March 3, 2013

[Fokus] Telukbetung Potret Akulturasi Tionghoa di Lampung

KAWASAN Telukbetung bisa dikatakan pusat keberadaan warga Tionghoa di Lampung. Daerah yang dikenal sebagai pusat perdagangan ini memang didominasi oleh pertokoan milik orang Tionghoa.

Namun, peninggalan-peninggalan kebudayaan China hanya sedikit yang tersisa. Praktis, hanya rumah ibadah, wihara dan kelenteng, yang mencirikan arsitektur China. Tidak ada rumah dan permukiman warga yang mencirikan bangunan Tionghoa.


Warga Tionghoa di Bandar Lampung, Wirya, mengungkapkan Telukbetung belum bisa disebut china town atau pecinan, atau daerah yang khusus didiami oleh orang Tionghoa. Berbeda dengan daerah Ketandan di Yogyakarta yang memang pantas disebut sebagai pecinan. Selain memang menjadi pusat warga Tionghoa, juga masih bayak peninggalan China dalam bentuk bangunan.

?Belum pas jika disebut Telukbetung disebut china town karena memang warga Tionghoa di sini sudah berbaur. Pecinan lebih tepat jika dalam satu wilayah hanya diisi oleh orang-orang Tionghoa,? kata dia.

Namun, dia berharap bangunan yang masih mencirikan arsitektur China bisa dipertahankan dan dilestarikan sehingga menjadi daerah wisata. Selama ini Lampung hanya mengandalkan keindahan alam untuk menarik wisatawan. ?Dengan adanya tempat-tempat bersejarah di Bandar Lampung, wisatawan dapat berkunjung untuk melihat tempat yang menyimpan nilai sejarah tinggi,? ujarnya.

Warga Tionghoa di Bandar Lampung, Alesius Bunawan, menerangkan banyaknya warga Tinghoa yang tinggal di Telukbetung tidak lepas dari keberadaan Panjang sebagai pelabuhan. Orang-orang dari China berdatangan ke Panjang sebagai pendatang dan kemudian menetap di sekitar pesisir, termasuk Telukbetung Selatan.

Sebelum menjadi Kota Bandar Lampung, yang menjadi pusat kota bukanlah Tanjungkarang, melainkan Telukbetung. Pusat kota menarik orang-orang Tionghoa untuk membuka usaha.

Alesius menambahkan pernah ada aturan yang melarang orang Tionghoa untuk tinggal di daerah-daerah. Mereka diharuskan untuk tinggal di pusat kota. Itulah yang kemudian mendorong orang China kala itu untuk menetap di Telukbetung sebagai pusat kota.

Keberagaman

Warga Tionghoa memiliki sifat terbuka atas keberagaman. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan makam untuk mengenang dua tokoh muslim asal Banten, H. Abu Bakar dan H. Subana. Makam itu dibangun tepat di belakang kelenteng Yayasan Meta Sarana.

Alesius menerangkan makan kedua tokoh itu dibangun karena ada seorang warga yang mendapatkan semacam pesan bahwa ada dua tokoh yang terdampar dan meninggal di Telukbetung. Kedua tokoh itu meninggal saat terjadinya letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Mereka pun terdampar hingga di Bandar Lampung.

?Beberapa orang dari Banten sempat datang mengunjungi makam tersebut. Kami juga turut membantu merawat makam dan meletakkan sajian pada malam Jumat,? kata pria yang akrab disapa Buncin ini.  (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, 3 Maret 2013 

No comments:

Post a Comment