunan, hingga gapura. Perjalanan itu digambarkan dalam ornamen yang menarik, jung berlayar membawa rombongan orang yang agung berpayung warna-warnai, menuju sebuah tempat. Tempat itu ditandai dengan siger yang menyangga paying keagungan. Apakah ini bermakna? Barangkali akan menarik jika ada yang melengkapi tulisan ini dengan menjelaskan makna dengan holistik antara jung, payung, dan siger.

Seperti telah dicanangkan dan dikukuhkan dalam peraturan daerah Lampung bahwa Lampung adalah Sai Bumi Ruwa Jurai. Bumi Lampung dihuni oleh dua masyarakat adat. Dua masyarakat adat yang dapat dibedakan dari dua karakter alam yang melingkupinya. Orang pantai yang berada di sekitar pesisir Samudera Hindia di Lampung Barat, orang yang hidup di sekitar Teluk Semaka di Kabupaten Tanggamus, orang yang hidup di daerah pantai Telukbetung, orang yang hidup di daerah pantai Selat Sunda dan Laut Jawa di daerah timur Lampung. Orang-orang yang hidup di sekitar pantai ini disebut dengan berbagai sebutan: orang Lampung Peminggir, atau juga orang Lampung Saibatin.


Orang Lampung Saibatin, berbeda dengan orang Lampung di daerah pedalaman. Orang Lampung ini hidup dan berkembang mengikuti aliran sungai-sungai di Lampung: Way Kanan, Way Abung, Way Tulangbawang, Way Lima, dan seterusnya. Orang Lampung yang berkembang di daerah pedalaman ini disebut sebagai orang Lampung Pepadun. Dua kelompok besar ini berasal dari nenek moyang yang sama, dengan budaya yang sama pula, yaitu budaya air.

Dari penelusuran budaya, tampaknya jung sebagai lambang dan kemudian jika menjadi identitas orang Lampung lebih masuk akal dan faktual, setidaknya jika menilik bagaimana orang Lampung hidup dan berkembang. Jung dapat menjelaskan bagaimana orang Lampung yang hidup dan kehidupannya dengan menundukkan sungai dan bermukim di sekitar sungai. Dengan jung pula kelompok yang lain hidup dengan bersahabat dengan air di laut. Jung, bukan saja sebagai perlengkapan nelayan untuk mencari ikan, melainkan sebagai alat transportasi utama baik di sungai atau di laut, terutama pada masa lalu sebelum datang kebudayaan mesin.

Dengan uraian ini, jung juga dapat mewakili dua kelompok budaya orang Lampung yang berdiam dan berkembang di daerah pesisir atau pantai, maupun orang Lampung yang bermukim dan beranak-pinak di daerah pedalaman yang hidup di sekitar aliran sungai. Dan, ini yang lebih mendasar, jung menjadi indikator betapa Lampung tumbuh dalam budaya kerja keras, kerja maritim. Saya menduga budaya ini yang menjadikan budaya Lampung sangat adaptif dengan budaya luar dan perubahan-perubahan politik di sekitarnya.

'Jung' dan Globalisasi

Ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883, penduduk Lampung tak lebih 100 ribu jiwa. Karena pada 1845?1846 jumlah penduduknya tak lebih dari 80 ribu jiwa, dengan kepadatan penduduk 2?3 jiwa per km², dan pada akhir abad 19 kepadatan penduduk Lampung hanya sekitar 5 jiwa per km². (Utomo: 1997: 5). Meskipun begitu, sejak lama orang Lampung telah berinteraksi dengan berbagai kebudayaan dunia karena sejak abad 19 di Lampung sudah bermukim orang Eropa, Arab, dan Tionghoa.

Sebagai gambaran, laporan yang di muat dalam Encyclopedia van Nederlans Indie, jumlah penduduk Lampung pada 1905 sebanyak 156.518 jiwa, yang terdiri dari 146 orang Eropa, 146 orang China, 108 orang Arab, dan 155.080 penduduk pribumi.

Kini, 2013, Lampung sudah berkembang menjadi mendekati 10 juta jiwa, jika mengacu pada hasil sensus penduduk tahun 2011 penduduk Lampung 9.146.069 jiwa. Data ini menegaskan Lampung sebagai daerah yang begitu terbuka, dengan orang-orangnya yang sangat terbuka. Pembangunan KIM di Kotaagung membangkitkan kenangan pada keterbukaan daerah Lampung dan komunikasi antarbudaya orang Lampung dengan dunia luar.

Pelabuhan besar dan kecil seperti pelabuhan Krui, Pelabuhan Putihdoh yang telah aktif pada zaman kesultanan Banten, demikian juga pelabuhan Labuhanmaringgai dan pelabuhan Tulangbawang. Era Lampung modern, keberadaan Lampung sebagai kota internasional ditandai dengan Pelabuhan Panjang.

Pelabuhan udara Radin Inten yang pertumbuhannya sangat meyakinkan, dalam satu hari tak kurang 15 kali penerbangan ke beberapa daerah. Belum lagi potensi yang ada dapat dikembangkan jika beberapa potensi airport peninggalan Belanda yang berada di Kabupaten Tulangbawang maupun Kabupaten Way Kanan. Pada era otonomi daerah, Lampung Barat mengembangkan landasan pesawat di Serai. Sebuah usaha yang patut diapresiasi mengingat potensi pantai dan lautnya yang berkelas internasional. Betapa terbukanya Lampung, betapa seksinya daerah ini.

Namun, lagi-lagi jiwa ini bergetar, membayangkan sisi yang lain: meski iklan KIM di Lampost ini dilansir bersamaan pada pelantikan Bambang Kurniawan sebagai Bupati untuk kedua kali, tetapi jika dicermati inisiator KIM adalah Pemerintah Pusat. Tetapi patut juga disyukuri, dengan KIM itu Kotaagung akan menuai pertumbuhan ekonomi dan kemajuan daerah. Tetapi pemda tak boleh lalai.

Dengan segera menyiapkan fasilitas infrastruktur yang sepadan dengan perkembangan daerah itu untuk 5, 25, 50, bahkan 100 tahun mendatang. Demikian juga pemerintah daerah segera menyiapkan masyarakatnya untuk bersiap menyongsong kehadiran orang-orang dari berbagai penjuru angin agar masyarakat dapat ikut terlibat dalam proses perubahan dan turut menikmati pula kemakmuran yang akan dinikmati oleh para pendatang ke daerah Tanggamus.

Janganlah sampai ada pemandangan ketika orang Tanggamus tak dapat mengakses daerah yang semula menjadi miliki nenek moyangnya, apalagi anak cucu kelak hanya dapat menonton pameran kejayaan para pendatang yang menetap di Tanggamus, pelancong yang hilir mudik melihat ikan hiu di Teluk Kiluan yang akan kian berkilau, melihat macan Sumatra di Taman Blimbing, main papan selancar di pantai Krui.

Untuk itu perenungan dan tulisan ada dan dibuat di Bandar Lampung pada 20 Februari 2013. Salam.

Jauhari Zailani, Pengamat dan pegiat sosial, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013 

No comments:

Post a Comment