March 24, 2013

Kelampungan

Oleh Asaroeddin Malik Zulqornain


1

‘SENI budaya Lampung’ sebagai refleksi gejolak jiwa ulun Lappung sesungguhnya sudah sejak zaman purba (sampai tulisan ini disusun) telah menjadi Tuan Rumah di Sai Bumi Ruwa Jurai. Terbukti sampai hari ini pembaca masih sering mendengar istilah Cakak Pepadun, Cangget Bakha, Muli Mekhanai, Tapis, Tiyuh, Tari Sembah dan Bahasa Lampung.

Agaknya, sebagai tuan rumah yang baik, orang Lampung dengan piil pesenggiri yang mendarah daging di jiwanya, mengikhlaskan saudara-saudaranya yang datang“ "bertamu” ke Sai Bumi sebagai pendatang dipersilakan untuk menikmati kehidupannya diperantauan Lampung dengan budaya leluhurnya masing-masing!


Sebagai tuan rumah yang tahu diri, orang Lampung selalu berlapang dada ketika para pendatang memilih bersikap ‘Sai bumi kupijak kidang langitne kuacak-acak’ ketimbang bersikap arif: Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung!

Sikap terbuka ulun Lappung inilah yang sesungguhnya mengakibatkan seni budaya Lampung seolah-olah terkucil, terasing, terabaikan dan terancam punah sebagaimana yang diteriakkan oleh hampir bagian terbesar peserta serial diskusi kelampungan yang digelar Dewan Kesenian Lampung akhir-akhir ini.

Ironisnya, nun di corong RRI Tanjungkarang pada setiap Sabtu Malam, digelar Ragom Budaya Lampung yang ditangani oleh Suntan Purnama dkk dan kini tercatat 60 pekon/tiyuh hadir disana (TMT i Juni 2001 yl) antara lain dari Marga Abung, Selagai Lingga, Buku Jadi, Way Semah, Nuban, Anak Tuho, Nynyai dan masih banyak lagi untuk mengumandangkan Diker, ringget, Minjak Nari, Warahan dan sebagainya yang sudah pasti disenandungkan dengan indah dalam bahasa Lampung (Radar Lampung 10/6).


2

Dari acara Ragom Budaya Lampung RRI Tanjungkarang sesungguhnya membuktikan kepada pembaca bahwa kesenian lampung tetap tumbuh dan berkembang dikalangan orang lampung ditengah teriakan dan kesalah kaprahan para pemerhati kesenian Lampung di Bandarlampung! Kenapa? Karena kesenian sesungguhnya gejolak jiwa seseorang/sekelompok orang yang mencintai dan menjiwai tradisi leluhurnya sungguhpun tanpa bantuan dari siapa pun juga!

Dan ketika RRI Tanjungkarang mengumandangkan suara seni budaya orang Lampung sekaligus mewartakan kepada dunia bahwa kesenian Lampung itu ada dan berkembang sungguhpun hanya dikomunitas yang terbilang kecil! Maka hadirin pun terpukau. Pesonanya meyakinkan kita bahwa kelampungan sampai hari ini tetap utuh dan berkembang! Gemanya berkumandang menggelora bagai debur ombak Laut Teluk Lampung! Kenapa di Begawi Bandar Lampung, Festival Krakatau, atau Diskusi Budaya DKL gema itu tak memantul?. Itu adalah persoalan lain!

Jika di HUT Jakarta 22 Juni lalu, kebetawian demikian menggelora di kalbu segenap warga Jakarta seperti kita saksikan di layar kaca, bahkan kini kebetawian cenderung menguasai jagat layar kaca dan bisa boleh jadi pengaruh betawi akan mencengkram dengan kuatnya dalam prilaku budaya nusantara. Kenapa bisa demikian? Karena orang jakarta amat mencintai seni budaya betawi siapapun dan darimanapun ia berasal!

Kelampungan sebagai roh kesenian bukanlah sesuatu yang lahir dan datang begitu saja dalam jiwa setiap orang Lampung. Dunia kesenian bukan dunia akal-akalan. Bukan dunia retorika apalagi aji mumpung, sebalinya dunia jiwa sejati! Roh kesenian adalah jiwa yang mencinta dengan tulus terhadap leluhur.

Mendiskusikan kesenian Lampung dengan hanya mengandalkan rasionalitas jelas suatu hal yang salah kaprah dan keliru besar karena pada akhirnya akan bermuara pada posisi : Cuma bisa bikin kilah ketimbang risalah! Dan menjadi pelaku seni adalah suatu profesi mulia, karena dunia seni sepenuhnya mengandalkan intuisi(perasaan) dan cuma secuil porsi untuk intlektualitas. Seniman amat sangat wajar jika yang bersangkutan dalam berkarya mengandalkan intuisi ketimbang rasio.

3

Seniman sangat intuitif ketimbang intelek! Maka bersebadan dengan kelampungan rasanya bukan hal yang nista apalagi berbahaya. Karena kelampungan adalah masalah perasaan bukan akal-akalan. Dan jika anda mengaku diri sebagai seniman Lampung sehingga berhak mernghakimi kehidupan kesenian Lampung dengan suara sumbang, jelas bukan suatu sikap yang bijak! Terlebih lagi mendiskusikan kesenian Lampung dengan pendekatan rasionalitas lewat jubah dan kacamata di luar bingkai kesenian bahkan mengandalkan status sosial yang bersangkutan di luar dunia kesenian adalah suatu hal yang sepatutnya diperboden karena hasilnya pasti akan merendahkan posisi kesenian Lampung!

Realitas yang mengganjal perkembangan dunia kesenian Lampung adalah sedikitnya jumlah seniman Lampung ketimbang jumlah pemikir kesenian Lampung! Khususnya di Bandarlampung, adalah tempat mangkalnya kaum pemikir kesenian namun amat sangat sedikit kaum perasa kesenian Lampung! Sialnya, Bandarlampung sebagai ibukota propinsi memiliki akses ke jaringan nasional untuk mengitam putihkan kesenian Lampung dan hasilnya? Lampung dinyatakan sebagai Indonesia mini! (Bandingkan dengan kebetawian di Jakarta).

Dan adalah hal yang lumrah jika ruang sastra di koran-koran ibukota Lampung lebih banyak menyuarakan sastra indonesia ketimbang sastra Lampung. Lantas sikap orang Lampung? Dengan piil pesenggirinya cuma bisa menangis dalam hati ketika menyaksikan sang pendatang bertandang dengan garang menyuarakan kependatangan mereka diseluruh tempat kesenian kecuali RRI Tanjungkarang. Lalu dengan retorikanya yang aduhai menyalahkan orang Lampung yang tidak mampu memperjuangkan kelampungannya, bahkan seolah-olah kesenian Lampung sudah harus mati tapi ketika yang bersangkutan diajak bicara dalam bahasa Lampung, maka dengan ringan beliau menjawab: tidak bisa! (Padahal ibu dari kesenian adalah bahasa-pen).

Bagaimana mungkin ingin menjadi orang Lampung jika belajar bahasa Lampung saja tidak mau? Dalam dunia politik, wajar jika para anggota DPRD berjiwa Pancasila/NKRI. Wartawan berwawasan kebangsaan. Tapi adalah hal yang keliru jika pelaku kesenian Lampung tidak mau tahu, tidak mau cari tahu tapi sok tahu tentang kelampungannya!

4

Para pemikir kesenian Lampung (yang jumlahnya membludak - berbanding terbalik) dengan kaum perasa kesenian Lampung seyogyanya bersikap arif dalam melampungkan kelampungan dirinya di jagat kesenian Lampung. Sikap terbuka penduduk Lampung janganlah diartikan kelemahan. Sikap cueknya janganlah diartikan keangkuhan. Sebab sesunggunnya dibalik semua itu tersembunyi kelembutan jiwa sebagai refleksi dari kecintaan orang Lampung menghayati Piil pesenggiri dan adat/ seni budaya leluhurnya dan lewat corong RRI Tanjungkarang kita akan dengar kelembutan dan keindahan bahasa Lampung yang didendangkan oleh para perasa kesenian Lampung yang datang dari pelbagai sudut terpencil Sai Bumi Ruwa Jurai!

Serial Diskusi Budaya yang di gelar DKL jika ingin out put maksimal yang bermanfaat bagi tumbuh dan berkembangnya dunia seni budaya Lampung khususnya di Bandarlampung seyogyanya di tata ulang, antara lain lebih memperioritaskan kepada kehadiran nara sumber yang berasal dari kaum perasa kesenian Lampung. Dan yang paling fundamental/benang merah sekaligus jiwa dari diskusi ini adalah: Bahwa seni budaya Lampung itu sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang dengan wajar, tetap menjadi tuan rumah yang baik.

Namun akibat ulah sebagian pendatang yang enggan mengakui keunikannya dan lebih suka menyebadani kesenian leluhurnya masing-masing-lah yang menjadi penyebab utama terganjalnya pemasyarakatan kesenian Lampung, khusunya dalam penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan antar warga Lampung di Lampung! Dalam membahasnya hendaklah bersikap arif dengan mengandalkan intuisi bukan intletual apalagi sekedar retorik, sebab kesenian bukan akal-akalan tapi perasaan! Pemikiran tentang kesenian dibutuhkan sepanjang untuk perlindungan terhadap karya cipta, upaya untuk memfasilitasi tampilnya kreator seni budaya Lampung yang bermutu, unik dan monumental. Dan hanya kepada seniman Lampung yang mencintai kelampungannyalah yang kelak akan berhasil membesarkan seni budaya Lampung.

Jika Inul dengan ngebornya menjadi fonomenal di jalur dangdut, seni budaya Lampung pun suatu ketika pasti akan tampil ikon-ikon baru yang segar dan menggemparkan sepanjang kita memperlakukan kesenian Lampung dengan gelora cinta bukan caci maki! Tabik Pun Puakhii, kilu mahap.

Kedaung, 23062003

Sumber: Blog Pekik yang Tercekik (http://amzuch.blogspot.com), Selasa, 25 November 2008

No comments:

Post a Comment