March 17, 2013

[Fokus] Harmoni dan Seni Perayaan Nyepi

HARMONI antara ritual Hindu dan kesenian orang Bali cukup terlihat di Lampung. Saat perayaan Nyepi, harmoni keterbukaan warga Lampung dengan budaya Bali amat serasi.

Ratusan warga Bali mengenakan pakaian adat tumpah ruah di Bundaran Adipura, Senin (11-3). Warga dan para tokoh adat datang dan berkumpul untuk mengarak ogoh-ogoh. Empat ogoh-ogoh berupa boneka besar berwajah seram (buto, perlambang perbuatan jahat) diarak lalu dimusnahkan.


Pawai ini pun bisa disaksikan oleh warga lain di luar umat Hindu. Bahkan, Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. ikut hadir dalam ritual Kesanga, menyambut perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935.

Pawai ogoh-ogoh di pusat kota ini menjadi penunjuk umat Hindu Bali bisa bebas melakukan ritual keagamaan dan adat budaya di Lampung. Festival ini pun menjadi simbol kerukunan di Bandar Lampung, dan Lampung pada umumnya. Selain tentu saja sebagai tujuan pariwisata agar orang mau datang ke Bandar Lampung.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Lampung I Nengah Maharta mengatakan sebelum 2012 tidak ada acara pengarakan ogoh-ogoh. Umat Hindu hanya mengadakan upacara tawur di Pura Kerthi Buana, Panjang, Bandar Lampung. Hampir semua umat Hindu di Bandar Lampung berkumpul karena acara dipusatkan di sana.

?Kami menyambut baik dukungan untuk memunculkan festival ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Ini bisa merekatkan persaudaraan dan menunjang pariwisata,? kata dia.

Pada festival ogoh-ogoh tahun ini ada tampilan yang berbeda. Ogoh-ogoh yang dimunculkan mengusung seni sekura. Wajah ogoh-ogoh dipadukan dengan topeng sekuraan yang juga berkarakter jahat.

Topeng sekura adalah kebudayaan asli Lampung. Seni sekura ini masih rutin dilangsungkan usai Idulfitri di beberapa daerah di Lampung Barat dan Tanggamus.

Dosen Pendidikan Seni Tari FKIP Unila I Wayan Mustika mengatakan beberapa ogoh-ogoh yang ditampilkan pada perayaan tahun ini dibuat dengan konsep muka topeng sekura yang merupakan kesenian asli Lampung. Ini sebagai perpaduan antara kesenian Bali dan Lampung yang menunjukkan akulturasi budaya sebagai simbol perdamaian.

?Kebudayaan Bali dan Lampung bisa dipadukan dengan harapan masyarakat pun bisa menyatu dalam sebuah perdamaian,? kata dia.

Nyepi Damai

Perdamaian dan toleransi pun ditunjukkan dalam upacara melasti yang berlangsung di daerah Moro-moro, Register 45, Kabupaten Mesuji, Sabtu (9-3). Ratusan umat Hindu di wilayah yang belum diakui pemerintah ini berkumpul di lapangan Kalipasir Asahan untuk melangsungkan upacara melasti. Mereka berkumpul dengan mengenakan pakaian adat Bali.

Suasana upacara penyucian ini berlangsung khidmat dan damai meskipun daerah ini kerap dilanda konflik. Banyak penganut agama dan suku lain turut datang dan menyaksikan acara ini. Para tokoh adat dan tokoh agama di luar Hindu datang sebagai bentuk dukungan dan toleransi.

Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Moro-moro Way Serdang (PPMWS) Syahrul Sidin mengatakan kehadiran berbagai umat dalam upacara melasti ini merupakan bentuk toleransi yang tinggi dan saling mengasihi antarumat beragama di wilayah Moro-moro.

?Para tokoh dan pemeluk agama lainnya di Register 45 Moro-moro ikut hadir untuk menunjukkan bahwa kehidupan beragama dan sosial di Moro-moro berjalan secara damai di tengah keterbatasan," kata dia.

Meskipun Syahrul bukan pemeluk Hindu dan bukan orang Bali, dia tetap hadir untuk membantu dan menyaksikan upacara penyucian alam dan diri yang dilangsungkan para kerabat dan tetangganya.

"Register 45 selalu dikenal sebagai wilayah konflik dengan berita kekerasan. Tapi hal yang senantiasa luput dari perhatian media dan publik adalah suasana hidup damai berdampingan dan saling menghargai antarumat beragama," ujar Syahrul. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

No comments:

Post a Comment